Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki karakterisitik geografis serta
struktur dan ekosistemnya yang didominasi oleh lautan dan memiliki
keanekaragaman hayati terbesar di dunia setelah Brazil. Salah satu sumber
daya hayati kelautan yang dimiliki Indonesia adalah rumput laut. Rumput laut
atau seaweed merupakan salah satu jenis tumbuhan tingkat rendah dalam
golongan ganggang yang hidup di air laut (Miyashita et al., 2013). Tanaman
ini tidak bisa dibedakan antara bagian akar, batang, dan daun, sehingga bagian
tumbuhan tersebut disebut thallus (Anggadiredja et al., 2008).
Rumput laut dapat diklasifikasikan kedalam empat kelas, yaitu:
Rhodophyceae (merah), Phaeophyceae (coklat), Cyanophyceae (hijau-biru)
dan Chlorophyceae (hijau) (Agnatovic-Kustrin & Morton 2013; Thomas &
Kim 2013). Ketiga golongan tersebut mempunyai nilai ekonomi yang cukup
tinggi karena dapat menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid
seperti agar, keragenan, dan alginat (Anggadiredja et al., 2008). Salah satu
contoh spesies yang bernilai ekonomis tinggi adalah Eucheuma cottonii.
Penggunaan rumput laut jenis ini semakin meningkat tidak hanya sebatas
untuk industri makanan saja tapi sudah meluas sebagai bahan baku produk
kecantikan, obat-obatan, dan bahan baku untuk kegiatan industri lainnya.
Pengembangan pembudidayaan Eucheuma cottonii dapat dilakukan di
perairan pantai Indonesia, salah satunya di Kabupaten Kupang, NTT. Salah
satu kawasan budidaya rumput laut di Kabupaten Kupang adalah perairan
pesisir pantai Tablolong. Pantai Tablolong merupakan salah satu kawasan
pantai yang memiliki luas lahan potensial untuk budidaya rumput laut sebesar
kurang lebih 300 Ha. Namun, produksi rumput laut di pantai Tablolong belum

1
menunjukan hasil yang maksimal dibandingkan dengan daerah lain di
Kabupaten Kupang (Dinas Perikanan Kupang, 2017). Budidaya rumput laut
di Tablolong menemui kendala atau hambatan sehingga dapat menurunkan
hasil panen. Kendala yang umum dialami oleh pembudidaya di Tablolong,
Kabupaten Kupang antara lain adalah pemahaman pembudidaya tentang
teknik budidaya yang benar masih kurang. Selain itu, penanganan hama
rumput laut yang kadang tidak tepat sehingga hama dapat menyebar dan
menyerang seluruh areal produksi penyakit ice-ice, cuaca, perubahan atau
penurunan kualitas lingkungan budidaya, serta kualitas SDM yang rendah.
Pembudidaya rumput laut di Tablolong sampai saat ini masih belum banyak
mengetahui dan memahami metode dan teknologi budidaya rumput laut yang
baik secara efisien dan efektif dalam pengembangan budidaya rumput laut.
Bertolak dari permasalahan di atas, maka penulis tertarik melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh Kedalaman Tanam Terhadap
Pertumbuhan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) yang ditanam dengan
Metode Tali Panjang (Longline Method) di Pantai Tablolong, Kabupaten
Kupang”.

1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok
permasalahan penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh kedalaman tanam terhadap pertumbuhan rumput laut
Eucheuma cottonii yang ditanam dengan metode tali panjang (longline
method) di pantai Tablolong kabupaten Kupang?
2. Berapakah kedalaman tanam terbaik terhadap pertumbuhan rumput laut
Eucheuma cottonii yang ditanam dengan metode tali panjang (longline
method) di di pantai Tablolong kabupaten Kupang ?

2
3. Bagaimana parameter lingkungan yang mendukung pertumbuhan rumput
laut Eucheuma cottonii yang ditanam dengan metode tali panjang
(longline method) di pantai Tablolong kabupaten Kupang ?

1. 3 Tujuan
Tujuan penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengaruh kedalaman tanam terhadap pertumbuhan
rumput laut Eucheuma cottonii yang ditanam dengan metode tali panjang
(longline method) di pantai Tablolong kabupaten Kupang
2. Untuk mengetahui kedalaman tanam terbaik terhadap pertumbuhan
rumput laut Eucheuma cottonii yang ditanam dengan metode tali panjang
(longline method) di pantai Tablolong kabupaten Kupang
3. Untuk mengetahui parameter lingkungan yang mendukung pertumbuhan
rumput laut Eucheuma cottonii yang ditanam dengan metode tali panjang
(longline method) di pantai Tablolong kabupaten Kupang.

1. 4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat terutama bagi pembudidaya
rumput laut di Pantai Tablolong tentang penanaman rumput laut pada
kedalaman yang berbeda dapat menghasilkan pertumbuhan dan produksi
yang tinggi.
2. Sebagai upaya peningkatan pendapatan bagi petani pembudidaya rumput
laut
3. Sebagai bahan untuk mengembangkan mata kuliah, khususnya biologi laut
4. Sebagai data awal bagi peneliti selanjutnya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 URAIAN MATERI
A. Sejarah Pemanfaatan Rumput Laut
Istilah “rumput laut” sudah lazim dikenal dalam dunia perdagangan.
Istilah ini merupakan terjemahan dari kat “seaweed” (bahasa inggris).
Pemberian nama terhadap alga laut benthik ini sebenarnya kurang tepat,
karena bila ditinjau secara botanis, tumbuhan ini tidak tergolong rumput
(graminae), tetapi lebih tepat bila kita menggunakan istilah “alga laut
benthik”, atau “alga benthik” saja (Aslan M, 1998).
Kajian terhadap tanaman rumput laut ini dibahas dalam disiplin ilmu
yang disebut Algology (algor = dingin ; logos = ilmu) atau Phycology, yaitu
ilmu yang mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan alga (Aslan M,
1998).
Rumput laut sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia, yaitu
sejak zaman kekaisaran Shen Nung sekitar tahun 2700 sebelum Masehi. Pada
masa itu masyarakat di Timur telah memanfaatkannya sebagai bahan obat-
obatan (medicement) dan sebagai bahan makanan (viktuals). Pada masa
kekaisaran Romawi tahun 65 sebelum Masehi, Fucus telah dikenal sebagai
bahan untuk alat-alat kecantikan. Rumput laut digunakan sebagai pupuk sejak
abad ke-4 kemudian digunakan secara besar-besaran setelah abad ke-12 oleh
Perancis, Irlandia, dan Skotlandia. Secara ekonomis, rumput laut baru
dimanfaatkan sekitar tahun 1670 di Cina dan Jepang. Sejak memasuki abad
ke-17 beberapa Negara seperti Perancis (era raja Louis XIV), Normandia dan
Inggris telah mulai memanfaatkan panenan rumput laut terutama untuk
pembuatan gelas. Kegunaan rumput laut yang beraneka macam, pada masa-
masa tersebut telah menarik para ahli untuk melakukan penelitian-penelitian
selanjutnya yang terus berkembang hingga sekarang (Aslan M, 1998).

4
Kini, apa yang tejadi di Negara kita, khususnya dalam kaitan dengan
perkembangan pemanfaatannya? Pada tahun 1292, ketika orang-orang Eropa
pertama kali melayari perairan Indonesia, mereka mencatat bahwa penduduk
yang mendiami pulau-pulau di nusantara telah mengumpulkan alga laut sejak
berabad-abad lamanya untuk sayuran, namun penggunaanya masih sedikit dan
biasanya hanya terbatas kepada keluarga nelayan saja. Ada sekitar 555 jenis
rumput laut di Indonesia, lebih dari 21 jenis di antaranya berguna dan
dimanfaatkan sebagai makanan serta memiliki nilai ekonomis sebagai
komoditas perdagangan. Jenis-jenis ini adalah kelompok penghasil agar-agar
(Gracillaria sp., Gelidium sp., Gelidiella sp., dan Gelidiopsis sp.) serta
kelompok Carrageenan (Eucheuma spinosum dan Hypnea sp.) (Aslan M,
1998).
Rumput laut dari Indonesia telah diekspor ke Cina lebih dari satu abad
yang silam. Sebelum perang dunia ke-2 rumput laut diekspor ke Cina dan
Jepang rata-rata 1.000 ton/tahun. Apabila sebelum perang dunia ke-2
komoditas dari jenis Gracillaria merupakan jenis utama yang diekspor, maka
akhir-akhir ini Eucheuma merupakan jenis yang banyak dicari, karena
industri-industri makanan, obat-obatan dan kosmetika di dunia banyak
memerlukan zat carrageenan yang terdapat di dalam Eucheuma sebagai
bahan campuran (additives) (Aslan M, 1998).

