Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH BIOTEKNOLOGI DAN KULTUR JARINGAN

REVIEW JURNAL:

Pengaruh Penambahan Nutrisi Terhadap Efektifitas Fitoremediasi


Menggunakan Tanaman Enceng Gondok (Eichhornia crassipes) Terhadap
Limbah Orto-Klorofenol

Dosen Pengampu:

Weka Sidha Bhagawan M. Farm., Apt.

Oleh :

Firda Ludfiyah 16670062

Ahmad Wildan Rizqi 16670064

Belia Bima Nafisa 16670067

Sukmawati 16670071

Toiyeebah Kasen 16670080

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Limbah pabrik pulp dan kertas mengandung senyawa-senyawa fenol
dan klorofenol yang sangat berbahaya jika dibiarkan berada di perairan.
Senyawa-senyawa tersebut sangat beracun dan sulit untuk didegradasi.
Fitoremediasi terbukti merupakan metode yang efektif dan ekonomis untuk
mereduksi konsentrasi polutan di sistem perairan. Limbah laboratorium
sebagian besar merupakan limbah cair dengan kandungan logam berat yang
tinggi dan mempunyai nilai BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD
(Chemical Oxygen Demand) yang tinggi. Tingginya nilai BOD, COD, dan
logam berat dalam limbah cair disebabkan oleh pemakaian bahan-bahan
kimia selama kegiatan di laboratorium . Berdasarkan sifat dan
karakteristiknya limbah cair fenol termasuk dalam kategori limbah bahan
berbahaya dan beracun (Salt et al., 1998).
Salah satu alternatif teknologi yang dapat digunakan untuk mengolah
limbah cair adalah teknik fitoremediasi. Fitoremediasi adalah upaya
penggunaan tanaman untuk dekontaminasi limbah. Salah satu jenis tanaman
yang dapat digunakan untuk meremediasi limbah adalah eceng gondok
(Eichhornia crassipes). Eceng gondok merupakan gulma air karena
petumbuhannya yang begitu cepat. Karena pertumbuhan yang cepat maka
eceng gondok dapat menutupi permukaan air dan menimbulkan masalah pada
lingkungan. Namun disisi lain, eceng gondok bermanfaat karena mampu
menyerap zat organik, zat anorganik serta logam berat yang merupakan bahan
pencemar. Eceng gondok juga termasuk tumbuhan yang memiliki toleransi
tinggi terhadap logam berat karena mempunyai kemampuan membentuk
fitokelatin dimana senyawa peptide yang dihasilkan oleh tanaman mampu
mengkhelat logam dalam jumlah yang besar (Salt et al., 1998).
Penggunaan sistem fitoremediasi menggunakan eceng gondok
bertujuan menjadikan bioakumulator pencemaran air karena kemampuannya
dalam mengakumulasi logam berat. Ini dimungkinkan karena pada akar eceng
gondok terdapat mikroorganisme (rhizosfera) yang mampu mengurai
senyawa organik, anorganik bahkan logam berapat di perairan yang
digunakan sebagai sumber makanan. Selain itu, mikroorganisme ini juga
mampu mengubah Cr anorganik menjadi Cr organic yang selanjutnya diserap
oleh akar eceng gondok dan digunakan sebagai kofaktor dari enzim
plastosianin yang berguna dalam proses fotosintesis yang merangsang
pembelahan sel pada eceng gondok (Ardiwinata,1985).
Berdasarkan uraian diatas penanganan dalam menangani limbah cair
yang ada di lingkungan dapat digunakan beberapa metode, antara lain secara
fisika, kimia dan biologi. Metode fisika dan kimia didasarkan pada Dissolved
Oxygen (DO), Biologycal Oxygen Demand (BOD), Chemical
OxygenDemand (COD), pH dan sebagainya. Metode yang lain yaitu secara
biologis dengan menggunakan tumbuhan air yaitu kayu apu, genjer,
kiambang, kangkung, Azolla pinnata serta eceng gondok (Eichhornia
crassipes). Eceng gondok itu sendiri memiliki kemampuan untuk
menurunkan kandungan BOD, COD, NH3, phospat, dan padatantersuspensi
yang merupakan tolak ukur pencemaran oleh zat-zat
organic(Suardhana,2009). Eceng gondok mampu menyerap berbagai zat yang
terkandung di dalam air, baik terlarut maupun tersuspensi. Kecepatan
penyerapan zat pencemar dari dalam air limbah oleh eceng gondok
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya komposisi dan kadar zat yang
terkandung dalam air limbah, kerapatan eceng gondok, dan waktu tinggal
eceng gondok dalam air limbah (Ardiwinata,1985).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


