Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Disusun Oleh :

Kelompok

Nur Aisyah Rahmawati 202005019


Musyarifah Nurul Ummah 202005015
NUR AFIFAH 202005034

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelainan bawaan atau kelainan kongenital adalah kondisi tidak normal yang terjadi pada
masa perkembangan janin. Kelainan ini dapat memengaruhi fisik atau fungsi anggota tubuh
anak sehingga menimbulkan cacat lahir. Pada banyak kasus, kelainan kongenital terjadi pada
3 bulan pertama kehamilan, yaitu saat organ pada tubuh bayi baru mulai terbentuk. Kelainan
kongenital umumnya tidak berbahaya, namun ada pula yang harus segera ditangani. Kelainan
bibir dan langit-langit atau biasa disebut dengan bibir sumbing atau labioschizis adalah
kelainan bawaan adanya celah di antara kedua sisi kanan dan/atau kiri bibir. Kelainan ini
terjadi saat pembentukan janin, yang proses penyatuan tersebut normalnya terjadi pada
trimester pertama kehamilan, kadang kala meluas mencapai langit-langit bahkan merusak
estetika cuping hidung yang disebut dengan labiopalatoschizis atau labiognatoschizis. Pasien
dengan bibir sumbing dan/atau langit-langit bukan kelompok yang homogen. Mereka dapat
dibagi menjadi bibir sumbing (Labioschisis), sumbing atau celah pada langit-langit rongga
mulut (Palatoschisis), atau pun gabungan dari keduanya berupa sumbing bibir dan langitan
(Labiopalatoschisis), dan sumbing bibir sampai gusi dan langit-langit
(Labiogenatopalatoschisis). Kelainan tersebut juga biasa terjadi pada satu sisi rahang
(unilateral) ataupun pada kedua sisi yaitu kanan dan kiri (bilateral). Deformitas bibir sumbing
biasanya dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Dari data yang didapatkan oleh Kemenkes
RI dari awal bulan September 2014 sampai akhir bulan Agustus 2015 menunjukkan sebagian
besar bayi dengan kelainan bawaan lahir dengan 1 jenis kelainan bawaan dengan presentasi
87% sedangkan bayi yang lahir dengan >1 jenis kelainan bawaan hanya 13%. Kelainan
bawaan yang paling banyak ditemukan salah satunya adalah celah bibir dan langit-langit
(Sani, N., Febriyani, A. dan Budiarta, I.N., 2020).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Labiopalatoskisis?
2. Bagaimana epidemiologi kasus Labiopalatoskisis?
3. Bagaimana etiologi Labiopalatoskisis?
4. Bagaimana patofisiologi Labiopalatoskisis?
5. Apa saja pemeriksaan diagnostik pada Labiopalatoskisis?
6. Apa saja tata laksana pada Labiopalatoskisis?
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan Anak dengan Labiopalatoskisis?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Labiopalatoskisis
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang epidemiologi kasus
Labiopalatoskisis
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang etiologi Labiopalatoskisis
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang patofisiologi pada
Labiopalatoskisis
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang pemeriksaan diagnostik
yang dilakukan pada Labiopalatoskisis
6. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang tata laksana pada
Labiopalatoskisis
7. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Asuhan Keperawatan
Anak dengan Labiopalatoskisis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Labio palatoshcizis atau sumbing bibir langitan adalah cacat bawaan berupa
celah pada bibir atas, gusi, rahang dan langit-langit. Labio palatoshcizis merupakan
suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut palato shcizis (sumbing palatum)
labio shcizis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya perkembangan embrio
(Hidayat, 2012). Bibir sumbing adalah kelainan bawaan adanya celah diantara kedua
sisi kanan dan kiri dari bibir. Kelainan ini terjadi saat pembentukan janin. Kadang
kala meluas mencapai langit-langit, bahkan sampai merusak estetika cuping hidung.
(Rizki 2013)
Labiapaloskizis adalah kelainan bawaan berupa bibir palatum (langitlangit)
sumbing, akibat dari kegagalan proses penutupan maxila dan premaxila selaam
embrio, kelainan ini diduga terjadi akaibat infeksi cirus yang diterima ibu pada
kehamilan trimester I tepatnya minggu ke 7 sampai 12. (Dwienda R, dkk. 2014).
Labio palatoschizis adalah merupakan congenital anomaly yang berupa
adanya kelainan bentuk pada wajah ( Suryadi SKP, 2001). Berdasarkan ketiga
pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa labio palatoschizis
adalah suatu kelainan congenital berupa celah pada bibir atas, gusi, rahang dan langit-
langit yang terjadi akibat gagalnya perkembangan embrio. Beberapa klasifikasi bibir
sumbing menurut organ yang terlibat:

1. Celah bibir (labioskizis)

2. Celah di gusi (gnatoskizis)

3. Celah dilangit (Palatoskizis)

4. Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjadi di bibir dan langit –
langit (labiopalatoskizis).

Sedangkan, klasifikasi menurut lengkap atau tidaknya celah yang terbentuk:

1. Unilateral incomplete : Jika celah sumbing terjadi hanya di salah satu 3 bibir dan tidak
memanjang ke hidung

2. Unilateral complete : Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung
3. Bilateral complete : Jika celah sumbing terjadi dikedua sisi bibir dan memanjang hingga ke
hidung.

(A) Celah bibir unilateral tidak komplit, (B) Celah bibir unilateral (C) Celah bibir bilateral
dengan celah langit-langit dan tulang alveolar, (D) Celah langit-langit. (Stoll et al.
BMC Medical genetics. 2004, 154.)
Pembentukan celah dimulai pada minggu ke-IV kehamilan. Klasifikasi menurut
struktur-struktur yang terkena yaitu:
1. Palatum primer : meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum durum
dibelahan foramen incivisium.
2. Palatum sekunder : meliputi palatum durum dan molle posterior terhadap foramen.

B. Epidemiologi
Di seluruh dunia, insidensi sumbing daerah orofacial (bibir sumbing, bibir
dan lelangit sumbing, atau lelangit sumbing) terjadi pada sekitar 1 per 4 700 kelahiran
hidup (WHO, 2001 dalam Arindra, P. K. 2018). Insidensi dunia yang terbatas pada
sumbing bibir atau tanpa celah lelangit berkisar antara 7,94-9,92 per 10.000 kelahiran
hidup.
Center for Disease Control (CDC) baru-baru ini memperkirakan bahwa setiap
tahun 2.651 bayi di Amerika Serikat yang lahir dengan bibir sumbing dan 4.437 bayi
lahir dengan bibir sumbing dengan atau tanpa sumbing langitlangit. Bibir sumbing
dengan atau tanpa celah lelangit merupakan defek lahir terbanyak kedua di Amerika
Serikat, yang mengenai 1 dari setiap 1700 kelahiran dan menghasilkan 4.437 kasus
setiap tahun. Prevalensi bibir dan lelangit sumbing dilaporkan berkisar antara 7,75
sampai 10,63 per 10.000 kelahiran hidup
Prevalens sumbing di Indonesia menurut Riskesdas 2013, persentase
kecacatan anak usia 24-59 bulan karena bibir sumbing sebesar 0,08%. Prevalensi
tertinggi adalah di Jakarta sebesar 13,9%. Di Indonesia penderita kelainan sumbing
bibir di Indonesia bertambah rata-rata 7.500 orang per tahun. Sumbing bibir dan
palatum (46%), sumbing palatum (33%), dan sumbing bibir (21%). Prevalensi
sumbing bibir dan langit-langit di Indonesia adalah 2,4%. Dengan jumlah
pertumbuhan penduduk yang tinggi sehingga estimasi jumlah bayi lahir dengan
sumbing bibir dan langit-langit di Indonesia adalah 10.000 pertahun.
Tingkat kejadian sumbing orofacial bervariasi menurut populasi. Secara
epidemiologi, tingkat yang lebih tinggi terjadi pada populasi Asia dan Indian Amerika
(satu dari 500 kelahiran), dan tingkat yang lebih rendah pada populasi Afrika (satu
dari 500 kelahiran).

C. Etiologi
Penyebab sumbing bibir dan palatum tidak diketahui dengan pasti. Sebagian
besar kasus sumbing bibir atau sumbing palatum atau keduanya daat dijelaskan
dengan hipotesis multifaktor. Beberapa faktor yang dicurigai dapat mempengaruhi
terjadinya bibir sumbing, antara lain:
1. Faktor Genetik (Hereditary) Merupakan penyebab beberapa palatoschizis,
tetapi tidak dapat ditentukan dengan pasti karena berkaitan dengan gen
kedua orang tua. 5 Diseluruh dunia ditemukan hampir 22% penderita
labiopalatoskishis terjadi karena faktor herediter.
a. Mutasi Gen
Di temukan sejumlah sindroma atau gejala menurut hukum Mendel
secara otosomal, dominant, resesif dan X-Linked. Pada otosomal
dominan, orang tua yang mempunyai kelainan ini menghasilkan anak
dengan kelainan yang sama. Pada otosomal resesif adalah kedua orang
tua normal tetapi sebagai pembawa gen abnormal. X-Linked adalah
wanita dengan gen abnormal tidak menunjukan tanda-tanda kelainan
sedangkan pada pria dengan gen abnormal menunjukan kelainan ini.
b. Kelainan kromosom
Dimana material genetik dalam kromosom yang mempengaruhi dapat
terjadi karena adanya mutasi gen ataupun kelainan kromosom.pada
setiap sel yang normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22
kromosom non sex (kromosom 1-22) dan 1 pasang kromosom sex
(kromosom x dan y) yang menetukan jenis kelamin. Pada penderita
bibir sumbing terjadi trisomi 13 atau sindroma patau dimana ada 3
untai kromosom 13 pada setiap sel penderita sehingga jumlah total
kromosom pada setiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal seperti ini
selain menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan gangguan berat
pada perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini
sangat jarang terjadi dengan frekuensi 1 dari 8000-10.000 bayi yang
lahir.
2. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan penting dalam hal yang mempengaruhi
labiopalatoskisis, dalam penelitian Sani, N., Febriyani, A. dan Budiarta,
I.N., pada tahun 2020, faktor lingkungan memberikan kontribusi sebesar
78%. Faktor lingkungan tersebut antara lain:
a. Nutrisi Apabila pada kehamilan, ibu kurang mengkonsumsi asam folat,
vitamin C dan Zn dapat berpengaruh pada janin. Karena zat - zat 6
tersebut dibutuhkan dalam tumbuh kembang organ selama masa
embrional. Selain itu gangguan sirkulasi foto maternal juga
berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ selama masa embrional.
b. Infeksi
Infeksi pada saat kehamilan berpotensi dalam kecacatan pada janin,
contohnya seperti infeksi rubella, sifilis, toxoplasmosis dan klamidia
dapat menyebabkan terjadinya labioskizis dan labiopalatoskizis.
c. Pengaruh Obat Teratogenik
Yang termasuk obat teratogenik adalah:
1) Jamu. Mengkonsumsi jamu pada waktu kehamilan dapat
berpengaruh pada janin, terutama terjadinya labio palatoschizis. Akan
tetapi jenis jamu apa yang menyebabkan kelainan kongenital ini masih
belum jelas. Masih ada penelitian lebih lanjut
2) Kontrasepsi hormonal. Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi
kontrasepsi hormonal, terutama untuk hormon estrogen yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya hipertensi sehingga
berpengaruh pada janin, karena akan terjadi gangguan sirkulasi
fotomaternal.
3) Obat – obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital
terutama labio palatoschizis. Obat – obatan itu antara lain : -
Talidomid, diazepam (obat – obat penenang) - Aspirin (Obat – obat
analgetika) - Kosmetika yang mengandung merkuri & timah hitam
(cream pemutih

d. Zat Kimia

Zat kimia (rokok dan alkohol). Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi
rokok dan alkohol dapat berakibat terjadi kelainan 7 kongenital karena zat
toksik yang terkandung pada rokok dan alkohol yang dapat mengganggu
pertumbuhan organ selama masa embrional.

d. Radiasi
Untuk ibu hamil pada trimester pertama tidak dianjurkan terapi
penyinaran radioaktif, karena radiasi dari terapi tersebut dapat
mengganggu proses tumbuh kembang organ selama masa embrional.
Efek sinar pengion jelas bahwa merupakan salah satu faktor
lingkungan dimana dapat menyebabkan efek genetik yang nantinya
bisa menimbulkan mutasi gen. Mutasi gen adalah faktor herediter.
e. Trauma pada Trisemester Pertama
Salah satu penyebab trauma adalah kecelakaan atau benturan pada saat
hamil minggu kelima. Bila terdapat gangguan pada waktu
pertumbuhan dan perkembangan wajah serta mulut embrio, akan
timbul kelainan bawaan. Salah satunya adalah celah bibir dan
langitlangit. Kelainan wajah ini terjadi karena ada gangguan pada
organogenesis antara minggu keempat sampai minggu kedelapan masa
embrio.
f. Stress
Korteks adrenal menghasilkan hidrokortison yang berlebih. Pada
binatang percobaan telah terbukti bahwa pemberian hidrokortison yang
meningkat pada keadaan hamil menyebabkan labioskizis dan
labipaltoskizis.
g. Terpapar Zat Kimia
Zat kimia (rokok dan alkohol). Pada ibu hamil yang masih
mengkonsumsi rokok dan alkohol dapat berakibat terjadi kelainan
kongenital karena zat toksik yang terkandung pada rokok dan alkohol
yang dapat mengganggu pertumbuhan organ selama masa embrional.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis yang terjadi pada anak dengan Labiopalatoskisis adalah:
1. Pada Labioskisis Adanya distorsi pada hidung (tampak sebagian atau keduanya)
dan adanya celah pada bibir
2. Pada Palatoskisis
a. Tampak ada celah pada tekak (uvula) , palato lunak, dan keras atau foramen
incisive.
b. Adanya distorsi hidung
c. Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
d. Kesulitan dalam menghisap atau makan
e. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan
f. Gangguan komunikasi verbal

E. Patofisiologi

Biasanya sumbing bibir dan palatum disertai kelainan bawaan lain, misal hidrosefalus
(peningkatan tekanan intrakranial), sindaktilia (jari-jari saling melekat), atau polidaktilia
(jari-jari berlebih). (Janti, 2008)

Sumbing bibir dapat terjadi bilateral pada regio insisif lateral dan kaninus. Lebih
sering terjadi unilateral, sisi kiri lebih sering dari sisi kanan. Bila terjadi bilateral, mirip
dengan bibir kelinci. Sumbing dapat sempurna meluas ke dasar hidung atau tidak sempurna
sempurna sebagai lekukan pada bibir atas. (Janti, 2008) Labioskizis terjadi karena kegagalan
pada penyatuan kedua prosesus nasalis maksilaris dan mediana, palatoskizis merupakan
fisura pada garis tengah palatum akibat kegagalan penyatuan kedua sisinya. (Wong, 2009)

Labiopalatoskizis terjadi karena kegagalan penyatuan prosesus maksilaris dan


remaksilaris selama awal usia embrio. Labiskizis dan palatoskiziz merupakan malformasi
yang berbeda secara embrional dan terjadi pada waktu yang berbeda selam proses
perkembangan embrio. Penyatuan bibir atas pada garis tengah selesai dilakukan pada
kehailan antara minggu ke tujuh dan kedelapan. Fusi palatum sekunder (palatum durum dan
mole) terjadi kemudian dalam proses perkembangan, yaitu pada kehamian antara minggu ke
tujuh dan kedua belas. Dalam proses migrasi ke posisi horizontal, palatum tersebut
dipisahkan oleh lidah untuk waktu yang singkat. Jika terjadi 9 kelambatan dalam migrasi atau
pemindahan ini, atau bila lidah tidak berhasil turun dalam waktu yang cukup singkat, bagian
lain proses perkembangan tersebut akan terus berlanjut namun palatum tidak menyatu.
(Wong, 2009)

Periode perkembangan struktur anatomi bersifat spesifik sehingga sumbing bibir


dapat terjadi terpisah dari sumbing palatum, meskipun keduanya dapat terjai bersama-sama
dan bervariasi dalam berajat keparahannya bergantung pada luas sumbing yang dapat
bervariasi mulai dari lingir alveolar sampai ke bagian akhir dari palatum lunak. Variasi dapat
pula dimulai dari tarik ringan pada sudut mulut atau bifid uvula sampai deformitas berat
berupa sumbing bibir yang meluas ke tulang alveolar dan seluruh palatum secara bilateral.
(Janti, 2008)

Variasi yang terjadi merupakan refleksi dari deviasi rangkaian perkembangan palatum
yang dimulai pada minggu ke-8 pada regio premaksila dan berakhir pada minggu ke 12 ada
uvula di palatum lunak. Jadi, jika faktor penyebab bekerja pada minggu ke 8, sumbing akan
terjadi lebih posterior dan juga anterior termasuk alveolus, palatum kerad dan palatum lunak,
serta vulva, membentuk cacat yang serius. Sebaliknya, jika penyebab bekerja dekat akhir
periode perkembangan (minggu ke 11), sumbing yang terlihat hanya pada palatum lunak
bagian posterior, menyebabkan terjadinya sumbing sebagian atau hanya pada uvula sebagai
cacat ringan yang tidak membutuhkan terapi. (Janti, 2008) Sumbing yang hanya mengenai
bibir dinamakan cheilochisis.

Sumbing bibir umumnya terjadi pada minggu ke 6-7 intrauteri, sesuai dengan waktu
perkembangan bibir normal dengan terjadinya kegagalan penetrasi dari sel mesodemal pada
grove epitel dianntara prosecus nasalis medialis dan lateralis. Lebih sering terjadi pada bayi
laki-laki dan lebih sering pada bagian kiri dari pada kanan. (Janti, 2008) Saat usia kehamilan
mencapai usia 6 minggu, bibir atas dan langit-langti ronggaa mulut bayi dalam kansungan
akan mulai terbentuk dari jaringan yang berada dikedua sisi dari lidah dan bersatu di tengah-
tengah. Apabila jaringan jaringan ini gagal bersatu maka akan terbentuk celah pada bibir atas
atau langit-langit rongga.
F. Komplikasi Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Labio palatoschizis
adalah:
1. Kesulitan berbicara – hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Dengan adanya celah
pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran sehingga suara yang keluar
menjadi sengau. 2. Maloklusi( – pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan
tulang alveol, alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan
didaerah celah sering terjadi erupsi. 11
3. Masalah pendengaran – otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya celah pada
paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya dapat terjadi otitis media
rekurens sekunder.
4. Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek menghisap dan
menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
5. Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong secara dini,
akan mengakibatkan distress pernafasan
6. Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan palatum dapat
mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh, sehingga
kuman – kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran pernafasan.
7. Pertumbuhan dan perkembangan terlambat. Dengan adanya celah pada bibir dan
palatum dapat menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan terganggu. Akibatnya
bayi menjadi kekurangan nutrisi sehingga menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bayi.
8. Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung “ alar cartilago ” dan
kurangnya penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan asimetris wajah.
9. Penyakit peri odontal. Gigi permanen yang bersebelahan dengan celah yang tidak
mencukupi di dalam tulang. Sepanjang permukaan akar di dekat aspek distal dan
medial insisiv pertama dapat menyebabkan terjadinya penyakit peri odontal.
10. Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali paroksimallnya menonjol dan
lebih rendah posterior premaxillary yang colaps medialnya dapat menyebabkan
terjadinya crosbite. 11. Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir
dan palatum serta terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga diri da
citra tubuh.

G. Pemeriksaan Diagnostik

Berbagai pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi Labiopalatoskisis diantaranya:

1. Rontgen Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan melakukan foto rontgen pada tengkorak.
Pada penderita dapat ditemukan celah processus maxilla dan processus nasalis media.

2. Radiologi

Beberapa celah orofasial dapat terdiagnosa dengan USG prenatal, namun tidak
terdapat skrining sistemik untuk celah orofasial. Diagnosa prenatal untuk celah bibir baik
unilateral maupun bilateral, memungkinkan dengan USG pada usia janin 13-18 minggu.
Celah palatum tersendiri tidak dapat didiagnosa pada pemeriksaan USG prenatal. Ketika
diagnosa prenatal dipastikan, rujukan kepada ahli bedah plastik tepat untuk konseling dalam
usaha mencegah.

Setelah lahir, tes genetic mungkin membantu menentukan perawatan terbaik untuk
seorang anak, khususnya jika celah tersebut dihubungkan dengan kondisi genetik.
Pemeriksaan genetik juga memberi informasi pada orangtua tentang resiko mereka untuk
mendapat anak lain dengan celah bibir atau celah palatum.

H. Penatalaksanaan

Tujuan dan intervensi bedah dan pembedahan adalah memulihkan struktur anatomi,
mengoreksi cacat dan memungkinkan anak mempunyai fungsi yang normal dalam menelan,
bernapas dan berbicara. Pembedahan biasanya dilakukan ketika anak berumur ± 3 bulan,
tetapi pada beberapa rumah sakit dilakukan segera setelah lahir.
1. Manajemen perawatan celah bibir
a. Perawatan pra bedah
1) Pemberian makan Pemberian makan pertama kali sukar, tetapi tergantung pada
derajat deformitas yang dialami pada kasus ringan, ada kemungkinan memberi ASI
langsung kepada bayi. Jika tidak, pemberian susu botol mudah dilakukan. Akan
tetapi, bila menghisap susu dari botol sulit dilakukan bayi, makanan dapat diberikan
menggunakan sendok atau biarkan bayi menghisap dari sendok.
- Bila celah bibir tidak disertai celah palatum, bayi hanya mengalami sedikit
kesukaran dalam makan atau sama sekali tidak kesukaran.
- Jika celah bibir disertai celah palatum, bayi mengalami masalah bukan saja dalam
menelan tetapi juga dalam menghisap karena palatum yang lengkap dan utuh
diperlukan untuk memanifulasi puting dan menghisap ASI. Regurgitasi ASI melalui
hidung menimbulkan masalah lain yang membahayakan. Inhalasi ASI harus dicegah
dengan mempersiapkan penyedot setiap saat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi adekuat
penting agar menjamin bahwa bayi dalam keadaan fisik yang baik, mengalami
kenaikan BB dan tidak mengalami anemia. Bila dijumpai adanya anemia, harus
ditangani kapan saja terjadi.

2. Pemberian antibiotik

Pemberian antibiotik sebagai profilaksis bertujuan menjamin bahwa pada masa pascabedah,
anak tidak mengalami bahaya yang disebabkan oleh mikroorganisme yang telah ada ataupun
yang masuk selama masa bedah dan pascabedah .

3.Persiapan Prabedah

Prinsip manajemen prabedah bertujuan mencapai atau mempertahankan status fisik yang
menjamin bahwa anak mampu mengatasi trauma akibat intervensi bedah. Tujuan selanjutnya
adalah menghilangkan atau mengurangi terjadinya komplikasi selama atau setelah
pembedahan melalui antisipasi yang saksama dan pengobatan yang tepat

b. Perawatan pascabedah
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat merawat anak yang sudah selesai mengalami
operasi perbaikan celah bibir meliputi :
1) Imobilisasi lengan merupakan aspek penting perawatan, untuk mencegah bayi
menyentuh garis jahitan
2) Sedasi, anak yang menangis dapat mengingkatkan tegangan pada garis jahitan.
Pemberian sedasi sering kali dianjurkan untuk mengurangi tegangan, walaupun
tegangan sudah dikurangi dengan mengenakan peralatan seperti busur logam
3) Pembalutan garis sedasi, biasanya jahitan sudah dibuka antar hari ke-5 dan ke-8.
Garis jahitan biasanya ditinggal tanpa penutup dan kebersihan dipertahankan dengan
mengelap area tersebut dengan air steril atau salin normal setelah selesai makan.
4) Pemberian makan dapat segera dimulai setelah bayi sadar dan refleks menelan
positif.

2. Manajemen perawatan celah palatum


Saat optimum untuk operasi perbaikan celah palatum tetap merupakan
masalah konvensional. Tindakan pembedahan umumnya dilakukan sebelum anak
mulai berbicara. Sebagian besar ahli bedah plastik melakukan pembedahan diantara
usia 15 dan 18 bulan tetapi beberapa berpendapat bahwa operasi harus ditunda sampai
usia 7 tahun untuk memungkinkan perkembangan tulang wajah secara lengkap.
Operasi lebih baik dilakukan oleh ahli bedah dengan pengalaman khusus dalam
pekerjaan ini. Infeksi luka harus dicegah dengan antibiotik yang sesuai.

Pemberian makan dapat merupakan masalah yang sulit pada anak tersebut,
karena adanya lubang antara rongga mulut dan hidung. Namun, pemberian ASI dapat
dilakukan pada sebagian besar kasus. Bila pemberian ASI tidak dapat dilakukan
secara langsung, sebaiknya digunakan puting karet besar yang menutup sebagian
lubang palatum. Pembesaran lubang puting karet dapat menolong banyak anak
penderita celah palatum. Banyak percobaan yang mungkin diperlukan untuk
membentuk kebiasaan makan yang benar. Terkadang, penggunaan pipet mengatasi
masalah pemberian makan. Pemberian makan melalui sonde harus dihindari karena
akan menghalangi penggunaan otot orofaring

Diet pascabedah langsung harus terdiri atas cairan jernih, seperti minuman
glukosa. Sekali diberikan diet normal harus terdiri atas makanan lunak disusul dengan
air steril. Makanan keras dan manisan harus diberikan selama 2/3 minggu setelah
pembedahan. Pengangkatan jahitan biasanya dilakukan di kamar bedah dibawah
sedasi diantara hari ke-8 atau ke-10

Bila kemampuan bicara anak tidak berkembang secara memuaskan, berikan


terapi wicara. Ahli terapi wicara harus dijadikan sumber konsultasi pada semua kasus
dan rencana disusun untuk memastikan perkembangan bicara yang adekuat. Kuantitas
pengobatan atau latihan yang akan diberikan oleh seorang ahli terapi wicara terbatas,
sehingga beban utama ditanggung oleh ibu. Oleh sebab itu, baik ibu maupun anak
harus ambil bagian dalam pelajaran ini dengan ahli terapi wicara sehingga ibu dapat
melanjutkan terapi dirumah. Melalui latihan yang cermat, ada kemungkinan bagi anak
untuk mencapai tingkat bercakap yang memungkinkan anak untuk berkomunikasi
bebas dengan orang lain pasa saat mulai sekolah. Orang tua memerlukan dukungan
dan banyak dari unit celah palatum menyimpan album foto gambaran sebelum dan
sesudah dari kasus yang berhasil untuk memperlihatkan kepada orang tua dan
menenteramkannya bahwa bayinya akan terlihat baik setelah operasi.

2. Pemberian makan dan minum


Pemberian makan dan minum pada pasien dengan labioschisis dan palatoschisis
bertujuan untuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit
sesuai program pengobatan

I. Klasifikasi
Berdasarkan lengkap atau tidaknya celah terbentuk, tingkat kelainan bibir
sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Beberapa
jenis bibir sumbing yang diketahui adalah :
1. Unilateral Incomplete: jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi
Obibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.
2. Unilateral Complete: jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu
sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
3. Bilateral Complete: jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung.Selain berdasarkan lengkap atau tidaknya
celah, terdapat juga klasifikasi

Veau yang membagi palatoschizis menjadi 4 kelas

1. Kelas I: celah hanya terdapat pada palatum molle

2. Kelas II: celah mengenai palatum molle dan durum, tidak meluas ke

foramen incisivus, hanya meliputi palatum sekunder

3. Kelas III: celah unilateral yang komplit, meluas dari uvula ke foramen
incisivus pada midline, kemudian deviasi ke satu sisi dan

biasanya sampai ke alveolus pada gigi incisivus lateral

4. Kelas IV: celah bilateral komplit dengan dua celah meluas dari

foramen incisivus ke alveolus

Anda mungkin juga menyukai