B. Biologi Rumput Laut


Nama rumput laut digunakan untuk menyebut tumbuhan rumput
lautyang hidup didasar perairan (fitobentos), berukuran besar (makroalga),
dan tergolong dalam Thallophyta. Istilah rumput laut sudah begitu popular,
baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia perdagangan.
Sebenarnya istilah rumput yang merupakan terjemahan dari kata sea weed
tidaklah tepat. Secara botanis, rumput laut tidak termasuk golongan rumput-
rumputan (Graminae), namun nama rumput laut sudah begitu popular. Istilah

5
rumput laut adalah terjemahan dari kata sea grass, yang ditujukan untuk
tumbuhan lamun atau yar. Sementara itu, lamun bukanlah golongan rumput
dan alga, melainkan tumbuhan akuatikyang berbunga (Angiospermae) (M.
Ghufran, 2013).
Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut tumbuhan ini adalah
“Ganggang laut”. Kenyataannya, istilah “ganggang” lebih popular untuk
menyebut beberapa jenis umbuhan air tawar, misalnya hyrdilla (Hydrilla
verticillata). Ada pula istilah “agar-agar” yang dikaitkan dengan kandungan
kimia beberapa jenis alga laut yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan
agar-agar, seperti Gracilaria sp. dan Gelidium sp.
Istilah yang tepat untuk menyebut tumbuhan laut yang popular sebagai
rumput laut ini adalah “alga laut”. Alga bukanlah istilah taksonomik yang
resmi, melainkan nama umum bagi sejumlah organism berklorofil, namun
agak sederhana. Alga laut atau rumput laut tergolong dalam divisi
Thallophyta. Sifat khas divisi ini adalah primitive, artinya badannya sedikit
atau tidak terbagi- bagi dalam alat vegetative seperti akar yang sebenarnya,
ranting atau cabang, dan daun (M. Ghufran, 2013).
Thallophyta (tumbuh-tumbuhan bertalus) terdiri atas 4 kelas, yaitu alga
hijau (Chlorophyceae), alga cokelat (Phaeophyceae), alga merah
(Rhodophyceae), dan alga hijau biru (Myxophyceae). Dari 4 kelas alga
tersebut, hanya 3 kelas yang merupakan golongan alga atau rumput laut
ekonomis, yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga cokelat (Phaeophyceae), dan
alga merah (Rhodophyceae). Jumlah alga laut atau rumput laut yang
bermanfaat dan bernilai ekonomis mencapai 61 jenis dari 27 marga rumput
laut yang sudah biasa dijadikan makanan oleh masyarakat pesisir, serta 21
jenis dari 12 marga yang digunakan sebagai obat tradisional.
a. Alga merah
Alga merah (Rhodophyceae) atau rumput laut merah merupakan kelas
dengan spesies atau jenisyang paling banyak dimanfaatkan dan bernilai

6
ekonomis. Tumbuhan ini hidup di dasar perairanlaut sebagai fitobentos
dengan menancapkan atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur, pasir,
karang hidup, karang mati, cangkang moluska, batu vulkanik, atau kayu.
Kedalamannya mulai dari garis pasang surut terendah sampai sekitar 40
meter. Di laut Mediteranian, dijumapi alga merah pada kedalaman 130
meter.
Habitat (tempat hidup) umum alga merah adalah terumbu karang.
Karena habitat umumnya pada terumbu karang maka sebaran jenis rumput
laut tersebut mengikuti pula sebaran terumbu karang. Untuk kehidupan
terumbu karang, diperlukan kejernihan perairan yang jernih, bebas dari
sedimentasi dan salinitas yang tinggi, yaitu 30 ppt (part pr thousand) atau
lebih. Perairan Indonesia semakin ke timur semakin tinggi kecerahan dan
salinitasnya. Oleh karena itu, struktur dan kondisi terumbu karangnya
semakin baik dan menyebabkan keanekaragaman rumput laut semakin
tinggi. Alga merah yang tumbuh secara alami dan menempati habitat-
habitat tersebut sebanyak 48,50 % (Mubarak, et al., 1990).
Daur hidup beberapa jenis alga merah sangat majemuk. Pada bentuk-
bentuk yang lebih tinggi tingkatannya, terjadi pergantian generasi secara
morfologik yang teratur. Dalam hal ini, dapat saja sporofit dan gametofit
kelihatan dari luar sama. Salah satu sifat yang menarik dari
perkembangbiakan alga merah ini adalah sama sekali tidak ada spora atau
gamet berenang yang berbulu getar atau bercambuk. Ini menyimpang dari
kebiasaan yang diikuti oleh perkembangbiakan jasad hidup yang terjadi
dalam air. Hal ini membuat penyebaran dan pertemuan intim antara sel-sel
perkembangbiakan tergantung pada arus dan karenanya semuanya
tergantung pada faktor kesempatan atau keberuntungan (Romimohtarto
dan Juwana, 2001) (dalam M. Ghufran H. Kordi K. 2013).
Di Indonesia, alga merah terdiri dari 17 marga dan 34 jenis. Di
samping itu, 31 jenis di antaranya telah dimanfaatkan dan bernilai

7
ekonomis. Tidak semua jenis yang dimanfaatkan tersebut dapat
dibudidayakan dan bernilai ekonomis tinggi. Berdasarkan hasil
identifikasi terhadap jenis- jenis rumput laut merah yang tersebar di
berbagai perairan Indonesia, ditemukan sekitar 23 jenis, yang dapat
dibudidayakan, yaitu marga Eucheuma 6 jenis, marga Gelidium 3 jenis,
marga Gracilaria 10 jenis, dan marga Hypne 4 jenis (TABEL 4.3).

Jenis rumput laut di Indonesia yang mempunyai nilai ekonomis


penting adalah dari kelas alga merah (Rhodophyceae) yang mengandung
keraginan dan agar-agar. Alga yang mengandung keraginan (karaginofit)
berasal dari marga Eucheuma dan Hypnea,sedangkan yang menganung
agar-agar (agarofit) berasal dari marga Gracilaria dan Gelidium.

Gambar. 1. Rumput laut Eucheuma cottoni (Kordi, 2013)

8
Marga Eucheuma memerlukan lingkungan hidup berupa substrat yang
tidak lunak, tetapi tidak terlalu keras (seperti pasir dan pecahan karang),
serta memerlukan gerakan air sedang dan salinitas anatar 29-34 ppt.
Gerakan air yang kuat dapat menyebabkan kematian. Marga Gracilaria
hidup pada kondisi lingkungan yang lebih lebar daripada Eucheuma.
Selain di daerah terumbu karang, marga Gracilaria juga ditemukan di
daerah estuarin. Gracilaria hidup menempel pada karang, lumpur, kulit
kerang, dan pasir di lingkungan yang airnya stagnan hingga gerakan air
yang sedang. Salinitas perairan yang cocok untuk marga ini antara 15-34
ppt. Oleh karena itu, Gracilaria dapat dibudidayakan di laut dan di
tambak. Marga Gelidium memerlukan kondisi lingkungan yang
kisarannya sempit. Marga ini membutuhkan gerakan air yang sangat kuat
dan menempel pada substrat yang keras. Biasanya banyak ditemukan di
pantai Samudera Hindia (Mubarak, et al., 1998) (dalam M. Ghufran H.
Kordi K. 2013).
b. Alga Hijau
Di Indonesia, terdapat sekitar 12 marga alga hijau atau rumput laut
hijau (Chlorophyceae). Sekitar 14 jenis telah dimanfaatkan, baik sebagai
bahan konsumsi maupun untuk obat. Alga hijau ditemukan hingga pada
kedalaman 10 meter atau lebih di daerah yang terdapat penyinaran yang
cukup. Jenis-jenis dari rumput laut ini tumbuh melekat pada substrat,
seperti batu, batu karang mati, cangkang moluska, dan ada pula yang
tumbuh di atas pasir. Sesuai dengan namanya, kelompok alga ini berwarna
hijau. Beberapa alga hijau, terutama dari marga Halimeda menghasilkan
kerak kapur (CaCO3) dan menjadi salah satu penyumbang endapan kapur
di laut. Jenis Halimeda tuna terdiri dari rantai bercabang dari potongan
tipis berbentuk kipas. Potongan-potongan ini berkapur, garis tengahnya
masing-masing 2 cm. Yang terbesar dihubungkan satu dan lainnya oleh
sendi-sendi tak berkapur.

