Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGELOLAAN KUALITAS AIR


PENGELOLAAN AMMONIA, H2S,COD

Disusun oleh:
RETNO PUJI HERAWATI
FAIRUZZAMI FATHONI
WAHYU ANDRIANTO
ALDIAN SAPUTRA
ILHAM RAMADHAN

PRODI BUDIDAYA PERIKANAN


JURUSAN PETERNAKAN
POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budidaya perairan merupakan suatu kegiatan pemeliharaan organisme perairan


tawar, payau maupun laut baik itu hewan ataupun tumbuhan yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Komoditas yang sudah biasa dibudidayakan dalam
kegitan budidaya adalah beberapa jenis ikan, udang dan tumbuhan. Ikan nila
merupakan salah satu komoditas ikan air tawar yang banyak dibudidayakan di
Indonesia. Hal tersebut dikarenakan ikan nila merupakan komoditas yang banyak
digemari oleh masyarat Indonesia sehingga permintaan di pasar cukup tinggi, selain
itu pertumbuhan ikan juga cukup cepat
Budidaya ikan menghasilkan air limbah yang berbahaya bagi kelangsungan
hidup ikan. Air limbah tersebut berupa limbah nitrogen seperti amonia, nitrit dan
nitrat yang berasal dari endapan pakan yang tidak termakan dan feses ikan yang
mengendap di dasar perairan. Hal tersebut merupakan masalah nyata pada sistem
akuakultur intensif dan tidak dapat dihindari karena pada proses pemeliharaan ikan,
ikan hanya memanfaatkan 20% - 30% nutrien pakan (Gunadi dan Hafsaridewi,
2008). Saat ini masalah yang timbul dalam kegiatan akuakutur adalah minimnya
ketersediaan lahan dan borosnya penggunaan air. Hal ini akan menyulitkan bagi
masyarakat yang memilik lahan yang sempit dan sumber air yang terbatas dan jauh.
Budidaya ikan terutama yang dikelola secara semi intensif dan intensif
mempunyai permasalahan yang cukup serius mengenai degradasi kualitas air.
Kepadatan penebaran (stocking density) dan input pakan yang tinggi menyebabkan
tingginya limbah yang dihasilkan baik yang tersuspensi maupun mengendap di
dasar kolam. Degradasi kualitas air selama proses budidaya ikan juga disebabkan
oleh rendahnya efisiensi pakan. Menurut Primavera (1991), pakan yang diberikan
pada udang, hanya 85% yang terkonsumsi sedangkan 15% tidak termakan (uneaten
feed) sementara 20% terbuang dalam bentuk feces. Kandungan protein yang tinggi
pada pakan ikan/udang (>30%) berdampak pada tingginya kandungan nitrogen
anorganik (mobile nitrogen) pada limbah yang dihasilkan. Menurut Avnimelech dan
Ritvo (2003), hanya 25% nitrogen dari pakan yang dapat diasimilasi menjadi
daging, sedangkan 75% terbuang ke lingkungan.
Pada sistem budidaya dari semua parameter kualitas air, amonia menjadi faktor
pembatas kedua setelah oksigen (Francis-Floyd, Watson, Petty, & Pourder 1996).
Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah dapat dikontrol dengan aerasi, namun
konsentrasi amonia yang tinggi menjadi manajemen praktis yang bermasalah
(Hargreaves & Kucuk, 2001). Pada konsentrasi tinggi, amonia bersifat toksik,
menyebabkan penurunan pasokan oksigen dalam jumlah besar dan perubahan yang
tidak diinginkan dalam ekosistem perairan (Jang, Barford, Lindawati, & Renneberg,
2004). Amonia beracun bagi ikan yang dibudidayakan secara komersil pada
konsentrasi diatas 1.5 mg N/l, bahkan pada beberapa kasus konsentrasi yang dapat
diterima hanya 0.025 mg N/l (Chen, Ling, & Blancheton, 2006). Ikan memiliki
beberapa mekanisme untuk mentoleransi kelebihan amonia dan mengurangi
toksisitas amonia termasuk ekskresi dan konversi (Cheng, Yang, Ling, & et al.,
2015). Namun paparan amonia pada tingkat berlebihan menyebabkan ekskresi
amonia terganggu, sehingga terjadi peningkatan penyerapan amonia dan bahkan
kematian (Sinha, Liew, Diricx, & et al., 2012).
Amonia tidak hanya bersifat toksik tetapi juga merupakan produk metabolisme
nitrogen yang paling banyak diproduksi. Selain dari hasil metabolisme pakan yang
mengandung nitrogen dan sisa pakan yang tidak termakan, amonia juga berasal dari
dekomposisi organisme mati. Hal ini menyebabkan amonia menjadi salah satu
kendala utama dalam usaha budidaya (Sutomo, 1989). Pengelolaan untuk
mengurangi dampak amonia pada sistem budidaya dan lingkungan sekitar sangat
diperlukan. Pemilihan yang tepat sumber protein murah dan efisiensi konversi
nutrisi pakan yang tinggi diperlukan, sehingga mengurangi buangan ke lingkungan
(Crab et al., 2007). Dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan ulasan
mengenai profil amonia pada sistem budidaya.

1.2 Tujuan
- Untuk mengetahui kadar amonia,h2s, dan cod dalam suatu kolam budidaya
ikan
- Untuk mengetahui cara menghitung kadar ammonia yang benar
menggunakan sebuah rumus
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 jenis senyawa

 Ammonia
Amonia adalah senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya senyawa ini didapati
berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebut bau amonia). Walaupun amonia
memiliki sumbangan penting bagi keberadaan nutrisi di bumi, amonia sendiri adalah
senyawa kaustik dan dapat merusak kesehatan ikan

Amonia di perairan terdapat dalam bentuk amonia (NH3) dan amonium (NH4+)
yang bersama-sama disebut sebagai total amonia nitrogen (TAN). Jumlah proporsional
dari keduanya adalah fungsi dari pH dan suhu. Meskipun keduanya bersifat toksik,
bentuk amonia lebih beracun dikarenakan ion ini tidak bermuatan dan larut dalam
lemak, sehingga membran biologis lebih mudah dilintasi dibandingkan ion amonium
yang memiliki muatan dan terhidrasi (Körner, Das, Veenstra, & Vermaat, 2001). Selain
itu pada siklus nitrogen bakteri kemoautotrof. cenderung untuk mengoksidasi amonium
menjadi nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-). Ion-ion ini dihilangkan oleh tanaman air, alga
dan bakteri yang mengasimilasinya sebagai sumber nitrogen (Camargo, Alonso, &
Salamanca, 2005).

Pada sistem budidaya dari semua parameter kualitas air, amonia menjadi faktor
pembatas kedua setelah oksigen (Francis-Floyd, Watson, Petty, & Pourder 1996).
Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah dapat dikontrol dengan aerasi, namun
konsentrasi amonia yang tinggi menjadi manajemen praktis yang bermasalah
(Hargreaves & Kucuk, 2001). Pada konsentrasi tinggi, amonia bersifat toksik,
menyebabkan penurunan pasokan oksigen dalam jumlah besar dan perubahan yang

tidak diinginkan dalam ekosistem perairan (Jang, Barford, Lindawati, & Renneberg,
2004). Amonia beracun bagi ikan yang dibudidayakan secara komersil pada konsentrasi
diatas 1.5 mg N/l, bahkan pada beberapa kasus konsentrasi yang dapat diterima hanya
0.025 mg N/l (Chen, Ling, & Blancheton, 2006). Ikan memiliki beberapa mekanisme
untuk mentoleransi kelebihan amonia dan mengurangi toksisitas amonia termasuk
ekskresi dan konversi (Cheng, Yang, Ling, & et al., 2015). Namun paparan amonia pada
tingkat berlebihan menyebabkan ekskresi amonia terganggu, sehingga terjadi
peningkatan penyerapan amonia dan bahkan kematian (Sinha, Liew, Diricx, & et al.,
2012).

Amonia tidak hanya bersifat toksik tetapi juga merupakan produk metabolisme
nitrogen yang paling banyak diproduksi. Selain dari hasil metabolisme pakan yang
mengandung nitrogen dan sisa pakan yang tidak termakan, amonia juga berasal dari
dekomposisi organisme mati. Hal ini menyebabkan amonia menjadi salah satu kendala
utama dalam usaha budidaya (Sutomo, 1989). Pengelolaan untuk mengurangi dampak
amonia pada sistem budidaya dan lingkungan sekitar sangat diperlukan. Pemilihan yang
tepat sumber protein murah dan efisiensi konversi nutrisi pakan yang tinggi diperlukan,
sehingga mengurangi buangan ke lingkungan (Crab et al., 2007). Dalam tulisan ini
penulis mencoba memberikan ulasan mengenai profil amonia pada sistem budidaya.

 H2S
Menurut Hong-Kook et. al. (2020) bahan organik sedimen dan oksigen terlarut secara
simultan mempengaruhi kadar H2S Air. Dengan demikian berarti kadar H2S air
dipengaruhi oleh bahan organik sedimen dan oksigen terlarut, karena kadar H2S berasal
dari proses dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob. Semakin tinggi
kandungan bahan organik sedimen dan semakin rendah kandungan oksigen terlarut di
perairan tersebut, maka semakin tinggi kadar H2S airnya. Bahan organik yang tinggi
akan digunakan bakteri sebagai nutrisi makanan pada proses penguraian bahan organik,
sehingga jumlah bakteri yang menguraikan bahan organik meningkat seiring
meningkatnya jumlah bahan organik yang masuk ke dalam perairan. Proses penguraian
bahan organik dilakukan oleh bakteri aerob, sehingga dalam prosesnya memerlukan
oksigen. Jumlah oksigen terlarut semakin berkurang seiring dengan bertambahnya
jumlah bakteri aerob saat proses penguraian bahan organik, sehingga hal ini akan
mengakibatkan kondisi anoksik di perairan.