2.1.2 Fitoremediasi
Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk
meminimalisasi dan mendetoksifkasi polutan, karena tanaman mempunyai
kemampuan menyerap logam dan mineral yang tinggi atau sebagai
fitoakumulator dan fitochelator. Konsep pemanfaatan tumbuhan dan
mikroorganisme untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi polutan
adalah pengembangan terbaru dalam teknik pengolahan limbah.Fitoremediasi
dapat diaplikasikan pada limbah organik maupun anorganik dalam bentuk
padat, cair, dan gas (Salt et al., 1998).
Fitoremediasi (phytoremediation) merupakan suatu system tanaman
tertentu bekerjasama dengan mikroorganisme dalam media (tanah, koral dan
air) dapat mengubahzat kontaminan (pencemar/polutan) menjadi kurang atau
tidak berbahaya bahkan menjadibahan yang berguna secara ekonomi
(Departemen Permukiman dan Prasaran Wilayah Jakarta, 2003). Penentuan
tanaman yang dapat digunakan pada penelitian fitoremediasidipilih tanaman
yang mempunyai sifat cepat tumbuh, mampu mengkonsumsi air dalamjumlah
yang banyak pada waktu yang singkat, mampu meremediasi lebih dari
satupolutan, dan toleransi yang tinggi terhadap polutan (Wesley et. al,
1981)

Istilah fitoremediasi berasal dari kata inggris phytoremediation, kata


ini tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani
phyton (tumbuhan) danremediation yang berasal dari kata latin remedium
(menyembuhkan), dalam hal ini jugaberarti menyelesaikan masalah dengan
cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan.Dengan demikian fitoremediasi
merupakan penggunaan tanaman untuk menghilangkan,memindahkan,
menstabilkan atau menghancurkan bahan pencemar baik itu
senyawaorganik maupun anorganik. Fitoremediasi merupakan suatu teknik
yang menjanjikandapat mengatasi pencemaran dengan murah, efektif, dan
dapat digunakan secara langsungdi tempat yang tercemar, serta dapat
digunakan secara langsung di tempat yang terkenapencemaran dengan
menggunakan pepohonan, tanaman pangan dan tanaman berbunga
(Fahruddin, 2010).

