Anda di halaman 1dari 18

Analisis Produktivitas Primer sebagai Potensi Bidang Perikanan

pada Dua Muara Sungai


CA Bojonglarang Jayanti

Latar Belakang

Ekosistem

terbentuk

dikarenakan

adanya

interaksi

antara

lingkungan dengan makhluk hidupnya. Makhluk hidup pun bagian

dari lingkungan yang salin berinteraksi satu sama lain.


Dari hasil interaksi ini akan menimbulkan pengaruh pada satu sama

lain.
Sesungguhnya interaksi bagi makhluk hidup umumnya merupakan
upaya mendapatkan energi bagi kelangsungan hidupnya yang

meliputi pertumbuhan, pemeliharaan, reproduksi dan pergerakan.


Perairan adalah suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah
tertentu,

baik

yang

bersifat dinamis (bergerak

seperti laut dan sungai maupun

atau

mengalir)

statis (tergenang)

seperti danau. Perairan ini dapat merupakan perairan tawar, payau,

maupun asin (laut).


Muara merupakan tempat pertemuan antara air laut dengan air
sungai dan merupakan bagian hilir dari sungai. Pada dasar perairan
muara ini terjadi pengendapan karena hal ini terjadi pertemuan
partikel pasir/lumpur yang dibawa oleh arus sungai bertemu dengan

pasir yang berada di daerah sekitar pantai.


Muara merupakan suatu tempat yang cukup sulit untuk di tempati,
bersifat cukup produktif yang dapat mendukung sejumlah besar

biomassa.
Ekosistem Muara biasa juga disebut dengan ekosistem estuari atau
perairan estuari di mana, Estuari berasal dari kata aetus yang
artinya pasang-surut. Estuari didefinisikan sebagai badan air di
wilayah pantai yang setengah tertutup, yang berhubungan dengan

laut bebas.
Menurut Soeyasa (2001), faktor-faktor yang dapat menyebabkan
daerah ini mempunyai nilai produktivitas yang tinggi adalah :

Terdapat

penambahan

bahan-bahan

organik

secara

terus-

menerus yang berasal dari daerah aliran sungai


Perairan muara umumnya dangkal, sehingga cukup menerima

sinar matahari untuk menyokong kehidupan tumbuh-tumbuhan,


Tempat yang relatif kecil menerima aksi gelombang, akibatnya

detritus dapat menumpuk di dalamnya,


Aksi pasang selalu mengaduk bahan-bahan organik yang berada

di sekitar tumbuh-tumbuhan.
Daerah muara merupakan tempat hidup yang baik bagi populasi
ikan jika dibandingkan jenis hewan lain. Daerah ini merupakan
tempat untuk berpijah dan membesarkan anak-anaknya bagi

beberapa spesies ikan.


Sumber energi primer bagi ekosistem adalah cahaya matahari.
Energi cahaya matahari hanya dapat diserap oleh organisme
tumbuhan

hijau

dan

organisme

fotosintetik.

Energi

cahaya

digunakan untuk mensintesis molekul anorganik menjadi molekul

organik yang kaya energi.


Organisme yang memiliki kemampuan untuk mengikat energi dari

lingkungan disebut produsen.


Fitoplankton dalam ekosistem perairan mempunyai peranan yang
sangat penting terutama dalam rantai makanan, karena fitoplankton
merupakan produsen utama yang memberikan sumbangan terbesar

pada produksi primer total suatu perairan.


Peranan penting fitoplankton bagi produktivitas primer perairan,
karena fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis yang
menghasilkan bahan organik yang kaya energi maupun kebutuhan

oksigen bagi organisme yang tingkatannya lebih tinggi.


Produktivitas primer fitoplankton merupakan salah satu sumber
oksigen di perairan. Oksigen yang dihasilkan digunakan dalam
proses-proses

ekologis

di

perairan,

misalnya

respirasi

dan

dekomposisi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas primer fitoplankton,
diantaranya adalah ketersediaan nutrien, cahaya matahari, suhu
dan

salinitas

(Nybakken,

1992).

Meningkatnya

penggunaan

perairan sebagai sarana berbagai macam kegiatan masyarakat


dapat menyebabkan perubahan pada faktor-faktor tersebut.

Keberadaan

dan

aktivitas

fitoplankton

berhubungan

dengan

lingkungan perairan sekitarnya. Kondisi lingkungan yang paling


besar

pengaruhnya

fitoplankton

diantaranya

cahaya dan unsur hara (Madubun, 2008).


Keberadaan
fitoplankton
dan
produktivitas
dihasilkannya

terhadap

sangat

memengaruhi

kehidupan

adalah

primer
ikan

yang
dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya.


Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan kajian untuk menganalisis
produktivitas primer dua muara sungai CA Bojonglarang Jayanti
sebagai potensi dalam bidang perikanan.

Identifikasi Masalah

Bagaimamana nilai produktivitas primer pada dua muara sungai di

CA Bojonglarang Jayanti.
Bagaimana tingkat kesuburan perairan pada dua muara sungai di

CA Bojonglarang Jayanti berdasarkan nilai produktivitas primer.


Bagaimana potensi pada dua muara sungai di CA Bojonglarang
Jayanti dalam bidang perikanan berdasarkan parameter kualitas air
untuk budi daya.

Tinjauan Pustaka

Muara merupakan tempat pertemuan antara air laut dengan air


sungai dan merupakan bagian hilir dari sungai. Pada dasar perairan
muara ini terjadi pengendapan karena hal ini terjadi pertemuan
partikel pasir/lumpur yang dibawa oleh arus sungai bertemu dengan
pasir yang berada di daerah sekitar pantai. Dengan demikian
percampuran pasir tersebut menghasilkan pengendapan lumpur
yang sangat berpengaruh pada perilaku kehidupan organisme
muara. Selain itu salinitas yang terbentuk di muara merupakan
campuran

antara

salinitas

air

sungai

dengan

salinitas

laut

(Hutabarat, 1985).
Ekosistem Muara biasa juga disebut dengan ekosistem estuari atau
perairan estuari dimana, muara merupakan percampuran air tawar
dengan air laut. Proses-proses alam yang terjadi di perairan muara,

mengakibatkan

muara

sebagai

habitat

disejajarkan

dengan

ekosistem hutan hujan tropik dan ekosistem terumbu karang yaitu


sebagai ekosistem produktif alami. Ekosistem estuari ini cenderung
lebih produktif dibanding dengan ekosistem pembentuknya, yaitu

perairan tawar dan perairan laut (Soeyasa, 2001).


Salinitas pada air muara sangat dipengaruhi oleh pasang surut air
laut. Pada keadaan pasang air laut yang masuk ke muara sangat
besar sekali sehingga salinitas air menjadi naik. Sedangkan pada
waktu surut air laut yang masuk ke muara sangat sedikit sehingga
indeks salinitas air muara sangat rendah. Selain itu musim juga

berpengaruh terhadap indeks salinitas air muara (Karyadi, 1994).


Jumlah organisme di muara dipengaruhi besar oleh indeks salinitas,
hanya organisme tertentu yang dapat hidup di muara ini yaitu
organisme yang mampu menyesuaikan organ tubuhnya dengan

salinitas air muara (Karyadi, 1994).


Daerah muara merupakan tempat hidup yang baik bagi populasi
ikan jika dibandingkan jenis hewan lain. Daerah ini merupakan
tempat untuk berpijah dan membesarkan anak-anaknya bagi

beberapa spesies ikan (Hutabarat, 1985).


Pada umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan
fotosintesis, walaupun sejumlah kecil produktivitas primer dapat

dihasilkan oleh bakteri kemosintetik (Nybakken, 1988).


Odum (1971) mendefinisikan produktivitas primer sebagai derajat
penyimpanan energi matahari dalam bentuk bahan organik, sebagai

hasil fotosintesis dan kemosintesis dari produsen primer.


Produktivitas primer diistilahkan sebagai laju fiksasi karbon (sintesis
organik) di dalam perairan dan biasanya diekspresikan sebagai

gram karbon yang diproduksi per satuan waktu (Kennish, 1990).


Levinton (1982) mengemukakan bahwa produktivitas adalah jumlah
yang dihasilkan oleh organisme hidup per satuan waktu dan sering
diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material
hidup dan secara umum dapat dinyatakan sebagai gram karbon
yang dihasilkan dalam satuan meter kuadrat kolom air per hari (g
C/m2/hari) atau sebagai gram karbon yang dihasilkan dalam satu
meter kubik per hari (g C/m3/hari).

Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan


oleh

organisme

autotrof,

yaitu

organisme

yang

mampu

menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan

sinar matahari (Parson et al. 1984).


Dari reaksi fotosintesis tersebut, secara teoritis untuk mengukur laju
produksi senyawa-senyawa organik dapat diukur dengan cara
mengetahui laju hilangnya atau munculnya beberapa komponen
yang ada dalam reaksi tersebut. Laju fotosintesis dapat diukur
dengan laju hilangnya CO2 atau munculnya O2. Pengukuran ini
dalam prakteknya yang digunakan hanya dua komponen yaitu CO 2

dan O2 (Nybakken, 1988).


Produktivitas primer merupakan sumber utama energi bagi proses
metabolik yang terjadi dalam perairan.

Pada ekosistem perairan

sebagian besar produktivitas primer dihasilkan oleh fitoplankton

(Kennish, 1990).
Produktivitas dibedakan atas dua, yaitu produktivitas primer kotor
(Gross Primary Production) dan produktivitas primer bersih (Net
Primary Production). Produktivitas primer kotor adalah laju produksi
primer zat organik secara keseluruhan, termasuk yang digunakan
untuk respirasi, sedangkan produktivitas primer bersih adalah laju
produktivitas primer zat organik setelah dikurangi dengan yang

digunakan untuk respirasi (Nybakken, 1988).


Pengukuran produktivitas primer fitoplankton merupakan satu
syarat dasar mempelajari struktur dan fungsi ekosistem perairan.
Metode yang digunakan untuk pengukuran produktivitas primer
fitoplankton

pertama

kali

menggunakan

metode

diperkenalkan oleh Garder dan Gran serta metode

O2

yang

14

C oleh

Steemann Nielsen dengan menggunakan tiga tipe metode inkubasi,


yaitu inkubasi in situ, simulasi in situ dan metode cahaya (Gocke

dan Lenz, 2004).


Dalam perairan, berbagai faktor lingkungan akan
dan menentukan terhadap besarnya biomassa dan

mempengaruhi
produktivitas

fitoplankton. Faktor-faktor tersebut antara lain :


- Intensitas Cahaya Hubungan antara intensitas cahaya dan
produktivitas

primer

perairan

sangat

nyata,

di

mana

peningkatan intensitas cahaya secara proporsional sebanding


dengan

peningkatan

produktivitas

primer.

Semakin

meningkatnya intensitas cahaya akan mengakibatkan proses


fotosintesis juga semakin meningkat sampai mencapai puncak
-

di mana cahaya dalam kondisi jenuh (Parson et al. 1984).


Suhu dan salinitas mempengaruhi densitas air, semakin
dalam perairan, suhu semakin rendah dan salinitas semakin
meningkat sehingga kerapatan air juga meningkat yang
selanjutnya akan mempunyai stratifikasi yang kuat dengan
lapisan pegat (discontinuity) yang tajam yang sukar ditembus
oleh fitoplankton (Raymont, 1963).

Ketersediaan

Unsur

Hara.

Dalam

pertumbuhannya,

fitoplankton membutuhkan beberapa unsur. Beberapa unsur


ini dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar yang disebut
dengan hara makro (Macro-nutrien) misalnya : C, H, O, N, P,
Si, S, Mg, K dan Ca, sedangkan yang masuk dalam kelompok
mikronutrien adalah Fe, Mn, Cu, Zn, B, Mo, Cl, Co dan Na
(Odum 1993). Diantara unsur-unsur tersebut, unsur N, P dan
Si adalah yang sering dijumpai sebagai faktor pembatas
pertumbuhan algae. Unsur N dan P diperlukan oleh semua
jenis algae, sedangkan Si terutama dibutuhkan oleh jenis-jenis
yang dinding selnya mengandung kerangka silika (Nybakken,
1988).
-

Turbulensi

dan

Kedalaman

Kritis.

Turbulensi

dapat

diartikan perputaran air yang akan menyebabkan pertukaran


air di lapisan atas dengan air pada lapisan bawahnya.
Turbulensi adalah fenomena yang dapat diamati dari gerakan
atau arus yang berputar dari cairan atau gas dalam jumlah
besar.

Dengan

adanya

turbulensi

akan

membantu

terangkatnya unsur hara dari dasar perairan. Namun kadangkadang justru turbulensi ini membawa fitoplankton ke dasar
perairan ke kondisi afotik. Selain itu turbulensi juga membawa
sedimen terangkat ke permukaan, sehingga penetrasi cahaya

menjadi berkurang (tingkat turbiditas tinggi) (Barnes dan Man,


1980

Nybakken,

1992).

Kedalaman

kritis

merupakan

kedalaman di mana fotosintesis total dalam kolom air sama


dengan respirasi total. Kedalaman kritis tidak sama dengan
kedalaman kompensasi, yaitu kedalaman di mana intensitas
cahaya besarnya 1% dari intensitas kedalaman cahaya di
permukaan air, atau di mana laju fotosintesis sama dengan
laju respirasi. Letak kedalaman kritis selalu lebih dalam dari
pada kedalaman kompensasi karena bersangkutan dengan
suatu

proses

pencampuran

vertikal

di

mana

populasi

fitoplankton suatu saat berada di zona euphotic dan pada saat


lain ada di bawahnya (Nybakken, 1992).

Fitoplankton adalah alga uniseluler mikroskopis yang terdiri atas


sejumlah besar kelas yang berbeda. Fitoplankton adalah tumbuhan
renik yang biasanya mengapung di permukaan air atau di melayang
di kolom air. Fitoplankton mengandung klorofil yang memungkinkan
organisme ini melakukan fotosintesis.

Fitoplankton ketika berada

dalam jumlah yang besar dapat tampak sebagai warna hijau di air
karena mereka mengandung klorofil dalam sel-selnya, walaupun
warna sebenarnya dapat bervariasi untuk setiap jenis fitoplankton
karena kandungan klorofil yang berbeda beda atau memiliki

tambahan pigmen seperti phycobiliprotein. (Thurman, 1997).


Kemampuan fitoplankton untuk mensintesis sendiri bahan
organiknya menjadikan mereka sebagai dasar dari sebagian besar
rantai makanan di ekosistem lautan dan di ekosistem air tawar

(UNEP, 1998).
Kuantitas dari fitoplankton dapat dinyatakan dengan biomassa,
yaitu banyaknya zat hidup per satuan luas atau per satuan volume
pada satu daerah dan pada waktu tertentu (Cushing et al. 1958,
diacu dalam Nontji 1984). Ada beberapa metode pendekatan untuk
penentuan biomassa fitoplankton antara lain dengan pencacahan
sel, pengukuran volume, berat kering, berat basah, kandungan
karbon dan klorofil-a. Penentuan biomassa fitoplankton dengan

pendekatan klorofil merupakan pendekatan yang paling banyak


digunakan dan hingga kini dipandang sebagai metode rutin terbaik

(Jeffrey 1980, diacu dalam Nontji 1984).


Menurut Nybakken (1992), sifat fisik kimia perairan sangat penting
dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan
terhadap faktor biotik

seperti plankton, perlu juga dilakukan

pengamatan faktor-faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari


aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor-faktor
abiotiknya

maka

diperoleh

gambaran

tentang

kualitas

suatu

perairan (Barus, 2004). Parsons et al. (1984), menjelaskan bahwa


distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor
lingkungan, seperti nutrien, cahaya, suhu, salinitas, oksigen dan
faktor-faktor

lainnya.

Faktor

tersebut

sangat

menentukan

keberadaan dan kesuksesan jenis plankton di suatu lingkungan

tertentu.
Faktor abiotik

(fisika

kimia)

perairan

yang

mempengaruhi

produktivitas primer antara lain :


- Karakter Fisik Perairan
o Suhu. Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik,
pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak
dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai
gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis
di dalam ekosistem akuatik

sangat dipengaruhi oleh

temperatur. Menurut Hukum Vant Hoffs kenaikan suhu


sebesar 10oC (hanya pada kisaran suhu yang masih
ditolerir)

akan

meningkatkan

aktivitas

fisiologis

(misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali


lipat. Pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari,
pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya
dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi)
dari pepohonan yang tumbuh di tepi (Brehm dan
Maijering 1990 dalam Barus, 2004).
o Penetrasi cahaya. Penetrasi cahaya

merupakan

besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa

cahaya

matahari

dapat

menembus

lapisan

suatu

ekosistem perairan. Nilai ini sangat penting kaitannya


dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi cahaya ini
dapat

diidentikkan

memungkinkan

dengan

masih

kedalaman

air

berlangsungnya

yang
proses

fotosintesis. Nilai fotosintesis ini sangat dipengaruhi


oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta
kepadatan plankton di suatu perairan (Suin, 2002).
Menurut Haerlina (1987), penetrasi cahaya merupakan
faktor

pembatas

bagi

organisme

fotosintetik

(fitoplankton). Penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi


vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian
pada organisme tertentu.
o Salinitas merupakan salah satu parameter perairan
yang berpengaruh pada fitoplankton. Variasi salinitas
mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah
estuari khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa
bertahan pada batas-batas
-

salinitas yang kecil atau

stenohalin.
Karakteristik Kimia Perairan
o pH. pH yang ideal bagi kehidupan organisma akuatik
pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi
perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat
basa membahayakan kelangsungan hidup organisma
karena menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme
dan respirasi. Di samping itu pH yang sangat rendah
menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat
yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya
mengancam

kelangsungan

organisme

akuatik.

Sementara pH yang tinggi menyebabkan keseimbangan


antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu
(Barus, 2004).
o Disolved Oxygen

(DO).

Disolved

Oxygen

(DO)

merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu

perairan.

Oksigen

terlarut

merupakan

faktor

yang

sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama


sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian
besar organisme-organisme air. Kelarutan oksigen di
dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu.
Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di
dalam air terdapat pada suhu 0oC, yaitu sebesar 14,16
mg/l O2. Dengan terjadinya peningkatan suhu akan
menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan
sebaliknya

suhu

meningkatkan

yang

semakin

konsentrasi

oksigen

rendah
terlarut

akan
(Barus,

2004).
o BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah kebutuhan
oksigen

yang

dibutuhkan

oleh

organisme

dalam

lingkungan air untuk menguraikan senyawa organik.


Proses penguraian bahan buangan organik melalui
proses

oksidasi

oleh

mikroorganisme

di

dalam

lingkungan air merupakan proses alamiah yang mudah


terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang
cukup
penting

(Wardhana,
untuk

2004).

menelusuri

Penentuan
aliran

BOD

sangat

pencemaran

dari

tingkat hulu ke muara. Selama pemeriksaan BOD,


contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk
rnencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara
bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga
harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu,
hal ini untuk menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada
selama

pemeriksaan.

Hal

ini

penting

diperhatikan

mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan


hanya berkisar 9 ppm pada suhu 20C (Sawyer & Mc
Carty, 1978).
o Kadar CO2 dan HCO3-. Sebagian kecil CO2 yang
terdapat di atmosfer larut ke dalam uap air membentuk

HCO3- (asam karbonat), yang selanjutnya jatuh sebagai


hujan. Dengan demikian, air hujan selalu bersifat asam
dengan nilai pH sekitar 5,6. Hal serupa juga terjadi jika
CO2 masuk ke badan air, sekitar 1% CO 2 bereaksi
dengan air membentuk HCO3- .

CO2 yang terlarut di

dalam air membentuk beberapa kesetimbangan. Pada


reaksi kesetimbangan terbentuk ion H + sehingga pH
perairan menurun.

Pada dasarnya, keberadaan CO 2

diperairan terdapat dalam bentuk gas CO2 bebas, HCO3(ion bikarbonat), CO32-

(ion karbonat), dan H2CO3- .

Proporsi dari keempat benuk karbon tersebut berkaitan


dengan nilai pH (Sunardi, 2014).

Pengukuran

produktivitas

terang-gelap.

primer

menggunakan

metode

botol

Biasanya metode analisis oksigen yang digunakan

adalah metode winkler. Berdasarkan nilai-nilai kadar oksigen akhir


dalam botol terang dan botol gelap (setelah direndam dalam air
untuk beberapa lama), dan nilai kadar oksigen awal (yaitu kadar
dalam oksigen dalam kedua botol sebelum digantungkan dalam
perairan), laju fotosintesis dalam kedua botol dapat dihitung. Bagi
botol terang nilai yang diperoleh adalah fotosintesis bersih atau
kelebihan fotosintesis terhadap respirasi. Nilai yang diperoleh botol
gelap adalah jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh respirasi.
Fotosintesis kotor adalah nilai yang diperoleh dengan menambahkan
jumlah oksigen yang dikonsumsi untuk respirasi dengan fotosintesis
bersih.

Nilai fotosintesis bersih maupun fotosintesis kotor akan

berbeda pada setiap kedalaman yang berbeda, karena nilai-nilai


intensitas

cahaya

matahari

berubah

menurut

kedalaman,

sedangkan fotosintesis dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari


(Nybakken, 1992).
Metode Penelitian

Metode yang digunakan dala analisa laboratorium yaitu pengukuran


kadar BOD dari dua muara sungai CA Bojonglarang Jayanti yang
dilakukan

melalui

proses

titrasi.

Selain itu, dilakukan juga

penghitungan kelimpahan fitoplankton menggunakan mikroskop


dengan Sedwick Rafter, yang berkaitan dengan kesuburan dan

kualitas perairan.
Pengukuran produktivitas
Winkler.

primer

menggunakan

metode

botol

Botol Winkler yang digunakan adalah botol terang, botol

gelap dan botol sampel.

Botol terang merupakan botol yang

tembus cahaya sedangkan botol gelap merupakan botol yang


dibungkus alumunium foil agar botol tersebut tidak dapat ditembus
oleh cahaya.
dianalisis.

Kandungan DO air dalam botol sampel langsung

Masing-masing botol tersebut diberi label dan ditandai

dengan kedalaman serta ulangannya.

Sampel air yang diperoleh

kemudian dimasukkan kedalam botol winkler kemudian ditutup


rapat

dan

hindari

terjadinya

gelembung

pada

saat

proses

penutupan. Lalu diikat dengan tali dimana ukuran tali disesuaikan


berdasarkan

kedalaman.

Perendaman

botol

winkler

dilakukan

selama 6 jam. Botol-botol yang sudah direndam diangkat kembali


kemudian diukur nilai DO akhir dan dihitung nilai produktivitas

primernya.
Selanjutnya nilai produktivitas primer dihitung berdasarkan rumus
berikut (APHA, 2005):
NPP=

(BT BI )
t

GPP=
R=

(BT BG)
t

( BI BG)
t

Keterangan :
NPP = produktivitas primer bersih (mgO2/l/jam)
GPP = produktivitas primer kotor (mgO2/l/jam)
R
= respirasi (mgO2/l/jam)
BI
= kandungan oksigen terlarut dalam botol inisial (mg/l)
BT
= kandungan oksigen terlarut dalam botol terang (mg/l)

BG
= kandungan oksigen terlarut dalam botol gelap (mg/l)
t
= lama inkubasi (jam)
Untuk mengkonversi satuan produktivitas primer dari mgO/l/jam
menjadi mgC/m3/jam digunakan rumus berikut (APHA, 2005):
12 1000
mgC /m 3/ jam=mgO 2/ l/ jam x X
32 PQ
Keterangan :
12
32 = Konversi oksigen ke karbon (1 mol O2 (32g) = 1 mol C (12g)

1000 = Konversi l ke m3
PQ
= Photosynthetic quotient (1,2)
Pengukuran parameter fisika perairan dilakukan secara langsung di
lapangan (in situ) yaitu : kedalaman, kecerahan, suhu, arus,
konduktivitas, salinitas, total dissolved solid dan intensitas cahaya.
Dari pengukuran air di lapangan, sebagai pedoman analisis dan

metode pengukuran digunakan buku APHA (2005).


Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan lempeng
Secchi yang dimasukkan ke dalam perairan. Pengukuran dihentikan
saat pertama kali lempeng Secchi tidak terlihat karena kekeruhan
perairan. Kemudian ukur kedalamannya dengan mengukur panjang

tali yang tenggelam.


Pengukuran suhu udara dan air dilakukan dengan menggunakan
termometer air raksa. Pada pengukuran suhu udara, termometer
dibiarkan selama 5 menit di udara. Sedangkan pada suhu air,
termometer dicelupkan ke dalam perairan dan didiamkan selama 5

menit.
Konduktivitas perairan diukur dengan menggunakan SCT meter
(Salinity, Conductivity, Thermometer) yang dicelupkan ke dalam air
sampel dengan mencelupkan elemen SCT meter setelah memutar
tombolnya ke arah parameter konduktivitas dari off ke on dan

mengatur jarum penunjuk skala DHL.


Salinitas perairan diukur dengan menggunakan SCT meter (Salinity,
Conductivity, Thermometer) yang dicelupkan ke dalam sampel air
dengan

mencelupkan

elemen

SCT

meter

setelah

memutar

tombolnya ke arah parameter salinitas tas dari off ke on dan


mengatur jarum penunjuk skala salinitas.

Pengukuran

total

dissolved

solid

atau

kepadatan

terlarut

menggunakan TDS meter yang dicelupkan ke dalam sampel air dan

tunggu sampai angka digital stabil.


Pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux meter. bagian
sensor cahaya pada lux meter di letakkan pada sumber cahaya dan

tunggu beberapa saat sampai angka digital stabil


Pengukuran parameter kimia perairan dilakukan secara langsung di
lapangan (in situ) yaitu : derajat keasaman dan oksigen terlarut.
Sedangkan

pengukuran

BOD,

CO2

dan

HCO3-

dilakukan

di

laboratorium. Dari pengukuran air di lapangan, sebagai pedoman

analisis dan metode pengukuran digunakan buku APHA (2005).


Pengukuran pH dapat dilakukan dengan menggunakan pH meter.
Elemen pH meter dicelupkan pada air, ditunggu sampai muncul

angka pada layar lalu catat angka yang tertera pada layar.
Pengukuran Kadar Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen).
Botol winkler diisi sampai penuh dengan sampel air dari stasiun
pengamatan, lalu tutup dengan hati-hati sehingga tidak terdapat
gelembung udara didalamnya. Ke dalam sampel ditambahkan
larutan MnSO4 50% sebanyak 1 ml dan larutan reagen O 2 sebanyak
1 ml. Botol lalu ditutup dan dikocok sampai larutan benar-benar
tercampur, kemudian didiamkan selama 15 menit hingga terbentuk
endapan. Kemudian ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 2 ml
sampai larutan menjadi kuning tua dan fungsi H 2SO4 pekat untuk
melarutkan endapan. Setelah larutan kembali jernih, lalu dilakukan
titrasi.
Larutan sampel diambil sebanyak 50 ml dengan pipet, lalu
dimasukkan

ke

dalam

erlenmeyer.

Titrasi

dilakukan

dengan

menggunakan larutan Na Thiosulfat 0,01 N sebagai titran. Ketika


larutan sampel telah berubah warna dari kuning menjadi kuning
pucat, titrasi dihentikan dan larutan ditambahkan 1-2 tetes amilum
1% sampai berubah warna menjadi bening dan dicatat berapa total
Na Thiosulfat yang terpakai.
Untuk menghitung kadar DO (Dissolved Oxygen) digunakan
rumus :

Kadar Oksigen

X N NaThiosulfat
( mgl )= 8000 X V NaThiosulfat
V
50 X (V )
2

Keterangan
V = Volume botol Winkler
N Na Thiosulfat = 0,01 N

Pengukuran Kadar BOD (Biological Oxygen Demand). Sampel


air diambil sebanyak 75 ml dan ditambahkan akuades sebanyak 300
ml, kemudian dimasukkan ke dalam dua buah botol winkler.
Perhitungan dilakukan pada hari itu juga (dihitung sebagai DO nol
hari) untuk botol pertama. Sedangkan botol kedua dihitung setelah
didiamkan di dalam inkubator selama 5 hari (dihitung sebagai DO 5
hari).
Untuk

menghitung

kadar

BOD

(Biological

Oxygen

Demand)

digunakan rumus :
DO 0DO 5
mg
Kadar BOD
=Faktor pengenceran X
l

( )

Di mana :
DO0 = DO Hari ke-0
DO5 = DO Hari ke-5

Pengukuran Kadar HCO3-. Sampel air diambil sebanyak 50 ml


dengan pipet dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya
sampel ditetesi dengan indikator methyl orange 25% sebanyak 3
tetes sampai larutan berwarna kuning. Lalu dilakukan titrasi dengan
larutan HCl 0,1 N sampai berwarna jingga. Volume HCl yang
terpakai

dicatat.

