Anda di halaman 1dari 4

Produksi Ikan terhadap Kondisi Anoksia Substrat Mangrove

Wiwin Hulfatuzzaini*
*Email: wiwinhulfatuzzaini669@gmail.com
Abstrak
Mangrove dapat beradaptsi terhadap habitat pada zona intertidal dengan
mengembangkan adaptasi fisiologis untuk mengatasi masalah anoksia (kekurangan oksigen),
salinitas tinggi dan genangan air pasang surut yang sering. Sumber utama oksigen terlarut
pada perairan di ekosistem mangrove berasal dari fotosintesis fitoplankton, mikro dan
makroalgae yang hidup dan proses difusi dari udara bebas. Adanya hubungan atau korelasi
yang kuat antara produksi ikan nonbudidaya dengan keberadaan mangrove. Kondisi
mangrove yang baik akan menghasilkan produksi ikan nonbudidaya yang tinggi. Mangrove
dapat mempengaruhi kondisi lingkungan, dengan kandungan klorofil-a yang relatif lebih
tinggi, pH yang stabil dan DO yang relatif lebih baik. Sementara produksi budidaya tambak
menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Keberhasilan produksi ikan budidaya lebih
ditentukan oleh pengelolaan tambak.
Pendahuluan
Tanaman dalam kelompok mangals beragam tetapi semuanya dapat beradaptsi
terhadap habitat mereka (zona intertidal) dengan mengembangkan adaptasi fisiologis
untuk mengatasi masalah anoksia (kekurangan oksigen), salinitas tinggi dan genangan
air pasang surut yang sering. Setelah terbentuk komunitas mangrove, akar mangrove
menyediakan habitat bagi tiram dan aliran air yang lambat, sehingga meningkatkan
pengendapan sedimen. Sedimen halus yang anoksik di bawah hutan mangrove
berperan sebagai penampung berbagai logam berat (trace) membentuk koloid
partikel, sehingga sering menciptakan Mangrove yang melindungi daerah pantai dari
erosi, badai topan (terutama saat badai), dan tsunami (Noor dan Wulandari, 2018).
Organisme akuatik membutuhkan oksigen untuk menopang metabolisme
mereka, termasuk ikan. Berbeda dengan organisme terestrial yang dapat
memanfaatkan oksigen langsung dari udara, ikan hanya bisa memanfaatkan oksigen
yang terlarut dalam air. Perbedaan tekanan osmosis antara air dan insang,
memungkinkan oksigen terdifusi masuk ke dalam peredaran darah ikan. Ada beberapa
spesies ikan yang bisa mengambil oksigen langsung dari udara karena memiliki alat
bantu pernafasan, yaitu lele dan gurami, akan tetapi sifatnya hanya membantu fungsi
insang bukan menggantikan (Kementerian Kelautan dan Perikanan).
Sumber utama oksigen terlarut dalam suatu perairan berasal dari fotosintesis
fitoplankton, mikro dan makroalgae yang hidup di perairan tersebut dan proses difusi
dari udara bebas. Laju difusi oksigen dari udara bebas ke dalam perairan dipengaruhi
oleh suhu air, tekanan udara, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti
arus/gelombang serta kedalaman air. Tulisan ini bertujuan untuk membahas
kebutuhan DO bagi organisme atau biota yang hidup di ekosistem mangrove terutama
ikan.
Pembahasan
Oksigen dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup untuk proses respirasi.
Oksigen diperlukan dalam sel tubuh manusia untuk mengubah glukosa menjadi energi
yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas fisik, penyerapan makanan,
membangun kekebalan tubuh, pemulihan kondisi tubuh, dan menghancurkan
beberapa racun sisa metabolisme. Manusia bisa hidup di udara yang hanya
mengandung O2 sebesar 17 persen per volume, tetapi ketika konsentrasi kurang dari
ini, pernapasan menjadi sulit dan gejala anoksia (kekurangan oksigen) muncul.
Korban menjadi mengantuk, tidak dapat berpikir jernih, dan akhirnya masuk ke dalam
ketidaksadaran (Scarlett, 1958). Selain manusia, hewan, dan tumbuhan yang
memerlukan oksigen untuk melangsungkan hidup di darat, oksigen juga dibutuhkan
oleh organisme yang hidup di perairan.
Kehidupan organisme di perairan sangat tergantung pada kualitas air tempat
dimana organisme tersebut hidup. Kualitas air yang baik sangat menunjang
pertumbuhan organisme perairan, baik hewan maupun tumbuhan. Kualitas air salah
satunya dilihat dari segi kimia, dimana unsur kimia dalam air berfungsi sebagai
pembawa unsur-unsur hara, mineral, vitamin dan gas-gas terlarut dalam air seperti
oksigen terlarut (DO). Perubahan konsentrasi DO dalam batas-batas tertentu juga
mengindikasikan adanya perubahan kualitas perairan, semakin rendah konsentrasinya
semakin rendah kualitas perairan. Penurunan konsentrasi O2 akan menurunkan
kegiatan fisiologis mahkluk hidup dalam air (Susana dalam Thahir 2016).
Menurun Thahir, 2016, DO merupakan suatu faktor yang sangat penting di
dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi
sebagian besar organisme air. DO mengancam hewan laut ketika konsentrasi lebih
rendah dari 2 mg / L yang didefinisikan sebagai hipoksia. Kelarutan maksimum O2 di
dalam air terdapat pada suhu sebesar 14,16 mg/L. Konsentrasi ini akan menurun
sejalan dengan meningkatnya suhu air. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan
konsentrasi O2 akan menurun dan sebaliknya suhu semakin rendah akan
meningkatkan konsentrasi DO semakin tinggi. Sumber DO dalam perairan dapat
diperoleh dari hasil fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan hijau dan proses difusi
dari udara, serta hasil proses kimiawi dari reaksi-reaksi oksidasi. Keberadaan O2 di
perairan biasanya diukur dalam jumlah oksigen terlarut yaitu jumlah milligram gas
O2 yang terlarut dalam satu liter air. Pada ekosistem perairan, keberadaan O2 sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain distribusi temperatur, keberadaan
produser autotroph yang mampu melakukan fotosintesis, serta proses difusi oksigen
dari udara.
Oksigen terlarut (DO) dalam air sangat menentukan kehidupan ikan dalam
budidaya, karena rendahnya kadar oksigen terlarut dapat berpengaruh terhadap fungsi
biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Fungsi
oksigen di dalam tambak selain untuk pernapasan organisme juga untuk mengoksidasi
bahan organik yang ada di dasar tambak. Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
pernapasan udang tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitas dan batas
minimumnya adalah 3 ppm atau mg/L (Suryaperdana, dkk. 2012).
Namun menurut (Rivai dalam Thahir, 2016) mengatakan bahwa pada
umumnya kandungan oksigen sebesar 5 ppm dengan suhu air berkisar antara 20-30 ᵒC
masih baik untuk kehidupan ikan-ikan, bahkan apabila dalam perairan tidak terdapat
senyawa-senyawa yang bersifat toksik (tidak tercemar) kandungan oksigen sebesar 2
ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan organisme perairan. KLH 2004,
menetapkan nilai ambang batas oksigen terlarut untuk kehidupan biota laut adalah > 5
mg/L. Begitupun ikan yang hidup di kawasan ekosistem mangrove memiliki
kemampuan adaptasi terhadap kandungan oksigen terlarut yang ada.
Hutan mangrove adalah sebutan untuk sekelompok tumbuhan yang hidup di
daerah pasang surut pantai. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest,
coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan payau. Kita sering menyebut hutan
di pinggir pantai tersebut sebagai hutan bakau. Sebenarnya, hutan tersebut lebih tepat
dinamakan hutan mangrove. Istilah ’mangrove’ digunakan sebagai pengganti istilah
bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang terdiri
atas pohon bakau Rhizophora spp. Karena bukan hanya pohon bakau yang tumbuh di
sana. Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup di dalamnya
(Noor dan Wulandari, 2018).
Secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki peran utama sebagai daerah
pemijahan, asuhan, dan tempat mencari makan sebagian besar jenis biota laut.
Kondisi mangrove memberikan pengaruh terhadap produksi ikan budidaya maupun
nonbudidaya. Untuk menunjang kehidupan ikan baik budidaya maupun nonbudidaya,
diperlukan rancangan luasan mangrove tertentu untuk pertumbuhan ikan optimal. Hal
ini disebabkan oleh menurunnya suhu seiring meningkatnya luasan mangrove.
Banyaknya luasan mangrove, maka luas empang tambak akan berkurang dan
intensitas masuknya cahaya kedalam perairan mangrove juga akan berkurang. Dengan
berkurangnya intensitas cahaya, akan menyebabkan suhu perairan menjadi rendah dan
juga aktifitas fotosintesis yang berguna memperbanyak fitoplankton itu juga akan
berkurang dengan berkurangnya fitoplankton maka nilai klorofil-a juga akan
berkurang.
Bahan organik hasil dekomposisi serasah hutan mangrove juga merupakan
mata rantai ekologis utama yang menghubungkannya dengan perairan di sekitarnya.
Banyaknya bahan organik menjadikan hutan mangrove sebagai tempat sumber
makanan dan tempat asuhan berbagai biota seperti ikan, udang dan kepiting.
Mangrove merupakan vegetasi yang sangat produktif, yang mana 86% dari
produktivitas bersih didaur ulang, namun komponen substansial diekspor ke daerah
sublitoral sekitarnya. Sebagian besar produktivitas itu adalah dari gugur daun, yang
mana mayoritas menjadi detritus di dasar hutan, dimana bakteri dan jamur
menghancurkannya. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi ukuran mangrove maka
makin tinggi pula produksi ikan nonbudidaya. Selain itu, terlihat adanya hubungan
antara produksi ikan nonbudidaya, kandungan oksigen terlarut (DO), dan klorofil-a.
Tingginya produksi ikan nonbudidaya dapat dipengaruhi oleh kandungan DO dan
klorofil-a dalam perairan. Kedua parameter tersebut dapat menggambarkan kesuburan
atau produktifitas suatu perairan. Sementara kandungan DO dan klorofil-a dalam
perairan dapat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang berasal dari
dekomposisi serasah yang dihasilkan pohon mangrove di daerah tersebut. Keberadaan
mangrove dapat mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Dubuc et. Al. 2019 menunjukkan hasil adaptasi
beberapa taksa ikan terhadap perubahan DO ekstrem, terutama ketika pasang.
Kelompok 1 yang memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan DO (30-110%
saturation). Kelompok 2 toleransi medium memiliki DO 50-60% saturation. Dan
kelompok 3 toleransi rendah dengan 70-80% saturation, takda ikan yang biasa
ditemukan di ekosistem karang. Taksa ikan yang hidup di kawasan ekosistem
mangrove memiliki taksa yang sedikit, tidak semua taksa mampu beradaptasi dengan
kandungan DO yang berubah secara drastis. Adaptasi yang digunakan ikan sulit untuk
dianalisis, dibutuhkan penelitian yang lebih intensif untuk mengetahui adaptasi apa
yang digunakan oleh ikan.
Kesimpulan
Kesimpulan dari beberapa literatur yang digunakan menyatakan adanya suatu
hubungan atau korelasi yang kuat antara produksi ikan nonbudidaya dengan keberadaan
mangrove. Kondisi mangrove yang baik akan menghasilkan produksi ikan nonbudidaya yang
tinggi. Mangrove dapat mempengaruhi kondisi lingkungan, dengan kandungan klorofil-a
yang relatif lebih tinggi, pH yang stabil dan DO yang relatif lebih baik. Sementara produksi
budidaya tambak menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Keberhasilan produksi ikan
budidaya lebih ditentukan oleh pengelolaan tambak.
Daftar Pustaka
Noor, M. J. dan U. Wulandari (2018). Kerapatan dan Keanekaragaman Mangrove Kaitannya
dengan Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Sidoarjo. Laporan
Penelitian Dosen Pemula DIPA. Universitas Dr. Soetomo.
Thahir, R. B. (2016). ANALISIS SEBARAN KADAR OKSIGEN (O2) DAN KADAR
OKSIGEN TERLARUT (DISSOLVED OXYGEN) DENGAN MENGGUNAKAN
DATA IN SITU DAN CITRA SATELIT LANDSAT 8 (STUDI KASUS: WILAYAH
GILI IYANG KABUPATEN SUMENEP). Thesis. Institut Teknologi Sepuluh
November, Surabaya.
Suryaperdana, Y., Kadarwan S., Ali, M. 2012. Keterkaitan lingkungan mangrove pada
produksi udang dan ikan bandeng di kawasan silvofishery Blanakan, Subang, Jawa
Barat. Bonorowo wetlands. 2(2).
Sistiyanto Harjuno. 2020. Dissolved Oxygen, Oksigennya Organisme Akuatik. Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
Dubuc Alexia, Ronald Baker, Cyril Marchand, Nathan J. Waltham, and Marcus Sheaves.
2019. Hypoxia in mangroves: occurrence and impact on valuable Tropical fish
habitat. Biogeosciences. 19.

Anda mungkin juga menyukai