9
Kelas Chlorophyceae dapat melakukan perkembangbiakan secara
seksual dan aseksual. Cara berkembangbiak secara seksual, mula-mula
suatu sel dari tumbuh-tumbuhan yang pipih dan berlapis dua membentuk
sel kelamin disebut gamet berbulu getar dua. Setelah gamet ini lepas ke
dalam air, mereka bersatu berpasangan dan melalui pembelahan sel
berkembang menjadi tumbuh-tumbuhan baru yang dikenal sebagai
sporofit (sporophyte), tetapi biasanya melalui fase benang dulu. Secara
aseksual, setiap sel biasa dari tumbuh-tumbuhan sporofit dapat
membentuk zoospora berbulu getar empat (4). Zoospora setelah dilepas
tumbuh langsung menjadi gametofit (gametophyte), yakni tumbuh-
tumbuhan yang menghasilkan gamet. Prosesnya dikenal sebagai
pergantian generasi dan terkait dengan ini adalah perubahan sitologi yang
penting. Perkembangbiakan secara aseksual dapat pula terjadi dengan
fragmentasi yang membentuk tumbuh-tumbuhan tak melekat
(Romimohtarto dan Juwana, 2001) (dalam M. Ghufran H. Kordi K. 2013).
c. Alga Cokelat
Di perairan Indonesia, kelas alga cokelat atau rumput laut cokelat
(Phaeophyceae) ada sekitar 8 marga dan 6 jenis, di antaranya telah
dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia untuk konsumsi langsung dan
obat. Kelompok alga laut atau rumput laut penghasil algin (alginofit)
berasal dari kelas ini, terutama jenis Sargassum sp., Cystoseira sp., dan
Turbinaria sp.. Marga Sargassum termasuk tumbuhan kosmopolitan yang
hidup pada rataan terumbu karang sampai daerah tubir. Pada terumbu,
alga ini tumbuh dengan baik melekat pada substrat keras.
Alga cokelat merupakan alga yang berukuran besar, bahkan ada yang
membentuk padang alga di laut lepas. Tumbuhan ini membentuk hutan
lebat. Di antara daun dan tangkainya yang melambai-lambai di dalam dan
di permukaan laut, hidup beribu-ribu ikan neritik yang mendapatkan

10
makanan dari alga ini dan menjadikan hutan alga ini sebagai tempat
berlindung dari musuh-musuhnya.
Kelas ini berkembangbiak dengan cara pergantian generasi. Seperti
pada jenis Nereocystis, tumbuh-tumbuhan sporofit yang besar
menghasilkan satu seri sori atau fruiting areas yang tampak sebagai
bercak cokelat kehitam-hitaman, memanjang di sepanjang seluruh
daun.bercak ini terlepas pada saat tumbuh-tumbuhan matang
meninggalkan celah lebar (3-10 cm) pada daun. Dari sori yang matang,
keluarlah zoospora berbulu getar yang tak terbilang jumlahnya dan jika
mencapai substrat yang cocok akan tumbuh menjadi tumbuh-tumbuhan
berbentuk benang yang kecil, yang merupakan fase gametofit yang tak
kelihatan nyata. Jadi, alih generasi sepeti ini adalah heteromorfik
(heteromorphic). Beberapa alga cokelat menunjukan alih generasi yang
isomorfik. Penting untuk dicatat bahwa suatu konservasi zoospora
mungkin dapat dilakukan oleh Nereocystis, yakni dengan kebiasaannya
menyebarkan sorus matang yang lengkap, yang ketika tenggelam di dasar
padang alga memungkinkan menemukan substrat yang cocok.
Dalam kelompok alga cokelat, seperti Fucus dan Sargassum, tumbuh-
tumbuhan utamanya adalah sporofit. Di dalam ribuan konseptakel
(conceptacle) berbentuk cawan yang sangat kecil yang membentuk
kantung-kantung udara (bladders), gamet terbentuk seperti spora. Spora-
spora ini bersatu setelah disebarkan bebas ke air. Jadi, pergantian generasi
hanya nyata secara sitologi (Romimohtarto dan Juwana, 2001).

C. Rumput Laut Eucheuma cottonii


Rumput laut atau algae merupakan tumbuhan laut yang tidak dapat
dibedakan antara akar, daun, dan batang, sehingga seluruh tubuhnya disebut
thallus. Berdasarkan kandungan pigmen yang terdapat dalam thallus, rumput
laut terdiri atas Chlorophyceae (Alga Hijau), Rhodophyceae (Alga merah),

11
dan Phaeophyceae (Alga coklat) (Soenardjo, 2011). Ketiga golongan rumput
laut ini yang sering dimanfaatkan adalah Rhodophyceae (alga merah) dan
yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia seperti spesies Eucheuma
(Saputra, 2012). Eucheuma merupakan rumput laut makroskopik, terdapat
dua jenis Eucheuma yang cukup komersial yaitu Eucheuma spinosum
(Eucheuma denticulatum), merupakan penghasil iota karaginan dan
Eucheuma cottonii (Kapaphycus alvarezzii) sebagai penghasil kappa
karaginan (Anggadiredja, 2004).
Rumput laut Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut
merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii
karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa karaginan.
Eucheuma cottonii selain memiliki daya tahan terhadap penyakit, juga
mengandung karaginan kelompok kappa karaginan dengan kandungan yang
relatif tinggi, yakni sekitar 50 % atas dasar berat kering (Rizal dkk., 2016).
Eucheuma cottonii atau alga merah merupakan kelompok alga yang
memiliki berbagai bentuk dan variasi warna. Salah satu indikasi dari alga
merah adalah terjadi perubahan warna dari warna aslinya menjadi ungu atau
merah apabila alga tersebut terkena panas atau sinar matahari secara
langsung.

Gambar. 2. Rumput laut Eucheuma cottonii basah (a) dan kering (b)
(Ariyanto, 2016).

Menurut Ega dkk. (2016) rumput laut Eucheuma cottonii memiliki ciri-
ciri seperti keadaan warna selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau

12
kuning, abu-abu, atau merah sering terjadi hanya karena faktor lingkungan.
Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu
(reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut.
Kondisi perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma
cottonii yaitu perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang yang
besar, kedalaman perairan 7,65–9,72 m, salinitas 33–35 ppt, suhu air laut 28–
O
30 C, kecerahan 2,5–5,25 m, pH 6,5–7, dan kecepatan arus 22–48 cm/detik
(Wiratmaja dkk., 2011). Menurut Anggadiredja dkk. (2008) klasifikasi
rumput laut Eucheuma Cottonii adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Kelas : Gigartinales
Ordo : Gigartinales
Familiy : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii
Rumput laut Eucheuma cottonii beberapa ciri fisik yaitu thallus
silindris, permukaan licin, cartilogineus (lunak seperti tulang rawan), warna
hijau, hijau kuning, dan merah. Penampakan thallus bervariasi mulai dari
bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing
memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus
(Atmadja, 1996). Percabangan thallus berujung runcing atau tumpul,
ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan) dan duri lunak/tumpul untuk
melindungi gametangia. Percabangan bersifat dichotomus (percabangan dua-
dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga). Habitat rumput laut
Eucheuma cottonii memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis
dalam pertumbuhan cabang yang saling melekat ke substrat dengan alat
perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh berbentuk

13
rumpun yang rimbun dengan ciri-ciri khusus mengarah ke arah datangnya
sinar matahari (Anggadireja dkk., 2008).

Rumput laut memiliki kandungan karbohidrat, protein, sedikit lemak,


dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium.
Selain itu, rumput laut juga mengandung vitamin-vitamin (A, B-1, B2, B6,
B12, dan C), betakaroten, serta mineral (kalium, kalium fosfor, natrium, zat
besi, dan yodium). Beberapa jenis rumput laut mengandung lebih banyak
vitamin dan mineral penting, seperti kalsium dan zat besi bila dibandingkan
dengan sayuran dan buah- buahan. Beberapa jenis rumput laut juga
mengandung protein yang cukup tinggi, zat-zat tersebut sangat baik untuk
dikonsumsi sehari-hari karena mempunyai fungsi dan peran penting
untuk menjaga dan mengatur metabolisme tubuh manusia (Saputra, 2012).

