Anda di halaman 1dari 14

PAPER EKOLOGI PERAIRAN

GULMA AIR

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ekologi Perairan
Tahun Akademik 2019/2020

Disusun Oleh:
Kelompok 2/Perikanan C
Yunita Nadzira A K 230110180136
Ryan Faisal Rafi 230110180145
Mahesa Asrafka U 230110180146
Deni Rizki Rustiawan 230110180147
Muhammad Fitra R 230110180163
Elsa Salsabila M H 230110180169
Arrijal Fadhli Aulia 230110180170

UNIVERSITAS PADJAJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
JATINANGOR
2019
A. Definisi Gulma Air
Menurut Sukman & Yakub (2002), gulma adalah tumbuhan yang tumbuh pada waktu, tempat,
dan kondisi yang tidak diinginkan manusia. Dilihat dari definisi subjektifnya, gulma merupakan
tumbuhan kontroversial yang tidak semua buruk maupun tidak semuanya baik tergantung
pandangan seseorang (Anderson, 1977). Gulma air (aquatic weed) ialah gulma yang hidup dan
tumbuh di perairan.
B. Jenis-Jenis Gulma Air
Gulma air dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:
1. Gulma Air Garam (saltwater/marine weeds) yaitu gulma yang hidup di air garam seperti air
laut, di hutan-hutan bakau. Contohnya Enchalus acoroides dan Acrosticum aureum (paku laut)

Gambar 1. Acrosticum aureum (paku laut) Gambar 2. Enchalus acoroides

2. Gulma Air Tawar (Fresh Water Weeds), yaitu gulma yang tumbuh di habitat air tawarr
Gulma air diklasifikasikan sebagai marginal (tepian), emergent (gabungan antara tenggelam
dan terapung), submerged (melayang), anchored with floating leaves (tenggelam), freefloating
(mengapung), dan plankton/algae.
Gambar 3. Gulma berdasarkan letaknya
a. Gulma yang tumbuh mengapung (floating weeds), contohnya adalah Eichornia crassipes
(eceng gondok), Salvinia cuculata

Gambar 4. Eichornia crassipes (eceng Gambar 5. Salvinia cuculata


gondok)
b. Gulma yang hidup tenggelam (submerged weeds), dibedakan kedalam:
• Gulma yang hidup melayang (submerged not anchored weeds), contoh Ultricularia gibba
• Gulma yang sebagian tubuhnya tenggelam dan sebagian mengapung (emerged weeds),
contoh Nymphae sp (teratai), Nymphoides indica.
• Gulma yang tumbuh di tepian (marginal weeds), contoh Panicum repens, Scleria
poaeformis.
Gambar 6. Ultricularia gibba Gambar 7. Nymphae sp

Gambar 8. Nymphoides indica Gambar 9. Panicum repens

Gambar 10. Scleria poaeformis

C. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Gulma Air


Tumbuhnya gulma di sekitar lahan pertanian tidak bisa di hindari, seperti tanaman lain gulma
juga memerlukan lingkungan yang cocok dengan tempat hidupnya seperti memerlukan cahaya,
nutrisi, air, gas CO2 dan tempat tumbuh. Cahaya merupakan salah satu faktor penting dalam proses
fotosintesis dan penentu lajunya pertumbuhan tanaman (Pujisiswanto et al. 2017)
Ekologi gulma merupakan pengkajian hubungan antara gulma dengan alam sekitarnya atau
lingkungannya. Dalam ekologi gulma terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
gulma yaitu faktor biotik dan abiotik
A. Faktor biotik
Tumbuhan dan hewan merupakan faktor biotik yang dapat membuat gulma dapat tumbuh
dengan baik atau tidak serta distribusinya.
1. Persaingan gulma dengan tanaman
2. Persaingan mendapatkan air
3. Persaingan memperebutkan cahaya
4. Umur, kemampuan bersaing, jumlah dan jenis gulma yang berasosiasi
5. Persaingan mendapatkan unsur hara
B. Faktor Abiotik
Merupakan faktor dari lingkungan sekitar seperti suhu, angina, unsur hara dan lainnya.
Diantara faktor abiotik tersebut ada faktor abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan gulma yaitu:
1. Klimatik (iklim)
Faktor pertama yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan distribusi
gulma adalah iklim. Seperti cahaya, temperature, air, angina, dan aspek- aspek musim
dari faktor tersebut.
2. Edipatik
Faktor tanah sangat mempengaruhi distribusi gulma antara lain adalah kelembaban
tanah, aerasi, pH tanah, unsur-unsur makanan dan hara dalam tanah dan lain-lain.
Beberapa spesies gulma dapat tumbuh dengan sempurna pada tanah yang mempunyai
kondisi tertentu. Kelembaban tanah mempengaruhi munculnya gulma di sawah-sawah.
D. Pemanfaatan Gulma Air
Pada jaman dulu peranan gulma air untuk mengurangi pencemaran air masih belum banyak
diketahui, sehingga peran gulma air hanya berfungsi sebagai tanaman hias saja. Beberapa hasil
penelitian di Amerika, Jepang, dan Thailand menunjukkan bahwa tumbuhan air (sebagian besar
gulma air) mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan biofilter untuk mengisap unsur-
unsur yang menyebabkan pencemaran perairan umum (Oki, 1987). Selanjutnya Oki (1992)
menyatakan bahwa pemanfaatan gulma air sebagai biofilter air limbah merupakan suatu metoda
yang tepat untuk mengendalikan gulma dan merupakan salah satu bagian dari strategi pengelolaan
gulma (Madkar & Kurniadie, 2003).
Eceng gondok bisa dimanfaatkan untukmakanan ternak, namun dalam pemanfaatannya harus
dipertimbangkan karena kandungan serat kasar yang tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut perlu
dilakukan pengolahan, misalnya melalui teknologi fermentasi. Eceng gondok (E. crassipes Mart)
diolah dulu jadi tepung dan kemudian difermentasi secara padat dengan menggunakan campuran
mineral dan mikroba Trichoderma harzianum yang dilakukan selama 4 hari pada suhu ruang.
Ternyata fermentasi ini mampu meningkatkan nilai giziyang terkandung dalam eceng gondok
(Mahmilia, 2004).
Selain itu, eceng gondok juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pupuk cair,
pembuatan biogas dan penjernihan air (Kristanto, Purbajanti, & Anwar, 2003).
E. Permasalahan Yang Ditimbulkan Dengan Adanya Gulma Air
Sebagaimana definisi tumbuhan pengganggu (gulma) ini, maka kehadiran gulma baik di area
pertanaman tanaman budidaya maupun di berbagai temp at akan menimbulkan masalah dan
dampak. Permasalahan dan dampak yang ditimbulkan oleh gulma pada suatu kawasan dapat
bersifat teknis dan dilihat dari aspek sosial yang semuanya memerlukan penanganan, akhimya
memerlukan biaya yang besar. Dari aspek estetika, kehadiran gulma pada suatu kawasan dapat
mengurangi keindahan lingkungan sehingga memerlukan biaya untuk menciptakan lingkungan
yang indah dan asri.
Secara teknis kehadiran gulma di area tanaman budi daya, dan tumbuh secara bersama-sama
