Anda di halaman 1dari 11

Hubungan Penyakit Bibir Sumbing (Cleft Lips) dengan Paparan

Kontaminan di Lingkungan Kerja

Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan Kerja

Disusun oleh :
Nama : Muhammad Rizky Adrian
NIM : 25317034

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Cacat lahir atau cacat bawaan merupakan kelainan struktural pada organ ataupun bagian
tubuh lainnya. Thulstrup and Bonde menjelaskan bahwa pada tahun 2006, prevalensi terjadinya
cacat lahir mencapai angka 3,5 % dari seluruh angka kelahiran hidup. Mereka juga menjelaskan
bahwa paparan terhadap janin melalui ibu dapat menimbulkan efek teratogenik yang terjadi
selama fase organogenesis, dan pada manusia periode yang paling rentan adalah kehamilan 3-
8 minggu pertama. Suatu faktor teratogenik dapat menyebabkan beberapa jenis malformasi
tergantung pada periode waktu dan tingkat paparannya.
Pada tahun 1994, Sever melakukan penelitian epidemiologi dengan kesimpulan (walau
belum secara meyakinkan) menetapkan bahwa terdapat hubungan antara paparan di tempat
kerja dengan terjadinya teratogen manusia dan cacat lahir. Setelah itu, terdapat juga sejumlah
literatur menyatakan bahwa pelarut organik, pestisida dan beberapa logam berat mungkin
terlibat dalam penyebab cacat lahir pada manusia. Cacat lahir spesifik terlihat setelah paparan
farmasi seperti cacat anggota tubuh terkait dengan thalidomide, anomali genital terkait dengan
diethylstilbestrol, spina biobi terkait dengan asam valproik, vitamin A yang menyebabkan cacat
krista neural dan bibir sumbing yang berhubungan dengan fenitoin.
Perkiraan CDC terbaru melaporkan bahwa insiden terjadinya bibir sumbing dan celah
langit – langit mencapai 1 dari 940 kelahiran hidup dengan 4.437 kasus setiap tahun. Lebih
dari 60% celah orofasial melibatkan bibir. Dilaporkan bahwa kasus bibir sumbing yang
terisolasi saja sudah menyumbang sekitar 10–30 %, kemudian gabungan keterlibatan kasus
celah langit-langit primer dan sekunder mencapai 35-55 %, serta kasus celah langit-langit
sekunder saja menyumbang 30–45% kasus. Presentase tertinggi terjadinya kasus bibir sumbing
berada di Afrika (1 dari 2.500 kelahiran). Sedangkan presentase terendah berada di Asia dan
Penduduk Asli Amerika (1 dari 500 kelahiran). Bibir sumbing secara konsisten lebih sering
terjadi pada pria dengan rasio 2 : 1 dibanding perempuan. Berbeda dengan kasus celah langit-
langit dimana rasio untuk pria dibanding perempuan adalah sama ( Shkoukani et al, 2013).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirasa perlu untuk melakukan kajian literatur
mengenai keterkaitan antara prevalensi terjadinya kasus bibir sumbing (cleft lips) akibat
paparan kontaminan di lingkungan kerja.
BAB II
ISI

Definisi Bibir Sumbing (Cleft Lips)


Celah bibir dan langit-langit adalah salah satu anomali kraniofasial yang paling sering
terjadi pada spesies manusia. Meskipun bukan penyebab utama kematian bayi di negara-negara
maju, celah bibir dan langit-langit mulut menyebabkan morbiditas yang besar pada anak-anak
yang terkena dampak dan memberikan dampak finansial yang besar pada keluarga dan
masyarakat. Individu dengan celah memerlukan perawatan kompleks yang melibatkan operasi,
kedokteran gigi, terapi wicara, dan intervensi psikososial ( Neves et al, 2015).

