Disusun oleh:
AKUAKULTUR
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Logam berat merupakan salah satu unsur pencemar perairan yang bersifat toksik dan
harus terus diwaspadai keberadaaannya. Penyebab utama logam berat menjadi bahan
pencemar berbahaya yaitu logam berat tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh
organisme hidup di lingkungan dan terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di
dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara
adsorbsi dan kombinasi (Nontji, 1993). Pencemaran logam berat dapat merusak lingkungan
perairan dalam hal stabilitas, keanekaragaman, dan kedewasaan ekosistem. Kerusakan
ekosistem perairan dari aspek ekologis akibat pencemaran logam berat dapat ditentukan oleh
faktor kadar dan kesinambungan zat pencemar yang masuk dalam perairan, sifat toksisitas
dan biokonsentrasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam budidaya udang semi intensif maupun super intensif pakan yang diberikan
tidak selalu habis dimakan, sisa pakan dan sisa metabolisme dapat menyebabkan parameter
kualitas air tambak menurun. Bahan organik dari sisa pakan, feces dan ditambah organisme
(fitoplankton) yang mati dan mengendap di dasar tambak digunakan sebagai substrat untuk
pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Barg (1992) pemberian pakan pada budidaya intensif
dan super intensif, merupakan pemasok limbah bahan organik dan nutrien utama ke
lingkungan perairan pesisir yang menyebabkan eutrofikasi dan perubahan ekologi plankton,
peningkatan sedimentasi, perubahan produktivitas, dan struktur komunitas bentos. Hasil
monitoring yang dilakukan oleh Primavera (1994) terhadap tambak intensif menyebutkan
bahwa 15% dari pakan yang diberikan akan larut dalam air, sementara 85% yang dimakan
sebagaian besar juga dikembalikan lagi ke lingkungan dalam bentuk limbah. Hanya 17% dari
jumlah pakan yang diberikan dikonversi menjadi daging udang, 48% terbuang dalam bentuk
ekskresi (metabolisme, kelebihan nutrien), ecdysis (moulting) dan pemeliharaan (energi),
20% dari pakan yang diberikan dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah padat
berupa faeses. Menurut Jaya et al. (1997) menyatakan bahwa komposisi limbah tambak
terdiri atas 77.9% anorganik dan 22.1% organik. Limbah tambak berupa bahan organik pada
umumnya terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak yang berasal dari kotoran udang dan
sisa pakan yang sebagian akan larut dan sebagian lagi mengendap di dasar. Bahan organik di
dasar akan meningkat seiring dengan masa pemeliharaan udang karena adanya penambahan
dari hasil ekskresi dan sisa pakan yang tidak dapat dibuang seluruhnya ke luar tambak.
Nurdjana (1997), mengemukakan bahwa pemberian pakan (kering) dengan jumlah 2 kali lipat
produk biomasa (basah), jika dihitung konversinya maka hanya 10-12% yang dapat dipanen
menjadi biomassa, sedangkan 90% lainnya terbuang ke lingkungannya. Bahan organik yang
mengandung protein ini akan diuraikan menjadi polipeptida, asam amino dan amonia sebagai
hasil akhir yang menumpuk di dasar tambak. Jackson et al. (2003) menyampaikan bahwa
hampir 90% sumber protein pada perairan tambak berasal dari pelet, dimana 22% dikonversi
menjadi biomasa udang, 7% dimanfaatkan oleh aktifitas mikroorganisme, 14% terakumulasi
pada sedimen dan 57% tersuspensi di air tambak. Limbah organik yang terbuang ini dapat
menyebabkan ledakan plankton dan masalah kekurangan oksigen pada perairan, peristiwa ini
dikenal sebagai pembusukan di perairan Di sedimen tambak proses penguraian bahan organik
menjadi lebih kompleks karena melibatkan aktivitas tidak hanya bakteri aerob namun juga
anaerob dan proses fermentasi. Sedimen tambak kaya akan nutrien dan bahan organik.
Lapisan sedimen tambak dari permukaan sampai beberapa sentimeter (1-25 cm) mengandung
nutrien yang lebih tinggi dibandingkan kolom air di atasnya (Avnimelech et al., 1984) karena
sedimen memegang peranan penting dalam keseimbangan sistem akuakultur yang berfungsi
sebagai buffer untuk konsentrasi nutrien air (Chien et al., 1989). Yuvanatemya (2007)
mengemukakan bahwa tingginya bahan organik (10-100 mg/kg pada air tambak dan 10.000-
200.000 mg/kg pada sedimen tambak) dapat mengakibatkan blooming alga, yang berakibat
pada kematian masal udang secara mendadak. Lemonnier & Brizard (2001) menyampaikan
bahwa penumpukan bahan organik pada sedimen tambak telah mengakibatkan penurunan
tingkat kelangsungan hidup udang dari 60% menjadi 10%.
Redoks potensial (Eh) adalah besarnya nilai relatif dari proses oksidasi dan reduksi di
lingkungan dasar perairan/tambak. Nilai yang lebih besar menunjukkan kondisi yang lebih
teroksidasi yang dinyatakan dalam milivolt (mV) (John et al., 1989 dalam Gunarto 2006).
Potensial sedimen yang diperoleh selama penelitian berkisar antara -405,6--313,8 mV dengan
rata-rata -360,7 mV yang menunjukkan bahwa kondisi sedimen di dasar tambak didominasi
oleh proses reduksi yang cenderung anaerob. Jika tidak dilakukan pembuangan sludge selama
proses pemeliharaan, maka nilai redoks sedimen jauh di bawah nilai yang persyaratkan.
Menurut Abdunnur et al. (2004) bahwa proses dekomposisi bahan organik dapat terjadi baik
dalam kondisi reduksi maupun oksidasi. Selama pemeliharaan udang bahan organik yang
terakumulasi di dasar tambak berupa sedimen akan semakin meningkat dengan bertambahnya
umur pemeliharaan. Peristiwa tersebut diikuti dengan penurunan potensial redoks dan
penurunan oksigen terlarut. Penurunan oksigen ini disebabkan karena oksigen banyak dipakai
untuk respirasi udang yang terus meningkat biomasanya, penguraian bahan organik serta
untuk mengoksidasi bahan-bahan yang lain. Kandungan oksigen dalam sedimen berpengaruh
besar terhadap nilai redoks potensial dan pH sedimen selain itu dapat pula dijadikan sebagai
kontrol reaksi kimia ion-ion antar air dan sedimen. Banyaknya bahan organik, jumlah bakteri
yang hidup dalam substrat dan kurangnya sirkulasi air menyebabkan kadar oksigen dalam
substrat menurun. Keadaan ini dapat mengubah kondisi substrat kedalam lingkungan reduksi
(Emiyarti 2004).
Logam berat, merupakan salah satu bahan pencemar yang berbahaya di lingkungan
(Darmono,1995). Jenis pencemar ini tidak bisa didegradasi di lingkungan. Selain itu, logam
berat memiliki sifat toksik atau racun jika terdapat dalam konsentrasi tertentu. Di tubuh
makhluk hidup, termasuk manusia, logam berat bersifat bioakumulasi. Jumlahnya akan
tertampung dan terus bertambah. Logam berat tersebut berasal dari bahan baku industri,
seperti minyak bumi, batubara, cat, campuran anti karat, dan lain-lain.
Timbal (Pb) adalah racun paling signifikan dari logam berat dalam bentuk anorganik
yang diserap melalui konsumsi makanan, air, serta inhalasi (Ferner, 2001). Dampak utama
yang serius atas toksisitas timbal adalah efek teratogenik-nya. Keracunan timbal juga
menyebabkan penghambatan sintesis hemoglobin, disfungsi pada ginjal, sistem reproduksi,
sistem kardiovaskular, kerusakan pada sistem saraf pusat, dan sistem saraf perifer
(Ogwuebgu dkk., 2005).
Keberadaan logam berat Pb yang terlarut di air laut, sedimen, maupun kerang sangat
berbahaya, sebab logam ini bisa masuk rantai makanan. Jika sudah masuk dalam tubuh ikan
konsumsi, logam berat bisa berpindah ke manusia (Effendi, 2003). Logam berat Pb dapat
mengumpul dalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu
yang lama sebagai racun yang terakumulasi (Darmono,1995). Dalam konsentrasi tertentu,
dapat menganggu enzim dalam tubuh manusia hingga menyebabkan terjadinya cacat tubuh.
Logam pencemar lainnya adalah Cadmium (Cd). Potensi logam pencemar ini berasal
buangan limbah cair PLTU dan juga aktivitas pelabuhan (Iqbal dkk., 1990). Selain itu dari cat
kapal yang dimaksudkan untuk bisa menghambat proses korosi (karat) dan mencegah
melekatnya kerang pada badan kapal (Hutagalung, 1991).
Bila Pb dan Cd masuk ke dalam tubuh manusia, maka logam berat tersebut akan
diakumulasi dalam jaringan tubuh dan tidak bisa diekskresikan lagi ke luar tubuh. Pada kadar
yang sudah tinggi dalam tubuh manusia, akan menyebabkan dampak negatif yang serius,
yakni: (1) menghambat aktivitas enzim sehingga proses metabolisme terganggu, (2)
menyebabkan abnormalitas kromosom (gen), (3) menghambat perkembangan janin, (4)
menurunkan fertilitas wanita, (5) menghambat spermatogenesis, (6) mengurangi konduksi
syaraf tepi, (7) menghambat pembentukan hemoglobin, (8) menyebabkan kerusakan ginjal,
(9) menyebabkan kekurangan darah atau (anemia), (10) pembengkakan kepala
(encepalopati), dan (11) menyebabkan gangguan emosional dan tingkah laku (Palar, 1994).
BAB III
KESIMPULAN
Connel dan Miller. 2006. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta : UI Press.
Press Dewi, A. 2007. Analisis Kadar Logam Berat Pb, Cd, Cu, dan Zn Pada Air Laut, Sedimen dan Lokan
(Geloina coaxans) di Perairan Pesisir Dumai, Provinsi Riau.
Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta : Rineka Cipta. Rahman, Aditya.
2006. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Krustasea
Di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan.