Anda di halaman 1dari 19

Definisi

Celah Bibir dan Celah Langit-langit adalah suatu kelainan bawaan yang terjadi pada bibir bagian atas
serta langit-langit lunak dan langit-langit keras mulut.

Celah bibir (Bibir sumbing) adalah suatu ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir bagian atas,
yang biasanya berlokasi tepat dibawah hidung. Celah langit-langit adalah suatu saluran abnormal
yang melewati langit-langit mulut dan menuju ke saluran udara di hidung.

Penyebab

Dasar penyebab terjadinya bibir sumbing belum dimengerti secara keseluruhan. Dikatakan
merupakan gabungan antara genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan seperti infeksi virus (misal
rubella) dan agen teratogenik (seperti steroid, antikonvulsan) selama trimester pertama kehamilan,
telah dicurigai berkaitan erat dengan terjadinya sumbing. Resiko terjadinya sumbing juga meningkat
dengan semakin tuanya usia orangtua, terutama lebih dari 30 tahun, dengan usia sang ayah
nampaknya lebih merupakan faktor signifikan dibandingkan usia ibu.

Gejala Klinis

Gejala klinis sangat bervariasi. Sumbing bibir juga diklasifikasikan menjadi unilateral (hanya sebelah /
satu sisi) dan bilateral (melibatkan dua sisi bibir), serta lengkap dan tidak lengkap. Bibir sumbing
tidak lengkapditandai oleh garis sumbing yang tidak mencapai dasar lubang hidung (nasal sill). Dalam
hal ini nasal sill harus intak, dan bagian ini sering disebut sebagai Simonart’s band. Bibir sumbing
lengkap melibatkan seluruh ketebalan bibir dan prosesus alveolaris (palatum primer), meluas
menuju nasal sill dan tidak terdapat Simonart’s band, serta sering disertai sumbing palatum
(sumbing langit-langit). Biasanya sebagai konsekuensi adanya bibir sumbing, hidung juga mengalami
perubahan bentuk.

• pemisahan bibir

• pemisahan langit-langit

• pemisahan bibir dan langit-langit

• distorsi hidung

• infeksi telinga berulang

• berat badan tidak bertambah

• regurgitasi nasal ketika menyusu (air susu keluar dari lubang hidung).
Penatalaksanaan

Bayi yang terlahir dengan bibir sumbing harus ditangani oleh klinisi dari multidisiplin dengan
pendekatan team-based, agar memungkinkan koordinasi efektif dari berbagai aspek multidisiplin
tersebut. Selain masalah rekonstruksi bibir yang sumbing, masih ada masalah lain yang perlu
dipertimbangkan yaitu masalah pendengaran, bicara, gigi-geligi dan psikososial. Masalah-masalah ini
sama pentingnya dengan rekonstruksi anatomis, dan pada akhirnya hasil fungsional yang baik dari
rekonstruksi yang dikerjakan juga dipengaruhi oleh masalah-masalah tersebut. Dengan pendekatan
multidisipliner, tatalaksana yang komprehensif dapat diberikan, dan sebaiknya kontinyu sejak bayi
lahir

sampai remaja. Diperlukan tenaga spesialis bidang kesehatan anak, bedah plastik, THT, gigi
ortodonti, serta terapis wicara, psikolog, ahli nutrisi dan audiolog.

Tatalaksana Bedah

Saat paling optimal untuk melakukan operasi repair sumbing sebenarnya masih kontroversial.
Beberapa pusat penanganan sumbing memilih melakukan operasi pada periode neonatus dini,
dengan manfaat teoretis : kemampuan adaptasi penampakan jaringan parut lebih baik, sehingga
meminimalisasikan kelainan hidung. Beberapa pusat penanganan sumbing yang lain, dengan alasan
untuk meminimalisasikan resiko efek samping anestesi umum, bertahan dengan the rule of ten :
yaitu melakukan operasi repair sumbing pada anak dengan berat badan 10 lb (5 kg), usia 10 minggu
dan kadar hemoglobin darah 10 g. Secara umum, operasi perbaikan sumbing bibir dilakukan pada
usia bayi 2 – 4 bulan; dengan begitu resiko efek samping anestesia lebih rendah, bayi sudah lebih
kuat menghadapi stress operasi, serta ukuran elemen bibir sudah lebih besar sehingga rekonstruksi
dapat dilakukan dengan lebih rapi dan akurat. Jika celah pada bibir sumbing lebar, terkadang
diperlukan suatu alat orthodonti terlebih dahulu untuk menunjang keberhasilan operasi.

