Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TEORI DASAR

2.1. Definisi dan Proses Pembentukan Produksi Primer

Produktivitas primer didefinisikan sebagai laju pembentukan senyawa-senyawa


organik kaya energi yang berasal dari senyawa-senyawa anorganik (Nybakken, 1992 dalam
Mondriadi, 2011). Proses pembentukan produksi primer dimulai dari proses fotosintesis.
Dalam proses fotosintesis ini terjadi fiksasi cahaya matahari oleh tumbuhan dan organisme
autotrof lainnya. Fotosintesis merupakan proses perubahan energi cahaya menjadi energi
kimia yang berlangsung dalam pigmen klorofil organisme produsen (Whitaker, 1970 dalam
Inayati, 2006 dan Mondriadi, 2011). Hasil proses fotosintesis tadi akan membentuk produksi
primer kotor (gross primary productivity, GPP). Sebagian dari produksi primer kotor ini
digunakan tumbuhan dan organisme lainnya untuk kelangsungan proses-proses hidup, seperti
respirasi. Sisa produksi primer kotor setelah digunakan tumbuhan dan organisme lainnya
untuk kebutuhan proses hidupnya seperti respirasi disebut produksi primer bersih (net primary
productivity, NPP). Produksi primer bersih inilah yang tersedia bagi rantai makanan. Dengan
demikian, produktivitas primer bersih sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi
energi yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs):

NPP = GPP – Rs (2.1)

Produksi primer memiliki satuan miligram karbon per satuan luas per hari
(mgC/m2/hari) atau per tahun (mgC/m2/tahun).

2.2. Faktor Utama Yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Di Laut

2.2.1. Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi klorofil-a di laut.
Berdasarkan intensitas cahaya yang diperoleh, ekosistem laut terbagi menjadi 3 bagian:

II-1
a. Zona Eufotik (Euphotic Zone) : daerah dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi.
Kedalaman maksimum daerah ini dapat mencapai sekitar 200 meter.
b. Zona Disfotik (Disphotic Zone) : daerah yang dapat ditembus cahaya matahari, namun
intensitasnya sudah jauh berkurang. Daerah ini terletak di kedalaman antara 200-1000 meter,
oleh karena itu intensitas cahaya yang diperoleh tidak sebesar daerah fotik, sehingga daerah
ini kurang cocok untuk proses fotosintesis.
c. Zona Afotik (Aphotic Zone) : daerah yang terletak di kedalaman >1000 meter. Daerah
ini tidak bisa ditembus cahaya matahari sehingga fotosintesis tidak dapat dilakukan disini.

Gambar 2.1. Ekosistem Laut Berdasarkan Intensitas Cahaya. (Sumber


:
http://www.enchantedlearning.com/biomes/ocean/gifs/lightzones.GIF)

Daerah mixed layer yang berada pada zona eufotik memiliki intensitas cahaya
matahari yang tinggi untuk proses fotosintesis dibandingkan lapisan laut lainnya. Namun
karena intensitas cahaya terlalu kuat, tidak semua fitoplankton bisa hidup dan berfotosintesis
disini, sehingga jumlah cahaya matahari yang diserap oleh fitoplankton sedikit. Akibatnya
NPP di permukaan laut umumnya kecil.
Klorofil-a banyak ditemukan di bagian bawah mixed layer atau perbatasan antara
mixed layer dengan bagian atas permukaan lapisan termoklin. Matsura et al. (1997, dalam
Mondriadi, 2011) menjelaskan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia menunjukkan
sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas daerah mixed layer sangat sedikit dan mulai
meningkat menuju bagian bawah mixed layer dan menurun drastis pada lapisan termoklin
hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.