2.1.3 Eceng Gondok

Klasifikasi eceng gondok menurut VAN Steenis (1978) adalah sebagai


berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida

Ordo : Alismatales

Famili : Butomaceae

Genus : Eichornia

Spesies : Eichornia crassipes solms

Eceng gondok termasuk dalam famili Pontederiaceae. Tanaman ini


memiliki bunga yang indah berwarna ungu muda (lila). Daunnya berbentuk
bulat telur dan berwarna hijau segar serta mengkilat bila diterpa sinar
matahari. Daun-daun tersebut ditopang oleh tangkai berbentuk silinder
memanjang yang kadang- kadang sampai mencapai 1 meter dengan
diameter 1-2 cm. Tangkai daunnya berisi serat yang kuat dan lemas serta
mengandung banyak air. Eceng gondok tumbuh mengapung di atas
permukaan air, tumbuh dengan menghisap air dan menguapkannya kembali
melalui tanaman yang tertimpa sinar matahari melalui proses evaporasi.
Oleh karenanya, selama hidupnya senantiasa diperlukan sinar matahari
(Gerbono, 2005).
Eceng gondok hidup tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Tidak
mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval, ujung dan
pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan
daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk,
berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan
berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya
merupakan akar serabut (Gerbono, 2005).
Eceng gondok yang berkembang di Indonesia berasal dari Amerika
Selatan (Brazil).Tanaman ini didatangkan tahun 1894 sebagai koleksi di
Kebun Raya Bogor.Pada umumnya eceng gondok tumbuh mengapung di
atas permukaan air dan lahan–lahan basah atau di antara tanaman–tanaman
pertanian yang dibudidayakan di lahan basah.Tanaman ini banyak dijumpai
di daerah rendah di pinggiran sawah, danau, waduk, rawa, dan di kawasan
industri di pinggir sungai dari hulu sampai hilir (Gerbono, 2005).
Hasil analisa kimia dari eceng gondok dalam keadaan segar
diperoleh bahan organik 36,59%, C-organik 21,23%, N total 0,28%, P total
0,0011% dan K total 0,016% (Wardini, 2008). Sedangkan menurut Rochyati
(1998) kandungan kimia pada tangkai eceng gondok segar adalah air 92,6%,
abu 0,44%, serat kasar, 2,09%, karbohidrat 0,17%, lemak 0,35%, protein
0,16%,fosfor 0,52%, kalium 0,42%, klorida 0,26%, alkanoid 2,22%. Dan
pada keadaan kering eceng gondok mempunyai kandungan selulosa
64,51%, pentosa 15,61%, silika 5,56%, abu 12% dan lignin 7,69%.
Tingginya kandungan selulosa dan lignin pada eceng gondok menyebabkan
bahan tersebut sulit terdekomposisi secara alami (Gerbono, 2005).
Eceng gondok memiliki keunggulan dalam kegiatan fotosintesis,
penyediaan oksigen dan penyerapan sinar matahari. Bagian dinding
permukaan akar, batang dan daunnya memiliki lapisan yang sangat peka
sehingga pada kedalaman yang ekstrem sampai 8 meter di bawah
permukaan air masih mampu menyerap sinar matahari serta zat-zat yang
larut di bawah permukaan air.Akar, batang, dan daunnya juga memiliki
kantung-kantung udara sehingga mampu mengapung di air. Keunggulan
lain dari eceng gondok adalah dapat menyerap senyawa nitrogen dan fosfor
dari air yang tercemar, berpotensi untuk digunakan sebagai komponen
utama pembersih air limbah dari berbagai industri dan rumah tangga.
Karena kemampuanya yang besar, tanaman ini diteliti oleh NASA untuk
digunakan sebagai tanaman pembersih air di pesawat ruang angkasa (Little,
1979; Thayagajaran, 1984). Menurut Zimmel (2006) dan Tripathi (1990)
eceng gondok juga dapat digunakan untuk menurunkan konsentrasi COD
dari air limbah.
Eceng gondok dapat dimanfaatkan untuk proses pemulihan
lingkungan. Pemanfaatan tumbuhan dalam aktivitas kehidupan manusia
untuk proses pemulihan lingkungan yang tercemar dengan menggunakan
tumbuhan telah dikenal luas dengan istilah fitoremediasi
(phytoremediation). Proses dalam sistem ini berlangsung secara alami
dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap
zat kontaminan/pencemar yang berada di sekitarnya. Menurut
Mangkoedihardjo (2005) keenam tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Phytoaccumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat
kontaminan dari media sehingga berakumulasi di sekitar akar tumbuhan.
Proses ini disebut juga hyperaccumulation.
2. Rhizofiltration (rhizo=akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan
zat kontaminan oleh akar dengan cara menempel pada akar. Proses ini telah
dibuktikan dengan percobaan menanam bunga matahari pada kolam
mengandung zat radio aktif di Chernobyl, Ukraina.
3. Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada
akar yang tidak mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat
tersebut menempel erat pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran
air dalam media.
4. Rhyzodegradation yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas
mikroba yang berada di sekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan
bakteri.
5. Phytodegradation (phytotransformation) yaitu proses yang dilakukan
tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai
molekul yang kompleks menjadi molekul yang sederhana yang dapat
berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat
berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan
bantuan enzim yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri.
6. Phytovolatilization yaitu proses menarik dan transpirasi zat kontaminan
oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai
bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya diuapkan ke atmosfer.
Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200- 1000 liter per hari untuk
setiap batang.

