Anda di halaman 1dari 8

Nama : Annisa Muthiya (082001300005)

SELF PURIFICATION SUNGAI

Self purification merupakan suatu proses alami dimana sungai mempertahankan


kondisi asalnya melawan bahan bahan asing yang masuk kedalam sungai.
Menyempurnakan metode buatan dari pengelolaan kualitas air dan menyangkut proses
fisik kimia dan biologis. Bila penambahan pencemar di hilir sungai tidak berlebihan, air
akan membersihkan diri dengan sendirinya (selfcleansing).
Proses ini tidak berlaku untuk pencemar kategori senyawa organik
nonbiodegradabel atau logam. Pada sungai yang tidak tercemar, oksigen terlarut
memiliki kadar sekitar 8 ppm dan BOD dalam keadaan yang rendah. Namun, pada
kondisi sungai yang tercemar, misalnya sungai yang mengalir di kawasan pemukiman
dan mendapat beban pencemar dari aliran limbah domestik. Limbah domestik sebagian
besar terdiri dari kandungan organik. Kandungan organic ini membutuhkan oksigen
untuk terdekomposisi. Karena itu BOD akan meningkat dan mempengaruhi DO di hilir

sungai. Seiring dengan mengalirnya air ke hilir, jumlah bakteri meningkat. Akibatnya
ketersediaan DO pada air sungai menurun. Pada titik tertentu pencemar organik
terdekomposisi dan terjadi recovery oksigen atau DO kembali meningkat sebagai
sumbangan dari atmosfir (aerasi) dan tanaman air.
Mekanisme Self Purification berlangsung dalam beberapa tahapan :
1. Clean Zone
2. Decomposition Zone
3. Septic Zone
4. Recovery Zone

Kondisi oksigen terlarut pada zona bersih (Clean Zone) berada pada 8 ppm,
yang merupakan konsentrasi normal DO di perairan dan BOD pada kondisi yang
rendah. Pada zona ini hewan hewan air yang membutuhkan oksigen dalam konsentrasi
normal tumbuh dengan baik. Hewan hewan ini akan mati bila konsentrasi oksigen
menurun.
Dengan adanya pencemar yang memasuki badan air, peningkatan BOD terjadi
seiring dengan penurunan konsentrasi oksigen. Zona ini disebut dengan zona
dekomposisi (Decomposition Zone) dimana terjadi dekomposisi bahan organik oleh
bakteri. Populasi bakteri di zona ini meningkat. Hewan yang dapat tumbuh adalah
hewan dengan kebutuhan oksigen yang rendah, seperti beberapa jenis ikan dan lintah.
Zona septik (Septic Zone) terjadi pada saat keberadaan oksigen dibawah 2 ppm.
Ikan akan menghilang atau pindah dari zona ini karena ketidaksesuaian dengan

kebutuhan oksigennya. Pada beberapa bagian kehidupan yang terdapat pada zona ini
adalah cacing lumpur, jamur dan bakteri anaerobik. Bakteri berada pada populasi yang
tinggi pada zona ini.
Seiring dengan waktu dan jarak dari lokasi pencemaran sungai mengalami
peningkatan konsentrasi oksigen yang berasal dari penangkapan udara oleh air, aerasi
dan tanaman air. Selain itu bahan organik mengalami penurunan setelah mengalami
dekomposisi sehingga BOD menurun. Zona ini disebut (recovery zone), pada zona ini
hewan - hewan yang tidak membutuhkan oksigen tinggi kembali dapat ditemui dan
hidup disini dan populasi bakteri menurun. Zona bersih kembali tercapai setelah
recovery selesai. Hewan hewan air dapat tumbuh kembali dengan baik.
SELF PURIFICATION LAUT
Semakin tinggi elevasi maka arus laut akan semakin kuat bersamaa dengan dasar
bebatuan alhasil oksigen akan semakin banyak dan mikroorganisme mudah untuk
mengurai bahan organik. Mikroorganisme akan merekat di bebatuan dan membentuk
lapisan film dengan demikian pencemar yang mengenai bebatuan akan terdegradasi.

SELF PURIFICATION TANAH


Tanah yang terkontaminasi secara bertahap dibebaskan dari kontaminasi karena
berlangsung proses pemulihan diri, di mana bahan organik menjadi senyawa mineral.
Perkembangan proses ini dipengaruhi oleh banyak sifat-sifat tanah, struktur, sifat fisik,
komposisi kimia dan tinggal di organisme tanah. Proses pemurnian diri dari tanah
berlangsung dalam dua tahap - salinitas dan nitrifikasi.
Mineralisasi terdiri dekomposisi zat organik menjadi mineral. Hal ini dapat
terjadi

dalam

kondisi

aerob

dan

anaerob.

Dalam kondisi anaerob (tanpa adanya atau kekurangan oksigen) dekomposisi bahan
organik terjadi di bawah pengaruh enzim disekresikan bakteri yg menyebabkan
pembusukan

dan

mikroorganisme

dalam

fermentasi.

Cacing, jamur, larva serangga dan organisme lain yang hidup di dalam tanah sebagai
bagian aktif dalam penghancuran zat organik. Sebagai hasil dari proses biokimia yang
membusuk dan protein fermentasi terurai menjadi asam amino yang terkena deaminasi,
menjadi amonia; karbohidrat terurai menjadi air dan karbon dioksida, lemak dibagi
menjadi gliserol dan asam lemak, yang membentuk karbon dioksida dan air dan protein
sulfur hidrogen sulfida. Dengan demikian, dalam kondisi anaerob, proses dekomposisi
bahan organik disertai dengan pelepasan amonia, hidrogen sulfida, merkaptan dan gas
berbau busuk lainnya yang dikeluarkan ke udara luar.
Dalam

kondisi

aerobik

(cukup

oksigen)

terjadi

proses

oksidasi.

Setelah salinitas proses nitrifikasi dimulai, yang dapat terjadi hanya dalam kondisi
aerobik. Jadi, ammonia dengan menggunakan bakteri nitrifikasi menjadi asam nitrit dan
nitrat dan nitrit dalam asam nitrat dan nitrat. Hidrogen sulfida teroksidasi untuk
membentuk asam sulfat dan sulfat, karbon dioksida diubah menjadi garam karbon
dioksida (karbonat), fosfor - asam fosfat dan fosfat.
Dalam hasil pemulihan diri, tanah dibebaskan tidak hanya dari zat-zat organik.
Ini mengurangi jumlah mikroba karena kehadiran bakteriofag tanah dan antibiotik,
antagonisme mikroba, sinar matahari, pengeringan tanah dan faktor-faktor lain. Dalam
proses

pemulihan

diri

tanah

yang

mati

telur

cacing

tanah

tersebar.

Bagaimanapun harus diingat bahwa kemampuan tanah untuk membersihkan sendiri

terbatas. Jika tanah sering tercemar terlalu banyak maka proses pemurnian diri
didominasi pembusukan dan fermentasi serta dapat berhenti pada tahap mineralisasi.
SELF PURIFICATION MANGROVE
Sebagai ekosistem pantai, hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang rumit
karena terkait dengan ekosistem darat dan ekosistem pantai di luarnya sehingga hutan
mangrove dapat dikatakan sebagai interface ecosistem, yang menghubungkan daratan
ke arah pedalaman serta dalam pesisir muara (Nybakken dalam Arief, 2003). Mangrove
didefinisikan sebagai tipe vegetasi yang terdapat di perairan laut dan payau. Secara
umum dibatasi zona pasang-surut, mulai dari batas air surut terendah hingga pasang
tertinggi (Giesendalam Taqwa, 2010).
Kemampuan adaptasi mangrove terhadap lingkungan menunjukan adanya
perbedaan vegetasi. Struktur vegetasi merupakan dasar yang harus diketahui guna
mencapai pengolahan hutan yang lestari. Struktur vegetasi hutan mangrove dibagi
menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang dominan mulai dari arah laut ke
darat sebagai berikut :
1. Zona Avicennia sp.; terletak paling luar dan berhadapan langsung dengan laut. Zona
ini umumnya memiliki substrat lumpur dan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan
zona pionir karena jenis tumbuhan ini memiliki perakaran yang kuat untuk menahan
gelombang dan mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen. Zona ini
biasanya berasosiasi dengan Sonneratia yang bisa tumbuh pada lumpur dalam yang
kaya bahan organik.
2. Zona Rhizophora sp.; terletak di belakang zona Avicenia sp., substratnya masih
berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya lebih rendah. Mangrove pada zona ini
masih tergenang pada saat air pasang.
3. Zona Bruguiera sp.; terletak di belakang zona Rhizophora sp. dan memiliki substrat
tanah berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2
kali dalam sebulan.
4. Zona Nypa fruticans; terletak paling belakang dan berbatasan dengan daratan.
Zonasi pada mangrove memiliki fungsi dan perannya masing-masing dalam
menjaga kelestarian hutan mangrove. Oleh karena itu jenis-jenis tumbuhan dia tiap-tiap
zonasi akan berbeda sesuai dengan kemampuan dan fungsi tumbuhan tersebut.
Mangrove jenis Rhizophora sp. yang biasanya tumbuh di zona terluar,
mengembangkan akar tunjang (still root) untuk bertahan dari hempasan gelombang
(Anonimus, 2008).Jenis mangrove api-api (Avicennia sp.) dan pidada (Sonneratia sp.)

menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari lumpur untuk mengambil
oksigen dari udara.Pohon kendeka (Bruguiera sp.) mempunyai akar lutut (knee root),
sementara pohon-pohon nyirih (Xylocarpus sp.) berakar papan yang memanjang untuk
menunjang tegaknya pohon di atas lumpur dan mendapatkan udara untuk
pernapasannya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hutan magrove dapat menjaga
keseimbangan hidupnya dengan kerapatan struktur tanamannya yang dibagi menjadi
empat zonasi. Zonasi tersebut berurutan dimulai dari yang terdekat dengan laut hingga
ke perbatasan daratan. Pada zonasi terdepan di wilayah berpasir dan berlumpur, jenis
mangrove yang dapat hidup yaitu jenis mangrove yang akarnya mampu bernafas dalam
lumpur serta mampu menyerap mineral yang ada pada lumpur dalam. Zona terdepan ini
pula yang kemudian menjaga zona di belakangnya dari limpasan air laut. Oleh karena
itu, apabila zona terdepan ini rusak maka zona-zona di belakangnya akan terbawa rusak
karena jenis tumbuhan di belakangnya tidak mampu bernafas dala lumpur. Bila zonazona lainnya rusak maka hutan mangrove tersebut akan rusak dan tidak dapat berfungsi
seperti sebelumnya.
SELF PURIFICATION SITU
Perairan situ dibagi berdasarkan kedalamannya wilayahnya menjadi dua bagian
yaitu photic zone dan aphotic zone. Photic zone merupakan zona dimana sinar matahari
dapat masuk. Jumlah intensitas cahaya tersebut yang menembus permukaan perairan
mempengaruhi kelimpahan organisme terutama yang dapat melakukan

proses

fotosintesis yaitu fitoplankton. Fitoplankton yang merupakan produsen primer akan


memproduksi makanan dengan bantuan cahaya matahari melalui proses fotosintesis.
Pada aphotic zone tidak terdapat sinar matahari karena kedalamannya yang tidak
dapat ditembus oleh sinar matahari. Hal ini menyebabkan mikroorganisme yang
melimpah adalah organisme yang tidak dapat melakukan fotosintesis, seperti
zooplankton.
Berdasarkan literature Odum (1971), interaksi antara komponen biotik akan
membentuk suatu rantai makanan. Rantai makanan yang terbentuk ini disebut rantai
makanan grasing atau graszing food chain. Rantai makanan grasing atau graszing food
chain ialah rantai makanan yang dimulai dari tumbuhan hijau atau organisme yang
dapat menghasilkan makan sendiri sampai pada organisme trofik pada level tertinggi,

yaitu manusia. Dari organisme produsen itu kemudian dimakan oleh organisme
herbivora seperti zooplankton yang memakan fitoplankton, sampai organisme karnivora
(pemakan hewan) seperti ikan-ikan kecil memakan zooplankton yang ada di dalam
suatu perairan. Kemudian ikan-ikan kecil ini akan dimakan oleh ikan-ikan yang
berukuran lebih besar sampai pada predator utama, yaitu manusia, sehingga dari proses
makan memakan tersebut akan terbentuk rantai makanan.

Anda mungkin juga menyukai