2 TINJAUAN PUSTAKA
Arah reaksi keseimbangan ini sangat tergantung pada pH air laut sehingga
nilai pH dapat mengendalikan konsentrasi dan proporsi relatif dari spesies
karbonat di laut, namun sebaliknya sistem karbonat adalah buffer alami untuk pH
air laut. Apabila pH air laut turun maka reaksi keseimbangan akan bergeser kearah
kiri yang menyebabkan karbonat dan bikarbonat akan terurai menjadi CO2.
Sebaliknya bila pH air laut naik maka reaksi keseimbangan bergeser kekanan dan
bikarbonat dan karbonat banyak terbentuk (Zeebe and Wolf-Gladrow, 2001).
5
Persamaan dalam sistem karbonat melibatkan enam variabel yaitu [CO 2],
[HCO3-], [CO32-], [H+], DIC, dan Alkalinitas karbonat, ketika dua dari enam
variabel diketahui, maka semua komponen lainnya dapat dihitung (Zeebe and
Wolf-Gladrow, 2001; Dickson et al. 2007). Variabel yang cukup penting dalam
sistem karbonat adalah total alkalinitas (TA) yang berkaitan erat dengan
keseimbangan muatan dalam air laut. Dickson (1981) dalam Dickson et al. (2007)
mendefinisikan TA sebagai "jumlah mol ion hidrogen yang setara dengan
kelebihan akseptor proton (basa yang terbentuk dari asam lemah dengan konstanta
disosiasi (K) ≤ 10 - 4,5 pada suhu 25°C) atas donor proton (asam dengan K > 10 -
4,5) dalam 1 kilogram sampel. Persamaannya adalah sebagai berikut:
Atmosfir
590 +161
90,2
101 1,6
11
Termoklin & laut
dalam 37 100
+100
0,2
Permukaan sedimen
150
Gambar 2. Siklus karbon global. Panah menunjukkan fluks (dalam PgC/th) antara atmosfir dan darat, dan atmosfir dan laut. Angka dalam
kotak menunjukkan stok (PgC). Panah hitam = fluks alami; Panah merah = fluks antropogenik (Sarmiento and Gruber, 2002).
8
CO2 CO2
Pe Ve
m rti
be ka
nt l
uk U
an p
air w
da
la
CO2
Gambar 3. Skema pompa fisis dan sirkulasi termohalin yang membawa CO 2, yang
menggambarkan interkoneksi perairan laut dunia (Hansell and
Carlson, 2001).
Proses biologi yang ikut memandu distribusi regional dan musiman dari
fluks CO2 adalah produksi primer kotor (GPP) oleh fitoplankton laut yang telah
diperkirakan oleh Sarmiento and Gruber (2002) sebesar 50 PgC/th. Sebagiannya
(39 PgC/th) dikembalikan ke DIC melalui respirasi autotrofik, dan sisanya
menjadi produksi primer bersih yang diperkirakan sekitar 11 PgC/th (Sarmiento
9
and Gruber, 2002). Hasil karbon organik kemudian dikonsumsi oleh zooplankton
atau menjadi detritus. Beberapa karbon organik dilepaskan dalam bentuk terlarut
(DOC) dan oksidasi oleh bakteri dengan produksi DOC bersih yang masuk ke
reservoir samudera. Penenggelaman partikel organik karbon (POC) yang terdiri
dari organisme yang telah mati dan detritus bersama-sama dengan transfer vertikal
DOC menciptakan suatu fluks karbon organik yang mengarah ke bawah dari
permukaan samudera yang dikenal sebagai "produksi ekspor". Perkiraan untuk
produksi ekspor global berkisar antara 10-20 PgC/th (Falkowski et al., 1998).
Hanya sebagian kecil (±0,2 PgC/th) produksi ekspor yang mengendap pada
sedimen (Sarmiento and Gruber, 2002).
penyerapan CO2 oleh samudera yang diperkirakan 1,6 Pg C/th (Takahashi et al.
2002).
Chen (2004) mengemukakan bahwa secara umum perairan pesisir
cenderung untuk menyerap CO2 pada musim dingin, sebagai konsekuensi
dinginnya air permukaan dan dari proses biologi. Pada musim panas dan musim
gugur, proses pemanasan menyebabkan proses respirasi dan dekomposisi
organisme laut melepaskan kembali CO2 ke atmosfir, demikian juga dengan
bakteri yang terlibat dalam proses produksi CH4 (gas metan) serta dalam produksi
biologis dimetil sulfida (DMS) juga melepas gas rumah kaca ke atmosfir.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa perairan pesisir adalah source CO2
ke atmosfir (Ver et al. 1999). Hal ini didasarkan pada ketidakseimbangan antara
angkutan sungai total sekitar 0,4 PgC/th dengan karbon organik yang terkubur di
dasar perairan sekitar 0,14 PgC/th, jadi ada perbedaan 0,26 PgC/th yang mungkin
dikembalikan ke atmosfir. Selanjutnya Fasham et al. (2001) melaporkan bahwa
perairan pesisir adalah source CO2 ke atmosfir, dimana fluks CO2 udara laut
sekitar 0,5 PgC/th. Mackenzie et al. (2000) menyatakan bahwa sebelum kegiatan
antropogenik, perairan pesisir global adalah sistem autotrofik bersih dengan
ekspor bersih dari karbon organik ke sedimen laut terbuka adalah 20 TmolC/th.
Namun, hasil penelitian mereka berikutnya menyimpulkan bahwa meskipun zona
pesisir yang dekat dengan daratan adalah source CO2 (8,4 x 1012 molC/th), zona
pesisir yang jauh dari daratan adalah sink CO2 (28,4 x 1012 molC/th). Akibatnya
perairan pesisir ditemukan sebagai net sink CO2 sekitar 20 x 1012 molC/th (0,24
PgC/th).
Penelitian dari Global Ocean Flux Study (JGOFS) menunjukkan bahwa
perairan pesisir adalah sink CO2 (Chen et al., 2003.). Sintesis Ini mencerminkan
beberapa perkembangan terakhir yang menunjukkan bahwa rata-rata global
produksi baru fitoplankton di perairan pesisir adalah 0,78 PgC/th partikulat
karbon organik (POC) dan 0,25 PgC/th partikulat karbon anorganik
(PIC). Produksi baru ini hanya 13 persen dari tingkat rata-rata produksi primer
pada daerah upwelling. Meskipun produktivitas bersih cukup tinggi di perairan
pesisir global, hanya sekitar 0,2 PgC/th dari PIC dan jumlah yang sama dari POC
dari total produksi (0,48 PgC/th PIC dan 6,2 PgC/th POC) yang terkubur dan
11
disimpan pada dasar perairan (Chen et al., 2003). Studi terbaru berdasarkan
pengukuran C13, C14 dan N15 menunjukkan bahwa sebagian besar dari transportasi
material organik ke perairan pesisir berasal dari daratan (Chen et al., 2003).
Transportasi bersih DOC ke perairan pesisir adalah 0,60 PgC/th, dimana 0,32
PgC/th berasal dari darat, 0,28 PgC/th sisanya diproduksi di perairan pesisir dan
mewakili 35 persen dari produksi karbon organik baru, atau 27 persen dari total
produksi karbon baru (Cai et al., 2003).
yang berkaitan dengan perbedaan dalam kontribusi relatif kecepatan transfer gas
terhadap turbulensi antarmuka perairan, kecepatan angin, arus air, dan topografi
(Borges et al., 2004)
Berdasarkan hasil review dari Borges (2005) menunjukkan bahwa hampir
semua perairan estuari adalah sumber bersih CO2 ke atmosfir. Di antara perairan
estuari di Eropa, Scheldt dan Randers Fjord berada di batas tinggi dan rendah
untuk fluks CO2 udara-laut. Estuari Randers Fjord adalah tipe estuari microtidal
yang dicirikan oleh stratifikasi permanen yang kuat, sedangkan estuari Scheldt
adalah estuari macrotidal yang ditandai oleh kolom air tercampur permanen.
Meskipun secara keseluruhan Randers Fjord adalah sistem heterotrofik bersih,
lapisan tercampur adalah autotrofik bersih sedangkan lapisan bawah adalah sangat
heterotrofik. Emisi CO2 dari estuari Scheldt hampir 15 kali lebih tinggi dibanding
Randers Fjord, meskipun NEP nya hanya 2 kali lebih rendah di Scheldt dibanding
estuari Randers Fjord. Hal ini berhubungan dengan tingginya produksi bahan
organik pada lapisan tercampur dan degradasi di lapisan bawah. Dengan cara ini
CO2 hasil degradasi tidak langsung kembali ke atmosfir. Disamping itu lamanya
waktu tinggal air tawar di estuari Scheldt (30-90 hari) dibanding estuari Randers
Fjord (5-10 hari) menyebabkan pengayaan DIC di perairan estuari Scheldt lebih
intensif.
Konsentrasi CO2 meningkat sebesar 0,6 mol untuk setiap pengendapan 1 mol
kalsium karbonat (CaCO3) dalam standar air laut (salinitas=35, suhu=25,
TA=2370 µmol/kg, pCO2=365 ppm) (Gattuso et al., 1999). Rasio antara produksi
CO2 dengan presipitasi CaCO3 pada umumnya tergantung pada keseimbangan
termodinamika khususnya suhu dan salinitas (Ware et al., 1992; Frankignoulle et
al., 1994).
Berdasarkan perkiraan global dari kalsifikasi bersih dan NEP, Ware et al.
(1992) menghitung potensi pelepasan CO2 ke perairan sekitarnya dari
kesetimbangan metabolisme organik dan kalsifikasi berkisar antara 3-11,3
mmolC/m2/th. Fluks CO2 udara laut di perairan sekitar terumbu karang sangat
tergantung pada waktu tinggal massa air, bentuk geomorfologi terumbu karang
(karang tepi, penghalang, atau sistem terumbu karang atol) dan pola arus air laut
di perairan sekitarnya. Di samping proses metabolisme yang terjadi dalam sistem
terumbu karang dan waktu tinggal dari massa air, fluks CO2 udara-laut juga
dimodulasi oleh ΔpCO2 air laut yang masuk.
Pada skala tahunan, perairan laut tropis dan subtropis merupakan source
CO2 (0,35 mol C/m2/th, ΔpCO2 = 11 ppm, Takahashi et al., 2002). Berdasarkan
perbedaan pCO2 antara perairan samudera dan terumbu yang disusun oleh Suzuki
dan Kawahata (2003) di 9 sistem terumbu dan menambahkan data dari Bates
(2002) di Hog Reef dapat diperkirakan bahwa air laut yang masuk ke perairan
terumbu karang diperkaya rata-rata sebesar 12 ppm selama transit melalui sistem
terumbu karang. Borges (2005) memperkirakan emisi CO2 global dari sistem
terumbu karang sekitar 0,73 molC/m2/th.
15
3 METODE PENELITIAN
fitoplankton dalam menurunkan CO2 dalam air laut, karena di perairan laut
fitoplankton merupakan satu-satunya organisme yang menyerap CO2 sedangkan
di perairan sekitar mangrove dan terumbu karang ada organisme lain yang
menyerap CO2 diantaranya lamun, makroalga, dan zooxanthella sehingga untuk
melihat peranan fitoplankton dalam penyerapan CO2 hanya dilakukan di perairan
laut.
Di perairan Estuari Donan Cilacap, pengukuran dan pengambilan sampel
air laut di lakukan pada 5 stasiun dari muara menuju sungai. Kelima stasiun
mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu Stasiun 1 berada di depan mulut
sungai yang berhadapan langsung dengan samudera Hindia, Stasiun 2 dekat
ekosistem mangrove, Stasiun 3 dekat pelabuhan, Stasiun 4 dekat pertamina dan
Stasiun 5 dekat lokasi budidaya.
................................... (5)
........................... (6)
Keterangan:
A dan B = Volume HCl yang digunakan untuk menurunkan pH.
C dan D = Volume NaOH yang digunakan untuk menaikkan pH.
Vs = Volume sampel air laut yang dianalisa
Hasil pengukuran DIC dengan metode ini kemudian dikoreksi dengan hasil
pengukuran certified sample/Certified Refference Material (RCM) dari Marine
Physical Laboratory, University of California, San Diego.
19
..................................... (7)
Keterangan:
V = Volume HCl dan NaOH
t = Molaritas HCl dan NaOH
Vb = Volume sampel
Berdasarkan nilai pCO2 laut dan atmosfir dapat ditentukan apakah suatu
perairan penyerap (sink) atau pelepas (source) CO2. Suatu perairan berperan
sebagai ‘source’ atau pelepas CO2 ke udara/atmosfir jika nilai pCO2-nya lebih
tinggi dari nilai atmosfir (nilai positif) karena akan terjadi aliran CO 2 dari air ke
atmosfir. Sebaliknya berperan sebagai penyerap/‘sink’ CO2 dari atmosfir jika nilai
pCO2air-nya lebih rendah dari pCO2atm (nilai negatif).
LB (ppmO2) – DB (ppmO2)
GPP (mgC/l/jam) = 0,375.................................................................................(10)
N x PQ
LB (ppmO2) – IB (ppmO2)
NPP (mgC/l/jam) = 0,375................................................................................(11)
N x PQ
IB (ppmO2) – DB (ppmO2)
Respirasi (mgC/l/jam) = 0,375 RQ....................(12)
N
Keterangan:
GPP = Produksi Primer Kotor
NPP = Produksi Primer Bersih
0,375 = faktor konversi dari oksigen ke karbon
LB = Botol terang (Light bottle), Kandungan O2 pada botol terang setelah
inkubasi
DB = Botol gelap (Dark bottle), Kandungan O2 pada botol gelap setelah
inkubasi
IB = Kandungan O2 awal sebelum inkubasi
PQ = Photosynthesis Quotient (1,2)