Kemudian

kadar

HCO3-

dihitung

dengan

menggunakan volume NaOH yang didapat pada pengukuran CO2.


Untuk menghitung kadar HCO3- digunakan rumus :

( V HClV NAOH ) X 0,1 N X 61


( mgl )= 1000
50
Kadar HCO3

Pengukuran CO2. Sampel air diambil sebanyak 50 ml dengan pipet


dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Lalu sampel diberi 3 tetes
indikator

fenolftalein,

dan

selanjutnya

dititrasi

dengan

NaOH

sebagai titran sampai warna larutan menjadi berwarna merah


muda. Kemudian volume NaOH yang terpakai dicatat.
Untuk menghitung kadar CO2 digunakan rumus :
kadar CO2

X V NaOH X 0,1 N X 44
( mgl )= 1000
50

Kriteria Baku Mutu Air untuk Kegiatan Budidaya


Tabel Parameter Kualitas Air Sumber untuk Budidaya

No

Parameter Air

Kisaran

.
1.
2.
3.
4.

Salinitas (ppt)
pH
BOD (ppm)
TSS (ppm)

5 35
7,0 9,0
< 25
25 500

Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan


dan
Perikanan (2004).

Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan


hasil pengukuran produktivitas primer untuk menentukan status
trofik dengan mengacu pada klasifikasi tingkat kesuburan menurut
Likens (1975.)
Tabel Klasifikasi Tingkat Kesuburan Berdasarkan Likens
(1975)
Tingkat Kesuburan

Produktivitas Primer (mgC/m3)

Oligotropik

15-31

Mesotropik

50-150

Eutrofik

150-500

Daftar Pustaka
APHA (American Public Health Association), AWWA (American Water Works
Association) dan WPFC (Water Pollution Control Federation). 2005.
Standard methods for the examination of water and waste water. 21th
edition. Baltimore, MD.
Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi, Studi Tentang Ekosistem Air
Daratan. Medan: Penerbit USU Press.
Gocke, K., and J. Lenz. 2004. A new turbulence incubitor for measuring
primary production in non-stratified waters. J. Plankton Res., 26(3):
357-369.
Hutabarat,

Sahala.1985. Identifikasi

fitoplankton

dan

Zooplankton.

Universitas Indonesia Press. Jakarta.


Karyadi. 1994. Ikan Mas Kolam Air Deras. Swadaya. Jakarta.
Kennish, M. J. 1990. Ecology of estuaries. Vol II: Biology Aspects. Hal:51102.
Levinton, J. S., 1982. Marine Ecology. Printice-Hall.inc
Likens, G.E. 1975. Primary Productivity of TheBiosphere. Edit by: Lieth
and Whittaker. Springler-Verlag. New York
Nontji, A.1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk
Jakarta serta Kaitannya dengan Faktor-faktor Lingkungan. Disertasi.
Pascasarjana IPB. Bogor
Nybakken J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia.
Jakarta.
Nybakken. 1992. Biologi Laut Dalam Pendekatan Ekologi. Gramedia.
Jakarta
Parsons, T. R., M. Takahashi, and B. Hargrave. 1984. Biological
Oceanographic Processes. 2nd Edition. Pergamon Press, Oxford

Raymont, J.E.G. 1963. Plankton and Produktivity in the Ocean. Mc. Millan
Co. New York
Sawyer, C.N and P.L., Mc Carty, 1978. Chemistry for Environmental
Engineering.3th ed. Mc Graw Hill Kogakusha Ltd.: 405 - 486 pp.rd
Soeyasa, 2001. Ekologi Perairan. Gramedia, Jakarta.
Sunardi, dkk. 2014. Penuntun Praktikum Ekologi Perairan. Jurusan Biologi
FMIPA UNPAD. Jatinangor
Thurman, H.V. 1997. Introductory Oceanography. Prentice Hall College.
New Jersey, USA
UNEP. 1998. Phytoplankton. www.gcrio.org/UNEP1998/UNEP98p38.html
Wardhana, 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi.
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai