PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Misalnya masalah yang muncul saat tingkat produktivitas badan perairan
berlebih adalah terjadinya eutrofikasi. Oleh karena itu tingkat kesuburan
suatu badan perairan perlu diketahui secara rutin sebagai dasar tata kelola
badan perairan tersebut untuk waktu yang akan datang.
Waduk Kedungombo terletak di propinsi Jawa Tengah, merupakan
waduk serbaguna yang mulai digenangi pada bulan maret 1989 dengan
luas genangan air seluas 4950 ha dan kedalaman rata rata 12,8 meter.
Waduk ini memiliki peranan penting sebagai lahan yang sangat potensial
bagi usaha perikanan (Krismono dan Sugianti, 2002). Selain itu waduk
Kedungombo juga diketahui dimanfaatkan untuk irigasi, PLTA, hingga
sektor pariwisata. Saat ini, potensi wisata dan perikanan darat di waduk
Kedungombo telah dikembangkan secara intensif. Tanpa adanya
pengawasan dan pengelolaan yang baik dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran perairan waduk. Namun, belum dipelajari pengaruh kegiatan
tersebut terhadap distribusi dan kemelimpahan fitoplankton serta nilai
produktivitas primernya sebagai indikator daya dukung lingkungan.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana distribusi harian dan kemelimpahan fitoplankton di
Waduk Kedungombo, Grobogan?
2. Bagaimana nilai produktivitas primer harian di Waduk Kedungombo,
Grobogan ?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mempelajari distribusi harian dan kemelimpahan masing masing
spesies fitoplankton di Waduk Kedungombo, Grobogan.
2. Mengetahui nilai produktivitas primer harian di Waduk Kedungombo,
Grobogan
2
D. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data referensi
pengelolaan Waduk Kedungombo, Grobogan untuk menghindari
terjadinya permasalahan badan perairan seperti eutrofikasi.
2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi mengenai tata cara
pengukuran produktivitas primer dan distribusi fitoplankton badan
perairan di wilayah lain.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
4
a. Danau oligotrofik, yaitu suatu danau yang mengandung
sedikit nutrien, biasanya lebih dalam dan produktivitas
primernya rendah. Sedimen pada bagian dasar kebanyakan
mengandung senyawa anorganik dan konsentrasi oksigen
pada bagian hipolimnion tinggi. Walau jumlah organisme
pada danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesise
tinggi.
b. Danau Eutrofik, yaitu suatu danau yang mengandung
banyak nutrien, khususnya nitrat dan fosfor yang
menyebabkan pertumbuhan algae dan tumbuhan akuatik
lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas primer
nya akan tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun
jumlah dan biomassa organisme pada danau ini tinggi
tetapi keanekaragaman spesies rendah.
c. Danau Mesotrofik, yaitu danau dengan keadaan cukup
nutrien.
Status trofik suatu danau dapat ditentukan dari laju produktivitas
primer hariannya, seperti pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Nilai produktivitas primer pada berbagai tipe danau
Status Trofik Kisaran nilai produktivitas harian untuk sepanjang tahun( mgC/m2.hari)
Oligotrofik 1.6 249
Mesotrofik 210 729
Eutrofik 1012 1750
(Bitton, 1998)
2. Fitoplankton
Ganai dan Parveen (2013) mengatakan bahwa plankton
merupakan salah satu parameter limnologi yang sangat penting,
karena plankton (fitoplankton dan zooplankton) merupakan komponen
dasar terciptanya aliran trofik di suatu ekosistem perairan. Plankton
sendiri merupakan organisme mengambang yang tidak dapat
menghindar apabila dijaring karena tidak memiliki sistem navigasi.
Sebagian besar plankton tidak dapat bergerak aktif (tergantung
5
arus/gerakan air), namun terdapat juga beberapa jenis zooplankton
yang dapat aktif bergerak (Shuters dan Rissik, 2009).
Fitoplankton merupakan salah satu organisme autotrof yang
berperan sebagai produsen di berbagai ekosistem perairan. Kemudian
zooplankton merupakan organisme intermedier yang menyambungkan
aliran trofik dari tingkat produsen ke tingkat konsumen lanjutan. Oleh
karena itu distribusi dan kemelimpahan keduanya di suatu ekosistem
perairan akan mempengaruhi distribusi komunitas lainnya (Kumar dan
Alvin, 2005).
Fitoplankton pada perairan tawar dibagi menjadi beberapa
kelas, diantaranya adalah Bacillariophyceae, Chlorophyceae,
Cyanophyceae. Pada perairan tawar kelas yang paling melimpah
biasanya adalah kelas Bacillariophyceae. Menurut Sachlan (1982)
plankton pada kelas Bacillariophyceae mempunyai sifat kosmopolit
yang tahan terhadap kondisi ekstrim, mudah beradaptasi dan
mempunyai daya reproduksi yang tinggi. Sedangkan Chlorophyceae
merupakan organisme yang terdiri dari sel-sel kecil yang merupakan
koloni berbentuk benang yang bercabang-cabang atau tidak, ada pula
yang membentuk koloni yang menyerupai kormus tumbuhan tingkat
tinggi. Biasanya hidup di dalam air tawar, merupakan penyusun
plankton atau sebagai bentos. Sel-sel ganggang hijau mempunyai
kloroplas yang berwarna hijau, mengandung klorofil a dan b serta
karotenoid (Tjitrosoepomo, 2005 ). Kemudian Cyanophyceae
merupakan organisme prokariot bersel tunggal ada juga yang
berkoloni ( Reynolds, 1999).
Brooks dan Galf (2015) menyatakan bahwa fitoplankton
mempunyai kemampuan yang disebut bouyancy regulation, yaitu
mekanisme melakukan migrasi vertikal sebagai respon terhadap
ketersediaan nutrien dan cahaya matahari. Fitoplankton memiliki
organel yang disebut gas vesicle, yang dapat mengembang dan
mengempis seiring perubahan konsentrasi nutrien dan intensitas
cahaya di suatu perairan.
6
Setiap jenis fitoplankton memiliki karakteristik tertentu, pada
tabel dibawah ini dapat dilihat karekteristik beberapa jenis
fitoplankton meliputi habitat, toleransi, dan sensitivitas :
Tabel 2. Karakteristik Jenis Fitoplankton Perairan Tawar
10 Tabellaria
Danau Mesotrofik pada Defisiensi
Kenaikan pH
Lapisan Epilimnion nutrien
11 Cosmarium
Intensitas
Cahaya yang
Danau Eutrofik pada
12 Staurastum pingue sedikit dan -
Lapisan Epilimnion
Defisiensi
Karbon
13 Spirulina
Intensitas
14 Arthrospira Pada jeluk dangkal Cahaya yang Pembilasan
sedikit
15 Raphidiopsis
Intensitas
Pada Lapisan yang kaya Defisiensi
16 Volvox Cahaya yang
nutrien Nutrien
Tinggi
Pada Lapisan
20 Microcysitis Epilimnion di Danau - -
Eutrofik
7
3. Keanekaragaman Jenis
Menurut Primack et al. (1998), keanekaragaman jenis
menunjuk seluruh jenis pada ekosistem, sementara Desmukh
(1992) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis sebagai jumlah
jenis dan jumlah individu dalam satu komunitas. Untuk dapat
mengetahui keanekaragaman suatu komunitas dapat dilakukan
dengan cara menghitung:
a. Densitas (kerapatan)
Densitas atau kerapatan merupakan ukuran besarnya
populasi dalam satuan ruang atau volume. Pada umumnya ukuran
besarnya populasi digambarkan dengan cacah individu / biomassa
populasi per satuan ruang atau volume (Sudjoko et al, 1998) untuk
mengetahui perkembangan kerapatan populasi pada ruang yang
bebeda secara relative, maka satuan pengukuran yang dipergunakan
adalah kerapatan relatif (Darmawan, 2004). Menurut Sudjoko
(1998) kerapatan suatu populasi secara teoritik ditentukan oleh:
- Ketersediaan sumber daya misalnya makanan dan ruangan
tempat hidup
- Aksebilitas sumber daya dan kemampuan individu populasi
untuk mencari dan memperoleh sumber daya (antara lain
penyebaran, pemencaran, dan kemampuan mencari).
- Waktu artau kesempatan untuk memanfaatkan laju (= r)
pertumbuhan.
Menurut Goldman dan Horne (1983) untuk mengetahui kriteria
setiap marga plankton digunakan formula sebagai berikut:
- Golongan fitoplankton
Tinggi : apabila jumlah individu lebih dari 106 per liter.
Sedang : apabila jumlah individu antara 103 106 per liter.
Rendah : apabila jumlah individu kurang dari 103 per liter.
8
- Golongan zooplankton
Tinggi : apabila jumlah individu lebih dari 500 per liter.
Sedang : apabila jumlah individu antara 50 500 per liter.
Rendah : apabila jumlah individu kurang dari 50 per liter.
b. Frekuensi (kehadiran)
Frekuensi kehadiran merupakan pemunculan spesies tiap
jenis pada seluruh sampel atau merupakan keterdapatan suatu jenis
dalam luasan tertentu. Frekuensi kehadiran ditentukan dengan cara
mencatat kehadiran dan ketidakhadiran zooplankton pada stasiun
penelitian.
c. Dominansi
Dominansi merupakan banyaknya organisme di dalam
lingkungan terhadap total individu di daerah tersebut. Nilai
dominansi menggambarkan komposisi jenis dalam komunitas dan
spesies yang dominan dalam suatu komunitas memperlihatkan
kekuatan spesies itu dibandingkan spesies lain.
4. Produktivitas Primer
Produktivitas primer merupakan laju produksi karbon organik
per satuan waktu tertentu (harian ataupun tahunan) yang dilakukan
oleh organisme autotrof perairan sebagai hasil dari proses fotosisntesis
(Falkowski dan Raven, 2007). Proses fotosintesis ini terjadi baik di
darat, permukaan dan dalam air tawar serta air laut (Romimohtarto
dan Juwana, 2001). Dalam proses fotosintesis ini diperlukan zat hijau
daun yang disebut klorofil. Proses ini menggunakan dua macam
bahan, yaitu air dan karbondioksida. Setelah langkah pertama, yaitu
merngubah energi cahaya menjadi energi kimia selesai, energi kimia
yang dihasilkan akan digunakan dalam proses metabolisme berbagai
organisme. Namun hanya produsen yang dapat melakukan tahapan
pertama tadi (Soemarwoto et al, 1980). Fotosintesis memainkan
peranan penting dalam pengaturan metabolisme komunitas. Laju
fotosintesis bertambah dua atau tiga kali lipat untuk setiap 10 oC
kenaikan suhu. Meskipun demikian, intensitas sinar dan suhu yang
9
ekstrim cenderung memiliki pengaruh menghambat laju fotosintesis.
Fotosintesis mempengaruhi penyerapan energi radiasi dan
karbonoksida serta pelepasan oksigen. Tanpa adanya sinar matahari,
fotosintesis tertahan namun pernafasan akan tetap berlanjut. Dengan
adanya sinar, proses fotosintesis dam respirasi terjadi serentak. Fakta
fakta ini digunakan untuk mencari cara pengukuran produktifitas
primer. Oleh karena itu nilai produktifitas primer sangat dipengaruhi
oleh distribusi dan kemelimpahan organisme fotoautotrof, serta
intensitas cahaya matahari (Michael, 1994).
Selanjutnya dalam ekosistem perairan ada yang disebut dengan
produktivitas primer kotor (Groos Primary Production) dan
produktivitas primer bersih (Nett Primary Production). Produktivitas
primer kotor merupakan total karbon organik yang dihasilkan dalam
proses fotosintesis. Sedangkan produktivitas primer bersih merupakan
jumlah karbon organik yang tersisa setelah jumlah total karbon
organik dikurangi dengan karbon organik yang digunakan organisme
fotoautotrof dalam proses respirasi (Falkowski dan Raven, 2007).
Selain distribusi kemelimpahan organisme fotoautotrof dan
intensitas cahaya, nilai produktifitas primer perairan dipengaruhi oleh
faktor fisika kimia lingkungan yang lain diantaranya adalah kadar DO,
derajat keasaman (pH), suhu, dan lain sebagainya.
5. Metode Pengukuran Produktivitas Primer
Banyak metode yang sudah ditemukan untuk mengukur nilai
produktivitas primer suatu perairan. Seperti yang dijelaskan Odum
(1998), bahwa setiap metode pengukuran memiliki suatu kelebihan
dan kekurangan, sehingga mengakibatkan adanya variasi hasil
pengukuran walaupun tidak signifikan. Salah satu metode pengukuran
yang paling sederhana adalah metode botol terang gelap.
Pada metode botol terang gelap produktivitas diukur menurut
kesetimbangan oksigen yang dihasilkan sebagai salah satu produk
fotosintesis. Dua jenis botol (botol gelap dan terang) diisikan oleh air
sampel yang berisi plankton. Kemudian kedua botol tersebut di
10
gantungkan dalam badan air sesuai dengan variasi kedalaman yang
ditentukan. Botol gelap diasumsikan tidak akan terjadi fotosintesis,
melainkan hanya terjadi proses respirasi oleh plankton. Sedangkan
pada botol terang terjadi fotosintesis dan respirasi karena terdapat
cahaya. Sebelum dilakukan pengukuran produktivitas primer, kadar
oksigen terlarut awal pada masing masing botol perlu diukur terlebih
dahulu dan menganalisisnya. Kandungan oksigen pada setiap botol
diukur menggunakan metode Winkler (Suin, 2002).