Apakah yang di maksud dengan labiopalatoscisis?

Celah pada langit-langit yang terjadi akibat kegagalan fusi antara prosesus palatinus kiri/kanan di
garis median pada masa embrional.

Penyebabnya adalah faktor genetik yang dipengaruhi faktor lingkungan (Poligenik multifaktorial) tapi
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti gen penyebab terjadinya

faktor-faktor external/lingkugan yang mempenpengaruhi labiopalatochisis

• Faktor usia ibu


• Obat-obatan. Asetosal, Aspirin (SCHARDEIN-1985) Rifampisin, Fenasetin, Sulfonamid,
Aminoglikosid, Indometasin, Asam Flufetamat, Ibuprofen, Penisilamin, Antihistamin dapat
menyebabkan celah langit-langit. Antineoplastik, Kortikosteroid

• Nutrisi

• Penyakit infeksi Sifilis, virus rubella

• Radiasi

• Stres emosional

• Trauma, (trimester pertama)

kromosom yang bertanggungjawab terhadap kejadian labiopalatoscisis

Pada setiap sel yang normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom non-
sex ( kromosom 1 s/d 22 ) dan 1 pasang kromosom sex ( kromosom X dan Y ) yang menentukan jenis
kelamin. Pada penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13 atau Sindroma Patau dimana ada 3 untai
kromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga jumlah total kromosom pada tiap selnya adalah
47. Jika terjadi hal seperti ini selain menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan gangguan berat
pada perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang terjadi dengan
frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.

PENATALAKSANAAN

Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah sederhana, melibatkan
berbagai unsur antara lain, ahli Bedah Plastik, ahli ortodonti, ahli THT untuk mencegah menangani
timbulnya otitis media dan kontrol pendengaran, dan anestesiologis. Speech therapist untuk fungsi
bicara. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-tindih tapi saling saling melengkapi dalam
menangani penderita CLP secara paripurna.

Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus emergensi, dilakukan pada
usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal
karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan luka
sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik.

contoh teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk memperbaiki celah palatum, yaitu:

1. Teknik von Langenbeck


Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck yang merupakan teknik operasi tertua
yang masih digunakan sampai saat ini. Teknik ini menggunakan teknik flap bipedikel mukoperiosteal
pada palatum durum dan palatum molle. Untuk memperbaiki kelainan yang ada, dasar flap ini
disebelah anterior dan posterior diperluas ke medial untuk menutup celah palatum.

Pencegahan

Jika anda memiliki anak dengan cleft lip atau cleft palate, anda dapat melakukan konsultasi dengan
ahli genetik untuk melihat adanya kemungkinan terjadinya kelainan yang sama pada anak
berikutnya. Bagaimanapun, usaha pencegahan yang terbaik adalah dengan menjaga kesehatan saat
kehamilan.

Hindari konsumsi minuman beralkohol dan merokok pada masa kehamilan Konsumsi asam folat
sebanyak 400 mikrogram setiap harinya selama bulan sebelum konsepsi dan selama dua bulan
pertama kehamilan dapat mengurangi resiko cleft lip dan cleft palate.

Anda juga perlu memperhatikan konsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
kelainan ini, yaitu obat anti epilepsi seperti phenytoin dan sodium valproate. Tablet steroid dan obat
methotrexate (biasanya digunakan dalam pengobatan kanker dan penyakit peradangan tertentu)
juga dapat meningkatkan resiko. Bila anda sedang mengkonsumsi obat-obatan tersebut, sebaiknya
konsultasikan dulu dengan dokter anda sebelum masa kehamilan.
Epidemiologi Bibir Sumbing

BAB I

PENDAHULUAN

Labioschisis atau biasa disebut bibir sumbing adalah cacat bawaan yang menjadi
masalah tersendiri di kalangan masyarakat, terutama penduduk dengan status sosial ekonomi
yang lemah. Akibatnya operasi dilakukan terlambat dan malah dibiarkan sampai dewasa.

Bibir sumbing dengan atau tanpa celah pada langit-langit, merupakan kelainan
kongenital yang paling umum pada kepala dan leher di dunia. Penelitian epidemiologi untuk
pencegahan terjadinya bibir sumbing masih sedikit namun teknik bedah untuk mengobatinya
banyak dilakukan.

Sumbing memiliki frekuensi yang berbeda-beda pada berbagai budaya dan ras serta
negara. Diperkirakan 45% dari populasi adalah non-Kaukasia. Fogh Andersen di Denmark
melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit 1,47/1000 kelahiran hidup. Hasil
yang hampir sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta
Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden 2,1/1000 penduduk di Jepang.

Insiden bibir sumbing di Indonesia belum diketahui diketahui secara pasti, hanya disebutkan
terjadi satu kejadian setiap 1000 kelahiran.PKIRANRAKYAT Hidayat dan kawan-kawan di
propinsi Nusa Tenggara Timur antara April 1986 sampai Nopember 1987 melakukan operasi
pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah langit-langit pada bayi, anak maupun dewasa di
antara 3 juta penduduk.

Etiologi bibir sumbing dan celah langit-langit adalah multifaktorial. Selain faktor genetik
juga terdapat faktor non genetik atau lingkungan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya bibir sumbing dan celah langit-langit adalah usia ibu waktu melahirkan,
perkawinan antara penderita bibir sumbing, defisiensi Zn waktu hamil dan defisiensi vitamin
B6.

Bayi yang terlahir dengan labioschisis harus ditangani oleh klinisi dari multidisiplin dengan
pendekatan team-based, agar memungkinkan koordinasi efektif dari berbagai aspek
multidisiplin tersebut. Selain masalah rekonstruksi bibir yang sumbing, masih ada masalah
lain yang perlu dipertimbangkan yaitu masalah pendengaran, bicara, gigi-geligi dan
psikososial. Masalah-masalah ini sama pentingnya dengan rekonstruksi anatomis, dan pada
akhirnya hasil fungsional yang baik dari rekonstruksi yang dikerjakan juga dipengaruhi oleh
masalah-masalah tersebut. Dengan pendekatan multidisipliner, tatalaksana yang
komprehensif dapat diberikan, dan sebaiknya kontinyu sejak bayi lahir sampai remaja.
Diperlukan tenaga spesialis bidang kesehatan anak, bedah plastik, THT, gigi ortodonti, serta
terapis wicara, psikolog, ahli nutrisi dan audiolog.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bustami dan kawan-kawan diketahui bahwa
alasan terbanyak anak penderita labioschisis terlambat (berumur antara 5-15 tahun) untuk
dioperasi adalah keadaan sosial ekonomi yang tidak memadai dan pendidikan orang tua yang
masih kurang.

Penyelenggaraan upaya kesehatan gigi sebagai salah satu kegiatan pokok Puskesmas juga
dilaksanakan sesuai dengan pola pelayanan Puskesmas tersebut.

Pelayanan kesehatan gigi dan mulut terutama ditujukan kepada golongan rawan
terhadap gangguan kesehatan gigi dan mulut yaitu: ibu hamil/menyusui, anak pra sekolah dan
anak sekolah dasar serta ditujukan pada keluarga dan masyarakat berpenghasilan rendah di
pedesaan dan perkotaan.

Dengan penyelenggaraan upaya kesehatan gigi di Puskesmas ini diharapkan


tercapainya keadaan kesehatan gigi masyarakat yang layak (optimum).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Labioschisis atau cleft lip atau bibir sumbing adalah suatu kondisi dimana terdapatnya
celah pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat berupa takik kecil pada
bahagian bibir yang berwarna samapai pada pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir
memanjang dari bibir ke hidung. Celah pada satu sisi disebut labioschisis unilateral, dan jika
celah terdapat pada kedua sisi disebut labioschisis bilateral.
2.2 Bibir dan Langit-langit Sumbing Dari Segi Klinis

2.2.1 Etiologi

Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan ilmuwan


berpendapat bahwa labioschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan
factor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti
melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labioschisis akan
mengalami labioschisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioschisis
meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat
labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika, kekurangan vitamin (terutama
asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih
cenderung melahirkan bayi/ anak dengan labioschisis.

Menurut Mansjoer dan kawan-kawan, hipotesis yang diajukan antara lain:


 Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal kuantitas
(pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam folat, vitamin C,
dan Zn)
 Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
 Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.
 Faktor genetik

Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak
terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (prosesus
nasalis dan maksilaris) pecah kembali.

Pada hewan percobaan vitamin A dikenal sebagai "teratogen universal". Namun


kemungkinan teratogenitas pada manusia yang mengkonsumsi suplemen vitamin A masih
kontroversi.