D. Budi Daya Rumput Laut


Budi daya rumput laut dapat dilakukan di laut dan di tambak. Lahan di
daerah pasang-surut untuk budi daya rumput laut diperkirakan mencapai 1,1
juta ha. Dengan produktivitas rata-rata sebesar 16 ton rumput laut
kering/ha/tahun, dapat diproduksi 17,7 juta ton rumput laut kering/tahun.
Untuk budi daya tambak, diperkirakan luas lahan di Indonesia mencapai
1,2 juta ha. Sejauh ini, baru dimanfaatkan untuk tambak undang (Penaeus
monodon, P. indicus, Litopenaeus vannamei), bandeng (Chano chanos),
kakap putih (Lates calcalifer), kerapu (Epinephelus suillus, E. fuscoguttatus),
dan nila (Oreochromis nilotica), sedangkan rumput laut baru mencapai kurang
lebih 400.000 ha. Dengan demikian masih tersedia lahan untuk tambak yang
cukup luas, baik untuk budi daya udang, ikan, rumput laut, maupun komoditas
lainnya.
Budi daya rumput laut di tambak memiliki beberapa keunggulan, antara
lain :

14
1. Secara morfologis, talus rumput laut lebih panjang dan percabangannya
lebih banyak pada metode tebar dasar yang bermuara kepada pertumbuhan
yang lebih cepat. Hal ini karena metode tebar dasar mempunyai
kesempatan untuk mendapat nutrien dari air dan tanah dasar tambak
(Utojo, 2000).
2. Budi daya rumput laut di tambak dapat dilakukan secara monokultur dan
polikultur. Menurut Utojo, et al., (1998), penanaman rumput laut
Gracilaria verucosa dengan metode tebar di dasar tambak merupakan
metode yang terbaik pengaruhnya terhadap produksi bandeng dan udang
windu.
3. Masa pemeliharaan cukup pendek, yaitu 6-8 minggu dengan produksi
antara 1.500-2.000 kg/ha rumput laut kering (Mubarak, et al,. 1990).
4. Budi daya rumput laut di tambak lebih aman dari gangguan pemangsa,
seperti ikan beronang (Siganus sp.), dan penyu (Eretmochelys,
Dermochelys), bulu babi (Diadema sp.), dan lain-lain. Demikian pula
gangguan alam, seperti arus, angin, dan gelombang.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam budi daya rumput laut,
antara lain :

1. Lokasi budi daya


Budi daya rumput laut dapat dilakukan di laut dan di tambak. Agar
pertumbuhan rumput laut optimal maka lokasi yang dipilih harus sesuai
dengan biologi rumput.
a. Untuk budi daya rumput laut di laut, lokasi yang dipilih harus bebas
dari pengaruh angin topan.
b. Untuk budi daya genus Eucheuma, lokasi yang dipilih harus jauh dari
pengaruh daratan. Lokasi yang langsung menghadap laut lepas
sebaiknya terdapat karang penghalang yang berfungsi melindungi
tanaman dari kerusakan akibat ombak dan arus yang kuat.

15
c. Bila mengguanakan metode budi daya lepas dasar, dasar lokasi budi
daya agak keras berupa patahan karang atau campuran patahan karang
dan pasir.
d. Agar rumput laut cukup mendapatkan pasokan oksigen (O2), lokasi
yang dipilih cukup terjadi pergerakan air. Gerakan air selain akan
menghasilkan oksigen, juga membawa pasokan unsur hara bagi
tanaman.
e. Lokasi sebaiknya masih digenangi air 30-60 cm pada waktu surut.
Genangan air ini menguntungkan karena tanaman akan tumbuh lebih
cepat, penyerapan makanan oleh tanaman terus berlangsung, dan
menghindarkan tanaman rumput laut dari sinar matahari.
f. Kualitas air yang cocok rumput laut Eucheuma adalah salinitas 29-34
ppt, suhu 20-300 C, oksigen minimal 4 ppm, dan pH 7,2-8,7.
g. Untuk budi daya Gracilaria di tambak, dapat dilakukan pada tambak
baru atau tambak bekas budi daya ikan dan udang. Dasar tambak
berupa lumpur berpasir.
h. Kisaran pasang surut air laut untuk pembuatan (pembangunan) tambak
baru adalah 1,7-2,5 meter.
i. Sebaiknya dipilih lokasi yang mempunyai elevasi tertentu agar
memudahkan pengelolaan air sehingga tambak cukup mendapatkan air
pada saat terjadi pasang harian dan dapat dikeringkan pada saat surut
harian.
j. Tekstur tanah yang dipilih untuk tambak harus kedap air (tidak
porous), misalnya lempung berpasir dan liat, lempung liat (clay loam),
lempung berpasir (sandy loam), dan lempung berlumpur (silty loam).
Di antara keempat jenis tanah tersebut, lempung berlumpur (silty
loam) memiliki kualitas yang paling baik karena sangat subur, kedap
air, dan sangat baik dibuat pematang.

16
k. Tanah yang baik untuk tambak adalah tanah yang netral atau basa. pH
taanah yang rendah akan menghasilkan pH air yang rendah pula.
Tanah dengan pH netral sampai basa kaya akan garam nutrien yang
dapat merangsang pertumbuhan pakan alami. Pakan alami dapat
tumbuh dengan baik pada tanah yang mempunyai pH 6,6-8,5. Untuk
meningkatkan pH tanah, perlu dilakukan pengapuran. Fungsi
pengapuran, antara lain :
a.) Meningkatkan pH tanah dan air
b.) Membakar jasad-jasad renik penyebab penyakit dan membunuh
hewan liar
c.) Mengikat dan mengendapkan butiran lumpur halus
d.) Memperbaiki kualitas tanah
e.) Kapur yang berlebihan mengikat fosfat yang sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan plankton.
l. Kualitas air untuk budi daya Gracilaria adalah salinitas 15-34 ppt,
suhu 20-300 C, oksigen minimal 4 ppm, pH air 6-9 dan optimum antara
7,3-8,7, kadar ammonia maksimal 0,1 ppm, dan total bakteri 3.000
sel/m3.
2. Benih rumput laut
Benih rumput laut dapat berasal dari stok alam atau hasil dari
pembudidayaan. Keunggulan penggunaan benih yang langsung diambil
dari alam adalah muda dan murah pengadaannya, serta cocok dengan
persyaratan pertumbuhan secara alami. Kekurangannnya adalah benih
sering tercampur dengan jenis rumput laut lain. Oleh karena itu,
dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk dapat memilih benih
yang benar-benar menjadi tujuan budi daya. Benih yang berasal dari budi
daya lebih murni karena hanya terdiri dari satu jenis rumput laut, tetapi
bermasalah dalam hal mendatangkannya.

17
Pengadaan benih rumput laut dapat dilakukan secara vegetatif dan
generatif. Pengadaan benih secara vegetatif dilakukan dengan mengambil
ujung-ujung tanaman sepanjang 10-20 cm dan digunakan sebagai bibit.
Hendaknya dipilih tanaman yang sehat pada bagian ujungnya karena
bagian ini terdiri dari sel dan jaringan muda sehingga akan memberikan
pertumbuhan ysng optimal.
Pembiakan vegetatif pada rumput laut dapat juga dilakukan melalui
kultur jaringan secara in vitro (kultur di dalam gelas). Kultur jaringan
adalah salah satu cara menghasilkan benih unggul, perbaikan sifat genetik
tanaman, dan bebas virus. Cara ini dipandang cepat dan efektif dalam
usaha karena tanpa memerlukan lahan untuk pembibitan. Hasil aplikasi
benih rumput laut dari hasil kultur jaringan menunjukan bahwa benih yang
berasal dari kultur jaringan mempunyai laju pertumbuhan rata-rata 6,95 %,
sedangkan benih alam hanya mencapai rata-rata 5,74%.
Pembiakan secara generatif yaitu, memanfaatkan sifat reproduksi
generatif tanaman. Mula-mula dipilih tanaman dewasa yang sehat dan
segar. Tanamanan ini ditempatkan di dalam bak yang berisi air laut, kulit
kerang, karang mati, atau benda padat lain yang dapat berfungsi sebagai
substrat. Dari tanaman akan keluar spora, yang selanjutnya menempel
pada substrat. Setelah spora menjadi tanaman kecil, substrat harus
dipindahkan ke lokasi budi daya.
Pemilihan benih harus dilakukan dengan cermat untuk menghasilkan
benih yang bermutu. Benih yang dipilih harus muda, bersih, dan segar
agar memberikan pertumbuhan yang baik. Benih yang baik berasal dari
tanaman induk yang sehat, bersih, dan segar, serta tidak bercampur dengan
jenis lain. Tanaman induk yang sehat dipilih dari hasil budi daya bukan
dari stok alam.
Bila di sekitar lokasi budi daya tidak terdapat benih maka pengadaan
benih memerlukan perlakuan yang baik agar benih tetap sehat dan segar

18
ketika tiba di lokasi budi daya. Pada lokasi budidaya yang dekat dengan
sumber benih, pengadaan benih cukupa menggunakan perahu sampan.
Benih disimpan di dasar perahu dan ditutup agar selama perjalanan benih
tetap basa atau lembab dan mendapat sirkulasi udara. Benih juga harus
terhindar dari air tawar atau hujan, panas matahari langsung, minyak, dan
kotoran-kotoran lain.
Bila lokasi budi daya jauh dari sumber benih maka pengangkutan
benih dilakukan dengan cara pengepakan. Benih rumput laut disusun
dalam kantong plastik secara berselang-seling, dengan spora, kain, atau
kapas yang telah dibasahi air laut. Agar benih tidak rusak dan patah,
penyusunan benih tidak dipadatkan. Kantong plastik yang sudah penuh
diikat pada bagian atasnya dan buat lubang pada bagian ini dengan cara
memasuk-masukan jarum. Masukan plastik ke dalam kotak karton dan
siap diangkat.
Setelah sampai di lokasi budi daya, benih rumput laut segera dibuka
dari pengepakan dan direndam dalam air laut yang ada di pantai atau di
dalam tambak (tempat penyimpanan benih). Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga agar benih rumput tetap segar dan tidak rusak, serta untuk
penyesuaian atau adaptasi pada lingkungan perairan baru di mana benih
akan di budidayakan.
Setelah dilakukan perendaman 1-2 hari, barulah dapat dilakukan
pemilihan benih yang masih baik untuk dibudidayakan. Benih yang baik
tampak bersih dan segar, sebagaimana keadaan waktu dilakukan
pengambilan atau sebelum pengangkutan. Benih rumput laut pilihan siap
dibudidayakan.
3. Budi daya rumput laut
Budi daya rumput laut cukup mudah dan murah. Teknik budi daya
rumput laut dapat dilakukan dengan metode lepas dasar, rakit, tali
gantung, tali panjang, dan tambak.

19
a. Metode lepas dasar
Budi daya rumput laut metode lepas dasar diterapkan untuk jenis
Eucheuma sp. Lokasi dengan dasar perairan berpasir atau campuran
pasir dan patahan karang, serta kedalaman 30-60 cm pada waktu surut
sangat baik untuk penerapan metode ini. Keunggulan metode ini
adalah pertumbuhan rumput laut antara 3-6% per hari dan kandungan
keraginan dan kekuatan elnya lebih tinggi dari metode lain.
Bahan yang dibutuhkan berupa bamboo atau kayu sepanjang 1 m,
tali ris berdiameter 4 mm, tali ris utama berdiameter 8 mm, dan tali
rafia. Alat-alat yang digunakan dalam bekerja misalnya palu, gunting,
gergaji, dan lain-lain. Langkah selanjutnya adalah penanaman rumput
laut yang dimulai dengan menyiapkan bibit berupa talus seberat sekitar
100 gr yang diikatka pada tali ris sepanjang 3-4 meter dengan tali
rafia. Jarak masing-masing ikatan 20 cm hingga mengisi tali ris 2,5 –
3,5 m. Sisa tali ris digunakan sebagai ikatan tali ris pada tali ris utama.
Pengerjaan ini dilakukan di darat.
Sementara itu, di lokasi budi daya yang telah ditentukan,
ditancapkan baris patok dari bambu/kayu sedalam 0,5 m. Jarak tiap
patok dalam barisan antara 0,5-1 meter dan jarak setiap baris adalah
2,5 meter. Patok-patok yang terdapat dalam satu barisan dihubungkan
denga tali ris utama. Elanjutnya, tali ris yang berisi bibit rumput laut
direntangkan di lokasi budi daya, kemudian diikatkan pada tali tali ris
utama.
b. Metode rakit
Metode rakit cocok untuk lokasi dengan kedalaman waktu surut
lebih dari 60 cm. Cara ini diterapkan bila di lokasi tidak memenuhi
syarat untuk penerapan metode lepas dasar. Ukuran rakit yang baik
adalah 2 x 4 m atau 2 x5 m. Ukuran rakit yang terlalu besar dapat
menyulitkan pengelolaan. Bahan-bahan yang diperlukan adalah bambu

20
yang berdiameter 10 cm, potongan kayu panyiku, tali rafia, tali
pengikat, tali ris 4 mm, tali jangkar 12 mm, dan jangkar (batu, semen
cetak, dll.).
Potongan kayu dan bambu dirangkai menjadi rakit, selanjutnya
diberi pemberat/jangkar yang diikat pada rakit. Sementara itu, talus
rumput laut yang masing-masing beratnya sekitar 100 gr diikatkan
pada tali ris dengan jarak 20 cm. Akhirnya, tali ris yang sudah berisi
tali ris rumput laut diikatkan pada rakit dan ditempatkan pada lokasi
yang dipilih.

Gambar. 3. Rakit untuk budi daya rumput laut (Kordi, 2013)

c. Metode tali gantung


Metode tali gantung diterapkan pada perairan dengan kedalaman
sekitar 5 m. dasar perairan berupa pasir atau pasir berlumpur. Bahan-
bahan yang diperlukan adalah bamboo berdiameter 5 cm, tali ris, tali
pengikat, dan pemberat.
Tali ris yang panjangnya disesuaikan denga tinggi konstruksi
direntangkan pada dua potong bambu. Selanjutnya, bambu pertama

21
diletakkan di atas konstruksi yang telah dibuat sebelumnya, sedangkan
bambu yang kedua menggantung di dalam air hampir menyentuh dasar
perairan. Dalam kerangka potongan bambu yang menggantung, ada
rentangan tali ris sekitar 15 utas. Sebelum kerangka digantungkan
pada konstruksi utama, tali ris dipenuhi beberapa potongan talus
rumput laut yang diikat dengan tali rafia berjarak sekitar 30 cm.
d. Metode tali panjang
Metode tali panjang merupakan pengembangan dari metode tali
gantung. Metode tali panjang umumnya diterapkan untuk budi daya
rumput laut Eucheuma pada kedalaman di atas 3 m pada surut
terendah. Dasar perairan yang cocik adalah berpasir atau campuran
patahan karang dan pasir. Metodeini paling mudah diterapkan karena
bahan-bahan yang digunakan adalah tali polietilen sebagai tali ris, tali
rafia untuk mengikat talur rumput laut, pelampung (botol air mineral),
pemberat, dan jangkar.
Benih/talus diikat pada tali ris dengan menggunakan tali rafia yang
berjarak sekitar 30 cm. selanjutnya, diikat pada tali ris utama,
kemudian ditempatkan pada lokasinya dengan cara menggantung.
Untuk mengapungkan, digunakan pelampung dan untuk membuat tali
menggantung digunakan pemberat dari batu/besi secukupnya. Untuk
menahan tali panjang, digunakan jangkar pada tiap-tiap ujungnya.
e. Metode tambak
Budi daya rumput laut dapat dilakukan pada tambak baru atau
tambak lama, termasuk tambak bekas budi daya udang intensif yang
kini banyak terlantar (“tambak parkir”), setelah gagal dalam dalam
budi daya udang windu. Sebelum penebaran benih rumput laut, perlu
dilakukan persiapan yang memadai.
Pada tambak lama atau tambak baru, perlu dilakukan pengolahan
tanah untuk memastikan bahwa tanah tidak lagi menyimpan organism

22
penyakit. Pengolahan tanah dimulai dengan pencangkulan dan
pembalikan tanah dasar tambak sedalam 15-20 cm, perataan kembali,
dan pengeringan. Pengeringan dilakukan selama 4-7 hari. Berdasarkan
pengamatan dan pengujian, dasar tambak sebaiknya dikeringkan
sampaicretak-retak dan tidak melesak lebih dari 1 cm bila diinjak.
a. Monokultur
Tujuh hari setelah pengapuran dan pemupukan, tambak
kemudian dialiri air setinggi 60-70 cm dan dibiarkan selama 3-
4 hari. Benih rumput laut disebarkan secara merat di dalam
tambak dengan padat penebaran 80-100 gram/m2 atau 800-
1.000 kg/ha. Bila dasar tambak cukup keras, benih dapat
ditancapkan seperti penanaman padi. Benih rumput laut dijejer
rapi. Penebaran bibit rumput laut haruss dilakukan pada pagi
atau sore hari ketika cuaca teduh.
Pekerjaan rutin yang dilakukan setelah penebaran adalah
pengontrolan, pergantian air, dan pemupukan susulan.
Pengontrolan dilakukan untuk meratakan tanaman dan
menyingkirkan organism pengganggu, seperti lumut dan siput.
Angin dapat menyebabkan tanaman mengumpul di suatu
tempat di dalam tambak. Tanaman yang mengumpul segera
diratakan. Lumut dan siput juga segera disingkirkan. Lumut
dapat menghalangi sinar matahari yang masuk ke dalam
tambak sehingga menghambat pertumbuhan rumput laut.
Petani rumput laut di Sulawesi Selatan menanggulangi lumut
dengan cara menebar ikan bandeng (Chanos chanos) ukuran
kecil sebanyak 1.500- 2.000 ekor/ha. Setelah lumut habis
dimakan, bandeng segera dijaring agar tidak memangsa rumput
laut.

23
Pergantian air dilakukan setiap 15 hari sekali. Pemupukan
juga dilakukan setiap 15 hari sekali setelah pergantian air.
Pupuk yang digunakan adalah campuran urea, TSP, dan ZA
dengan perbandingan 1: 1: 1sebanyak 20 kg/ha. Setelah lumut
habis dimakan, bandeng segera dijaring agar tidak memangsa
rumput laut.
Pemeliharaan rumput laut di tambak dilakukan 2-2,5 bulan.
Laju pertumbuhan harian rumput laut yang dibudidayakan di
tambak cukup tinggi antara 3,00-5,26 %/hari.
b. Polikultur
Rumput laut dapat di budidayakan secara polikultur dengan
organism lain seperti udang windu (Penaeus monodon), udang
putih (P. indicus, P. merguiensis), udang vannamei
(Litopenaeus vannamei), ikan bandeng (Chano chanos), kerapu
(Epinephelus suillus, E. fuscoguttatus), kakap (Lates
calcalifer), dan nila (Oreochromis nilotica).
Penelitian Utojo, et al. (1993) terhadap polikultur rumput
laut, bandeng dan udang windu megemukakan bahwa selain
pertumbuhan rumput laut lebih cepat, produksi bandeng dan
udang windu relatif lebih tinggi karena rumput laut yang
ditebarkan di dasar tambak dapat berfungsi sebagai pelindung
dan sekaligus merupakan tempat menempelnya organisme
epifit makanan bandeng dan udang.
Bandeng yang dipolikultur dengan rumput laut tidak
memangsa rumput laut jika diberikan pakan buatan. Yang perl
diperhatikan dalam polikultur adalah jenis organisme yang
dipolikultur dengan rumput laut dan padat penebaran.
Sebaiknya rumput laut dipolukultur dengan ikan-ikan yang
relatif tahan pada kualitas air buruk, misalnya bandeng, kakap,

24
dan kerapu. Ikan-ikan herbivore (pemakan tumbuhan), seperti
baronang/samadar/layak (Siganus sp.) tidak cocok dipolikultur
dengan rumput laut karena akan memangsa rumput laut
tersebut.
4. Panen
Tanaman rumput laut dipanen setelah mencapai ukuran berat sekitar
600 g. untuk mencapai ukuran tersebut, dibutuhkan waktu pemeliharaan
selama 1,5-2 bulan. Pemanenan rumput laut yang dibudidayakan di laut
dilakukan dengan mengangkat semua tanaman ke darat, kemudian tali
pengikat rumput laut dipotong.
Pemanenan rumput laut di tambak sangat mudah. Rumput laut
Gracilaria sp. dipanen dengan cara diangkat dengan menggunakan tangan
dan dimasukan ke dalam perahu yang telah disiapkan. Penambak sedang
menyisihkan rumput laut untuk dipelihara lebih lanjut.
Cara penen rumput laut yang diterapkan petani sangat bervariasi. Ada
petani rumput laut yang memanen hasil dengan cara dipetik. Cara ini
dilakukan dengan memisahkan cabang-cabang dari tanaman induknya.
Selanjutnya, tanaman induk ini dipergunakan kembali untuk penanaman
berikutnya. Cara pemanenan yang lain adalah dengan mengangkat seluruh
tanaman rumput laut dari dalam tambak dan penanaman berikutnya dapat
digunakan ujung tanaman yang masih muda. Masing-masing cara
pemanenan tersebut ada keuntungan dan kerugiannya. Cara pertama lebih
muda, tetapi kecepatan tumbuh benih yang berasal dari tanaman induk
lebih rendah dibanding dengan tanaman muda seperti pada cara kedua.
Kelebihan cara kedua, selain kecepatan tumbuh benih lebih tinggi juga
agar-agar yang dikandung lebih tinggi. Hasil panen dapat dikeringkan
dengan cara dijemur dibawah terik matahari, kemudian dijual kepada
pedagang pengumpul atau industri pengolahan.

25
E. Manfaat Rumput Laut
Rumput laut atau alga (sea weed) telah dimanfaatkan oleh penduduk
Indonesia, terutama masyarakat pesisir dan pulau-pulau, sejak berabad-abad
yang lalu. Penduduk mengumpulkan rumput laut untuk dijadikan bahan
pangan dan obat-obatan. Sebagai bahan pangan, rumput laut umumnya dibuat
sebagai lalapan (dimakan mentah), urap (dengan bumbu kelapa parut), acar
atau asinan (dengan bumbu cuka), sayur (dengan atau tanpa santan), dan tumis
(dimasak dengan minyak goreng dan bumbu) serta dibuat agar-agar dan
puding.
Sedangkan sebagai obat, masyarakat pesisir biasa menggunakannya
sebagai obat luar (antiseptic dan pemeliharaan kulit). Cara yang umum
dilakukan adalah merebus rumput laut dan air rebusan inilah yang dipakai.
Cara lainnya adalah dengan menggerus rumput laut sampai menjadi bubuk,
kemudian dipakai sebagai obat.
Saat ini, pemanfaatan rumput telah mengalami kemajuan yang sangat
pesat. Rumput laut tidak lagi sekedar dimakan atau digunakan untuk
pengobatan langsung, tetapi olahan rumput menjadi agar-agar, algin,
keraginan (carrageenan), dan fulselaran (furcellaran) merupakan bahan baku
penting dalam industri makanan, farmasi, kosmetik, dan lain-lain.
a. Pangan
Rumput laut telah menjadi bahan pangan sejak lama, walaupun
pemanfaatannya masih terbatas sebagai konsumsi langsung. Rumput laut
dimakan mentah atau dimasak dengan berbagai variasi. Penggunaan
rumput laut sebagai bahan pangan oleh masyarakat pesisir dan pulau-
pulau masih terbatas sebagai sayur atau lauk.
Saat ini rumput laut menjadi penting tidak hanya sebagai bahan
pangan yang dikonsumsi langsung secara sederhana, tetapi juga menjadi
bahan baku dalam industri pangan. Rumput laut merupakan bahan dasar

26
ratusan produk pangan, baik yang diproduksi rumah tangga maupun
industri makanan skala besar.
Sebagai bahan pangan dan obat-obatan, rumput laut mengandung nilai
gizi yang penting untuk tubuh manusia. Komponen utama gizi rumput laut
terdiri dari karbohidrat, protein, sedikit lemak, dan abu (yang sebagian
besar merupakan senyawa garam natrium dan kalsium) (Tabel 2.2).
beberapa jenis rumput laut juga dilaporkan mengandung vitamin A, B1,
B2, B6, B12, dan C serta mineral seperti kalsium, kalium, fosfor, natrium,
zat besi, dan iodium. Kandungan beberapa unsur mikro pada rumput laut
disajikan pada Tabel 2.1.

Karbohidrat yang terdapat pada rumput laut merupakan vegetable


gum, yaitu karbohidtar yang banyak mengandung selulosa dan
hemiselulosa sehingga tidak dapat dicerna seluruhnya oleh enzim di dalam
tubuh. Dengan demikian, rumput laut dapat menjadi makanan diet dengan
sedikit kalori Karena berkadar serat tinggi dan bermanfaat pula untuk
mencegah penyakit sembelit, wasir, kanker usus besar, dan mencegah
kegemukan.
Kandungan gizi rumput laut yang terpenting justru pada trace element,
khususnya yodium. Kemungkinan alasan inilah yang menyebabkan
mengapa penyakit gondok atau penyakit kekurangan odium jarang

27
dijumpai di Jepang dan Cina, dua Negara yang masyarakatnya paling
banyak mengonsumsi rumput laut.
Berdasarkan analisis terhadap kandungan sembilan jenis rumput laut
dari kelas Rhodophyceae (6 jenis) dan Chlorophyceae (3 jenis)
menunjukan komposisi niai gizi sebagai berikut : karbohidrat 39-51%,
lemak 0,08-1,90%, dan protein 17,20-27,15%. Kadar protein tertinggi
terdapat pada Gelidium amansii 27,15%, diikuti Grateloupia sp. 25,70%
dan Gracilaria verucosa 25,35%. Sedangkan analisis terhadap protein
lima jenis rumput laut (Gelidium amansii, Gracilaria verucosa,
Grateloupia filicina, Ulva lactuca, dan Enteromorpha sp.) diketahui
memiliki asam amino esensial yang lengkap dan berkualitas baik
(Anggadiredja, 1992). Sedangkan menurut Linawati (1998), selain
mengandung karbohidrat, protein (7-30%) dan sedikit lemak, rumput laut
juga mengandung polisakarida (40-50%).

b. Farmasi
Kandungan gizi rumput laut (Tabel 2.1 dan Tabel 2.2) yang penting
bagi tubuh manusia menyebabkan rumput laut tidak hanya menjadi bahan
pangan yang sekedar dimakan untuk menyenangkan, tetapi penting untuk
pertumbuhan, kesehatan, dan pengobatan manusia. Sudah sejak lama
penduduk di pesisir dan pulau-pulau telah memanfaatkan rumput laut
untuk pengobatan. Rumput laut diguanakan sebagai obat luar (antiseptik
dan perawatan/pemeliharaan kulit). Caranya adalah dengan merebus atau