dengan tanaman pokok akan menjadi saingan utama terutama dalam hal keperluan unsur hara.
Oleh karena itu, gulma perlu dikelola sedemikian rupa agar pemberian pupuk (nutrisi) yang
dilakukan tidak sia-sia.
Artinya, apabila pertumbuhan gulma di area budi daya dikendalikan secara baik, unsur-unsur
hara maka (N, P, dan K) yang diberikan ke dalam tanah bentuk pupuk dapat dimanfaatkan atau
diserap oleh tanaman secara maksimal untuk mendukung pertumbuhannya. Sebaliknya apabila
gulma tumbuh tidak terkendali, maka sebagian besar unsur-un sur hara akan diserap oleh gulma
karena umumnya gulma memiliki daya saing yang lebih tinggi dibanding tanaman budi daya
(Salisbury dan Ross, 1995).
Secara sosial ekonomi kehadiran gulma di area pertanaman akan menambah biaya produksi.
Gulma yang tumbuh di area pertanaman harus dibersihkan/dikendalikan agar tidak menjadi
saingan bagi tanaman pokok dan merugikan. Berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan
misalnya penyiangan gulma, maka untuk kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja yang banyak.
Akibatnya, biaya produksi persatuan luas menjadi tinggi dan efisiensi usaha tani menjadi rendah.
Ada istilah gulma jahat (noxious weed) ialah sejenis gulma yang ditandai dengan pertumbuhan
vegetatifyang sangat cepat, berproduksi lebih awal dan lebih efisien, mampu beradaptasi pada
kondisi ekstrim serta mempunyai sifat dormansi dan dapat menurunkan hasil tanaman secara nyata
meskipun populasinya rendah (Mercado, 1979).
Gulma seperti ini perlu mendapat perhatian lebih serius, dan apabila ditemukan pada lahan
usaha tani segera dibasmi dan siklus hidupnya diputus supaya perkembangannya lebih terkendali.
Biasanya gulma jahat muncul pada suatu kawasan karena terbawa tanpa sengaja, misalnya petani
membawa benih tanaman yang di dalamnya terdapat benih gulma jahat yang dimaksud. Atau benih
gulma jahat tersebut terbawa oleh binatang yang menempel pada bulunya atau melalui kotorannya.
Permasalahan gulma air pada perairan terbuka adalah pendangkalan akibat biomassa gulma
yang mati dan mengendap di dasar perairan , menghalangi lalu lintas air, penurunan kualitas air
dan penurunan debit danau atau kolam karena proses evapotranspirasi oleh gulma
F. Mekanisme Penyerapan Bahan Pencemar Oleh Gulma Air
Menurut Oki (1994) gulma air Eichornia crassipes (eceng gondok) mampu menghasilkan
produksi biomas yang tinggi dan mampu mengisap unsur nitrogen sekitar 1-3 g/m2/hari dan unsur
phosphor sebesar 0.2-0.5 g/m2/hari. Menurut Room dan Gill (1985), pH media menentukan
banyaknya penyerapan unsur hara oleh tumbuhan, contohnya jika pH air limbah berada pada
kisaran (5.16-7.8) maka pH tersebut dapat dibilang optimum dibandingkan dengan pH limbah (8-
8.8), sehingga penyerapan unsur hara seperti unsur N dan P dari limbah oleh tumbuhan lebih besar.
Menurut Bowen (1986) dalam Haider (1984), kemampuan eceng gondok dalam penyerapan
adalah karena adanya vakuola dalam struktur sel. Sedangkan Hollenhauler (1967) dalam Gopal
dan Sharma (1981), menyatakan bahwa sel tudung akar mempunyai banyak vakuola, suatu larutan
cair berbagai bahan organic yang kebanyakan merupakan bahan cadangan makanan atau hasil
sampingan metabolisme.
Logam berat biasanya ditemukan sangat sedikit dalam air secara alamiah, yaitu kurang dari 1
mg/lt, bila terjadi erosi alamiah, konsentrasi logam tersebut dapat meningkat. Logam dan mineral
lainnya hampir selalu ditemukan dalam air tawar dan air laut, walaupun jumlahnya sangat terbatas
(Darmono, 2001).
Menurut loveless dan Dwijoseputro (1987) kecepatan penyerapan garam dan unsur hara
ditentukan oleh transpirasi yang lebih besar apabila dibandingkan dengan tumbuhan lain misalnya
Slavinia sp (kayambang). Menurut Penfound dan Eearle (1984) hal ini disebabkan karena eceng
gondok mempunyai ukuran lubang stomata yang besar, yaitu 2 kali lebih besar daripada
kebanyakan tumbuhan lainnya.
Senyawa beracun dan logam berat yang diserap oleh eceng gondok dan air yang tercemar, akan