Vitamin B-6 memiliki peran vital dalam metabolisme asam amino. Defisiensi vitamin
B-6 tunggal telah terbukti dapat menyebabkan langit-langit mulut sumbing dan kelainan
defek lahior lainnya pada tikus percobaan. Dan Miller (1972) menunjukkan bahwa pemberian
vitamin B-6 dapat mencegah terjadinya celah orofasial.
Salah satu penyebab terjadinya celah orofasial ialah heterogenitas, sebanyak sekitar
20% menyertai sindrom yang disebabkan mutasi yang spesifik. Namun juga terjadinya celah
orofasil juga berhubungan dengan asam folat dan multivitamin lainnya. Beberapa mungkin
memiliki etiologi karena asam folat namun sebagian lagi tidak, sehingga menyulitkan untuk
mencari efeknya.

2.2.2 Klasifikasi

Labioschisis diklasifikasikan berdasarkan lengkap/ tidaknya celah yang terbentuk :

- Komplit

- Inkomplit

Dan berdasarkan lokasi/ jumlah kelainan :

- Unilateral

- Bilateral

2.2.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari kelainan labioschisis antara lain :

- Masalah asupan makanan

Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis. Adanya
labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu
atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin dapat meningkatkan
kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah reflex hisap dan reflek
menelan pada bayi dengan labioschisis tidak sebaik bayi normal, dan bayi dapat menghisap
lebih banyak udara pada saat menyusu. Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin
dapat membantu proses menyusu bayi. Menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala juga
daapt membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada
palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis biasanya
membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan
tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan
masalah pemberian makan/ asupan makanan tertentu.

Gambar 2.1 Klasifikasi Labioschisis.

- Masalah Dental

Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah tertentu yang
berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada arean dari
celah bibir yang terbentuk.

- Infeksi telinga

Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena
terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan
penutupan tuba eustachius.

- Gangguan berbicara

Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada


perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat
menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada
yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah dilakukan reparasi
palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga nasal pada saat
bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Penderita celah palatum memiliki
kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak cenderung pendek dan kurang dapat bergerak
sehingga selama berbicara udara keluar dari hidung. Anak mungkin mempunyai kesulitan
untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch", dan terapi bicara ( speech
therapy) biasanya sangat membantu.

2.2.4 Penatalaksanaan

Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh “tim labio-palatoschisis” yang


terdiri dari spesialistik bedah, maksilofasial, terapis bicara dan bahasa, dokter gigi, ortodonsi,
psikoloog, dan perawat spesialis. Perawatan dan dukungan pada bayi dan keluarganya
diberikan sejak bayi tersebut lahir sampai berhenti tumbuh pada usia kira-kira 18 tahun.
Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada saat usia anak 3 bulan.

Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu :

1. Tahap sebelum operasi

Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima
tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai
dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan
lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu
, jika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang
tua agar kelainan dan komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi
minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar
sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi
tersedak atau terlalu kecil sehingga

membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan besar lubang khusus ini tidak
tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam posisi
setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langit-langit yang
terbelah.

Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non
alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses
tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maxilla)
akibat dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat
operasi akan menjadi sulit dan secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna.
Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba.

2. Tahap sewaktu operasi

Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah
soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh
seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3
bulan. Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan
sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah
terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang
sempurna.

Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 – 20 bulan mengingat


anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah. Palatoplasty dilakukan
sedini mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di
otak belum membentuk cara bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil operasi
(19)
dalam hal kemampuan mengeluarkan suara normal atau tidak sengau sulit dicapai. Operasi
yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech teraphy karena
jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah
terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah
pada posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi
labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 8–9 tahun bekerja sama
dengan dokter gigi ahli ortodonsi.

Gambar 2.2 Reparasi labioschisis (labioplasti). (A and B) pemotongan sudut celah pada bibir
dan hidung. (C) bagian bawah nostril disatukan dengan sutura. (D) bagian atas bibir
disatukan, dan (E) jahitan memanjang sampai kebawah untuk menutup celah secara
keseluruhan.

3. Tahap setelah operasi.

Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari


tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan
memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka
bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus untuk
memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah
melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika
saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau
dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak banyak
bermanfaat.

Gambar 2.3 Sebelum dan sesudah tindakan operasi. (14)

Cara menyusui bagi ibu yang memiliki anak dengan bibir sumbing:
a. Memberi tahu ibu kepentingan ASI untuk bayinya,
b. Usaha untuk menutup celah atau sumbing bibir agar bayi dapat memegang puting dan
areola dalam mulutnya waktu menyusui (jari ibu atau plak gigi yg khusus atau
obturator), kadang-kadang payudara ibu menutup celah itu.
c. Memerah susu dan memberikan kepada anaknya menggunakan cangkir atau sendok teh.

2.2.5 Prognosis

Kelainan labioschisis merupakan kelainan bawaan yang dapat dimodifikasi/


disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini melakukan operasi saat usia
masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki penampilan wajah secara signifikan. Dengan
adanya teknik pembedahan yang makin berkembang, 80% anak dengan labioschisis yang
telah ditatalaksana mempunyai perkembangan kemampuan bicara yang baik. Terapi bicara
yang berkesinambungan menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada masalah-masalah
berbicara pada anak labioschisis.

2.3 Prevalensi Bibir dan Langit-Langit Sumbing

Bibir sumbing langit-langit (palatum) secara rutin terkait dengan lebih dari 200
sindrom / malformasi. Insidensinya bervariasi antar kelompok etnis sebagai berikut:
American Indian (3.6:10,000), Asia (3:1000), dan Amerika Afrika (0.3:1000).

Bibir sumbing dan / atau dengan langit-langit terbelah adalah kelainan bawaan yang
sering dilihat di seluruh dunia. Rata-rata, sekitar 1 dalam setiap 500-750 kelahiran hidup
menghasilkan sumbing. Selain itu, di Amerika Serikat, prevalensi untuk bibir sumbing
dengan atau tanpa langit-langit terbelah adalah 2,2-11,7 per 10.000 kelahiran. Sumbing
(10)
langit-langit saja menghasilkan tingkat prevalensi 5,5-6,6 per 10.000 kelahiran. Bibir
sumbing, langit-langit mulut, atau keduanya adalah salah satu kelainan bawaan yang paling
umum dan memiliki tingkat kelahiran prevalensi berkisar dari 1 / 1000 sampai 2.69/1000
antara berbagai belahan dunia.

Orang Afrika Atau Afrika Amerika

(27)
Satu per 2.500 Afrika Amerika dilahirkan dengan sumbing. Afrika-Amerika
memiliki tingkat prevalensi yang lebih rendah dari bibir dan/atau langit-langit sumbing bila
dibandingkan dengan orang Kaukasia. Tingkat prevalensi sebesar 0,61 per 1.000 dan 1,05 per
1.000 kelahiran hidup masing-masing dilaporkan oleh Croen, Shaw, Wasserman dan
Tolarova (1998). (7) Di Malawi dilaporkan terdapat tingkat prevalensi yang rendah untuk bibir
sumbing dan / atau langit-langit, 0,7 per 1.000 kelahiran hidup.

Amerika Latin Dan Penduduk Latin Asli

Amerika Latin berasal dari Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan, dan
Karibia. Prevalensi Amerika Latin lebih rendah daripada Kaukasia dan penduduk asli
(7)
Amerika, namun masih lebih tinggi daripada Afrika Amerika. Orang latin memiliki
prevalensi sumbing sebesar 9,7 per 10.000 kelahiran hidup. (15) Dalam Sucre, tingkat
prevalensi bibir dan/atau langit-langit sumbing di Bolivia adalah 1,23 per 1.000 kelahiran
hidup.

Yordania

Al Omari et al. (2004) meneliti prevalensi sumbing selama periode sebelas tahun di
Yordania dan menemukan tingkat keseluruhan sebesar 1,39 per 1.000 kelahiran hidup untuk
bibir dan/atau langit-langit sumbing .

Gambar 2.4 Bibir dan/atau langit-langit sumbing di Eropa

Amerika Serikat

Hawaii adalah negara bagian Amerika Serikat yang memiliki populasi yang sangat
beragam yang terdiri dari 73% orang Asia dan Kepulauan Pasifik keturunan. Forrester &
Merz (2004) menemukan bahwa tingkat prevalensi bibir dan/atau langit-langit sumbing per
10.000 kelahiran hidup di Hawaii adalah: 10 pada orang Kaukasia, 16 pada orang-orang
keturunan Asia Timur Jauh, 11 pada orang-orang keturunan Kepulauan Pasifik, dan 14,5
pada orang keturunan Filipina.

Gambar 2.5 Bibir dan/atau langit-langit sumbing di Amerika

Indonesia

Berdasarkan Pikiran Rakyat On Line tanggal 1 Juni 2009, disebutkan bahwa jumlah
penderita bibir sumbing atau celah bibir di Indonesia bertambah 3.000-6.000 orang setiap
tahun atau satu bayi setiap 1.000 kelahiran adalah penderita bibir sumbing.
Berdasarkan data dari Yayasan Pembina Penderita Celah Bibir dan Langit-Langit
(YPPCBL) kepada Radar Bandung tahun 2008, bahwa sejak tahun 1979 sampai tahun 2008
operasi dan perawatan bibir sumbing mencapai 11.472 di seluruh Indonesia atau 395 orang
per tahun.RADARBANDUNG Sedangkan pada tahun 2009 Ketua Pengurus YPPCBL
kepada harian Kompas menyatakan bahwa saat ini diperkirakan jumlah penderita bertambah
6.000-7.000 kasus per tahun. Namun, karena berbagai macam kendala, jumlah penderita yang
bisa dioperasi jauh dari ideal. Hanya 1.000-1.500 pasien per tahun yang mendapat
kesempatan menjalani operasi. (16)

Gambar 2.6 Bibir dan/atau langit-langit sumbing di Asia, Timuh Tengah, Australia dan
Oseania, Afrika

2.4 Pengaruh Lingkungan

Pengaruh lingkungan juga dapat menyebabkan, atau berinteraksi dengan genetika


untuk memproduksi, celah orofacial. Sebuah contoh bagaimana faktor lingkungan dapat
dihubungkan dengan genetika berasal dari penelitian tentang mutasi pada gen PHF8 yang
menyebabkan celah bibir / langit-langit. Ditemukan bahwa PHF8 mengkodekan demethylase
lisin histone, dan terlibat dalam regulasi epigenetik. Aktivitas katalitik PHF8 tergantung pada
oksigen molekuler, fakta yang dianggap penting sehubungan dengan laporan mengenai
kejadian peningkatan celah bibir / langit-langit pada tikus yang telah terkena hipoksia dini
selama kehamilan. Pada manusia, bibir sumbing janin dan kelainan bawaan lain juga telah
dihubungkan dengan hipoksia ibu, seperti yang disebabkan oleh misalnya ibu merokok, ibu
penyalahgunaan alkohol atau beberapa bentuk pengobatan hipertensi ibu faktor lingkungan
lain yang telah dipelajari meliputi: penyebab musiman (seperti eksposur pestisida);. diet ibu
dan asupan vitamin; retinoid - yang merupakan anggota vitamin A keluarga; obat-obatan
antikonvulsan, alkohol, penggunaan rokok; senyawa nitrat, pelarut organik, paparan orangtua
untuk memimpin, dan obat-obatan terlarang (kokain, heroin, dll).

2.5 Pengaruh Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi memiliki variabel-variabel yang berkaitan dengan kontribusi


terhadap terjadinya bibir dan/atau langit-langit sumbing , seperti gizi, merokok,
alkohol,penyakit dan infeksi. Faktor-faktor tersebut cenderung telah diteliti secara
retrospektif pada beberapa negara di dunia dan studi tersebut sekarang dilakukan secara
prospektif di Denmark dan Norwegia yang berhubungan dengan hasil reproduksi. Aspek lain
dari gizi yang belum secara baik dipelajari adalah efek dari obesitas / kelaparan dan hal
tersebut mungkin berguna untuk studi di masa depan untuk menilai tinggi dan berat badan
untuk mendapatkan ukuran indeks massa tubuh sehingga diperoleh kaitannya dengan celah
orofacial.

Bukti untuk prevalensi celah orofasial yang lebih banyak terjadi pada masyarakat
kelas sosial ekonomi rendah masih samar-samar.

2.6 Aspek Psikologis Terhadap Individu Bibir Sumbing

Memiliki bibir dan/atau langit-langit sumbing mengakibatkan masalah psikososial.


Sebagian besar anak yang telah dioperasi celahnya dapat memiliki masa anak-anak yang
bahagia dan kehidupan sosial yang sehat. Namun, penting untuk diingat bahwa pada remaja
dengan bibir dan/atau langit-langit sumbing dapat meningkatkan risiko adanya masalah
psikososial khususnya yang berkaitan dengan konsep diri, romantika, dan penampilan. Hal ini
penting bagi orang tua untuk menyadari permasalahan psikososial anak remaja mereka agar
dapat menghadapi masalahnya dan mengetahui di mana mencari bantuan tenaga profesional
jika masalah timbul.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa masalah komunikasi berhubungan dengan bibir dan


langit-langit sumbing yang tampak pada masa anak-anak. Penelitian perkembangan anak
pada bibir dan langit-langit sumbing pada infant dan toddler (anak baru bisa berdiri dan
berjalan), atau sejak lahir sampai usia 3 tahun, menyatakan bahwa bibir sumbing pada todler
memiliki penundaan atau keterlambatan perkembangan dalam daerah bahasa ekspresif pada
usia 36 bulan. Respon negatif dari orang lain, secara nyata atau hanya perasaan saja, dapat
mempengaruhi kesan terhadap diri sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa pilihan untuk
menarik secara individual mempengaruhi harga diri, kompentensi sosial, dan penilaian
terhadap daya tarik di masa depan. Daya tarik fisik menunjukkan peran yang signifikan
dalam kehidupan sosial seperti membangun hubungan kekerabatan dalam setiap tahap
kehidupan, sekolah, romantika, kerja dan lain-lain. Penerimaan sosial seringkali tergantung
pada fisik seseorang. Hubungan tersebut antara kecantikan secara fisik dan penerimaan sosial
merupakan hambatan pada orang dengan bibir dan langit-langit sumbing dalam
berkomunikasi.
Sudah menjadi bukti bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki orang
dengan bibir dan langit-langit sumbing mengalami berbagai kesulitan. Oleh karena itu,
keterbatasan tersebut dibangun dalam banyak periode waktu karena masalah psikologis yang
dihadapi. Sebagai contoh, gangguan komunikasi pada individu dengan bibir dan langit-langit
sumbing tidak dihasilkan dari gangguan bicaranya (fonasinya) namun dari masalah psikologis
yang dapat mempengaruhi keseluruhan perkembangan anak. Gangguan kecemasan dan
depresi dilaporkan mempunyai prevalensi dua kali lebih besar pada orang dewasa bibir dan
langit-langit sumbing dibandingkan kontrol normal. Kecemasan, depresi dan palpitasi
dilaporkan dua kali lebih sering pada orang bibir dan langit-langit sumbing dibandingkan
dengan kontrol, dan masalah psikologis ini memiliki hubungan yang kuat dengan hal-hal
menyangkut penampilan, pertumbuhan gigi, dialog, dan hasrat untuk pengobatan lebih lanjut.
Masalah psikologis yang didapat oleh anak dengan bibir dan langit-langit sumbing tidak
hanya terbatas pada anak/individualnya saja, tetapi juga pada orang tuanya. Penelitian
menunjukkan orang tuanya dapat mengalami krisis mental, disebabkan latar belakang orang
tuanya, juga stres ketika membawa anak dengan bibir sumbing.

2.7 Pencegahan

1. Menghindari merokok

Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik yang telah
dipelajari untuk terjadinya celah orofacial. Ibu yang menggunakan tembakau selama
kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya celah-celah
orofacial. Mengingat frekuensi kebiasaan kalangan perempuan di Amerika Serikat, merokok
dapat menjelaskan sebanyak 20% dari celah orofacial yang terjadi pada populasi negara itu.

Lebih dari satu miliar orang merokok di seluruh dunia dan hampir tiga perempatnya
tinggal di negara berkembang, sering kali dengan adanya dukungan public dan politik tingkat
yang relatif rendah untuk upaya pengendalian tembakau. (Aghi et al.,2002). Banyak laporan
telah mendokumentasikan bahwa tingkat prevalensi merokok pada kalangan perempuan
berusia 15-25 tahun terus meningkat secara global pada dekade terakhir (Windsor, 2002).
Diperkirakan bahwa pada tahun 1995, 12-14 juta perempuan di seluruh dunia merokok
selama kehamilan mereka dan, ketika merokok secara pasif juga dicatat, 50 juta perempuan
hamil, dari total 130 juta terpapar asap tembakau selama kehamilan mereka (Windsor, 2002).
2. Menghindari alkohol

Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi tumbuh


kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan memiliki hubungan
dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alcohol
syndrome). Pada tinjauan yang dipresentasikan di Utah Amerika Serikat pada acara
pertemuan konsensus WHO (bulan Mei 2001), diketahui bahwa interpretasi hubungan antara
alkohol dan celah orofasial dirumitkan oleh bias yang terjadi di masyarakat. Dalam banyak
penelitian tentang merokok, alkohol diketemukan juga sebagai pendamping, namun tidak ada
hasil yang benar-benar disebabkan murni karena alkohol.

3. Memperbaiki Nutrisi Ibu

Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan sangat
penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur kraniofasial yang normal dari fetus.

a. Asam Folat

Peran asupan folat pada ibu dalam kaitannya enan celah orofasial sulit untuk
ditentukan dalam studi kasus-kontrol manusia karena folat dari sumber makanan memiliki
bioavaibilitas yang luas dan suplemen asam folat biasanya diambil dengan vitamin, mineral
dan elemen-elemen lainnya yang juga mungkin memiliki efek protektif terhadap terjadinya
celah orofasial. Folat merupakan bentuk poliglutamat alami dan asam folat ialah bentuk
monoglutamat sintetis. Pemberian asam folat pada ibu hamil sangat penting pada setiap tahap
kehamilan sejak konsepsi sampai persalinan. Asam folat memiliki dua peran dalam
menentukan hasil kehamilan. Satu, ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk
mencegah anemia pada kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah defek kongenital
selama tumbuh kembang embrionik. Telah disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu
hamil memiliki peran dalam mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir
dan/atau langit-langit sumbing.

b. Vitamin B-6

Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi terjadinya celah orofasial
secara laboratorium pada binatang oleh sifat teratogennya demikian juga kortikosteroid,
kelebihan vitamin A, dan siklofosfamid. Deoksipiridin, atau antagonis vitamin B-6, diketahui
menginduksi celah orofasial dan defisiensi vitamin B-6 sendiri cukup untuk membuktikan
terjadinya langit-langit mulut sumbing dan defek lahir lainnya pada binatang percoban.
Namun penelitian pada manusia masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B-6 dalam
terjadinya vitamin B-6.

c. Vitamin A

Asupan vitamn A yang kurang atau berlebih dikaitkan dengan peningkatan resiko
terjadinya celah orofasial dan kelainan kraniofasial lainnya. Hale adalah peneliti pertama
yang menemukan bahwa defisiensi vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah
orofasial, dan defek kelahiran lainya pada babi. Penelitian klinis manusia menyatakan bahwa
paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi vitamin A jugadapat menghasilkan kelainan
kraniofasial yang gawat. Pada penelitian prospektif lebih dari 22.000 kelahiran pada wanita di
Amerika Serikat, kelainan kraniofasial dan malformasi lainnya umum terjadi pada wanita
yang mengkonsumsi lebih dari 10.000 IU vitamin A pada masa perikonsepsional.

4. Modifikasi Pekerjaan

Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyerankan bahwa ada hubungan
antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai kesehatan, industri reparasi,
pegawai agrikulutur). Teratogenesis karena trichloroethylene dan tetrachloroethylene pada air
yang diketahui berhubungan dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari
pestisida, hal ini diketahui dari beberapa penelitian. namun tidak semua. Maka sebaiknya
pada wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang terkait.

Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator motor, pemadam
kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko terjadinya celah orofasial.

5. Suplemen Nutrisi

Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada manusia untuk
mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu selama kehamilan yang dimaksudkan sebagai
tindakan pencegahan. Hal ini dimotivasi oleh hasil baik yang dilakukan pada percobaan pada
binatang. Usaha pertama dilakukan tahun 1958 di Amerika Serikat namun penelitiannya
kecil, metodenya sedikit dan tidak ada analisis statistik yang dilaporkan. Penelitian lainnya
dalam usaha memberikan suplemen multivitamin dalam mencegah celah orofasial dilakukan
di Eropa dan penelitinya mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi adalah efektif,
namun penelitian tersebut memiliki data yang tidak mencukupi untuk mengevaluasi
hasilnya.Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian pencegahan terjadinya celah orofasial
adalah mengikutsertakan banyak wanita dengan resiko tinggi pada masa produktifnya. (35)

BAB III

KESIMPULAN

Bibir sumbing merupakan penyakit cacat bawaan. Penyebabnya terjadinya bibir


sumbing ialah multifaktorial, seperti genetik, nutrisi, lingkungan, bahkan sosial ekonomi.
Jumlah penderita bibir sumbing di Indonesia bertambah 3.000-6.000 setiap tahun atau 1 bayi
setiap 1.000 kelahiran. Namun, jumlah total penderita bibir sumbing di Indonesia belum
diketahui secara pasti. Penderita bibir sumbing dapat diperbaiki dengan jalan operasi, namun
memerlukan biaya yang besar, sedangkan kesempatan penderita yang menjalani operasi
setiap tahunnya hanya sekitar 1.500 orang, angka ini masih jauh dari idealnya sehingga
tindakan-tindakan pencegahan sebaiknya lebih diutamakan.

Anda mungkin juga menyukai