6. Faktor Fisiko Kimiawi
a. Suhu
Menurut Dharmawan (2004) dibandingkan dengan lingkungan
daratan, lingkungan perairan mempunyai fluktuasi suhu yang relatif
sempit. Suhu perairan dapat bervariasi tergantung pada faktor adanya
pencemaran pembuangan air limbah dan dapat menyebabkan kenaikan
suhu perairan sehingga mengganggu kehidupan air (Odum, 1971).
b. Penetrasi Cahaya Matahari
Penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan akan mempengaruhi
produktifitas primer. Kedalaman penetrasi cahaya matahari kedalam
perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: tingkat
kekeruhan perairan, sudut datang cahaya matahari dan intensitas
cahaya matahari. Pada batas akhir cahaya matahari mampu menembus
perairan disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada
lapisan air dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang
menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam
keseimbangan. Bagi organisme perairan, intensitas cahaya matahari
yang masuk berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung
kehidupan organisme pada habitatnya. Beberapa jenis larva serangga
akan melakukan gerakan lokomotif sebagai bentuk reaksi terhadap
menurunnya intensitas cahaya matahari. Larva ini akan keluar dari
persembunyiannya yang terdapat pada bagian bawah bebatuan di
dasar perairan menuju ke bagian atas bebatuan untuk mencari makan
(Satino, 2011).
11
c. Kekeruhan
Kekeruhan adalah banyaknya jumlah partikel tersuspensi di dalam
air. Turbiditas pada ekositem perairan juga sangat berhubungan
dengan kedalaman, kecepatan arus, tipe substrat dasar, dan suhu
perairan. Pengaruh ekologis kekeruhan adalah menurunnya daya
penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan yang selanjutnya
menurunkan produktivitas primer akibat penurunan fotosintesis
fitoplankton dan tumbuhan bentik. Peningkatan kekeruhan pada
ekosistem perairan juga akan berakibat terhadap mekanisme pernafsan
organisme perairan. Apabila kekeruhan semakin tinggi maka sebagian
materi terlarut tersebut akan menempel pada bagian rambut-rambut
insang sehingga kemampuan insang untuk mengambil oksigen terlarut
menjadi menurun, bahkan pada tingkat kekeruhan tertentu dapat
menyebabkan insang tidak dapat berfungsi dan menyebabkan
kematian.
d. Derajat Keasaman (pH)
Reaksi atau keasaman suatu perairan mencirikan keseimbangan
antara asam dan basa dalam air. Air murni pada suhu 25C
mengandung ion H+ dan OH- sebesar 10-7 mol per liter sehingga pH
air yang netral adalah 7. Jika nilai pH kurang dari 7, air bersifat asam
dan bila pH lebih besar dari 7, air bersifat basa atau alkalis. Perubahan
keasaman air, baik kearah asam (pH menurun) atau kearah alkalis (pH
meningkat), perlu di cermati sehingga ekosistem perairan itu tidak
terganggu (Manik, 2007).
12
Tabel 3. Pengaruh Umum Nilai pH
Nilai pH Pengaruh Umum
5,5 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak
2. Kelimpahan total biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami
perubahan yang berarti
3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral
(Effendi, 2003)
e. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting
dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi
sebagian besar organisme air. Barus (2004) menyatakan bahwa
umumnya kelarutan oksigen di dalam air sangat terbatas dibandingkan
kadar oksigen di udara, yang mempunyai konsentrasi sebanyak 21 %
volume, air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1 % volume.
Kadar oksigen terlarut yang optimal untuk kehidupan plankton adalah
lebih dari 3 mg/l. Oksigen terlarut di dalam air disebut keadaan aerob.
Menurut Barus (2004) bahwa sumber utama oksigen terlarut dalam air
adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara
permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Oksigen
terlarut digunakan zooplankton untuk respirasi, zooplankton akan
cenderung mendekati daerah yang kaya akan oksigen terlarut.
13
Kedalaman perairan berkaitan dengan suhu yang berpengaruh pada
oksigen terlarut, sehingga pada kedalaman berbeda dan suhu berbeda
maka tingkat oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh zooplankton juga
berbeda. Pada ekosistem air tawar, pengaruh temperatur menjadi
sangat dominan. Kelarutan maksimum oksigen didalam air terdapat
pada temperatur 0o C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. konsentrasi ini
akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatur air (Barus
2004).
f. Karbondioksida terlarut
Barus (2004) menyatakan meskipun karbondioksida mudah larut
dalam air, umumnya zat ini tidak terdapat dalam keadaan bebas
melainkan dalam keadaan berkaitan dengan air membentuk asam
karbonat (H2CO3), reaksinya sebagai berikut :
CO2 + H2O H2CO3
Keberadaan karbondioksida dalam bentuk bebas atau dalam bentuk
berikatan, sangat dipengaruhi oleh nilai pH air. Didalam sel tumbuhan
dan hewan, karbondioksida terbentuk dari proses respirasi senyawa
organik. Sementara melalui proses fotosintesis karbondioksida
bersama dengan air akan membentuk karbohidrat dan oksigen. Karena
pH air umumnya berkisar pada pH netral, maka jarang ditemukan
karbondioksida dalam bentuk bebas. Proses fotosintesis pada
ekosistem air tergantung pada sumber karbondioksida yang terdapat di
air. Fitoplankton merupakan produsen primer dalam ekosistem air
sangat bergantung terhadap kadar karbondioksida terlarut didalam
perairan. Tetapi apabila kadar karbondioksida terlarut melebihi batas
toleransi organisme air maka akan menyebabkan keracunan pada
kehidupan perairan. Kadar karbondioksida terlarut yang optimum
untuk kehidupan plankton adalah kurang dari 12 mg/l, agar kehidupan
perairan tidak terganggu dan proses fotosintesis dapat berjalan lancar.
g. Nutrien
Salah satu nutrien yang mempengaruhi kemelimpahan
fitoplankton adalah nitrat. Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di
14
perairan alami dan merupakan nutrient utama bagi pertumbuhan
tanaman dan algae. Menurut Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001,
nitrat yang masi dibawah 10 mg/L masih masuk kedalam jenis air
kelas 1 yang mana masih baik untuk air minum, sehingga dinilai tidak
membahayakan lingkungan. Proses utama dalam metabolisme nitrat
adalah penyerapan pada proses fotosintesa fitoplankton, regenerasi
nitrat melalui proses dekomposisi oksida bahan-bahan organik di
bawah permukaan kolom air di permukaan sedimen, juga denitrifikasi
yang terjadi dalam kondisi anaerob (Tait 1981).
Menurut Gunawati (1984) penentuan tingkat kesuburan perairan
berdasarkan konsentrasi nitrat sebagai berikut :
Tabel 4. Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Konsentrasi Nitrat
Konsentrasi Nitrat
Tingkat Kesuburan Perairan
( mg/l )
<0,226 Kesuburan Kurang
0,226 1,129 Kesuburan Sedang
1,130 11,29 Kesuburan Tinggi
15
sistem perairan, fosfat berada dalam bentuk fosfat terlarut atau fosfat
organik yang terkandung dalam biota plankton (Michael 1994).
Wardoyo (1982) menggolongkan tingkat kesuburan perairan
berdasarkan konsentrasi fosfat terlarut sebagai berikut :
Tabel 5. Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Konsentrasi Fosfat
Konsentrasi Fosfat
Tingkat Kesuburan Perairan
( mg/l )
< 0,02 Rendah
0,021 0,05 Cukup
0,051 0,10 Baik
B. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
16
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
17
B. Alat dan Bahan
1. Sampling Plankton
Alat dan bahan yang digunakan dalam sampling plankton
meliputi Van Dorn yang berfungsi sebagai wadah pengambilan sampel
air, ember 10 liter, plankton net yang berfungsi menyaring densitas
plankton dalam air sampel, formalin sebagai bahan fiksatif., dan botol
flakon sebagai wadah terakhir air sampel yang akan diamati di
laboratorium
2. Pengukuran Produktivitas Primer
Alat dan bahan yang digunakan untuk mengukur nilai produktivitas
primer adalah bambu, tali, botol gelap dan botol terang yang dirakit
sebagai satu set struktur pengukuran produktivtas primer di berbagai
kedalaman badan perairan, kemudian erlenmeyer digunakan sebagai
wadah pengukuran oksigen terlarut (DO), pipet tetes, larutan MnSO4,
KOH-KI, H2SO4, amilum dan thio.
3. Pengukuran Parameter Fisiko-Kimiawi
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengukuran parameter
Fisiko-Kimiawi, yaitu DO menggunakan Van Dorn 1 liter untuk
mengambil sampel air, kemudian botol gelap yang sudah dibalut oleh
alumunium foil, Erlenmeyer, pipet tetes, larutan MnSO4, KOH-KI,
H2SO4, amilum dan thio. Kemudian untuk alkalinitas digunakan
indikator pp, larutan H2SO4 dan larutan methyl jingga. Selanjutnya
untuk pengukuran pH digunakan pH meter. Serta pengukuran suhu air
dan udara menggunakan termometer.
4. Pengamatan Plankton
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengamatan plankton adalah
mikroskop untuk mengamati dan identifikasi fitoplankton, SRCC untuk
menghitung dan identifikasi fitoplankton, kaca penutup SRCC untuk
menutup agar dapat teramati dengan jelas, buku dan alat tulis untuk
mencatat segala kegiatan.
18
C. Cara Kerja
1. Sampling Plankton
Pencuplikan plankton pada penelitian ini dilakukan secara
bersamaan di tiga stasiun yang telah ditentukan. Pada masing masing
stasiun pencuplikan dilakukan pada tiga jeluk atau kedalaman yaitu
jeluk 0 meter, 5 meter, dan 10 meter.
19
menggunakan karet gelang, agar tidak tumpah, botol diletakkan dengan
posisi berdiri tegak didalam kotak. Hasil saringan atau sampel di botol
flakon kemudian akan digunakan sebagai sampel pengamatan plankton.
2. Pengukuran Produktivitas Primer
Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metode botol
gelap terang. Disiapkan botol gelap dan botol terang berukuran 500 ml.
Botol gelap dibungkus dengan alumunium foil agar tidak dapat
ditembus oleh cahaya matahari. Botol kemudian diikat menggunakan
tali rafia. Botol-botol diisi dengan sampel air kemudian ditutup. Botol
kemudian digantungkan pada pelampung (dalam penelitian ini
digunakan bambu) pada kedalaman yang telah ditentukan (0, 5, dan 10
meter). Pelampung yang digunakan untuk mengikat botol-botol tadi
diikat dengan pemberat dan dicelupakan pada masing masing titik
sampling. Sebelum dicelupkan ke dalam air, diukur terlebih dahulu
kadar oksigen terlarut pada masing - masing botol dan ditentukan
sebagai nilai DO awal. Setelah inkubasi sampai dengan pukul 13.00
WIB, botol percobaan diangkat dan dihitung kadar oksigen terlarut
pada masing masing botol yang ditetapkan sebagai nilai DO akhir.
Pencuplikan sampel air harus dilakukan serentak di 3 stasiun
pengamatan.
3. Pengukuran Parameter Fisiko-Kimiawi
a. Oksigen Terlarut (DO)
Pengukuran DO dilakukan dengan menggunakan metode
micro winkler. Analisis DO dilakukan dengan menggunakan sampel
air sebanyak 40 ml dimasukkan kedalam erlenmeyer dengan cara
menuangkan langsung dari botol gelap, kemudian ditambah dengan
8 tetes MnSO4 dan 8 tetes KOH-KI. Lalu digoyang hingga muncul
endapan berwarna coklat. Setelah itu ditambahkan H2SO4 8 tetes
melalui dinding erlenmeyer. Botol erlenmeyer digoyangkan hingga
endapan coklat beruabh menjadi berwarna kuning. Setelah itu
ditambahkan air hingga volume mencapai 50 ml, didiamkan selama
15 menit. Selanjutnya, sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 (thio)
20
dengan menggunakan syringe hingga larutan berwarna kuning pucat,
hasil titrasi dicatat sebagai data T1. Kemudian ditambahakan amilum
sebanyak 8 tetes hingga larutan berubaha warna menjadi biru tua.
Dilakukan titrasi menggunakan Na2S2O3 dengan syringe hingga
warna tepat hilang (bening). Data kemudian dicatat untuk data T2.
Kadar jumlah titrasi didapat dengan menggunakan rumus : (T 1 + T2)
X 0,04 (skala 100) atau x 0,05 (skala 80).
b. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) diukur menggunakan pH meter setiap
dilakukan pencuplikan sampel air.
c. Suhu
Suhu udara dan suhu air diukur menggunakan termometer setiap
dilakukan pencuplikan sampel air.
d. Nitrat dan Fosfat
Sampel air (komposit) diambil dari setiap jeluk dan stasiun yang
dituangkan kedalam botol sampel yang sudah dilapisi alumunium
foil, kemudian dimasukan kedalam ice box. Setelah didiamkan satu
hari, kandungan nitrat dalam sampel diukur menggunakan metode
spektrofotometri IK 9.5.4.1, sedangkan untuk fosfat diukur
menggunakan metode uji SNI 06-6989.31-2005. Pengukuran
dilakukan di Laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air Fakultas
Geografi, Universitas Gadjah Mada.
4. Kemelimpahan Plankton
Sampel air diambil menggunakan pipet tetes. Tuangkan ke atas
Sedgewick Rafter Counting Chamber (SRCC) 1 ml. Tutup dengan
object glass. Letakkan SRCC yang ditutupi object glass di meja
preparat. Amati dengan mikroskop. Atur fokus mikroskop agar
gambar spesies yang ditemukan lebih terlihat jelas. Cocokkan gambar
yang ditemukan dengan buku panduan. Hitung ada berapa banyak
masing-masing spesies yang ditemukan. Satu botol flakon diamati
sebanyak empat kali ulangan.
21
a. Distribusi dan Kemelimpahan Fitoplankton
Perhitungan kemelimpahan fitoplankton dilakukan untuk
mengetahui berapa besar kemelimpahan setiap genus tertentu
yang ditemukan selama pengamatan. Nilai kelimpahan plankton
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
q
D = -----------
fxv
Dimana:
D = jumlah kandungan plankton (individu/m3)
q = jumlah zooplankton dalam subsampel
f =fraksi yang diambil (volume sub sampel per volume sampel)
v = volume air tersaring (m3).
(Wickstead, 1965)
b. Indeks Dominansi
Untuk melihat adanya dominasi oleh jenis tertentu pada
populasi fitoplankton digunakan indeks dominansi yang dihitung
dengan menggunakan rumus :
C = [ ni/N]2
(Odum, 1971)
Keterangan :
C : Indeks dominansi
ni : Cacah Individu
N : Total Individu
22
5. Produktivitas Primer
Menurut Barus (2004) nilai produktivitas dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
Dimana:
PN = Produktivitas Primer Netto
R = Respirasi
Pg = Produktivitas Primer Kotor
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Microcystis sp. dan Synedra acus adalah dua jenis fitoplankton yang
paling melimpah di Waduk Kedungombo (Gambar 3). Densitas Microcystis
sp. berkisar antara 0,1 48,8 Ind/L, sedangkan untuk Synedra acus memiliki
densitas berkisar antara 0,1 17,1 Ind/ L. Hal ini dapat disebabkan tingkat
toleransi dari kedua spesies tersebut yang baik terhadap keadaan lingkungan
Waduk Kedungombo. Prihartini et al. (2008) menyatakan bahwa Microcystis
merupakan jenis fitoplankton yang sering mengalami blooming di perairan
tawar, misalnya pada tahun 1987 dan 1995 di waduk Jatiluhur, kemudian
pada tahun 1991 di waduk Saguling hingga menyebabkan sejumlah ikan mati.
Bahkan berdasarkan observasi dari tahun 2003 sampai 2005, Microcystis
masih mendominasi perairan Situ Rawa Besar.
24
Gambar 3. Distribusi dan Kemelimpahan Fitoplankton di Waduk Kedungombo, 14 15 Juni 2015.
25
Pada zona bebas (Stasiun 1) densitas fitoplankton adalah 176,6 ind/l, pada
zona usaha/tambak (stasiun 2) 104,6 Ind/l, dan pada zona intrusi (stasiun 3) 58, 2
Ind/l. Secara teoritis seharusnya fitoplankton akan lebih melimpah di zona
usaha/tambak, karena pada zona ini banyak sisa pakan ikan dan bahan organik
lainnya yang dapat meningkatkan kandungan fosfat dan nitrat perairan.
Meningkatnya kandungan fosfat dan nitrat akan meningkatkan pertumbuhan
fitoplankton. Namun dengan tata kelola tambak yang sudah relatif baik di Waduk
Kedungombo, hal tersebut belum terjadi dan menyebabkan fitoplankton lebih
melimpah di zona bebas (stasiun 1). Berdasarkan klasifikasi tingkat
kemelimpahan fitoplankton menurut Goldman dan Horne (1983), kemelimpahan
fitoplankton pada setiap zona di Waduk Kedungombo tergolong rendah karena
kurang dari 103 Ind/l.
26
Berkaitan dengan dominansi spesies, setiap spesies memiliki nilai indeks
dominansi dibawah 0,5 (mendekati 0) (Gambar 4). Hal ini menunjukan dari
seluruh spesies yang ditemukan di Waduk Kedungombo hampir tidak ada spesies
yang mendominasi. Satu satunya spesies yang memiliki nilai indeks dominansi
lebih dari 0,5 (mendekati 1) adalah Microcystis sp. pada pukul 13.00 di stasiun 3
yaitu 0,59. Stasiun 3 merupakan zona intrusi yang dikelilingi oleh berbagai
macam vegetasi sehingga banyak sersah atau bahan organik lainnya yang masuk
ke badan air dan menjadi tambahan sumber nutrien perairan. Spesies Microcystis
sp. yang memiliki tingkat toleransi paling baik diantara spesies lainnya (dilihat
dari jumlah densitas) merespon kondisi lingkungan ini dengan baik, sehingga
pada jam 13.00 dimana intensitas cahaya matahari tinggi spesies Microcystis sp
mendominasi dibanding spesies lainnya.
27
Gambar 4. Indeks Dominansi Spesies Fitoplankton di Waduk Kedungombo, 14 15 Juni 2015.
28
Tabel 6. Produktivitas Primer di Waduk Kedungombo pada 14 -15 Juni 2015
29
Gambar 5. Kadar Oksigen Terlarut (DO) di Waduk Kedungombo pada 14 -15 Juni 2015.
Gambar 6. Kadar Karbondioksida (CO2) di Waduk Kedungombo pada 14 -15 Juni 2015.
30
Gambar 8. Suhu Air di Waduk Kedungombo pada 14 -15 Juni 2015.
Tabel 7. Kadar Nitrat dan Fosfat di Waduk Kedungombo pada tanggal 14 15 Juni 2015
32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
33
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, R.S.K. dan K.H. Mann. 1994. Fundamentals of Aquatic Ecology. Blackwell Scientific
Publication. Oxford. Hal: 156.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi tentang Ekosistem Sungai dan Danau.
Universitas Sumatera Utara Press. Medan.
Basmi, J. 1998. Distribusi Plankton. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Hal : 57.
Bitton, G. 1998. Formula Handbook for Environmental Engineers and Scientists. John Wiley
& Sons, Inc. New York.
Brooks, J.D., and G.G. Ganf. 2015. Variations in the buoyancy response of Microcystis
aeruginosa to nitrogen, phosphorus and light. Journal of Plankton Research. 23 (12) :
1399-1411.
Desmukh, I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Yayasan Obor indonesia. Jakarta.
Dharmawan. 2004. Common Textbook : Ekologi Hewan. Universitas Negeri Malang Press.
Malang.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Hal : 50 161.
Falkowski, P. G., dan J.A. Raven. 2007. Aquatic Photosynthesis. Princeton University Press.
New jersey. Hal : 321.
Ganai , A.H., and S. Parveen, S. 2013. Effect of Physico-Chemical Conditions on the Structure
and Composition of the Phytoplankton Community in Wular lake at lankrishipora,
kashmir. International Journal of Biodiversity and Conservation. 6 (1) : 71 84.
Horne, A.J. and C.R. Goldman. 1983. Limnology. McGraw Hill Book Company. USA.
Kumar and Alvin. 2005. Ecology of Plankton. Daya publishing House. New Delhi. Hal : 145.
Ling, J.Q. Wu, Y. Pang, dan L.Li. 2007. Simulation Study on Algal Dynamics Based On
Ecologycal Flume Experiment In Taihu Lake. Elsevier . Hal : 200 206.
Manik, K.E.S. 2007. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta.
Romimohtarto, K., dan Juwana. 2001. Biologi Laut ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut.
Penerbit Djambatan. Jakarta.
Satino. 2011. Materi Kuliah Limnologi. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Soemarwoto, I., I. Gandjar., E. Guhardja, A.H. Nasoetion, S.S. Soemartono, dan L.K.
Somadikarta. 1980. Biologi Umum I. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Soemarwoto, O. 2004. Ekologi : Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan.
Jakarta.
Sudjoko. 1998. Diktat Kuliah Ekologi. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta.
Yogyakarta.
Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas. Padang.
Sumich, J.L. 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. Fifth edition. WCB Wm.C
Brown Publishers. United State of America.
Susanto P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi DepDikNas.
Suthers, L.M., and D. Rissik. 2009. Plankton : a guide to their ecology and monitoring for
water quality. CSIRO Publishing. Collingwood. Hal : 15.
Wiadnyana, N.N. 1997. Variasi kelimpahan zooplankton di Teluk Kao. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia. 30 : 53-62.
Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Wickstead, J.H. 1965. An Introduction The Tropical Plankton. Hutchinson Tropical
Monographs. London. Hal : 160.
35
LAMPIRAN
1 Synedra acus
2 Synedra ulna
3 Nitzchia sp.
4 Closterium cetaceum
5 Crueigenia tetrapedia
6 Scenedesmus sp.
7 Microcystis sp.
36
8 Pediastrum biradiatum
9 Actinastrum gracillimum
10 Spirogyra sp.
11 Volvox sp.
12 Merismopedia convulata
37
Lampiran 2. Dokumentasi Pengambilan Data Lapangan
No Gambar Keterangan
38
39
40