diakumulasi di dalam organ tumbuhan. Logam berat Cr, Hg, dab Pb lebih banyak diakumulasikan
di akar daripada di pucuk tumbuhan. Akumulasi logam berat ini menyebabkan kerusakan struktur
sel pada jaringan organ tumbuhan dan kerusakan sel penutup stomata, sehingga akan memengaruhi
proses pertukaran gas dari luar kedalam daun (Buddhari, 1984; Nath, et al., 1984).
Kayambang merupakan akumulator yang baik untuk Pb. Hal ini dikarenakan pertumbuhan
kayambang sangat tinggi. Di laboratorium pertumbuhan daun kayambang mencapai dua kali lipat
dalam waktu 2-4 hari (McFarland et al 2004). Semakin tinggi produksi biomass semakin
banyakpolutan yang dapat diserap (Juhaeti et al 2009). Menurut Sumarsih (2008) dalam proses
fitoakumulasi logam barat, akar kayambang dapat menyerap polutan bersama dengan penyerapan
nutrient dan air. Massa polutan tidak dirombak, tetapi diendapkan di bagian trubus dan daun
tanaman.
Pada penelitian yang dilakukan Prihandrijanti et al (2009), eceng gondok dengan panjang akar
10-15 cm menyerap polutan lebih banyak daripada kayambang dengan Panjang akar 3-5 cm.
menurut ANRCP (1998) logam barat masuk ke dalam akar melalui pergerakan di dalam ruang
kosong dinding sel (apoplastic pathway) dan transpor melewati sitoplasma (symplastic pathway).
Penelitian yang dilakukan oleh Suriawiria (2006), mengatakan bahwa kelompok tanaman
amfibius, dintaranya Cyperus papyrus bisa digunakan dalam menurunkan kandungan logam berat,
khususnya dalam bentuk Hg, Pb, dan Zn didalam air buangan. Penyerapan logam berat plumbum
(Pb) dan cadmium (Cd) oleh Cyperus papyrus terjadi melalui akar dan batang, sedangkan
Eichornia crassipes melalui akar. Eichornia crassipes memiliki akar yang bercabang-
cabanghalus, permukaan akarnya digunakan oleh mikroorganisme sebagai tempat pertumbuhan.
Nitrifikasi suka bermukim pada akar dan mendapatkan zat asam melalui akar, sedangkan
denitrifikasi berlangsungpada zat cair anorkis, Sepkota (1978) dalam Orth, (1985).Uji statistik
yang dilakukan dengan menggunakan uji Post Hoc Testdiperoleh hasil 0.009 dihari yang ke-12
dengan alfa = 0.05, yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna terhadap laju penurunan logam
berat cadmium oleh tumbuhan Eichornia crassipes dan Cyperus papyrus.
Kemampuan Cyperus papyrus dalam menyerap logam berat disebabkan karena struktur tubuh
yang dimilikinya mempunyai struktur kimia yang baik dalam menetralisir polutan perairan. Akar
Cyperus papyrus mengandung alkaloid, glikosida jantung, flavonoid dan minyak menguap
sebanyak 0,3 -1% yang isinya bervariasi, tergantung daerah asal tumbuhnya (Archer, C. 2003).
Sugiyanto,et al.(1991) mengemukakan bahwa gulma air terapung, yaitu Eicchornia crassipes,
Salvinia molesta dan Pistia stratiotes mampu menyerap logam berat krom dari medium air
habitatnya dan lebih banyak tertimbun di akar daripada di daun. Kemampuan ini didukung oleh
mekanisme tumbuhan tersebut dalam mengakumulasi logam berat krom.
Produk metabolisme intraseluler, seperti glutathione (GSH) dan protein pengikat logam, yang
berlimpah bermanfaat untuk berikatan dengan logam berat sebagai mekanisme detoksifikasi. GSH
memainkan peranan penting dalam banyak proses detoksifikasi seluler xenobiotik dan logam
berat. Sintesis glutathione (GSH) melalui dua langkah proses enzimatik yang membutuhkan ATP
(Noctor, et al., 1998). Tahap pertama L-glutamate dan L-cystein dikonjugasi oleh enzim γ-
glutamylcysteine synthetase dengan menggunakan energi ATP dan kemudian menghasilkan γ-
glutamylcysteine (γ-EC).
Konjugasi GSH dengan molekul diatur oleh glutathione-S-transferase. Konjugat tersebut
kemudian diangkut ke vakuola dan melindungi sel mereka dari efek berbahaya. Tahap kedua
dikatalis oleh glutathione synthetase, yang menambahkan glisin pada γ-glutamylcysteineuntuk
membentuk γ-glutamylcysteinylglycineatau GSH. Glutathione telah terbukti bertindak sebagai
pengatur ekspresi gen. Glutathione juga bertindak sebagai prekursor phytochelatins, yang
mengikat konsentrasi logam berat secara optimal dan merupakan substrat bagi glutathione-S-
transferaseuntuk mengkatalis konjugasi GSH dengan polutan xenobiotic. GSH memainkan
peranan penting dalam pertahanan tanaman terhadap stress oksidatif.
Proses selanjutnya adalah translokasi logam dari akar ke tajuk yang diangkut melalui jaringan
pengangkut. Logam diikat oleh molekul khelat untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan.
Hidayati (2014) menguatkan pernyataan tersebut bahwa translokasi ini dikendalikan oleh
pergerakan ion ke xilem. Hal ini juga mengindikasikan adanya sistem translokasi logam dari akar
ke tajuk yang efisien.
Pada proses penyerapan akar, tanaman biasanya melakukan perubahan pH. Notodarmojo
(2005:433) menjelaskan bahwa penurunan pH menyebabkan terjadinya mobilisasi logam krom
(Cr). Tanaman kemudian akan membentuk suatu zat khelat. Logam berat krom tersebut kemudian
dapat diserap oleh akar melalui ikatannya dengan zat khelat. Zat khelat disintesis dan dilepaskan
oleh tanaman pada saat kondisi stress seperti kekurangan nutrisi untuk mengikat logam yang
dibutuhkan. Logam berat yang masuk dalam tubuh tumbuhan mampu bersaing untuk berikatan
dengan fitosiderofor untuk kemudian diangkut dari akar menuju organ lainnya (Agustin, 2014).
Mekanisme perpindahan logam dari larutan ke akar terjadi melalui beberapa proses, seperti yang
dijelaskan Sune,et al.(2007) bahwa pengendapan krom pada Pistia stratiotes diinduksi oleh akar
dengan memindahkan logam dari larutan melalui proses penyerapan dengan mengekskresi zat
khelat. Jadi ketika krom memasuki tumbuhan, maka logam krom akan menyebabkan peningkatan
produksi GSH yang berlebih untuk mempertahankan metabolisme sel dalam tanaman.
G. Pengendalian Gulma Air
Menurut Anderson (1977) ada 4 metode pengendalian gulma, yakni secara kultural, mekanis,
kimia, dan biologi. Pengendalian gulma secara kultural meliputi penggunaan benih bersertifikat
bebas biji gulma, penggunaan tanaman yang lebih kompetitif dari gulma, dan rotasi tanaman.
Sedangkan cara mekanis meliputi, pencabutan gulma dengan tangan-manual (hand pulling),
dengan cangkul, dipotong, penggenangan, dibakar, dan dengan penggunaan alat-alat pengolahan
lahan (machine tillage). Cara kimia dilakukan dengan menggunakan zat-zat kimia yang bersifat
organik maupun anorganik yang diaplikasikan di lahan pada berbagai kondisi tergantung jenis
herbisida dan tanamannya. Cara biologi dilakukan dengan menggunakan organisme alami yang
antagonis dari gulma tertentu.
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan salah satu gulma air yang banyak tumbuh di
berbagai perairan dan dianggap sebagai gulma yang sangat merugikan manusia. Menurut Wright
dan Purcell dalam Gunawan et al., (2012), eceng gondok mempunyai kemampuan untuk tumbuh
dengan rapat sehingga dapat merubah lingkungan mikro di bawah permukaan air. Sebagai gulma
air, tumbuhan ini cepat berkembang biak dan mampu bersaing dengan kuat.
Upaya pengendalian eceng gondok di suatu perairan telah banyak dilakukan yaitu berupa
pengendalian secara fisik/mekanis, kimia ataupun pengendalian secara biologi. Namun, pada
pengendalian secara fisik/mekanis dan kimia dianggap tidak efisien serta tidak aman. Sedangkan
pengendalian secara biologi dianggap lebih alami dan aman untuk lingkungan perairan, akan tetapi
pengendalian ini hanya sedikit memberikan hasil yang tidak maksimal.
Pada pengendalian secara biologi dapat memanfaatkan organisme untuk mengurangi populasi
eceng gondok secara alami, seperti dengan memanfaatkan ikan sepat siam yang bersifat omnivora.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Marsely et al. (2017), ikan sepat siam dapat merusak
akar eceng gondok dengan cara menggerogoti akarnya hingga putus. Menurut Ali dalam Cruz
(1994), ikan sepat siam merupakan jenis ikan yang mengambil makanan dengan cara
mengigit/memotong (grazer) jenis makanan yang diambil. Putusnya akar eceng gondok akan
mengahambat pertumbuhan tanaman ini. Dengan demikian ikan sepat siam diperkirakan
berpotensi mengendalikan populasi eceng gondok secara alami. Untuk itu dilakukan penelitian
mengenai kemampuan ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis) dalam mengendalikan populasi
gulma eceng gondok (E. crassipes).
H. PENELITIAN TENTANG GULMA AIR DI INDONESIA
Dari jurnal yang berjudul Penentuan Jenis Gulma Air sebagai Naungan (shelter) pada
Pendederan Ikan Gabus Channa striata di Kolam, oleh Adang dan Reza (2017) yang berisikan
hasil peneltian tentang penentuan gulma air terhadap benih ikan gabus, Jenis gulma air
memberikan kontribusi terhadap performa pertumbuhan dan sintasan benih ikan gabus yang
dipelihara di kolam.
Jenis gulma air yang digunakan sebagai naungan pada pendederan ikan gabus di kolam milik
masyarakat ada eceng gondok, apu-apu, dan mata lele, Pertambahan bobot akhir benih ikan gabus
yang telah diberi bermacam gulma air tidak memiliki perbedaan nyata antar perlakuan (P>0,05).
Eceng gondok memiliki bobot biomassa akhir tertinggi yaitu sebesar 23,80±1,68 g, Lalu mata lele
(22,65±3,89 g), dan apu apu dengan biomassa terendah yaitu (21,15±5,82 g).
Pertumbuhan benih ikan gabus yang dipelihara dengan menggunakan eceng gondok sebagai
naungan sangat nyata pengaruhnya. Karena eceng gondok mempunyai peranan yang baik sebagai
pelindung juga memperbaiki kualitas air.
Menurut hidayatullah et al (2015) menyampaikan bahwa eceng gondok sangat baik digunakan
sebagai pelindung pada pemeliharaan larva ikan gabus. Ini menunjukkan eceng gondok berguna
secara nyata terhadap peningkatan benih ikan gabus yang dipelihara selama empat bulan.
Ikan gabus termasuk ikan yang mempunyai sifat kanibal untuk meminimalisir tingkat kanibalisme
dari ikan gabus, maka digunakan eceng gondok yang memiki akar akar yang panjang dibanding
mata lele dan apu-apu. Dan eceng gondok juga cocok dijadikan naungan untuk pendederan ikan
gabus.
Eceng gondok juga mempengaruhi pertambahan panjang benih ikan gabus selama 4 bulan
penelitian dilakukan, penggunaan apu apu dan mata lele pola pertumbuhannya juga hampir sama
dengan eceng gondok, namun tidak terlalu efektif. Kondisi ini menunjukkan potensi dari eceng
gondok untuk dijadikan naungan benih ikan gabus.
Sebab eceng gondok juga mampu memperbaiki kualitas air, sehingga media pemeliharaan
benih ikan gabus menjadi optimum, sehingga benih ikan gabus akan tumbuh dan berkembang
dengan baik, Kemudian ikan gabus yang dipelihara dengan naungan eceng gondok tidak
mengalami gejala stress, hal ini sesuai dengan pendapat Supriyono et al. (2011), semakin rendah
total eritrosit dan leokusit menandakan ikan tidak terindikasi mengalami stres. Konsentrasi
hemoglobin benih ikan pada setiap perlakuan relatif sama, paling rendah dicapai adalah eceng
gondok sedangkan yang tertinggi adalah mata lele, ini membuktikan bahwa ikan yang diberi
naungan eceng gondok hidup normal dan tidak mengalami gejala stress.
Nilai pH hasil pengukuran pada pemeliharaan benih ikan gabus yang diberi eceng gondok
berkisar 6,3-6,9, mata lele (6,3-6,9), dan apu-apu (6,2-6,6). Kondisi pH air terukur masih sangat
mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan serta sintasan dengan baik serta tidak
berpotensi mengakibatkan stres pada benih ikan gabus yang dipelihara.
Hasil pengukuran terhadap nitrit pada pemeliharaan benih ikan gabus yang diberi eceng
gondok berkisar 20-84 mg/L, mata lele (16-79 mg/L), dan apu-apu (20-110 mg/L). Nilai nitri ini
menggambarkan limbah dari pemeliharaan benih ikan gabus tidak berpotensi menjadi toksik
karena masih dalam ambang aman untuk tumbuh dan berkembang benih ikan gabus
Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti itu bisa didapat bahwa penggunaan gulma air
berupa eceng gondok memiliki banyak kegunaan bagi pemeliharaan ikan gabus serta
meningkatkan kualitas pendederan ikan gabus, tidak menimbulkan gejala stress pada ikan, untuk
dua perlakuan lainnya yaitu apu-apu dan mata lele, tingkat efektifitasnya mash dibawah eceng
gondok
DAFTAR PUSTAKA

Adang S, Reza S, 2017, Penentuan Jenis Gulma Air sebagai Naungan (shelter) pada Pendederan
Ikan Gabus Channa striata di Kolam, Jurnal Perikanan dan Kelautan Volume 7 Nomor 2.
Desember 2017
ANRCP. 1998. Literature review: phytoaccumulation of chromium,uranium,and plutonium in
plant system. No. 3, 51 hlm
Anderson, W. P. 1977. Weed Sciences: Principles. West Publishing Company 598 p.
Cruz, C. R. D. 1994. Role of Fish In Enhancing Ricefield Ecology and In Integrated Pest
Management. ICLARM Cont. Proc. Manila. Philippines.
Dhahiyat, Y. 2008. Ekoogi gulma air. Pengelolaan dan pemanfaatan eceng gondok. Pusat
penelitian pengelolaan keanekaragaman hayati. Lembaga penelitian universutas
padjadjaran. Bandung.
Gunawan, B.A., I. A. Agustina, H. A. Laluyan, K. Timur dan D. N. Rosiva. 2012. Gulma Perairan
Eceng Gondok (Eichhornia crassipes). Fakultas Biologi Universitas Jendral Sudirman.
Purwokerto.
Kristanto, B. A., Purbajanti, E. D., & Anwar, S. (2003). Pemanfaatan Enceng Gondok Eichornia
crassipes Sebagai Bahan Pupuk Cair. Pusat Penelitian Pengembangan Teknologi:
Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro.
Loveless, A. R. 1987. Prinsip-Prinsip Tumbuhan Untuk Daerah Tropik 2. Jakarta : PT. Gramedia.
Hal 180
Madkar, O. R., & Kurniadie, D. (2003). Identifikasi dan Pertumbuhan Berbagai Gulma Air
Sebagai Bahan Biofilter Penyaring Air Limbah. Jurnal Bionatura, 5(November), 79–87.
Mahmilia, F. (2004). Perubahan Nilai Gizi Tepung Eceng Gondok Fermentasi dan
Pemanfaatannya sebagai Ransum Ayam Pedaging. 90–95.
Marsely, D., Windarti, Eddiwan. 2017. Trichogaster pectoralis Ability in Controlling Eichhornia
crassipes Population. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau.
Mercado, B. L. 1979. Introduction to Weed Science. Southeast Asia Regional Centre for Graduate
Study and Research in Agriculture. p 37-69.
Oki, Y. 1987. Utilization of aquatic plant for the improvement of polluted water in impact of
agricultural production on environment. Proc. Of the International Seminar, Chiang Mai,
Thailand, p. 97-113
Oki, Y. 1992. Integrated management of aquatic weed in Japan. Proc. of the International
Symposium on Biology control and integrated management of paddy and aquatic weeds in
Asia, Tokyo, Japan, p. 197-213.
Pujisiswanto, H., Yudono, P., Sulistyaningsih, E., Sunarwinto, B, H. 2017. Analisis Perumbuhan
Gulma pada Aplikasi Asam Asetat Sebagai Herbisida Pascatumbuh. UNILA : Lampung
Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Perkembangan Tumbuhan, dan
Fisiologi Lingkungan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Sukman, Hj. Y, and Yakub. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT Raya Grafindo
Persada. Jakarta. 159 hal.
Tosepi, R.2012. Laju Penurunan Logam Berat Plumbum (Pb) Dan Cadmium (Cd) Oleh Eichornia
Crassipes Dan Cyperus Papyrus. Jurnal Manusia Dan Lingkungan, Vol. 19, No.1 : 37 – 45

Anda mungkin juga menyukai