Anda di halaman 1dari 15

TUGAS 1.

Konsep Ekologi

Nama : Arif Rahman


NIM : 20201310002
Prodi : Pend S2 Biologi

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PRIMER DI LAUT

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mana lautan lebih luas dibanding dengan
daratan. Karena lautan yang luas, menjadikan lautan merupakan asset yang sangat berharga
untuk kemakmuran manusia. Habitat air laut (oceanic) ditandai oleh salinitas yang tinggi dengan
ion Cl- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan penguapan besar.
Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25°C. Perbedaan suhu bagian atas dan bawah tinggi. Batas
antara lapisan air yang panas di bagian atas dengan air yang dingin di bagian bawah disebut
daerah termocline. Di daerah dingin, suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, maka
daerah permukaan laut tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari pantai ke
tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga memungkinkan
terbentuknya rantai makanan yang berlangsung baik.
Adapun ciri-ciri dari habitat laut, yaitu: variasi temperature atau suhu bervariasi; kadar
garam atau salinitas atau tingkat keasinan tinggi; penetrasi dari cahaya matahari tinggi; ekosistem
tidak dipengaruhi oleh iklim dan cuaca alam sekitar; aliran atau aus laut terus bergerak karena
perbedaan iklim, temperature dan rotasi bumi; habitat di laut saling berhubungan atau berkaitan
satu sama lain; dan komunitas air asin terdiri dari produsen, konsumen, zooplankton dan
decomposer. Menurut kedalamannya, ekosistem air laut dibagi menjadi ; zona litoral merupakan
daerah yang berbatasan dengan darat, neretik merupakan daerah yang masih dapat ditembus
cahaya matahari sampai bagian dasar dalamnya ± 300 meter, batial merupakan daerah yang
dalamnya berkisar antara 200-2500 m dan abisal merupakan daerah yang lebih jauh dan lebih
dalam dari pantai (1.500- 10.000 m).
Menurut wilayah permukaannya secara horizontal, berturut-turut dari tepi laut semakin
ke tengah, laut dibedakan sebagai berikut :
- Epipelagik merupakan daerah antara permukaan dengan kedalaman air sekitar 200 m.
- Mesopelagik merupakan daerah dibawah epipelagik dengan kedalaman 200-1000 m.
Hewannya misalnya ikan hiu.
- Batiopelagik merupakan daerah lereng benua dengan kedalaman 200-2.500 m. Hewan yang
hidup di daerah ini misalnya gurita.
- Abisalpelagik merupakan daerah dengan kedalaman mencapai 4.000 m; tidak terdapat
tumbuhan tetapi hewan masih ada. Sinar matahari tidak mampu menembus daerah ini.
- Hadalpelagik merupakan bagian laut terdalam (dasar). Kedalaman lebih dari 6.000 m. Di bagian
ini biasanya terdapat lele laut dan ikan Taut yang dapat mengeluarkan cahaya. Sebagai
produsen di tempat ini adalah bakteri yang bersimbiosis dengan karang tertentu.
Menurut Wikipedia, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem_laut, bahwa
ekosistem laut juga berperan penting bagi lingkungan di daratan. 50% oksigen yang dihisap
organisme di daratan berasal dari fitoplankton di lautan. Habitat pantai (estuari, hutan bakau, dan
sebagainya) merupakan kawasan paling produktif di bumi. Ekosistem terumbu karang
menyediakan sumber makanan dan tempat berlindung bagi berbagai jenis organisme dengan
keanekaragaman hayati tingkat tinggi di lautan.
Dari uraian di atas, ekosistem laut sangat berperan penting yaitu menyediakan 50 %
oksigen untuk daratan. Yang berperan dalam menghasilkan oksigen di laut adalah fitoplankton.
Nama fitoplankton diambil dari istilah Yunani, phyton atau "tanaman" dan πλαγκτος ("planktos"),
berarti "pengembara" atau "penghanyut". Sebagian besar fitoplankton berukuran terlalu kecil
untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Akan tetapi, ketika berada dalam jumlah yang besar,
mereka dapat tampak sebagai warna hijau di air karena mereka mengandung klorofil dalam sel-
selnya (walaupun warna sebenarnya dapat bervariasi untuk setiap spesies fitoplankton karena
kandungan klorofil yang berbeda beda atau memiliki tambahan pigmen seperti phycobiliprotein).
Fitoplankton adalah komponen autotrof plankton. Autotrof adalah organisme yang
mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan
anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi
sebagai produsen. Fitoplankton memperoleh energi melalui proses yang dinamakan fotosintesis
sehingga mereka harus berada pada bagian permukaan permukaan (disebut sebagai zona
euphotic) lautan, danau atau kumpulan air yang lain. Melalui fotosintesis, fitoplankton
menghasilkan banyak oksigen yang memenuhi atmosfer Bumi dan plankton ini yang menghasilkan
oksigen lebih dari 70% di bumi. Kemampuan mereka untuk mensintesis sendiri bahan organiknya
menjadikan mereka sebagai dasar dari sebagian besar rantai makanan di ekosistem lautan dan di
ekosistem air tawar. Disamping cahaya, fitoplankton juga sangat tergantung dengan ketersediaan
nutrisi untuk pertumbuhannya. Nutrisi-nutrisi ini terutama makronutrisi seperti nitrat, fosfat atau
asam silikat, yang ketersediaannya diatur oleh kesetimbangan antara mekanisme yang disebut
pompa biologis dan upwelling pada air bernutrisi tinggi dan dalam. Akan tetapi, pada beberapa
tempat di Samudra Dunia seperti di Samudra bagian Selatan, fitoplankton juga dipengaruhi oleh
ketersediaan mikronutrisi besi. Hal ini menyebabkan beberapa ilmuan menyarankan penggunaan
pupuk besi untuk membantu mengatasi karbondioksida akibat aktivitas manusia di atmosfer.
Plankton dalam proses fotosintesis menjadikan matahari sebagai sumber utama yang
dubah menjadi energi yang berupa senyawa organik. Di lautan terbuka, fitoplankton (alga dan
bakteri) adalah autotrof yang paling penting, sementara alga multiselluler dan tumbuhan aquatic
kadang kadang merupakan produsen primer yang lebih penting di daerah litoral (daerah dangkal
dekat pantai) dalam ekosistem air tawar maupun air laut. Akan tetapi, pada zona afotik laut
dalam, sebagian besar kehidupan bergantung pada produksi fotosintetik di dalam zona fotik;
energi dan nutrient turun ke bawah dari atas dalam bentuk plankton mati dan detritus lainnya,
disamping oleh bakteri kemoautotrof.
Cara yang mendasar untuk menangkap energi matahari adalah pembentukan gula oleh
tumbuhan yang mengandung klorofil (Rabinowitch, 1945 dalam Kendeigh, 1980) yang disebut
sebagai peristiwa fotosintesis dengan persamaan sebagai berikut :
6 CO2 + 6 H2O ————> 6 O2 + C6 H12O6
Gula (karbohiodrat) yang merupakan hasil fotosintesis, dapat diubah menjadi tepung, lemak, atau
karbon, hidrogen, oksigen yang jika digabung dengan nitrogen, sulfur dan fosfor dapat terbentuk
protein. Jumlah gula atau bahan organik baru yang terbentuk dari peristiwa fotosintesis
menggambarkan produksi primer ekosistem. Istilah produktivitas primer seringkali ditafsirkan
sebagai biomassa (standing crop), padahal keduanya memiliki esensi yang berbeda. Menurut
Odum (1971) dan Odum (1983), yang dimaksud dengan produktivitas primer di dalam suatu
komunitas atau ekosistem adalah laju penyimpanan energi sinar matahari oleh aktivitas
fotosintetik dan kemosintetik yang dilakukan oleh produsen (terutama tumbuhan hijau
berklorofil) ke bentuk bahan organik yang dapat dipergunakan sebagai bahan makanan. Dengan
kata lain, produktivitas primer adalah adalah laju produksi, yaitu jumlah bahan organik hasil
fotosintesis per satuan waktu, sedangkan biomassa merupakan jumlah berat bahan organik per
satuan area. Biomassa dapat dinyatakan sebagai biomassa volume, biomassa berat basah,
biomassa berat kering, bimassa berat kering bebas debu. Dengan demikian, adakalanya
produktivitas tinggi, tetapi karena terjadi konsumsi oleh herbivora, maka biomassa menjadi
rendah.
Produktivitas primer adalah kecepatan terjadinya proses fotosintesis atau pengikatan
karbon dan produksi karbohidrat (zat organik) dalam satuan waktu dan volume tertentu (Kirk,
2011; Lee et al., 2014). Produktivitas primer perairan merupakan salah satu faktor penting dalam
ekosistem perairan laut, karena berperan dalam siklus karbon dan rantai makanan untuk
organisme heterotrof (Ma et al., 2014; Lee et al.,2014). Pada ekosistem akuatik sebagian besar
produktivitas primer perairan dilakukan olah fitoplankton dan kurang lebih produksi primer di laut
berasal dari fitoplankton (Parson et al., 1984)
Produktivitas Primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi
dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organik (biomassa) yang terbentuk dalam
proses produktivitas dinamakan produktivitas primer kotor, atau produksi total. Jumlah seluruh
bahan organik yang terbentuk dalam proses produksivitas dinamakan produksi primer kotor, atau
produksi total. Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan
proses-proses hidup, respirasi. Produksi primer bersih adalah istilah yang digunakan bagi jumlah
sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan untuk respirasi. Produksi primer inilah yang
tersedia bagi tingkatan-tingkatan trofik lain.
Produksi primer kotor maupun bersih pada umumnya dinyatakan dalam jumlah gram
karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air laut per interval waktu. Jadi, produksi
dapat dilaporkan sebagai jumlah gram karbon per m 2 per hari (gC/m2/hari), atau satuan-satuan
lain yang lebih tepat. Hasil tetap (Standing crop) yang diterapkan pada tumbuhan ialah jumlah
biomassa tumbuhan yang terdapat dalam suatu volume air tertentu pada suatu saat tertentu.Di
laut khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang
menentukan produktivitas primer perairan. Produktivitas jumlah karbon yang terdapat di dalam
matenal hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam
satu meter kuadrat kolom air per hari (g C/m 2/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan
dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari) (Levinton. 1982). Selain jumlah karbon yang
dihasilkan tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan
pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a. dimana kedua metode ini
dapat diukur secara langsung di lapangan.
Produktivitas primer merupakan laju penambatan energi yang dilakukan oleh produsen.
Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energi cahaya yang diubah
menjadi energi kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu. Total
produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity, GPP).
Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada tubuh organisme
produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena organisme tersebut menggunakan
sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organik dalam respirasinya. Dengan demikian,
Produktivitas primer bersih (net primary productivity, NPP) sama dengan produktivitas primer
kotor dikurangi energy yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs):
NPP = GPP – Rs
Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan energi kimia yang
tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer, produktivitas primer bersih dapat
mencapai 50% – 90% dari produktivitas primer kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP
terhadap GPP umumnya lebih kecil bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang
rumit, seperti pohon yang mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik
aktif.
Tinggi rendahnya produktivitas primer suatu lingkungan perairan laut, tergantung pada
beberapa faktor antara lain :
1. Sinar Matahari/Cahaya
Produktivitas di laut umumnya terdapat paling besar di perairan dangkal dekat benua
dan di sepanjang terumbu karang, dimana cahaya dan nutrient berlimpah. Di lautan terbuka,
intensitas cahaya mempengaruhi produktivitas komunitas fitoplankton. Produktivitas secara
umum paling besar dekat permukaan dan menurun secara tajam dengan bertambahnya
kedalaman, karena cahaya secara cepat diserap oleh air dan plankton. Produktivitas primer per
satuan luas laut terbuka relatif rendah karena nutrient anorganik, khususnya nitrogen dan
fosfor, tersedia dalam jumlah terbatas di dekat permukaan; di tempat yang sangat dalam, di
mana nutrient berlimpah, cahaya yang masuk tidak mencukupi untuk mendukung fotosintesis.
Komunitas fitoplankton berada pada kondisi paling produktif ketika arus yang naik ke
atas membawa nitrogen dan fosfor ke permukaan. Fitoplankton, algae dan makrophyta dapat
menggunakan sinar matahari sampai dengan 7%. Tumbuhan laut mensintesis sekitar 90% dari
jumlah keseluruhan zat-zat organik yang disintesis oleh tumbuhan di atas dunia ini. Intensitas
cahaya yang masuk ke dalam kolom air sangat mempengaruhi produksi fitoplankton dan
sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain absorbsi cahaya oleh air, panjang
gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik
dan musim.
Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di laut
lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk
proses fotosintesa. Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam
jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak
terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari
permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah
lapisan termoklin. Hal ini juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil
pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-
a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju
bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan
termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.
Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis pigmen tambahan
seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara lengkap menggunakan semua cahaya
dalam spektrum tampak. Pada panjang gelombang 400 – 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh
pigmen fitoplankton dapat dibagi dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm,
terutama diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600 nm,
terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).
Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka jumlah
cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda pula. Keadaan ini
berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesa. Fujita (1970) dalam Parsons et al. (1984)
mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a
dan b untuk alga hijau dan euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom,
dinoflagelata, dan alga coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau
biru.
2. Awan
Sumber energi utama untuk semua arus trofik adalah sinar matahari yang hanya efekif pada
waktu siang hari. Oleh karena ada absorbsi pada waktu energi berwujud sinar tersebut melalui
atmosfer dan terjadi pemencaran oleh asap dan partikel debu serta ada awan, maka hanya
tertinggal kurang lebih 46% sinar matahari yang mencapai permukaan bumi (Fritz, 1957 dalam
Kendeigh, 1980). Adanya awan dan debu di udara dapat mengurangi jumlah dan intensitas
cahaya yang sampai ke pemukaan air setelah menjelajahi atmosfer. Keadaan seperti ini
mengurangi penembusan cahaya ke permukaan laut dan mengurangi kecepatan proses
produktivitas primer.
3. Angin
Angin dapat menciptakan gelombang yang dapat mengakibatkan permukaan laut tidak rata
dan memantulkan sebagian sinar matahari jika dibandingkan dengan permukaan yang rata.
Gelombang, terutama di perairan dangkal dapat juga menyebabkan kekeruhan dan
mengurangi penembusan cahaya matahari. Tetapi sebaliknya, angin juga dapat mendorong
massa air sehingga memperkaya zat hara untuk fotosintesis.
4. Suhu
Suhu yang membantu melalui keragaman musiman mengakibatkan hilangnya termoklin dan
mendorong permukaan massa air yang menyediakan zat hara untuk kegiatan fotosintesis.
Suhu juga mempengaruhi daya larut gas-gas yang diperlukan untuk fotosintesis seperti CO 2 dan
O2. Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi,
kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika yang terjadi di dalam
kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu
permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya
aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden and Hayes
(1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1 o C pada lapisan permukaan
hingga kedalaman 10 m dan hanya kira-kira 0,12 o C pada kedalaman 10 – 75 m. Disamping itu
Lukas and Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat
tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur.
Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta kandungan bahannya.
Menurut McPhaden and Hayes (1991), adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan
perubahan terhadap kandungan bahan dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor
tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat
mengakibatkan terjadinya upwelling. Upwelling menyebabkan suhu lapisan permukaan
tercampur menjadi lebih rendah. Pada umumnya pergerakan massa air disebabkan oleh
angin. Angin yang berhembus dengan kencang dapat mengakibatkan terjadinya percampuran
massa air pada lapisan atas yang mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen.
5. Rantai Makanan di Laut
Rantai makanan (food chain) adalah hubungan makan-dimakan antara organisme
autotrofik dengan organisme heterotrofik dan antara sesama heterotrofik, di mana terjadi
perpindahan aliran energi dari produsen ke konsumen. Organisme autotrofik disebut sebagai
produsen meliputi semua organisme yang dapat mensintesa bahan organik dari bahan
anorganik, sedangkan semua organisme yang langsung memanfaatkan organisme autorofik
maupun saling makan antara organisme heterotrof pada tingkatan herbivora, karnivora
ataupun decomposer disebut sebagai konsumen. Setiap tingkatan trofik konsumen dalam
suatu rantai makanan disebut sebagai tingkatan trofik (level trophic). Pada perairan aquatic
(laut), rantai makanan yang terjadi panjang, bisa mencapai lima atau lebih mata rantai karena
herbivora yang hidup umumnya berukuran sangat kecil. Rantai-rantai makan yang saling
berhubungan dalam suatu ekosistem akan membentuk jaring-jaring makanan (food web).Agar
rantai makan berkelanjutan dan selalu berada dalam keadaan yang seimbang, maka produsen
harus lebih besar jumlahnya daripada konsumen tingkat satu. Begitu pula konsumen tingkat
satu harus lebih banyak daripada konsumen tingkat dua dan seterusnya. Dengan demikian,
makin tinggi tingkat konsumennya, jumlah populasi harus semakin kecil (semakin meruncing)
sehingga tampak sebagai piramida makanan. Piramida makanan adalah rantai makanan dalam
bentuk piramida, dimana mata rantai dasar berupa biota berukuran kecil yang berada dalam
jumlah individu yang besar dan puncaknya berisi biota berukuran besar dengan jumlah
individu yang kecil. Dalam rantai pakan (food chain), fitoplankton akan dimakan oleh hewan
herbivora yang merupakan produsen sekunder (secondary producer). Produsen sekunder ini
umumnya berupa zooplankton yang kemudian dimangsa pula oleh hewan karnivor yang lebih
besar sebagai produsen tersier (tertiary producer). Demikianlah seterusnya rentetan
karnoivora memangsa karnivora lain hingga merupakan produsen tingkat keempat, kelima dan
seterusnya. Perpindahan senyawa organik dari satu tingkat ke tingkat lebih tinggi berlangsung
tidak efisien. Diperkirakan efisensi perpindahan ini hanya sekitar 10%. Ini berarti bahwa dari
1000 unit bahan organik yang yang diproduksi oleh produsen primer hanya 100 unit yang
dapat membentuk produsen kedua, selanjutnya menjadi 10 unit produsen ketiga, satu unit
produsen keempat dan seterusnya. Demikianlah, maka jenjang permakanan (trophic level) ini,
dari produsen primer hingga karnivora puncak (top carnivore) akan membentuk limas pakan
(food pyramid). Jelaslah bahwa fitoplankton, sebagai produsen primer, merupakan pangkal
rantai pakan dan merupakan fondamen yang mendukung kehidupan seluruh biota laut lainnya.
Atau dengan kata lain dapat disebutkan bahwa perairan yang produktivitas primer
fitoplanktonnya tinggi akan mempunyai potensi sumberdaya hayati yang besar pula.
Menurut sifatnya, rantai makanan di laut terbagi atas dua bagian, yaitu :
1. Rantai Makanan Meramban / Merumput (Grazing Food Chain)
Istilah merumput di sini dimaksudkan dalam hal konsumsi langsung tumbuhan hidup atau
bagian-bagian tumbuhan yang berada dalam lingkungan perairan laut. Seperti di daratan,
produksi tumbuhan masuk ke dalam rantai makanan komunitas pelagic melalui organisme
pemakan tumbuhan atau herbivora. Karena ukuran fitoplankton sangat kecil, organisme
herbivora pun kecil. Sejumlah besar spesies invetebrata planktonik adalah herbivora, tetapi
herbivore yang dominan dalam semua lautan ini adalah berbagai spesies kopepoda yang
terdiri dari 50% - 80% dari jumlah zooplankton, selain Cladocera dan
Euphausiid. Rantai makanan merumput umumnya terjadi pada ekosistem terumbu karang
atau pada komunitas lamun. Secara ringkas, rantai makanan meramban di laut dapat
disederhanakan menjadi :
a. Produsen : Fitoplankton, Tumbuhan Thallus (Algae), Makrophyta (Lamun)
b. Konsumen :
- Zooplankton Herbivora : berupa Cladocera, Copepoda, Euphausiid.
- Zooplankton Karnivora : berupa larva ikan.
- Ikan Pemakan plankton, seperti ikan kembung, ikan tongkol, barakuda, ikan Paus
- Teritip
- Hewan-hewan karang
2. Rantai Makanan Detritus (Detritus Food Chain)
Detritus berasal dari bahasa Latin, deterere yang artinya busuk, menghilang atau lapuk.
Detritus merupakan salah satu sumber makanan utama dalam ekosistem pesisir atau lautan
yang terdiri dari sisa-sisa bahan organik tumbuhan dan hewan yang berukuran mikroskopik
dan berasosiasi dengan bakteri. Rantai makanan detritus meliputi hasil penghancuran,
pengumpulan, pembusukan atau penguraian (dekomposisi) bahan-bahan yang mati. Dengan
demikian, komponen rantai makanannya dapat disederhanakan mejadi :
a. Produsen : Detritus
b. Konsumen : Bakteri dan fungi, Protozoa dan avertebrata lain, Karnivora sedang, Karnivora
tinggi
6. Zat-zat Hara (Nutrient)
Untuk proses fotosintesis, fitoplankton membutuhkan air, CO 2 dan cahaya. Namun untuk
proses pertumbuhan dan produksi sel, fitoplankton sangat tergantung pada ketersediaan
unsur hara. Tanpa ketersediaan ini, sel-sel fitopalnkton tidak dapat membelah diri dan
selanjutnya menjadi tua (senescent). Selama ada unsur hara, populasi sel akan meningkat. Zat-
zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak
adalah nitrogen (sebagai nitrat, NO3) dan fosfor (sebagai fosfat, PO42-). Zat-zat hara lain, baik
anorganik maupun organik, mungkin diperlukan dalam jumlah kecil atau sangat kecil, namun
pengaruhnya terhadap produktivitas tidak sebesar nitrogen dan fosfor.
Pemeriksaan kandungan nitrat sebagai kandungan hara perlu dilakukan karena
parameter tersebut termasuk parameter yang menentukan tingkat kesuburan perairan. Bila
kadarnya terlalu tinggi bisa menyebabkan perairan menjadi blooming dari salah satu jenis
fitoplankton yang mengeluarkan toksin (Wibisono, 2005). Nitrat merupakan salah satu unsur
penting untuk sintesa protein tumbuh-tumbuhan akan tetapi pada konsentrasi tinggi dapat
menstimulasi pertumbuhan ganggang. Nitrat merupakan salah satu senyawa penting untuk
sintesa protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, akan tetapi nitrat pada konsentrasi yang tinggi
dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang yang tidak terbatas sehingga air akan mengalami
kekurangan oksigen terlarut yang menyebabkan kematian organisme air (Alaerts dan Santika,
1984). Kadar nitrat yang optimum bagi pertumbuhan plankton adalah 0,9-3,5 mg/liter dan
kandungan nitrat yang kurang dari 0,114 mg/liter dan lebih besar dari 4,5 mg/liter akan
menjadi faktor pembatas (Wardoyo, 1978).
Phospat merupakan unsur esensial perairan yang terdapat dalam bentuk senyawa
phospat organik dan anorganik. Ortophospat (PO4) adalah contoh senyawa phospat anorganik
sedangkan senyawa phospat organik terdapat dalam tubuh. Phospat sangat berguna untuk
pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktifitas badan air.
Phospat berada dalam sedimen dan lumpur air bersama kehidupan biologis yang berada di
atas air. Phospat dapat dijadikan sebagai parameter untuk mendeteksi pencemaran air
(Amstrong, 1994). Kadar phospat yang optimum bagi pertumbuhan plankton adalah 0,09-1,80
mg/liter dan merupakan faktor pembatas apabila nilainya dibawah 0,02 mg/liter (Haryani,
1989).
7. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) adalah jumlah oksigen yang ada dalam kolom
air. Dalam lingkungan perairan level oksigen terlarut dipengaruhi oleh temperatur, salinitas,
dan ketinggian. Oksigen terlarut (DO) sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dan
respirasi. Sumber utama oksigen terlarut dalam air menurut Basyarie (1995) adalah difusi
udara dan dari hasil fotosintesis biota berklorofil yang hidup di perairan.
Sutarman (1993) menambahkan bahwa pada suhu perairan yang tinggi, aktivitas
metabolisme perairan akan semakin meningkat dimana pada kondisi tersebut kadar oksigen
yang dikonsumsi semakin bertambah dan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan
bertambahnya suhu air, dan sebaliknya pada suhu perairan rendah, laju metabolisme dan
kadar oksigen yang dikonsumsi juga rendah. oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar
untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air, kehidupan makhluk hidup dalam air
tersebut tergantung pada kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen,
minimal yang dibutuhkan untuk kehidupan. Alfan (1995), menyatakan bahwa kandungan
Oksigen terlarut (DO) di dalam air yang dapat mendukung kehidupan organisme air berkisar
antara 4-8 mg/L.
8. Salinitas
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah hujan tinggi dan
dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan yang
memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga
berperan dalam penyebaran salinitas di suatu perairan.
Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya
kedalaman. Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan penyebaran salinitas secara
vertikal. Pengadukan di dalam lapisan permukaan memungkinkan salinitas menjadi homogen.
Terjadinya upwelling yang mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga
mengakibatkan meningkatnya salinitas permukaan perairan.
Sistem angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh terhadap
sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Secara horisontal
berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan sebaran secara vertikal
umumnya disebabkan oleh tiupan angin yang mengakibatkan terjadinya gerakan air secara
vertikal. Menurut Wyrtki (1961), sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan
dan panas yang akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan. Perubahan
musim tersebut selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang
bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Interaksi antara sistem angin muson
dengan faktor-faktor yang lain, seperti run-off dari sungai, hujan, evaporasi, dan sirkulasi
massa air dapat mengakibatkan distribusi salinitas menjadi sangat bervariasi.
Pengaruh sistem angin muson terhadap sebaran salinitas pada beberapa bagian dari
perairan Indonesia telah dikemukakan oleh Wyrtki (1961). Pada Musim Timur terjadi penaikan
massa air lapisan dalam (upwelling) yang bersalinitas tinggi ke permukaan di Laut Banda
bagian timur dan menpengaruhi sebaran salinitas perairan. Selain itu juga di pengaruhi oleh
arus yang membawa massa air yang bersalinitas tinggi dari Lautan Pasifik yang masuk melalui
Laut Halmahera dan Selat Torres. Di Laut Flores, salinitas perairan rendah pada Musim Barat
sebagai akibat dari pengaruh masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur,
tingginya salinitas dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores mengakibatkan meningkatnya
salinitas Laut Flores. Laut Jawa memiliki massa air dengan salinitas rendah yang diakibatkan
oleh adanya run-off dari sungai-sungai besar di P. Sumatra, P. Kalimantan, dan P. Jawa.
9. Densitas air laut (st)
Distribusi densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi densitas secara vertikal
di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara horisontal yang disebabkan oleh arus.
Distribusi densitas berhubungan dengan karakter arus dan daya tenggelam suatu massa air
yang berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke kedalaman tertentu. Densitas air laut
tergantung pada suhu dan salinitas serta semua proses yang mengakibatkan berubahnya suhu
dan salinitas. Densitas permukaan laut berkurang karena ada pemanasan, presipitasi, run off
dari daratan serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu permukaan.
Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan pengangkatan
massa air. Penyebab utama dari proses tersebut adalah tiupan angin yang kuat. Lukas and
Lindstrom (1991), mengatakan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % terlihat adanya
hubungan yang positif antara densitas dan suhu dengan kecepatan angin, dimana ada
kecenderungan meningkatnya kedalaman lapisan tercampur akibat tiupan angin yang sangat
kuat. Secara umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau
kedalaman, dan menurunnya suhu.
Dari uraian uraian di atas, untuk meningkatkan produktivitas primer dipengaruhi oleh
beberapa faktor pokok yaitu sinar matahari, suhu, nutrient juga di pengaruhi juga pengaruh arus
air. Sinar matahari yang bersinar baik sangat baik untuk proses fotosistesis tumbuhan air baik
planton, terumbu karang ataupun algae. Daerah tropis yang berada di daerah yang bercahaya
sepanjang tahun sangat baik untuk proses fotosintesis. Untuk daerah tropis, sinar matahari sangat
baik pada musim panas, itu juga selama 3 bulanan. Zona yang sangat baik adalah zona fotik, zona
yang mendapatkan cahaya matahari. Daerah pesisir, daerah litoral dan neritik atapun daerah
dengan kolom air vertical yang terkena cahaya matahari sangat baik untuk proses fotosintesis,
sehingga bisa mengkatkan produktivitas primer dari produsen.
Suhu yang baik untuk proses pertumbuhan produsen air adalah suhu yang hangat yaitu
sekitar 25-30 0 C. Suhu di bawah suhu normal kurang bagus untuk pertumbuhan produsen, suhu
yang terlalu tinggi menyebabkan proses fotosistesis terhambat. Untuk mendapatkan suhu
optimal, harus terjadi perubahan yang kompleks supaya suhu dipermukaan air dan didalam air
bisa bercampur sehingga suhu air homogeny yang sangat baik untuk pertumbuhan produsen.
Perubahan arus air juga sangat berpengaruh terhadap produktivitas produsen primer.
Sirkulasi air ke atas di sebut dengan upwelling. Tingginya produktivitas di laut terbuka yang
mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan
tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang
dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer
meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling
di daerah divergensi ekuator. Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami
upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961
dan Schalk, 1987), Selatan Jawa dan Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor
(Tubalawony, 2000). Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru
diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana pada saat
tersebut terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Musim
Barat. Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai
konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Di perairan Banda (Vosjan and Nieuwland, 1987) pada
Musim Timur terdapat 2 (dua) periode “bloom” fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua
di bulan Agustus/September. Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi distribusi klorofil-a di Laut
Banda pada fase akhir di bulan September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian
timur Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari
klorofil-a tersebut berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada
Musim Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi
klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18 mm/l.
Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom perairan
yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan
meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari
yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui
aktivitas fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan nutrien
terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif
meningkatkan produksi baru. Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh tiupan
angin. Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia bertiup angin Muson Tenggara yang
mengakibatkan sebagian besar perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan yang
mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara vertikal. Tubalawony (2000)
berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya
percampuran vertikal massa air di perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal.
Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan
dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.
Percampuran massa air horizontal juga berpengaruh terhadap dalam penyediaan
nutrient. Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola sirkulasi massa air di Perairan
Indonesia. Sistem ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang berbeda
di suatu perairan. Misalnya pada saat Musim Timur, massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu
dengan massa air Laut Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin muson
tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian
barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi
massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan.
Tingginya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di
peroleh. Nontji (1974) dalam Monk et al. (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi
klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat, dan
0,21 mg/m3 selama Musim Timur. Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan
termoklin sangat mendukung tingginya laju produktivitas produksi primer. Bagian bawah dari
lapisan tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki
konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktivitas
primer. Lapisan termoklin yang dangkal lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan.
Karena pada saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin lebih
mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika dibandingkan dengan lapisan termoklin yang
lebih dalam. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan
keberadaan massa air menyimpulkan bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum
adalah pada bagian batas atas lapisan termoklin. Matsuura et al. (1997) dari hasil pengamatannya
di timur laut Lautan Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan
tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan
tercampur dengan konsentrasi maksimum terdapat pada kedalaman kira-kira 75 – 100 m.
Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi maksimum klorofil-a di perairan
selatan Pulau Jawa – Bali berada pada kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim
Barat. Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan termoklin.
Pengaruh lain untuk peningkatan produktivitas primer adalah nutrient. Nutrien yang
paling berpengaruh adalah fosfat dan nitrat (nitrogen). Didalam fospat ada unsur fospor. Fospor
di laut berada di daerah dasar, karena fosfat seyogyanya ada di tubuh makhluk hidup dan di
batuan. Fospor sangat sangat berperan dalam penyerapan karbondioksida di atmosfer. Fosfor
yang berasal dari daratan masuk lewat ke sungai terus kemuara, terjadi sedimentasi dan mengalir
ke laut melalui proses arus. Fosfor di lautan berada pada jasad organik yang mati dikolom air atau
dari batuan dasar yang terbawa arus naik ke daerah. Agar maksimal pemanfaatan fosfor jadi
proses upwelling sangat berpengaruh untuk penyediaan fosfor yang maksimal. Karena fosfor
berkaitan dengan serapan atmosfer di udara, kita fosfor melimpah di lautan, penyerapan CO 2 juga
bisa maksimal sehingga proses fotositesis bisa berlangsung optimal. Karena CO 2 adalah salah satu
bahan yang penting untuk fotosintesis produsen. Sehingga pertumbuhan dan perkembangan
populasi produsen melimpah di lautan. Selain fosfat , zat lain yang berpengaruh adalah nitrat.
Nitrat merupakan merupakan asupan nitrogen untuk sel. Nitrat berasal dari dekompoisi biota laut
yang mati. Nitrat diperairan untuk mendapatkan produktivitas optimum, harus berada di kadar
optimum juga. Jika kadar nitrat ataupun posfor dilautan akan menyebabkan blooming algae. Ini
tidak baik bagi perairan karena akan menggangu biota yang lain. Dengan kadar yang optimum
produkstivitas primer dilautan bisa optimum.
Faktor lain untuk meningkatkan produktivitas primer adalah dengan menggunakan
parameter DO atau dissolved oksigen atau kandungan oksigen di dalam air. Yang mana oksigen
dalam air digunakan untuk proses respirasi sel. JIka produsen melakukan fotosistesis optimum
menjadikan perairan kaya akan nutrisi dan oksigen. Nutrisi banyak menyebabkan herbivore laut
bisa berkembang dengan baik. Herbivora laut di makan oleh karnivora laut. Jika para produsen,
herbivore, karnivora laut mati, akan terdekomposi bisa di dasar laut ataupun dikolom air. Yang
mana senyawa senyawa organik tersebut akan di pergunakan lagi oleh produsen untuk
fototsintesis.
Jadi untuk meningkatkan produktivitas primer di lautan bisa terjadi jika kandungan
oksigen di lautan besar karena mencirikan banyaknya keanekaragaman hayati yang besar.
Senyawa fosfat dan nitrat, yang optimum bisa meningkatkan produktivitas primer dari produsen.
Cahaya yang bersinar sepanjang tahun lebih baik untuk proses fotosintesis yang optimum.
Upwelling yang terjadi banyak di lautan lebih menguntungkan untuk menigkatkan produktivitas
primer. Dilautan yang hangat produktivitas primer akan lebih besar di banding lautan yang suhu
nya lebih tinggi atau lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Fardiaz, S. 1995. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius

https://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem_laut

https://dhamadharma.wordpress.com/2010/02/11/produktivitas-primer-di-lingkungan-perairan
Lintasan massa air asal Lautan Pasifik Utara dan selatan di Perairan Indonesia (Publikasi
Universitas Columbia, internet, 1997 dalam Naulita, 1998)

http://repository.iainambon.ac.id/59/1/BUKU%20EKOLOGI%20PERAIRAN%202017.pdf

Haryani, S.B.E. 1989. Komposisi Jenis dan Kelimpahan Phytoplankton dalam Kaitannya dengan
Pertumbuhan Udang di Perairan Tambak yang Berbeda Warna. Kendari: Fakultas Pertanian
UNHALU

Kirk JTO, 2011. Light and Photosynthesis in Aquatic Ecosystems. Third Edition. New York:
Cambridge University Press.

Lee, Z.P., Marra, J., Perry, M.J. and Kahru, M.,2014. Estimating Oceanic Primary Productivity from
Ocean Color Remote Sensing: A Strategic Assesment. Journal of Marine Systems 149: 50-59.

Ma S., Tao Z., Yang X., Member, IEEE, Yu Y., Zhou X., Ma W, Li Z.. 2014. Estimation of Marine
Primary Productivity from Sattelite-Derived Phytoplankton Absorption Data. IEEE J Select Topics
Apl Earth Observ Remote Sens,. 7(7): 3084-3092

Nontji, Anugerah. 2005. Laut Indonesia. Jakarta: Djambatan

Parson, T.R., Takahashi, M., and Hargrave, B., 1984. Biological Oceanographic Processes.
Pergamon Press. New York.

Sastrawidjaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta

Wardoyo. 1978. Pengelolaan Kualitas Air Bagian Akuakultur. Bogor: Fakultas Perikanan IPB

Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: Grasindo

Anda mungkin juga menyukai