Klasifikasi
Shkoukani et al (2013) menjelaskan bahwa CLP (Cleft Lip and Palate) secara
tradisional diklasifikasikan berdasarkan fenotipenya dengan ekspresi mulai dari microform
sampai dengan clefting lengkap yang mungkin melibatkan alveolar ridge dan palatum. Bibir
sumbing dapat terjadi secara pada satu sisi saja (unilateral) (lihat gambar 1) ataupun pada dua
sisi (bilateral) (lihat gambar 2).

Tabel 1. Perbedaan anatomi perkembangan kraniofasial normal, bibir sumbing unilateral , dan
bibir sumbing bilateral.
Gambar 1. Bibir sumbing unilateral (A) tipe microform (B) tipe incomplete (C) tipe complete

Gambar 2. Bibir sumbing bilateral (A) tipe incomplete (B) tipe complete

Agen Penyebab
Pengembangan kraniofasial merupakan salah satu peristiwa paling kompleks selama
embriogenesis, dikoordinasikan oleh rantai RNA hasil transkripsi, sinyal molekul dan protein
yang bersama-sama memberikan polaritas sel, serta interaksi sel dan ectomesenchymal.
Gangguan pada sikronisasi kaskade dapat menyebabkan kegagalan dalam peleburan struktur
wajah primer yang terjadi antara minggu ke-6 dan ke-8 usia kehamilan, sehingga
mengakibatkan terbentuknya bibir sumbing (Neves et al, 2015).
Ibu hamil yang terpapar faktor lingkungan (environmental factor) selama periode
perkembangan embrio dapat meningkatkan kemungkinan embrio untuk mengembangkan
anomali struktural yang mencakup celah bibir (cleft lips) dan langit-langit (cleft palate). Pada
saat ini sudah banyak studi yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang
sudah dikaitkan dengan terjadinya bibir sumbing seperti merokok, konsumsi alkohol, diet,
konsumsi obat-obatan tidak sesuai aturan, dan beberapa produk kimia. Perhatian besar telah
diberikan pada identifikasi gen terkait dengan peningkatan kerentanan terhadap faktor
lingkungan yang disebutkan. Dalam studi kerentanan genetik terhadap celah bibir dan palatum,
korelasi antara variasi genetik spesifik dengan faktor risiko lingkungan spesifik dicari. Oleh
karena itu, akan dieksplorasi secara terpisah faktor lingkungan dan genetik yang terlibat dalam
etiologi bibir sumbing nonsyndromic dan palatum (Neves et al, 2015).
Beberapa studi juga sudah menemukan keterkaitan prevalensi terjadinya penyakit bibir
sumbing dengan paparan kontaminan di lingkungan kerja terhadap ibu hamil terutama pada
trimester pertama. Thulstrup and Bonde (2006) menjelaskan kontaminan tersebut diantaranya
adalah limbah pelarut (waste solvents), pestisida, logam berat, dan lain sebagainya (lihat tabel
1).
Tabel 2. Studi tentang paparan kontaminan di lapangan kerja terhadap ibu hamil dan risiko
bibir sumbing dan celah langit-langit

Garlantézec et al (2009) telah melakukan sebuah penelitian kohort di Perancis terhadap


3421 wanita hamil untuk menguji hipotesis bahwa paparan ibu terhadap pelarut memiliki
dampak pada risiko malformasi kongenital. Frekuensi kontak kerja dievaluasi dengan 11 kelas
produk yang mengandung pelarut (cat, pernis, pewarna, bensin, lem, pelumas, deterjen dan
agen pembersih, agen untuk tekstil dan kosmetik). Disimpulkan bahwa ada hubungan antara
paparan ibu terhadap pelarut dan terjadinya celah bibir dan langit-langit, terutama kepada
wanita yang bekerja sebagai teknisi laboratorium, ahli kecantikan, penata rambut, dan
pembersih.
Sedangkan untuk keterkaitan antara paparan pestisida terhadap prevalensi terjadinya
penyakit bibir sumbing, bahkan sudah muncul sejak tahun 1980 an. Gordon dan Shy (1981)
mengangkat hipotesis bahwa paparan bahan kimia pertanian (herbisidan dan pestisida) selama
periode puncak kepada ibu hamil terutama pada trimester pertama kehamilan dapat dikaitkan
dengan peningkatan risiko cacat lahir. Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, studi ini
menunjukkan efek independen dari paparan produk-produk tersebut dengan terjadinya bibir
sumbing (Cleft lips) dan celah langit-langit( cleft palate). Sumber paparan pestisida terhadap
ibu dapat terjadi karena pekerjaan atau tempat tinggal yang dekat dengan daerah pertanian dan
berkebun. Shaw et al (2003) mengeksplorasi hubungan antara berbagai sumber paparan
pestisida kepada ibu dan ayah dalam periode peri-konsepsi dan anomali kongenital pada
keturunan (bibir sumbing dan langit-langit, cacat tabung saraf, cacat conotruncal dan anomali
anggota badan). Khususnya untuk kejadian celah bibir dan palatum, diamati bahwa paparan
paternal terhadap pestisida terkait dengan peningkatan risiko CL / P dan penggunaan pestisida
oleh wanita hamil dalam kegiatan berkebun memiliki nilai OR ≥ 1.5 (untuk sebagian besar
anomali yang dipelajari). Kemudian berdasarkan penelitian Thulstrup and Bonde (2006)
mengenai celah bibir dan langit-langit, mereka memiliki hipotesis bahwa terdapat hubungan
antara prevalensi terjadi bayi cacat sumbing dengan paparan ibu hamil terhadap pestisida
,pelarut organik dan eter glikol, walaupun buktinya masih terbatas. Mereka menyimpulkan
bahwa ada kekhawatiran yang berkembang tentang efek teratogenik yang mungkin terjadi
akibat paparan dari bahan kimia tersebut. Shirangi et al (2011) juga melakukan kajian literatur
secara sistematis untuk menilai bukti epidemiologi dari hubungan antara penerapan pestisida
di bidang pertanian secara berlebihan dengan prevalensi terjadinya bibir sumbing terhadap
penduduk daerah sekitar, termasuk malformasi kongenitalnya. Berdasarkan proses kajian yang
sudah dilakukan, menunjukkan bahwa adanya hubungan antara paparan pestisida dengan
malformasi kongenital.

Farmakokinetika Agen Toksik penyebab Bibir Sumbing (Cleft Lips)


 Eter Glikol (Glycol Ether)
Ethylene glycol monomethyl ether (EGME) biasanya digunakan sebagai pelarut di
industri yang bersifat teratogenik dan fetotoksik. Sebuah studi bioesei dilakukan pada tikus
yang diberikan melalui mulut selama kehamilan (31-25 mg EGME / kg bw) menunjukkan
malformasi skeletal pada keturunan mereka (Bolt and Golka, 1990). Lalu bagaimana dengan
manusia ?
Bolt dan Golka (1990) melaporkan bahwa EGME juga bersifat teratogenik terhadap
manusia. Seorang wanita yang sedang hamil dilaporkan bekerja di perusahaan laboratorium
pada tahun 1959 dan menggunakan EGMEA sebagai pelarut utama. Paparan terjadi melalui
portal entri dermal (karena tidak selalu menggunakan sarung tangan pengaman) dan
inhalasi. Kandungan senyawa EGME yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
metabolisme sebagai berikut (Bagchi and Waxman, 2008) :
 EGME pertama kali dioksidasi oleh alkohol dehidrogenase menjadi 2-
methoxyacetaldehyde
 Intermediet jangka pendek ini teroksidasi oleh aldehid dehidrogenase menjadi MAA,
metabolit yang lebih stabil yang bersifat embriotoksik dan teratogenik.
 MAA mudah terdeteksi dalam darah dan cairan tubuh lainnya dari individu yang
terpapar dan dihilangkan melalui urin
 MAA akan teraktivasi menjadi thioester dan bergabung dengan koenzim A untuk
membentuk 2-methoxyacetyl ~ CoA, yang kemudian dapat memasuki siklus asam
trikarbosiklik
 Toksisitas MAA dapat dilemahkan melalui pengobatan bersama dengan asetat, formate,
D-glukosa, glisin, serin dan jalur metabolit asam trikarboksilat tertentu.

 Pestisida
Beberapa jenis pestisida seperti organoklorin, organoposfat, karbamat, dan lain
sebagainya, pada umumnya dipakai untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Pestisida
dapat masuk ke dalam tubuh melalui portal entri inhalasi dan dermal, serta bisa tertela
melalui oral secara tidak sengaja/ sengaja dengan probabilitas yang sangat jarang. Sebagian
besar studi memperlihatkan bahwa kandungan pestisida dalam darah ibu yang sedang
mengandung dapat meningkatkan peluang terjadinya bibir sumbing pada janin yang baru
lahir. Seperti pada penelitian Tian et al (2005) yang melakukan studi bioesei dengan
menerapkan injeksi intraperitoneal 80mg / Kg pestisida organofosfat Chlorpyrifos pada
tikus, mereka mengamati peningkatan adanya frekuensi terjadinya cleft lip dan cleft palate
(5,97%) bila dibandingkan dengan Grup Kontrol (0,97%).

Upaya Penyembuhan Penyakit Bibir Sumbing (Cleft Lips)


Pendekatan pasien CL/P harus dilakukan secara multidisiplin. Pendekatan tersebut
melibatkan tim CL/P yang terdiri dari dokter ahli bedah kraniofasial, otolaryngologis, ahli
genetika, anestesiologis, ahli patologi wicara ‐ bahasa, ahli gizi, ortodontis, prosthodontists,
dan ahli psikologis. Pada kasus yang lebih aneh atau sulit dilibatkan juga dokter ahli bedah
saraf dan dokter mata. Jairaman (2015) mengatakan bahwa penanganan CL/P dibagi menjadi
beberapa tahap :
 Penanganan antenatal : Secara embriologis, palatum utama ( alveolus dan bibir ) menempel
pada anterior foramen tajam sekitar lima sampai enam minggu intrauterin, dan palatum
sekunder pada posterior foramen tajam sekitar tujuh sampai delapan minggu. Bibir sumbing
saat ini dapat didiagnosis dalam rahim dengan ultrasound scanning sejak 17 minggu
kehamilan. Ketika CL/P didiagnosis pada fase antenatal, orang tua dijelaskan tentang
kondisi tersebut
 Periode perinatal : Diagnosis dan komunikasi: Seluruh palatum sampai dengan ujung uvula
harus diperiksa dengan tongue depressor dan cahaya terang. Palpasi dengan jari dapat
mendeteksi takik di batas posterior palatum keras. Pertemuan pertama dengan tim CL/P
memberikan kesempatan bagi setiap anggota untuk menjelaskan peran dan keterlibatan
penataklaksanaan jangka panjang. Orang tua harus didorong untuk terlibat aktif dalam
membuat keputusan yang berkaitan dengan penataklaksanaan.
 Masalah respiratorik: Anak‐anak dengan urutan Pierre ‐ Robin mungkin mengalami
masalah pernapasan yang dapat mempersulit dalam melakukan intubasi pada bayi baru lahir.
Perlekatan lidah posterior dapat menyumbat jalan napas jika bayi berada dalam posisi
supinasi dan posisi tengkurap dapat mengatasi masalah ini. Pada kasus yang lebih berat
seperti penumpukan jaringan lunak, sianosis atau apnea, pembuatan jalan napas pada
nasofaring dapat mengatasi obstruksi, memperbaiki kondisi untuk makan menjadi lebih
baik, mengurangi gagal jantung kongestif, dan meningkatkan berat badan. Saran untuk
melakukan trakeostomi jarang dilakukan.
 Masalah makan : Kesulitan makan karena CL/P menyebabkan kekurangan gizi dan
kematian pada bayi. Penyusuan yang baik membutuhkan tekanan intraoral negatif yang
tidak dapat dihasilkan oleh bibir sumbing. Namun, tekanan intraoral negatif dapat dihasilkan
oleh celah bibir yang terisolasi di mana jaringan payudara mengisi kecacatan itu. Berbagai
botol dan dot khusus disediakan oleh CLAPA (Cleft Lip and Palate Association), sebuah
asosiasi nasional orang tua. Pada umumnya disarankan bahwa pemberian susu botol
disimpan secara sederhana. Botol yang lembut mudah diperas, dan atau dot dengan lubang
diperbesar biasanya efektif . Botol yang lebih kompleks seperti pengumpan Haberman
kadang dapat membantu. Biasanya makan secara nasogastrik tidak diperlukan dan harus
dihindari.
 Periode preskolah: Hal utama yang menjadi perhatian di periode prasekolah adalah
perkembangan bicara dan bahasa, pemantauan THT dan pendengaran, pertumbuhan
somatik dan pengembangan, dan kesejahteraan gigi. Perkembangan bahasa dan bicara:
Anak‐anak masih berisiko mengalami gangguan bicara walaupun palatumnya sudah
diperbaiki. Penyebab gangguan bicara sering multifaktorial dan kompleks. Anomali
struktural persisten seperti insufisiensi velopharyngeal, gangguan pada gigi dan oklusal,
fistula oronasal, dan masalah pendengaran juga dapat menyebabkan masalah gangguan
bicara. Meskipun perkembangan bahasa ekspresif sering lebih lambat pada anak‐anak ini,
masalah bicara yang biasanya berhubungan dengan bibir sumbing berkaitan
dengan resonansi atau nada yang terganggu. Pembedahan yang dikenal dengan
pharyngoplasty merupakan pengobatan yang umumnya dilakukan. Pilihan pengobatan lain
adalah peralatan prostetik seperti alat untuk melatih palatal. Pemantauan bicara berlanjut
hingga dewasa bersama dengan ortodontik aktif dan pembedahan.
 Anak yang bersekolah: Grafting tulang autologous untuk pasien dengan CL/P telah
dipraktikkan selama beberapa dekade. Pada awalnya, telah dicoba untuk mengisi tulang
yang cacat dengan menggunakan struts rib pada saat perbaikan bibir, yang disebut sebagai
'grafting tulang primer'. Grafting tulang alveolar sekunder telah dipraktikkan di Great
Britain sejak tahun 1982. Pada usia 9‐11 tahun, tulang cancellous biasanya diambil dari
iliak puncak dan ditempatkan dalam alveolar yang cacat. Grafting tulang alveolar
memungkinkan terbentuknya struktur alveolar yang normal dimana gigi dapat tererosi dan
kemudian dipindahkan secara ortodontik. Operasi ini memiliki manfaat lain, seperti sisa
fistula dapat diperbaiki secara simultan dan biasanya lebih berhasil. Kadang‐kadang
penampilan hidung dapat diperbaiki dengan ditambahkan infrastruktur pada dasar hidung.
Namun, keuntungan utama dari grafting tulang alveolar adalah mengurangi kebutuhan
untuk penggantian gigi yang hilang di masa depan
 Dewasa: Pertumbuhan wajah yang dikompromi dan kebutuhan kemajuan rahang besar:
Sejumlah besar pasien dengan CL/P mengeluhkan distorsi pertumbuhan midfasial. Tidak
ada waktu yang ideal untuk melakukan intervensi bedah yang meminimalkan defek
pertumbuhan wajah sementara memungkinkan perkembangan bicara yang normal.
 Pengobatan retrusi midface: Kemajuan bedah rahang atas adalah satu‐satunya pengobatan
yang layak untuk retrusi midface. Namun, hal ini berarti bahwa pasien harus menempuh
fase remaja mereka dengan penampilan wajah yang buruk. Kadang‐kadang operasi ini
dilakukan pada awal tahun remaja jika dianggap penangguhan operasi mungkin
menyebabkan kerusakan psikologis yang cukup besar kepada pasien. Pasien tersebut harus
diingatkan bahwa kemungkinan besar akan diperlukan operasi ulang yang kedua.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan kajian literatur yang sudah dilakukan mengenai hubungan antara penyakit
bibir sumbing (cleft lips) dengan paparan kontaminan di lingkungan kerja, maka dapat
disimpulkan bahwa :
 Ibu hamil yang terpapar faktor lingkungan (environmental factor) selama periode
perkembangan embrio dapat meningkatkan kemungkinan embrio untuk
mengembangkan anomali struktural yang mencakup celah bibir (cleft lips) dan langit-
langit (cleft palate).
 Beberapa kontaminan di lingkungan kerja yang bersifat teratogenik dan dapat
meningkatkan probabilitas terjadinya bibir sumbing (cleft lips) diantaranya paparan
pelarut (solvents) seperti glycol ether, berbagai macam pestisida seperti organoposfat,
dan logam berat.
 Mekanisme bagaimana agen toksik bisa menyebabkan bibir sumbing pada janin belum
banyak diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
 Pada saat ini sudah terdapat beberapa metode klinis yang dapat menyembuhkan Bibir
sumbing. Upaya penyembuhan harus dilakukan secara multidisiplin dan bertahap
DAFTAR PUSTAKA

Bagchi, G. and D.J. Waxman. Toxicity of Ethylene Glycol Monomethyl Ether: Impact on
Testicular Gene Expression. Int J Androl . 2008 April ; 31(2): 269–274.
doi:10.1111/j.1365-2605.2007.00846.x.
Bolt, H.M., and K. Golka. 1990. Maternal exposure to ethylene glycol monomethyl ether
acetate and hypospadia in offspring: a case report. British Journal ofIndustrial
Medicine (47):352-353
Garlantézec R, Monfort C, Rouget F, Cordier S. Maternal occupational exposure to solvents
and congenital malformations: A prospective study in the general population. Occup
Environ Med 2009;66:456-63.
Gordon JE, Shy CM. Agricultural chemical use and congenital cleft lip and/or palate. Arch
Environ Health 1981;36:213-21.
Jairaman, V. 2015. Penanganan bibir sumbing dan malformasi langit – langit. ISM vol 2 (1) :
19 – 21.
Neves, A.T.S, E.M.M. Vieira, A.M.F. Aranha, A.M. Borba, A.H. Borges, and L.E.R. Volpato.
Cleft lip and palate: Associated genetic and environmental factors. Scientific Journal
of Dentistry (2015), 2, 19-25
Sever LE. Congenital malformations related to occupational reproductive hazards. Occup Med
(Lond) 1994;9: 471–494.
Shaw GM, Nelson V, Iovannisci DM, Finnell RH, Lammer EJ. Maternal occupational chemical
exposures and biotransformation genotypes as risk factors for selected congenital
anomalies. Am J Epidemiol 2003;157: 475–484
Shirangi A, Nieuwenhuijsen M, Vienneau D, Holman CD. Living near agricultural pesticide
applications and the risk of adverse reproductive outcomes: A review of the
literature. Paediatr Perinat Epidemiol 2011;25:172-91.
Shkoukani, M.A., M. Chen, and A. Vong. 2013. Cleft lip – a comprehensive review. Fronties
in Pediatrics.
Thulstrup, A.M. and J.P. Bonde. 2006. Maternal occupational exposure and risk of specific
birth defects. Occupational Medicine (56) : 532 – 543.
Tian Y, Ishikawa H, Yamaguchi T, Yamaguchi T, Yokoyama K. Teratogenicity and
developmental toxicity of chlorpyrifos. Maternal exposure during organogenesis in
mice. Reprod Toxicol. 2005; 20:267-270.

Anda mungkin juga menyukai