II-2
2.2.2. Nutrien

Nutrien adalah semua unsur dan senyawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan-tumbuhan
dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut
(asam amino). Nutrien pada umumnya berasal dari run-off sungai yang bergerak menuju
lautan. Oleh karena itu, daerah pesisir yang merupakan daerah run-off sungai menuju lautan,
kandungan nutriennya tinggi dibandingkan wilayah lain.
Nutrien memiliki peran yang penting dalam proses fotosintesis. Bersama dengan
cahaya matahari keduanya saling mendukung dalam berlangsungnya proses fotosintesis.
Nutrien umumnya dapat ditemukan di wilayah laut. Kandungan nutrien di suatu perairan
dapat menentukan tingkat kesuburan perairan tersebut. Berdasarkan kandungan nutriennya,
tingkat kesuburan perairan dapat dibagi menjadi 3 (Hinga, 1995 dalam Inayati, 2006 dan
Mondriadi, 2011) :
a. Oligotrofik : Perairan yang memiliki kandungan nutrien rendah (<274
mgC/m2/hari) dan memiliki nilai produktivitas primer yang rendah.
b. Mesotrofik : Perairan yang memiliki kandungan nutrien sedang (275-825
mgC/m2/hari) dan memiliki nilai produktivitas primer sedang.
c. Eutrofik : Perairan yang memiliki kandungan nutrien tinggi (1370 mgC/m2/hari)
dan memiliki nilai produktivitas primer yang tinggi.

Kandungan nutrien di lapisan permukaan sedikit jika dibandingkan dengan lapisan


dalam. Hal ini disebabkan banyaknya populasi fitoplankton di wilayah permukaan laut
sehingga kebutuhan akan nutrien juga besar, sehingga produktivitas di lapisan permukaan
kecil. Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi
nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada
lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal ini juga dikemukakan oleh Brown et al.
(1989, dalam Dharmadi, 2010, internet) bahwa nutrien memiliki konsentrasi rendah dan
berubah-ubah di permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya
kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman tertentu dan akan
berkurang setelah melewati kedalaman tersebut hingga akhirnya hilang. Hal ini disebabkan
perbedaan densitas antar lapisan air sehingga air di lapisan bawah tidak dapat berpindah ke

II-3
lapisan air diatasnya dan begitu juga sebaliknya. Namun saat terjadi upwelling, massa air
bergerak vertikal membawa nutrien dari lapisan bawah ke atas mengakibatkan daerah tempat
terjadinya upwelling memiliki kandungan nutrien yang tinggi sehingga tingkat kesuburan di
wilayah tersebut meningkat.

2.2.3. Suhu

Suhu mempunyai pengaruh dalam besar kecilnya produktivitas primer di suatu


perairan. Suhu secara langsung berpengaruh terhadap laju fotosintesis fitoplankton. Suhu juga
memiliki pengaruh dalam merubah kedalaman mixed layer yang dapat mempengaruhi
distribusi fitoplankton dan nutrien.

Secara umum, laju fotosintesis fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu


perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini
disebabkan kemampuan setiap spesies fitoplankton untuk selalu dapat menyesuaikan diri
terhadap kisaran suhu tertentu. Umumnya fotosintesis fitoplankton terjadi pada suhu sekitar
20º-35°C dan memiliki suhu optimum pada 25ºC. Suhu optimum yang dibutuhkan tiap
fitopankton untuk berfotosintesis berbeda-beda, tergantung pada jenis fitoplankton.

2.3. Hubungan Kondisi Oseanografi Dengan Produktivitas Primer

2.3.1. Upwelling

Smith (dalam Andriani, 2005 dan Suciaty, 2008) mendefinisikan upwelling sebagai
gerakan vertikal massa air secara terus menerus dari lapisan bawah menuju lapisan
permukaan dimana air yang naik kemudian dialirkan secara horizontal keluar dari daerah
dimana air itu naik ke permukaan laut. Upwelling umumnya dibangkitkan oleh angin. Angin
yang bertiup secara horizontal akan membawa massa air di suatu lautan menjauhi daerah
asalnya, mengakibatkan adanya kekosongan massa air di daerah itu sehingga terjadi gerakan
vertikal dari massa air untuk mengisi kekosongan tersebut dan memenuhi keseimbangan air
permukaan. Kondisi yang terjadi di daerah upwelling menyebabkan kelarutan oksigen tinggi

II-4
dibandingkan daerah sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya suhu air yang naik ke
permukaan.
Pada suhu yang rendah, kelarutan oksigen dalam air tinggi. Selain itu daerah
upwelling ini juga memiliki salinitas yang tinggi dan kandungan nutrien yang tinggi.
Kandungan oksigen dan nutrien yang tinggi menguntungkan fitoplankton untuk tumbuh dan
melakukan fotosintesis. Oleh sebab itu upwelling sering dihubungkan dengan peningkatan
produktivitas primer.

2.3.2. Arus Permukaan

Arus permukaan adalah perpindahan massa air secara horizontal di wilayah


permukaan laut. Perpindahan massa air ini dapat mempengaruhi besar laju produktivitas
primer jika massa air yang berpindah memiliki kandungan nutrien yang besar.
Arus permukaan ini umumnya disebabkan oleh angin. Di wilayah laut Indonesia
ketebalan lapisan permukaan berbeda-beda, sekitar 25-100 meter. Angin yang berperan dalam
membangkitkan arus adalah angin musim dimana dalam 1 tahun terjadi 2 musim muson dan 2
musim peralihan. Angin musim ini mempengaruhi arus permukaan, termasuk di perairan
dekat pantai yang memiliki banyak sungai. Run-off sungai akan meningkat saat musim hujan
dan berkurang saat musim kemarau, sehingga mempengaruhi kandungan nutrien, terutama di
perairan dekat pantai. Pengaruh dari angin musim terhadap pergerakan massa air
mengakibatkan terjadinya variasi penyebaran produktivitas primer.

2.3.3. Front

Front adalah tempat pertemuan dua massa air yang memiliki karakteristik yang
berbeda, seperti densitas, salinitas, dan suhu. Daerah front umumnya terdapat di laut-laut yang
dangkal dan memisahkan air terlapis dari air yang tercampur vertikal.
Suhu air biasanya berbeda secara signifikan untuk tiap bagiannya dan air dingin yang
tercampur vertikal di suatu bagian memiliki banyak nutrien dibandingkan air hangat yang
berlapis di bagian lainnya. Di wilayah front ini kandungan nutrien yang tersedia cukup tinggi
sehingga menyebabkan produktivitas primer di wilayah ini juga tinggi.

II-5
2.3.4. Batimetri Perairan
Batimetri lautan, terutama yang curam, dapat mempengaruhi produktivitas primer di
suatu lautan. Gerakan massa air laut secara vertikal dapat terjadi jika massa air laut dalam
bergerak dan menabrak dinding batimetri di dasar laut. Air laut dalam yang kaya akan nutrien,
saat bergerak secara vertikal ini tentu saja akan membawa nutrien naik ke permukaan dan
dapat mengubah laju produktivitas primer laut tersebut.

2.4. Distribusi Produktivitas Primer

2.4.1. Distribusi Berdasarkan Wilayah Ekosistem

Berdasarkan wilayah ekosistem, produktivitas primer di wilayah pesisir merupakan


yang tertinggi. Wilayah pesisir termasuk didalamnya estuari merupakan daerah yang
mengalami proses pencampuran antara massa air laut dan massa air tawar. Unsur-unsur
nutrien yang terkandung di wilayah ini sebagian besar berasal dari massa air sungai. Hal ini
didukung juga oleh intensitas cahaya matahari yang cukup di wilayah ini dan kedalaman
wilayah pesisir yang dangkal sehingga tidak ada nutrien maupun fitoplankton yang terjebak
dalam lapisan termoklin, sehingga komponen nutrien yang ada di wilayah pesisir cukup
melimpah. Trujillo dan Thurman (2008) menjelaskan nilai produktivitas primer di wilayah
estuari dapat mencapai 4000 gC/m2/tahun, seperti yang dicantumkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Persebaran Produktivitas Primer Di Berbagai Ekosistem Perairan. (Sumber : Trujillo & Thurman,
2008)

Produktivitas primer terendah berada di laut lepas karena memiliki kedalaman yang
besar dan kandungan nutrien yang rendah di permukaan. Selain itu, terdapat lapisan termoklin
yang dapat menahan nutrien di lapisan laut dalam. Produktivitas primer di wilayah ini

II-6
bervariasi akibat adanya pengaruh intensitas cahaya, suhu, salinitas, arus, dan lain-lain. Nilai
produktivitas primer di wilayah laut lepas berkisar anatara 1-400 gC/m2/tahun.

2.4.2. Distribusi Berdasarkan Lokasi Lintang Perairan

a. Distribusi Produktivitas Primer di Laut Tropis


Lautan tropis terletak di 30°LU-30ºLS. Intensitas cahaya di laut ini besar dan tersedia
sepanjang tahun. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu antar lapisan
sehingga terbentuk stratifikasi. Terbentuknya lapisan-lapisan ini mengakibatkan tidak adanya
transpor vertikal nutrien dari lapisan dalam ke permukaan dan sebaliknya, sehingga jumlah
kandungan nutrien yang ada di permukaan tidak terpengaruh oleh jumlah kandungan nutrien
yang ada di lapisan dalam.

Gambar 2.2. Produktivitas Primer Di Laut Tropis. (Sumber:Trujillo& Thurman, 2008)

Konsumsi nutrien secara terus-menerus oleh fitoplankton mengakibatkan produktivitas


di lapisan permukaan laut tropis menurun. Sehingga produktivitas primer di daerah laut tropis
merupakan yang terendah dibandingkan dengan lautan di lintang lain, namun karena
intensitas cahaya matahari yang didapat relatif konstan, maka produktivitas primer di daerah
ini juga tergolong konstan. Total produksi primer tahunan di laut tropis hanya sekitar setengah
dari produksi primer tahunan di perairan subtropis. Namun di beberapa tempat tertentu,
produktivitas primer bisa menjadi tinggi seperti di daerah upwelling di wilayah ekuator,
daerah upwelling di perairan pantai, dan tempat terumbu karang (coral reefs).

II-7
b. Distribusi Produktivitas Primer di Laut Subtropis
Lautan subtropis terletak di sekitar 30°LU-60°LU dan 30ºLS-60°LS. Daerah ini
memiliki pasokan nutrien dan intensitas cahaya yang dipengaruhi oleh musim, sehingga
terdapat siklus musiman produktivitas primer. Intensitas cahaya tertinggi terjadi pada musim
semi karena pada musim semi cahaya dan nutrien yang ada cukup besar, menyebabkan
terbentuknya lapisan termoklin sehingga fitoplankton tetap berada di lapisan permukaan dan
tidak tercampur dengan lapisan laut dalam, sehingga produktivitas primer di daerah laut
subtropis pada awal musim semi juga paling tinggi diantara musim lainnya. Namun, karena
jumlah fitoplankton yang besar, nutrien yang terserap juga besar mengakibatkan produktivitas
primer merosot tajam di musim panas. Saat memasuki musim gugur, intensitas cahaya
matahari berkurang sehingga suhu lapisan permukaan menurun, menyebabkan lapisan yang
terstratifikasi bercampur kembali, sehingga nutrien dari lapisan laut dalam naik ke permukaan
akibat proses mixing yang dipengaruhi oleh angin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
kelimpahan jumlah fitoplankton dan peningkatan produktivitas primer, meski tidak sebesar
pada musim semi. Pada musim dingin intensitas cahaya tidak cukup untuk melakukan
fotosintesis dengan baik meskipun kandungan nutrien yang ada sangat tinggi. Hal ini
mengakibatkan penurunan populasi fitoplankton karena suhu yang ada tidak sesuai dengan
yang dibutuhkan fitoplankton untuk berfotosintesis.

Gambar 2.3. Hubungan Antara Fitoplankton, Zooplankton, Intensitas Cahaya Matahari, dan Tingkat Nutrien di
Lapisan Permukaan Laut Subtropis di Belahan Bumi Utara (BBU). (Sumber : Trujillo & Thurman, 2008)

II-8
c. Distribusi Produktivitas Primer di Laut Kutub
Daerah laut kutub terletak di atas 60°LU dan 60ºLS. Perubahan suhu dan densitas
terhadap kedalaman sangat kecil disini (isothermal), tidak ada batas lapisan dan memudahkan
pencampuran lapisan air permukaan dan lapisan laut dalam yang memiliki kandungan nutrien
yang tinggi.
Pada saat musim panas, lapisan es permukaan yang mencair membentuk lapisan air
bersalinitas rendah yang tidak bercampur dengan lapisan laut dalam. Hal ini membantu
peningkatan produksi primer karena lapisan yang tidak bercampur ini mencegah fitoplankton
terbawa ke lapisan laut dalam. Saat pencampuran antara lapisan tidak terjadi, di lapisan air
permukaan fitoplankton terus berproduksi, sehingga menyebabkan produktivitas primer di
lautan kutub menjadi tinggi.

Gambar 2.4. Keseragaman Suhu Terhadap Kedalaman Di Laut Kutub. (Sumber : Trujillo & Thurman, 2008)

Produksi primer paling tinggi di kutub terjadi pada musim panas, karena intensitas
cahaya matahari yang ada mampu menembus ke dalam lapisan es untuk proses fotosintesis
karena lapisan es sudah tidak menutupi lautan kutub ini. Sebagai contoh di Laut Barents di
wilayah kutub utara, ledakan produktivitas fitoplankton dimulai pada musim semi (bulan
Mei), dan fitoplankton yang ada menjadi sumber makanan bagi zooplankton. Dan kelimpahan
zooplankton ini mencapai puncak pada musim panas di bulan Juli dan Agustus. Sedangkan di
daerah kutub selatan, pada musim panas di zona upwelling Samudera Antartika tercatat bahwa
nilai produktivitas primernya merupakan yang tertinggi di bumi.

II-9
Gambar 2.5. Produktivitas Primer Di Laut Barents. (Sumber : Trujillo & Thurman, 2008)

Ketika musim panas selesai produktivitas primer di wilayah laut kutub ini akan
merosot tajam. Hal ini disebabkan musim gugur dan musim dingin yang panjang di wilayah
ini, sehingga intensitas cahaya tidak kuat untuk dapat menembus lapisan es sehingga proses
fotosintesis sulit dilakukan.
Variasi produktivitas primer berdasarkan lintang selama setahun dapat dijelaskan
dalam Gambar 2.6. Pengamatan yang dilakukan di Belahan Bumi Utara menunjukkan
produktivitas primer di laut tropis cenderung rendah dan konstan, sementara di laut subtropis
produktivitas primer mencapai puncaknya pada musim semi (Maret-April) dan di laut kutub
produktivitas primer mencapai puncaknya pada musim panas (Juni-Juli).

Gambar 2.6. Perbandingan Produktivitas Primer Di Belahan Bumi Utara. (Sumber : Trujillo & Thurman, 2008)

II-10
2.5. Penginderaan Jauh Kelautan

Penginderaan jauh merupakan ilmu yang berkaitan dengan usaha memperoleh


informasi mengenai sebuah objek, fenomena, maupun suatu tempat melalui proses analisis
data yang diperoleh melaui suatu sensor/alat pemantau tanpa adanya kontak langsung dengan
objek/fenomena/tempat yang diteliti (Sutanto, 1986, dalam Koenarso dkk, 2009).
Sutanto (1994, dalam Koenarso dkk, 2009) menyatakan bahwa ada empat komponen
utama dalam sistem penginderaan jauh, yaitu sumber energi untuk proses penginderaan jauh
(baik yang buatan seperti radiasi elektromagnetik ataupun yang alami seperti radiasi cahaya
matahari), atmosfer, interaksi antara tenaga dan objek, dan sensor yang berfungsi untuk
merekam data citra dari pengamatan objek.
Penginderaan jauh dapat diaplikasikan untuk berbagai hal dalam ilmu oseanografi,
salah satunya untuk mengetahui pola persebaran produktivitas primer di suatu perairan secara
spasial dan temporal. Analisis produktivitas primer di perairan dilakukan dengan menganalisis
warna laut (ocean color) untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi nilai
produktivitas primer, seperti tingkat konsentrasi fitoplankton, tingkat kekeruhan air laut,
tingkat intensitas cahaya matahari, suhu perairan, dan hamburan balik di suatu perairan.
Umumnya satelit-satelit yang mengobservasi bumi untuk mengetahui pola persebaran
produktivitas primer mengukur karakteristik obyek pengamatan dari sinar atau cahaya yang
berasal dari permukaan bumi. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui apa yang
mempengaruhi warna yang muncul di perairan.
Hadi (2010) menjelaskan radiasi matahari yang mencapai permukaan laut
mengandung energi yang terdistribusi dalam kisaran panjang gelombang  yang lebar (antara
400-700 nm) dan saat menembus permukaan laut akan mengalami absorpsi. Sekitar 50% dari
energi cahaya terletak dalam daerah sinar tampak (visible light). Pada kedalaman 1 m hanya
sekitar 45% energi cahaya yang tertinggal. Sebagian besar sinar infra merah diserap
dipermukaan laut dan diubah menjadi panas. Pada kedalaman 10 m, 84% energi cahaya telah
diserap dan pada kedalaman 100 m energi cahaya hanya sebesar 1% yang terletak pada daerah
sinar biru – hijau. Transmisi cahaya dapat berlangsung efisien di laut lepas. Transmisi cahaya
yang kurang efisien terjadi di perairan pantai karena banyak mengandung partikel-partikel
padat yang melayang termasuk organisme laut sehingga meningkatkan proses penghamburan.

II-11
Gambar 2.7. Penyerapan cahaya oleh air laut. (Sumber : Http://Www.Ngscuba.Net/Gear/Misc_Photo_0.Html,
2010)

Air menyerap cahaya dengan gelombang yang lebih panjang diserap terlebih dahulu.
Air laut tampak berwarna biru karena gelombang sinar biru yang mempunyai energi paling
besar dan paling lambat diserap sehingga dapat masuk kedalam laut dalam jarak yang cukup
besar untuk kemudian dihamburkan kembali melalui permukaan ke mata pengamat.
Perairan yang berwarna hijau disebabkan adanya fitoplankton dalam jumlah besar. Sel
fitoplankton mengandung klorofil yang menyerap sinar gelombang lain dan memberikan
kontribusi warna hijau pada air laut. Di daerah pesisir partikel tersuspensi menghamburkan
sinar matahari, memberikan warna hijau, kuning dan coklat pada air laut. Dengan demikian,
ocean color dapat diukur berdasarkan spektrum cahaya tampak yang dipancarkan dari objek
pengamatan.
Salah satu sensor yang digunakan untuk melakukan penginderaan jauh ocean color
yaitu MODIS-Aqua. Data MODIS-Aqua memiliki resolusi spasial 1 kilometer untuk
pengukuran terkait ocean color (kanal 8-12). Pada penelitian tugas akhir ini, data-data yang
digunakan untuk menghitung produktivitas primer dengan metode berbasis karbon (Carbon-
based Production Model, CbPM) yang berasal dari citra satelit MODIS-Aqua yaitu
konsentrasi klorofil permukaan (Chl), particulate backscattering coefficients (Bbp), koefisien
difusi atenuasi pada panjang gelombang 490 nm (K490), dan photosynthetically active
radiation (PAR).

II-12
2.6. Studi Daerah Kajian

Lokasi penelitian adalah Laut Jawa, dengan koordinat batas wilayah penelitian antara
3,375°LS – 6,958°LS dan 106,125°BT – 114,542°BT, dengan lokasi lebih jelas dapat dilihat
seperti Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Lokasi daerah penelitian. (Sumber : http://www.gebco.net/, 2014)

Laut Jawa merupakan perairan dangkal dengan kedalaman sekitar 60 meter yang
merupakan muara dari banyak sungai di wilayah pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa,
dan pantai selatan Kalimantan. Banyaknya sungai yang bermuara di Laut Jawa tentunya
mempengaruhi konsentrasi nutrien yang ada di perairan ini, terutama di dekat pantai, karena
mendapat limpahan nutrien dari sungai. Hal ini akan mempengaruhi besarnya nilai
produktivitas primer bersih di perairan tersebut.
Laut Jawa juga dipengaruhi oleh angin musim. Pola pergerakan arus yang berbeda
berdasarkan musim akan mengakibatkan sebaran dan nilai produktivitas primer di perairan ini
menjadi variatif. Selain itu, angin musim juga mempengaruhi run-off sungai-sungai di Laut
Jawa, dimana saat musim hujan terjadi run-off yang lebih besar dibandingkan saat musim
kemarau. Besarnya kandungan nutrien yang dibawa dari proses ini tentu berbeda saat musim
hujan dan musim kemarau, sehingga akan mempengaruhi variabilitas sebaran dan nilai
produktivitas primer.

II-13

Anda mungkin juga menyukai