Hidrogen sulfida merupakan hidrida kovalen yang secara kimiawi terkait dengan air
(H2O) karena oksigen dan sulfur berada dalam golongan yang sama di tabel periodik.
Di perairan budidaya, sulfur berikatan dengan ion hidrogen dan oksigen. Beberapa
bentuk sulfur di perairan adalah sulfida (S2-), hydrogen sulfida (H2S), ferro sulfida
(FeS), sulfur oksida (SO2), sulfit (SO3) dan sulfat (SO4). Hidrogen sulfida (H2S)
adalah sulfur dalam bentuk gas yang tidak berwama, beracun, mudah terbakar dan
berbau seperti telur busuk. Gas ini dapat timbul dari aktivitas biologis ketika bakteri
menguraikan bahan organik dalam keadaan tanpa oksigen (aktivitas anaerobik), seperti
di rawa dan saluran pembuangan kotoran. Gas ini juga muncul pada gas yang timbul
dari aktivitas gunung berapi dan gas alam. Hidrogen sulfida juga dikenal dengan nama
sulfana, sulfur hidrida, gas asam (sour gas), sulfurated hydrogen, asam hydrosulfuric,
dan gas limbah (sewer gas). IUPAC menerima penamaan "hidrogen sulfida" dan
"sulfana"; kata terakhir digunakan lebih eksklusif ketika menamakan campuran yang
lebih kompleks.
Sulfur di dalam perairan akan berikatan dengan ion hidrogen dan oksigen. Bentuk sulfur
di perairan berupa sulfida (S2-), hidrogen sulfida (H2S), ferro sulfida (FeS), sulfur
dioksida (SO2), sulfida (SO3) dan sulfat (SO4). H2S dapat menimbulkan permasalahan
yakni mudah larut, toksik dan menimbulkan bau seperti telur busuk. Kadar hidrogen
sulfida yang tinggi akan berdampak terhadap peningkatan potensial redoks pada
substrat dasar perairan sehingga jika terjadi pengadukan akan menyebabkan potensi
keasaman pada air akan meningkat, dan menyebabkan pH air akan menurun. Bila
kondisi tersebut berada ada keadaan mantap atau stagnasi maka senyawa hidrogen
sulfida akan menyebabkan efek keracunan pada ikan yang ada dalam danau dan
memungkinkan terjadinya kematian massal pada ikan. Pembentukan amonia dan
hidrogen sulfida (H2S) di dasar tambak merupakan

sebagian masalah utama yang menurunkan laju pertumbuhan dan survival rate (SR
udang di tambak intensif. Adanya senyawa H2S menyebabkan terjadinya eutrofikasi,
pertumbuhan terhambat, penurunan terhadap daya tahan terhadap penyakit dan
kematian biota budidaya. Jika suplai oksigen berkurang sampai nol karena dihabiskan
oleh bakteri aerob dalam proses dekomposisi bahan organik, bakteri aerobik akan mati
dan bakteri anaerobik mulai tumbuh. Bakteri anaerob akan mendekomposisi dan
menggunakan oksigen yang disimpan dalam molekul-molekul yang sedang
dihancurkan.

 COD (Chemical Oxygen Demand)


Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan
organik yang terkandung dalam air (Boyd, 1990). Hal ini karena bahan organik yang
ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat
pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Boyd, 1990; Metcalf &
Eddy, 1991), sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun
yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi.

Chemical Oxygen Demand (COD) adalah ukuran indikatif dari jumlah oksigen yang
dapat dikonsumsi oleh reaksi dalam larutan yang diukur. COD umumnya dinyatakan
dalam massa oksigen yang dikonsumsi per volume larutan, yang dalam satuan SI adalah
miligram per liter (mg/L). COD digunakan untuk mengkuantifikasi jumlah bahan
organik dalam air dan mengukur jumlah polutan yang dapat dioksidasi dalam air
permukaan atau air limbah.

COD digunakan untuk mengukur jumlah bahan organik dalam air dan mengukur jumlah
polutan yang dapat dioksidasi dalam air permukaan atau air limbah. COD juga berguna
dalam menentukan kualitas air dengan memberikan metrik untuk menentukan efek
limbah terhadap tubuh penerima, seperti halnya Biochemical Oxygen Demand (BOD).

2.2 pengelolaan ammonia, h2s, dan cod


Pengelolaan amonia, H2S, dan COD merupakan bagian penting dalam pengolahan limbah cair.
Berikut adalah eberapa informasi terkait pengelolaan ketiga komponen tersebut:
1. Amonia

 Amonia (NH3) adalah senyawa nitrogen yang umum ditemukan dalam limbah cair.
 Konsentrasi amonia dalam limbah cair dapat mempengaruhi kualitas air dan
lingkungan.
 Pengelolaan amonia dalam limbah cair dapat dilakukan melalui berbagaimetode, seperti
biofiltrasi aerobik,pengolahan anaerob, ataupenggunaan bahan kimia tertentu.
 Tujuan pengelolaan amonia adalah untuk mengurangi konsentrasi amonia dalam limbah
cair hingga mencapai batas baku mutu yang ditetapkan.
2. h2s

 H2S (hidrogen sulfida) adalah gas beracun yang sering ditemukan dalam limbah cair.
 Konsentrasi H2S yang tinggi dalam limbah cair dapat menyebabkan masalah kesehatan
dan lingkungan.
 Pengelolaan H2S dalam limbah cair dapat dilakukan dengan menggunakan metode
seperti pengolahan aerobik, penggunaan bahan kimia penghilang H2S, atau penggunaan
sistem biologi seperti tanaman Typha Angustifolia.
 Tujuan pengelolaan H2S adalah untuk mengurangi konsentrasi H2S dalam limbah cair
hingga mencapai batas baku mutu yang ditetapkan.

3. cod
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah parameter yang digunakan untuk mengukur jumlah
bahan organik yang dapat dioksidasi dalam limbah cair.
Konsentrasi COD yang tinggi dalam limbah cair menunjukkan adanya kontaminan organik yang
dapat menyebabkan pencemaran air.
Pengelolaan COD dalam limbah cair dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti
pengolahan aerobik, pengolahan anaerobik, atau penggunaan teknologi tertentu seperti
biofiltrasi
Tujuan pengelolaan COD adalah untuk mengurangi konsentrasi COD dalam limbah cair hingga
mencapai batas baku mutu yang ditetapkan

BAB 3
METODOLOGI

3.1 waktu
praktikun ini dilakukan pada hari senin 6 novembr 2023 dan bertempat di lab B
ruang kesehatan pada jam 13.00 sampai dengan selesai

3.2 alat dan bahan praktikum


 Sampel air
 Teskit
 Ph meter

3.3 prosedur kerja


 mahasisawa dibagi menjadi 4-5 kelompok
 1 kelompok mengambil sampel air di kolam yang belum terdapat kegiatan
budidaya dan 4 lainnya yang terdapat kegiatan budidaya.
 Setelah mengambil sampel air test air tersebut menggunakan test kit masukan
regen 1 dan homogen selama 2 menit dan regen 2 lakukan sama begitupun
dengan regen 3.
 Dan sesuaikan warna sampel air dengan yang berada di kemasan test kit.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tempat sampel : air kolam terpal lab a
Komoditas : benih ikan mas
Ph : 8,17
Suhu : 32 derajat

reagen pertama diteteskan sebanyak 3 ml kemudia homogenkan


selama 2 menit

reagen kedua diteteskan sebanyak 2 ml kemudian homogenkan selama 2 menit


reagen ketiga diteteskan sebanyak 2 ml kemudian
homogenkan selama 2 menit

hasil pencampuran hasil teskit didapati 0,0 mg/L

hasil boyd 0,026 x 0,0 = 0

.
BAB 5
PENUTUP

5.1 kesimpulan
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat diambil adalah Amonia (NH3) adalah
senyawa kimia yang sering ditemukan dalam limbah cair. Nilai baku mutu untuk
amonia dalam air limbah adalah 1,5 mg/L. Hidrogen sulfida (H2S) adalah gas yang
sering dihasilkan oleh aktivitas biologis dalam limbah cair. H2S dapat menyebabkan
bau yang tidak sedap dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Penurunan pH dalam
limbah cair dapat menghasilkan H2S. Chemical Oxygen Demand (COD) adalah
parameter yang digunakan untuk mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan organik dalam limbah cair. Nilai COD yang tinggi menunjukkan
adanya kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair. Nilai COD yang
melebihi standar baku mutu dapat mengindikasikan adanya pencemaran air.
5.2 saran
Dalam melakukan praktikum sebaiknya dilakukan dengan kerjasama yang baik supaya
hasil yang didapatkan lebih baik, efektif dan maksimal. Peralatan laboratorium setelah
digunakan sebaiknya di bersihkan Kembali agar tetap steril dan disimpan ditempat yang
aman agar dapat digunakan kembali oleh pengguna yang melakukan praktikum di
laboratorium

Anda mungkin juga menyukai