2.1.4 Limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi
baik industri maupun domestik(rumah tangga), yang lebih dikenal sebagai
sampah, yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak
dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau
secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan
Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran
limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan
manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat
bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan
karakteristik limbah (Aslam dkk,2004).
Karakteristik limbah dipengaruhi oleh ukuran partikel (mikro),
sifatnya dinamis, penyebarannya luas dan berdampak panjang atau lama.
Sedangkan kualitas limbah dipengaruhi oleh volume limbah, kandungan
bahan pencemar dan frekuensi pembuangan limbah. Berdasarkan
karakteristiknya, limbah industri dapat digolongkan menjadi 4 yaitu limbah
cair, limbah padat, limbah gas dan partikel serta limbah B3 (Bahan Berbahaya
dan Beracun) Untuk mengatasi limbah diperlukan pengolahan dan
penanganan limbah. Pada dasarnya pengolahan limbah ini dapat dibedakan
menjadi: pengolahan menurut tingkatan perlakuan pengolahan menurut
karakteristik limbah (Endang,2008).
Limbah anorganik adalah limbah yang tidak dapat diuraikan oleh
organisme detrivor atau diuraikan tetapi dalam jangka waktu yang lama.
Bahan yang diuraikan berasal dari sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaruhi, seperti mineral, minyak bumi dan berasal dari proses industri,
seperti botol, plastik, dan kaleng. Limbah organik dapat dimanfaatkan baik
secara langsung (contohnya untuk makanan ternak) maupun secara tidak
langsung melalui proses daur ulang (contohnya pengomposan dan biogas).
Limbah anorganik yang dapat di daur ulang, antara lain adalah plastik, logam,
dan kaca. Namun, limbah yang dapat didaur ulang tersebut harus diolah
terlebih dahulu dengan cara sanitary landfill, pembakaran (incineration), atau
penghancuran (pulverisation) (Endang dkk, 20108).

2.1.5 Fenol (Orto Klorofenol)


Orto klorofenol merupakan senyawa kimia beracun yang ditengarai
terkandung dalam limbah cair industri pulp dan kertas. Nagarathnamma dan
Pratima (1998) melaporkan bahwa o-klorofenol yang ditemukan dalam
limbah cair industri kertas diperkirakan berasal dari senyawa klorin yang
digunakan pada proses bleaching yang bereaksi dengan senyawa organik
yang terkandung dalam kayu. Dampak negatif adanya senyawa fenol dan
turunannya dalam badan air sungai menyebabkan penyimpangan reproduksi
pada zooplankton dan invertebrata yang merupakan kelompok sumber
makanan dari ikan yang dapat menyebabkan kerusakan genetik dan gangguan
sistem kekebalan tubuh pada ikan (Rini, 2002).

Menurut Environmental Protection Agency (EPA, 1980), o-klorofenol


berbahaya bagi biota air apabila konsentrasinya melebihi 4,38 mg/L. Selain
berdampak negatif bagi biota perairan, senyawa tersebut juga membahayakan
masyarakat sekitar sungai yang mengonsumsi air tersebut. Bagi manusia,
senyawa fenol dan turunannya dapat menimbulkan gangguan kesehatan
seperti gangguan perkembangan janin, cacat lahir, dan kanker (Rini, 2002).
2.1.6 Nutrisi
Larutan nutrisi sebagai sumber mineral merupakan faktor penting
untuk pertumbuhan tanaman, karena nutrisi digunakan untuk menyuplai
unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Menurut Wijaya (2008), nutrisi yang
sangat penting bagi tanaman adalah unsur N (nitrogen), P (pospor) dan K
(kalium). Nitrogen berperan dalam pembentukan sel, jaringan, dan organ
tanaman (Reddy, dkk., 1989). Nitrogen juga berfungsi sebagai sebagai bahan
sintetis klorofil, protein, dan asam amino. Pospor merupakan komponen
penyusun beberapa enzim, protein, Adenosin Triphosphate (ATP), Ribose
Nucleict Acid (RNA), dan Deoxyribose Nucleic Acid (DNA). Pospor juga
berperan pada pertumbuhan benih, akar, bunga, dan buah. Sedangkan unsur
kalium memiliki peranan pada aktifitas stomata, enzim dan untuk
meningkatkan daya tahan tanaman terhadap penyakit. Pada penelitiannya
terdahulu, Purwaningsih, dkk. (2008) mengamati ternyata enceng gondok
dapat bertahan hidup di media yang tercemar fenol dan mampu menurunkan
konsentrasi fenol hingga 76% setelah kontak selama 68 jam pada media tanpa
penambahan nutrisi.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Metodologi Penenlitian

3.1.1 Bahan

1. Agen Fitoremediasi: Enceng gondok diperoleh dari daerah Palas di


sepanjang Sungai Siak, Pekanbaru. Enceng gondok yang diambil adalah
yang segar dengan ketinggian kurang lebih 30 cm
2. Senyawa Kimia: Senyawa o-klorofenol di pesan dari CV. Efita Karya
Husada, Padang.
3. Nutrisi: Pupuk NPK tipe 17 : 17 :17 dibeli di Toko Gunung Agung,
Pekanbaru.

3.1.2 Alat

Reaktor yang digunakan untuk penelitian dibuat dari flexi glas:

3.1.3 Prosedur Kerja

1. Enceng gondok yang sudah diaklimatisasi ditimbang dengan berat ± 500


gram masing-masing dimasukkan ke dalam 2 reaktor batch yang berisi
larutan oklorofenol sebanyak 15 liter dengan konsentrasi tertentu.
Perlakuan untuk reaktor pertama tanpa pemberian nutrisi dan dengan
penambahan nutrisi untuk reaktor kedua
2. Perubahan yang terjadi secara fisik pada tanaman enceng gondok diamati
selama percobaan, dan perubahan konsentrasi oklorofenol diamati setiap
periode waktu 12 jam dan dihentikan setelah penurunan konsentrasi o-
klorofenol relatif konstan.
3. Pengamatan dilakukan secara simultan untuk kedua perlakuan yaitu yang
tanpa dan dengan penambahan nutrisi untuk semua konsentrasi o-klrofenol
4. Setiap sampel yang diambil dianalisa kadar o-klorofenol dengan
spektrophotometer UV pada panjang gelombang 254 nm.

3.2 Hasil dan Pembahasan

3.2.1 Hasil dan Pembahasan Pengaruh konsentrasi awal o-klorofenol

Pengaruh konsentrasi awal o-


klorofenol terhadap kemampuan
enceng gondok meremediasi o-
klorofenol tergambarkan pada grafik.
Proses fitoremediasi dimulai dengan
menggunakan konsentrasi awal o-
klorofenol 0 mg/L sebagai kontrol,
sehingga o-klorofenol dalam larutan
tidak terdeteksi. Ini mengindikasikan bahwa tidak ada o-klorofenol yang
terkandung pada akar enceng gondok dan dalam air yang digunakan.

Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa semakin lama waktu kontak,
maka konsentrasi o-klorofenol semakin berkurang. Pada konsentrasi awal 5
mg/L, konsentrasi oklorofenol dalam larutan berkurang sebesar 27,70%
setelah 48 jam waktu kontak, sedangkan untuk konsentrasi awal arutan 15
mg/L dan 20 mg/L terjadi penurunan konsentrasi berturut-turut 20,56% dan
32,53% untuk waktu kontak 48 jam. Penurunan tertinggi terjadi pada
konsentrasi awal o-klorofenol sebesar 10 mg/L yang mencapai 41,7% setelah
kontak dengan waktu yang sama.

Laju penjerapan o-
klorofenol oleh enceng
gondok dinyatakan dengan
laju remediasi rata-rata
yang dipresentasikan
dalam tabel dan
dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh (Purwaningsih, 2008) dengan perbedaan senyawa kimia
yang digunakan, yaitu fenol.

Hasil menunjukkan remediasi oklorofenol oleh enceng gondok


semakin besar Hal ini terjadi karena semakin 0 5 10 15 20 25 0 12 24 36 48
60 72 84 96 Waktu (jam) Konsentrasi (mg/L) Konsentrasi Awal 20 mg/L
Konsentrasi Awal 15 mg/L Konsentrasi Awal 10 mg/L Konsentrasi Awal 5
mg/L Konsentrasi Awal 0 mg/L tinggi konsentrasi o-klorofenol dalam media
maka semakin banyak kontaminan yang terlarut di sekitar akar, sehingga
adsorpsi o-klorofenol oleh akar enceng gondok juga semakin besar

Tetapi jika data laju remediasi o-klorofenol dibandingkan dengan data


laju remediasi fenol dari hasil penelitian sebelumnya (Purwaningsih, dkk.,
2008) ternyata hasilnya bertolak belakang. Pada remediasi fenol, laju
remediasi akan turun dengan meningkatnya konsentrasi kontaminannya. Hal
ini kemungkinan dapat disebabkan karena fenol lebih toksik daripada o-
klorofenol. Sehingga laju penjerapan polutan oleh tanaman terganggu karena
sifat racun dari polutan. Hal ini dapat diketahui menurut data (EPA,1980)
yang menyatakan senyawa fenol dua kali lebih toksik daripada o-klorofenol.
3.2.2 Penambahan Nutrisi

Penelitian ini dilanjutkan dengan menambahkan nutrisi pada media


pada setiap variasi konsentrasi polutan yang digunakan. Sebagai nutrisi untuk
tumbuhan enceng gondok, pupuk NPK yang digunakan sebanyak 1,06 mg/L.

Hasil laju remediasi o-klorofenol oleh eceng gondok dengan


perbedaan penambahan nutrisi pada berbagai konsentrasi awal dengan tidak
adanya penambahan nutrisi pada tabel dan grafik menunjukkan bahwa
perbandingan laju remediasi oklorofenol fenol oleh enceng gondok dengan
menambahkan nutrisi pada media meningkat antara 1,09-1,34 kali lebih cepat
dibandingkan dengan percobaan yang tidak memakai nutrisi untuk kisaran
konsentrasi o-klorofenol 5 - 20 mg/l selama rentang waktu kurang lebih 24
jam.

Hal ini dipengaruhi atas adanya nutrisi berupa adanya penambahan


nitrogen, fosfor dan nutrisi lain. Nitrogen berperan dalam pembentukan sel,
jaringan, dan organ tanaman. Nitrogen juga berfungsi sebagai bahan sintetis
klorofil, protein, dan asam amino serta sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan
vegetatif tanaman). Bersama fosfor, nitrogen digunakan untuk mengatur
pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Fosfor berperan pada pertumbuhan
benih, akar, bunga, dan buah. Dengan membaiknya struktur perakaran maka
daya serap akar akan lebih baik. Bersama dengan kalium, fosfor dipakai
untuk merangsang pembungaan. Sedangkan kalium berperan sebagai
pengatur proses fisiologi tanaman seperti fotosintetis, akumulasi, translokasi,
transportasi karbohidrat, membuka menutupnya stomata, atau mengatur
distribusi air dalam jaringan dan sel. (Reddy, dkk., 1989). Pada penelitian ini
kondisi yang ditunjukkan oleh enceng gondok saat penelitian berlangsung
yaitu tumbuh bunga dan tunas baru pada enceng gondok yang diberi
tambahan nutrisi.

Pada akhir fitoremediasi penurunan konsentrasi o-klorofenol tanpa


dan dengan penambahan nutrisi pada konsentrasi awal oklorofenol 5 mg/L
berturut-turut adalah 41,92% dan 54,68%, dan pada konsentrasi awal
oklorofenol 10 mg/L turun sebesar 47,79% dan 59,58%. Sedangkan untuk
konsetrasi awal 15 mg/L adalah sebesar 43,29% dan 56,14% serta 50,00%
dan 54,91% untuk konsentrasi awal 20 mg/L. Dari penelitian ini, diperoleh
data bahwa 500 gram enceng gondok mampu untuk menyerap o-klorofenol
sebesar 2,18-10,98 mg/L (41%-59% dari konsentrasi awal) dengan waktu
kontak yang efektif selama 48 jam.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk
meminimalisasi dan mendetoksifkasi polutan, karena tanaman mempunyai
kemampuan menyerap logam dan mineral yang tinggi atau sebagai
fitoakumulator dan fitochelator. Konsep pemanfaatan tumbuhan dan
mikroorganisme untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi polutan
adalah pengembangan terbaru dalam teknik pengolahan limbah. Salah satu
yang merupakan limbah yaitu orto klorofenol yang merupakan senyawa
kimia beracun dari turunan fenol.

Eceng gondok (Eichornia crassipes solms) mampu menjadi solusi dari


pencemaran lingkungan oleh orto klorofenol. Eceng gondok mampu
menyerap zat organik, zat anorganik serta logam berat yang merupakan bahan
pencemar. Ini dimungkinkan karena pada akar eceng gondok terdapat
mikroorganisme (rhizosfera) yang mampu mengurai senyawa organik,
anorganik bahkan logam berat. Hasil menunjukkan tanaman ini mampu
mentolerir polutan dengan konsentrasi tinggi. Adanya penambahan nutrisi
berupa nitrogen, fosfor dan nutrisi lain juga mampu menumbuhkan bunga dan
tunas baru pada enceng gondok yang mana akan mampu menyerap o-
klorofenol lebih banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiwinata, R.O. 1985. Musuh Dalam Selimut di Rawa Pening. Jakarta:


Kementrian Pertanian.

Aslam, M. M., Hassan, I., Malik, M., Matin, A. 2004. Removal of Copper from
Industrial Effluent by Adsorption with Economical Viable Material
Electron. J. Environ. Agric. Food Chem. Vol 3. No. 2. pp 658-664.

Aulia, N. A., Lawalenna, S., Achmad, Z. 2013. Fitoremediasi PengolahanLimbah


Cair Rumah Tangga Dengan Memanfaatkan Eceng Gondok. Makassar:
Staf Pengajar Jurusan Sipil Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.

Endang, W., Lilik, H., Siti, M. 2008. Rancang Bangun Instalasi Pengolah Limbah
Cair Industri Electroplating. Laporan Pengabdian pada Masyarakat.

EPA . 1980. Introduction to Phytoremediation. Jakarta: UI Press.

Gerbono, A. dan Siregar, A., 2005. Kerajinan Eceng Gondok. Yogyakarta:


Kanisius.

Mangkoedihardjo, S. 2005. Phytotechnology and Ecotoxicologyin Operational


Design for Solid Waste Composting. Jurusan Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya.

Nagarathnamma, R. dan Pratima B. 1998. Decolorization and Detoxification of


Extraction Stage Effluent from Chlorine Bleaching of Kraft Pulp by
Rhizopus oryzae.

Purwaningsih, I.S, Evelyn, Wanda M., dan Yusmanelly. 2008. Laju Uptake Fenol
oleh Enceng Gondok (Eichornia crassipes) pada Proses Fitoremediasi.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia, Teknologi Oleo & Petrokimia
Indonesia. Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau, Pekanbaru. ISSN
1907-0500

Reddy, K. R., Agami, M. dan Tucker, J. C. 1989. Influence of nitrogen supply


rates on growth and nutrient storage by water hyacinth (Eichhornia
crassipes (Mart.) Solms) plants.

Rini, D. S. 2002. Minimasi Limbah Dalam Industri Pulp And Paper. Yogyakarta:
Kanisus.

Sriyana, H. Y. 2006. Kemampuan Eceng Gondok dalam Menurunkan Kadar


Pb(II) dan Cr (VI) Pada Limbah dengan Sistem Air Mengalir dan Sistem
Air Menggenang. Tesis S2 Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Kimia
UGM, Yogyakarta.

Steenis, C. G. G. J. Van. 1975. Flora: Untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: PT.


Pradnya Paramita.

Widyaningsih, T.S. 2007. Penyerapan Logam Cr total dan Cu2+ Dengan Eceng
Gondok Pada Sistem Air Mengalir. Tesis S2, Fakultas Teknik, Jurusan
Teknik Kimia UGM, Yogyakarta.

Wesley, M. Johnson dan John A. Maxwell. 1981. Rock And Mineral Analysis.
Second Edition. New York: Interscience Publication. pp 93-105.

Yola, Holis, dan Ida. 2014. Pemanfaatan Tanaman Eceng-Ecengan


(Ponteridaceae) sebagai Agen Fitoremediasi dalam Pengolahan Limbah
Krom Industri Penyamakan Kulit. Jurnal Farmaka. Vol. 1. No. 1. Hal
27.
Zimmels, Y., Kirzhner, F.A., and Malkovskaja. 2005. Application of Eichhornia
crassipes and Pistia stratiotes for treatment of urban sewage in Israel.
Journal of Environmental Management. No. 81. pp 420-428.

Anda mungkin juga menyukai