28
menggerus rumput laut, seperti yang telah disampaikan sebelumya. Saat
ini penggunaan rumput laut pada industri farmasi juga sudah sangat maju.
Selain digunakan dalam pengobatan, rumput laut juga digunakan sebagai
pembungkus kapsul obat biotik, vitamin, dan lain-lain.
Dalam studi etnofarmakologi di beberapa daerah di Indonesia
terungkap 21 jenis dari 12 genus rumput laut bisa dimanfaatkan sebagai
obat. Dua puluh satu jenis rumput laut tersebut terdiri atas 11 jenis dari
tujuh genus dari alga merah (Rhodophyceae), tujuh jenis dari empat genus
alga hijau (Chlorophyceae), dan tiga jenis dari satu genus alga cokelat
(Phaeophyceae). Beberapa jenis rumput laut berkhasiat obat disajikan
pada Tabel 2.3.
c. Kosmetik
Pada zaman sekarang kosmetik tidak sekedar digunakan untuk
kecantikan, tetapi juga untuk kesehatan. Produk kosmetik tidak hanya
untuk mempercantik diri, tetapi juga untuk menjaga kesehatan.
Rumput laut merupakan salah satu biota akuatik yang mengandung
nutrisi penting bagi tubuh manusia sehingga dapat dikonsumsi dan
digunakan untuk merawat kulit dan tubuh. Oleh karena itu, rummput laut
sangat penting dalam industri kosmetik. Pada industri kosmetik, olahan
rumput laut digunakan dalam produksi salep, krem, losion, lipstick, dan
sabun.
d. Industri
Rumput laut menjadi penting bagi kehidupan umat manusia karena
dapat digunakan sebagai bahan pangan, obat-obatan, maupun untuk
kebutuhna lainnya. Oleh karena itu, rumput laut menjadi bahan baku
berbagai industri.

Tabel 2.4 Jenis-Jenis Polisakarida dalam Rumput Laut

29
Jenis Sumber Komposisi Penggunaannya
Agar Alga Merah Agarase dan Mikrobiologi, sediaan
(Gelidium, Agaropectin makanan pengalengan,
Gracilaria, mayones, keju, jeli, dan es
Gigartina) krim, stabilizer, dan
emulsifier, carrier untuk obat
Alginat Alga Cokelat Manuronic Es krim, produk kertas, dan
acid, guluronic adhesif, pengental cat, filter
acid, dan drug
residues
Carragena Alga Merah Galaktose Stabilizer emulsi dalam
n (Chondry, residu makanan, obat, minuman
Gigartina, Iridae)
Fucoidan Alga Cokelat L-fucose residu Pencegah kanker, AIDS (HIV)
Laminaran Alga Cokelat Glukose residu -
(Laminaria,
Ascobphyllum fucus)
Sumber : Linawati (1998)

Pada industri makanan, olahan rumput laut digunakan dalam


pembuatan roti, sup, es krim, keju, puding, selai, dan lain-lain. Sedangkan
olahan rumput laut pada industri farmasi digunakan sebagai obat peluntur,
pembungkus kapsul obat biotik, vitamin, dan lain-lain. Pada industri
kosmetik, olahan rumput laut digunakan dalam produksi salep, krem,
losion, lipstik, dan sabun. Olahan rumput laut juga digunakan pada
industri tekstil, industri kulit, dan industri lainnya, seperti pelat film, semir
sepatu, kertas, serta bantalan pengalengan ikan dan daging.
Rumput laut merupakan tumbuhan laut yang bila diproses dapat
menghasilkan senyawa hidrokoloid yang disebut senyawa fikokoloid.
Senyawa hidrokoloid yng berasal dari rumput laut merupakan bahan dasar
sekitar 500 jenis produk komersial yang digunakan di berbagai industri.
Senyawa hidrokoloid yang berasal dari rumput laut komersial di Indonesia
antara lain agar, keraginan, dan alginat.
Kebutuhan runmput laut untuk keperluan industry mencapai 10 kaili
lipat dari ketersediannya di alam. Laju permintaan dunia terhadap rumput

30
laut mencapai 10 % per tahun. Khusus untuk produksi keraginan saja
dibutuhkan 20.000 ton/tahun rumput laut, belum lagi untuk agar, alginate,
furselaran, maupun untuk konsumsi langsung. Oleh karena itu, prospek
budi daya rumput laut cukup baik.
2. 2 PENELITIAN YANG RELEVAN
1. Patang dan Yunarti pada tahun 2013 tentang ”PENGARUH BERBAGAI
METODE BUDIDAYA DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI
RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh berbagai metode budidaya dalam meningkatkan
produksi rumput laut Kappaphycus alvarezii di Kecamatan Mandalle
Kabupaten Pangkep. Penelitian ini menggunakan metode bentangan yang
memiliki produksi lebih tinggi dibandingkan dengan metode rakit, dimana
produksi tertinggi pada metode bentangan sebesar 279,75 kg lebih
tinggi dibandingkan dengan metode rakit dengan produksi tertinggi
sebesar 124 kg. Hal ini diduga disebabkan karena pada metode bentangan
aspek lingkungan terutama arus dan gelombang relatif lebih baik
dibandingkan metode rakit.
2. Novalina Serdiati, Irawati Mei Widiastuti pada tahun 2010 tentang
“PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma
cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA”.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi
rumput laut Eucheuma cottonii yang tertinggi apabila ditanam pada
kedalaman yang berbeda. Penelitian dilakukan selama kurang lebih 50
hari. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri
dari tiga perlakuan yang masing-masing diulang tiga kali. Perlakuannya
adalah: K1 (kedalaman 30 cm), K2 (Kedalaman 45 cm), K3 (Kedalaman
60 cm). Parameter yang diukur adalah pertumbuhan dan produksi.
Metode budidaya yang digunakan dalam penelitian adalah metode long

31
line. Data yang diperoleh selama penelitian dianalisis ragam, apabila hasil
analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji
BNT. Penanaman rumput laut Eucheuma cottonii pada kedalaman yang
berbeda memberikan pengaruhyang sangat nyata secara statistik terhadap
pertumbuhan dan produksi. Pertumbuhan dan produksi rumput laut
Eucheuma cottonii tertinggi adalah yang ditanam pada kedalaman 30 cm.
Kisaran kualitas air yang diperoleh selama penelitian masih layak untuk
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii.
3. Titik Susilowati, Sri Rejeki, Eko Nurcahya Dewi dan Zulfitriani pada
tahun 2012 tentang “PENGARUH KEDALAMAN TERHADAP
PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) YANG
DIBUDIDAYAKAN DENGAN METODE LONGLINE DI PANTAI
MLONGGO, KABUPATEN JEPARA”. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui pengaruh kedalaman penanaman rumput laut yang
berbeda terhadap pertumbuhan, serta mengetahui kedalaman
penanaman yang terbaik untuk pertumbuhan rumput laut E. cottonii.
Rancangan percobaan dari penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yaitu dengan 3 perlakuan kedalaman penanaman
yang berbeda yaitu : 25 cm, 50 cm dan 75 cm, masing-masing
perlakuan diulang 3 kali. Data yang dikumpulkan meliputi laju
perumbuhan relatif dan laju pertumbuhan harian rumput laut. Data
diolah dengan ANOVA dan apabila data berbeda nyata maka
dilakukan uji lanjut Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman yang berbeda pada
kegiatan budidaya rumput laut E. cottonii dengan metode longline
berpengaruh sangat nyata pada pertumbuhan relative dan pada laju
pertumbuhan harian pada pertumbuhan rumput laut. Perlakuan dengan
kedalaman penanaman rumput laut 25 cm merupakan kedalaman yang
terbaik pada penelitian. Pertumbuhan relatif sebesar 910 % atau

32
hampir tigakali lipat dari angka pertumbuhan relative perlakuan
kedalaman 75 cm, selain itu juga dihasilkan pertumbuhan harian
sebesar 5,12 % hasil ini lebih besar dari pertumbuhan relatif
pada kedalaman 50 cm dan 75 cm yang masing –masing sebesar 3,91
% dan 3,13 %.

2. 3 KERANGKA BERPIKIR

Penentuan Lokasi Budidaya Rumput Laut

Penanaman

Pemeliharaan

Penimbangan dan Pencatatan Pengukuran Parameter


Hasil Lingkungan

Pengolahan Data

Gambar 1. Diagram Kerangka Pikir Penelitian

33
34
BAB III
METODE PENELITIAN

3. 1 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian ini dilaksanakan di pantai/perairan Tablolong,
Kabupaten Kupang. Waktu pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama 42
hari, mulai bulan Maret sampai dengan bulan April 2019.

3. 2 Alat dan Bahan


Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : perahu,
pelampung, tali PE diameter 12 mm, tali PE diameter 8 mm, tali rafia,
pemberat, botol air mineral, bola arus, timbangan, pisau, gunting, termometer,
refraktometer, sechi disk, PH meter, current meter, dan kamera.
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bibit rumput laut
Eucheuma cottoni dengan berat masing – masing perlakuan 100 gr.
Menurut Shadori (1991), syarat – syarat bibit yang baik untuk budidaya
adalah yang segar dan tidak layu, berwarna cerah, tidak terkena penyakit,
bebas dari kotoran yang menutupi thallus supaya tidak menghalangi dalam
penyerapan makanan.

3. 3 Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode tali
panjang (longline method). Rancangan percobaan dari penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan kedalaman yaitu
Perlakuan A (15 cm), B (30 cm), C (45 cm), dan D (60 cm) masing-masing
perlakuan dibuat dalam 4 kali pengulangan.

35
3. 4 Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yang
disesuaikan dalam petunjuk Mubarak dkk (1990) adalah, sebagai berikut :
1. Penentuan lokasi
Pemilihan lokasi harus memenuhi kriteria budidaya yaitu perairan
yang cukup tenang terlindung dari pengaruh angin dan ombak, tidak
mengalami pencemaran limbah industri atau rumah tangga, tidak
mengalami fluktuasi salinitas yang besar, mengandung nutrisi untuk
pertumbuhan rumput laut, memungkinkan untuk menerapkan metode
budidaya, dan mudah untuk dijangkau.
2. Pembuatan tali rentang polyethylen
Sebelum penanaman, dibuat kayu patok sebagai jangkar, kemudian
diikat dan direntangkan tali rentang utama dari tali PE dengan diameter 12
mm dan panjang 6 m. Tali PE ukuran 12 mm dipasang bertentangan
dengan arus. Selanjutnya, disiapkan botol bekas minuman mineral
kemudian diikat dengan tali rafia sebagai pelampung.
3. Penanaman
Penanaman bibit rumput laut dilakukan dengan cara
memasukan/menanam bibit rumput laut yang telah diikat pada tali PE
ukuran 8 mm dengan jarak tanam 20 cm ke dalam laut dengan masing-
masing perlakuan kedalaman yang telah ditentukan. Dipasang sejajar
dengan arus laut. Selanjutnya, diikatkan pada tali rentang utama tali PE
ukuran 12 mm.
4. Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara mengawasi tiap hari
tanaman rumput laut untuk memperbaiki konstruksi rakit yang rusak
ataupun tali yang putus dan menggantikan rumput laut yang mati dengan
bibit yang baru (penggantian bibit baru tersebut hanya dilakukan pada
minggu pertama agar ukuran panen tidak jauh berbeda).

36
Selama periode pemeliharaan, yang perlu diperhatikan adalah
membersihkan tanaman dari benda lain (lumut, lumpur atau kotoran) yang
menempel pada tanaman dengan cara menggoyang-goyangkan thallus di
dalam air, mengatasi serangan hama (penyu, ikan- ikan kecil, dan dugong)
dengan cara mengusir/ menangkap hama tersebut dan dipindahkan ke luar
area budidaya (dengan cara yang tidak mematikan), menggantungkan
benda yang menghasilkan bunyi, serta memasang jaring disekitar lokasi
penanaman/budidaya.
5. Penimbangan dan pencatatan hasil
Penimbangan dan pencatatan hasil dilakukan setiap sekali dalam
seminggu dengan lama pemeliharaan 42 hari.
6. Pengukuran parameter lingkungan
Parameter lingkungan yang diukur adalah pH, salinitas, suhu,
kecerahan air, dan kecepatan arus. Pengukuran parameter lingkungan
dilakukan sebanyak 6 kali.

3. 5 Variabel Penelitian
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah laju pertumbuhan harian,
laju pertumbuhan mingguan, laju pertumbuhan mutlak serta pengukuran
kualitas air.
1. Laju pertumbuhan harian E. cottoni yang diukur selama 42 hari,
dihitung berdasarkan rumus yang dikembangkan oleh Effendi (1997)
dalam Ismail (2015), menggunakan rumus :
W t−W 0
DGR=
t
Keterangan :
DGR : Daily Growth Rate / Laju Pertumbuhan Harian (%)
Wt : Berat Akhir Rumput Laut (gr)
W0 : Berat Awal Rumput Laut (gr)

37
t : Waktu (Hari)
2. Laju pertumbuhan mingguan E. cottoni yang diukur selama 42 hari,
dihitung menurut Hendri et. al (2018), menggunakan rumus :
WGR=W a – W b
Keterangan :
WGR : Laju Pertumbuhan Mingguan (gr)
Wa : Berat Minggu ke- i (gr)
Wb : Berat Minggu Sebelumnya (gr)
3. Laju pertumbuhan mutlak E. cottoni, yang diukur selama 42 hari
dihitung berdasarkan rumus yang dikembangkan oleh Effendi (1997)
dalam Pongarrang et. al. (2013), menggunakan rumus :
G=W t−W 0
Keterangan :
G : Growth / Pertumbuhan Mutlak Rata-rata
Wt : Berat Bibit pada Akhir Penelitian (gr)
W0 : Berat Bibit pada Awal Penelitian (gr)
4. Pengukuran Kualitas Air
Pengukuran parameter kualitas perairan dilakukan setiap sekali
dalam seminggu (6 kali). Data parameter kualitas air meliputi : pH,
salinitas, suhu, kecerahan air, dan kecepatan arus, diambil sebagai
parameter penunjang.

3. 6 Analisis Data
Data yang diperoleh selama penelitian dianalisis dengan menggunakan
Anova pada taraf nyata 5 % dengan menggunakan program minitab versi 16
for Windows. Untuk mengetahui perlakuan yang berbeda nyata akan diuji
lanjut dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf nyata 5 %.

38
DAFTAR PUSTAKA
Aganotovic-Kustrin S, Morton. 2013. Cosmeceuticals derived from bioactive
substances. Oceanography. 1: 2.
Anggadiredja, J. T. 2004. Deversity of Antibacterial Subtance from Selected
Indonesian Seaweeds (Desertation). University of Indonesia. Jakarta. Hal :
377-389
Anggadiredja, J. T., A. Zatnika, H. Purwoto, dan S. Istini. 2008. Rumput Laut.
Penebar Swadya. Jakarta.
Anggadiredja, J.T., Zatnika, A., Purwoto, H., & S. Istini. 2008. Rumput Laut;
Pembudidayaan, Pengolahan, dan Pemasaran Komoditas Perikanan
Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta. 147 hlm.
Anggadiredja, J. T. 2010. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ariyanto, N. 2016. Cara Memilih Lokasi untuk Budidaya Rumput Laut Eucheuma
cottonii. http://Saungmuslim.com/2016/05/cara-memilih-lokasi-untuk-
budidaya.html. Diakses 15 Mei 2016.
Aslan M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta : Kanisius. 97 hal
Atmadja, W. S. 1996. Pengenalan Jenis Alga Merah. Di dalam: Pengenalan Jenis-
Jenis Rumput Laut Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. DKP
RI, Ditjenkanbud. Jakarta. Hal 11
Ega. L., C. G. C. Lopulalan, dan F. Meiyasa. 2016. Artikel Penelitian Kajian
Mutu Karaginan Rumput Laut Eucheuma cottonii Berdasarkan Sifat
Fisiko-Kimia pada Tingkat Konsentrasi Kalium Hidroksida (KOH) yang
Berbeda. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 5 (2) : 38–44.
Gusrina. 2006. Budidaya Rumput Laut. Bandung : Sinergi Pustaka Indonesia. Hal 11
dan 37.
https://beritalima.com/potensi-budidaya-rumput-laut-bagi-masyarakat-tablolong/
diakses pada tanggal 12 februari 2019
Kordi K. 2013. A to Z Budi Daya Biota Akuatik Untuk Pangan, Kosmetik, Dan Obat-
Obatan. Yogyakarta : Penerbit ANDI hal. 63- 88
Miyashita, K., Mikami, N., & Hosokawa, M. (2013). Chemical and nutritional
characteristics of brown seaweed lipids: A review. Journal of Functional
Foods, 5(4), 1507-1517.

39
Rizal, M., Mappiratu, dan A. R. Razak. 2016. Optimalisasi Produksi Semi Refined
Carrageenan (SRC) dari Rumput Laut (Eucheuma cottonii). Jurnal Kovalen.
2 (1) : 33–38.
Saputra, R. 2012. Pengaruh Konsentrasi Alkali dan Rasio Rumput Laut-Alkali
Terhadap Viskositas dan Kekuatan Gel Semi Refined Carrageenan (SRC)
dari Rumput Laut Eucheuma Cottonii. (Skripsi). Universitas Hasanuddin.
Makassar. 53 hlm.
Soenardjo, N. 2011. Aplikasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii (Weber van
Bosse) dengan Metode Jaring Lepas Dasar (Net Bag) Model Cidaun. J.
Buletin Oseanografi Marina. 1 : 36–44.
Thomas VN, Kim S. 2013. Beneficial effects of marine algal compounds in
cosmeceuticals. Marine Drugs. 11(3):146-164.
Winarno FG.1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan. Hal 37

40

Anda mungkin juga menyukai