OLEH :
KELAS PILIHAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2017
A. PENDAHULUAN
Definisi tambak atau kolam menurut Biggs et al. (2005) adalah badan air yang
berukuran 1 m2 hingga 2 ha yang bersifat permanen atau musiman yang terbentuk
secara alami atau buatan manusia. Rodriguez-Rodriguez (2007) menambahkan bahwa
tambak atau kolam cenderung berada pada lahan dengan lapisan tanah yang kurang
porus. Istilah kolam biasanya digunakan untuk tambak yang terdapat di daratan dengan
air tawar, sedangkan tambak untuk air payau atau air asin. Biggs et al. (2005)
menyebutkan salah satu fungsi tambak bagi ekosistem perairan adalah terjadinya
pengkayaan jenis biota air. Bertambahnya jenis biota tersebut berasal dari pengenalan
biota-biota yang dibudidayakan.
Penggunaan tambak untuk memelihara udang sejak lama dilakukan oleh
masyarakat petani ikan yang hidup disepanjang pesisir pantai. Menurut sejarahnya, asal
mula pemeliharaan udang ditambak dipelopori oleh sejumlah narapidana yang
diasingkan kedaerah terpencil pada zaman kolonial.Untuk mempertahankan hidupnya
selama di pengasingan, mereka berusaha mencari ikan disepanjang pantai, terutama di
daerah pantai yang telah terputus hubungannya dengan laut bebas. Mereka telah
mengetahui bahwa di daerah pantai demikian banyak dijumpai ikan yang terperangkap,
sehingga mudah untuk ditangkapnya.
Selanjutnya mereka berusaha untuk menciptakan sendiri daerah demikian
dengan cara membendung atau menambak daerah tertentu sehingga timbullah istilah
tambak. Tentu saja pada saat itu bentuknya masih sangat sederhana, yaitu hanya berupa
tumpukan batu karang sekedar menghalangi jalan keluar bagi ikan atau udang.Saat ini
ilmu pengetahuan perikanan telah berkembang, sehingga model tambak pun juga
mengalami perkembangan seperti bentuk tambak sekarang ini,tambak mulai dilengkapi
dengan pintu air, saringan,caren,saluran air, dan sebagainya.
Pada prinsipnya, lahan yang akan digunakan sebagai tambak harus memenuhi
persyaratan fisika, kimia,biologis, teknis, sosial ekonomis,hogienis, dan legal. Untuk
mendapatkan lahan yang memenuhi persyaratan tersebut, ada 4 aspek utama yang
diperhatikan sebagai kriteria dalam penentuan lokasi tambak, yaitu:
1. Aspek ekologis
2. Aspek tanah
3. Aspek biologis
4. Aspek sosial ekonomis
Ditinjau dari segi aspek ekologis, keadaan alam, sumber air dan iklim di Indonesia
sangat menunjang usaha budi daya di tambak.
Secara ekologis ada 7 faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan tingkat
kesesuaian lokasi tambak yaitu:
Salah satu faktor penentu dalam budidaya tambak yaitu iklim. Iklim berkaitan
langsung dengan kondisi daya dukung lingkungan adalah curah hujan. Jumlah
curah hujan dan hari hujan yang tinggi akan menyebabkan kemasaman tanah yang
cukup tinggi dengan nilai pH yang rendah. Keadaan kemasaman tanah yang tinggi
sangat berpotensial untuk terjadinya pelarutan senyawa-senyawa beracun dan
mengurangi ketersediaan unsur tertentu seperti pospor. Persiapan tambak juga
dipengaruhi oleh curah hujan dan hari hujan. Tingginya curah hujan dan hari hujan
yang terjadi mengakibatkan pengeringan tambak yang tidak efektif dan memakan
waktu lama (Ratnawati dan Asaad, 2012).
Indonesia merupakan negara tropis dengan dua musim, yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Tinggi atau rendahnya curah hujan dapat dilihat dari jumlah bulan
basah dan bulan kering setiap tahunnya. Bulan kering adalah bulan dimana hujan
turun dibawah 50mm/bulan (BMKG, 2014)
3. Sirkulasi air
Perairan yang terbentuk di dalam petakan tambak dapat dikatakan merupakan
perairan yang menggenang dalam suatu wadah yang terbatas, sehingga memerlukan
suplai air dari luar untuk meregenerasi perairan dan proses-proses yang terjadi
didalamnya agar bersifat lebih dinamis dan memberikan suasana nyaman bagi
udang dan organisme lainnya yang hidup di perairan tersebut.
Sirkulasi air tambak dapat diartikan sebagai proses penggantian air di dalam
tambak dengan jalan membuang sebagian air tambak melalui saluran pembuangan
untuk digantikan dengan air baru yang dimasukkan melalui saluran
pemasukkan. Pada tambak-tambak tradisional proses sirkulasi air ini sepenuhnya
mengandalkan pasang surut air laut, sedangkan pada tambak intesive sudah
menggunakan pompa air sebagai alat bantu untuk memasukan air laut ke dalam
tambak. Meski demikian secara garis besar sirkulasi air tambak tetap mengacu pada
kondisi pasang surut yang terjadi di wilayah tersebut, sehingga kualitas air yang
dimasukkan ke dalam tambak tidak terkontaminasi dengan dasar
perairan. Beberapa faktor sumber air tambak lainnya yang perlu dipertimbangkan
sebelum melakukan sirkulasi air adalah :
1) Kualitas sumber perairan yang meliputi :
–Biologi: ketersediaan bibit Plankton, keberadaan predator dan kompetitor
– Kimia : kandungan H2S, NH3, tingkat keasaman (pH), dsb;
– Fisika : pasang surut, salinitas, kekeruhan air, dsb.
2) Kondisi fisik air yang meliputi, dasar perairan, dan kandungan partikel yang
melayang-layang diair, dsb;
3) Aktifitas kegiatan manusia seperti alur pelayaran, penangkapan ikan, dsb;
4) Pencemaran perairan dari lingkungans ekitarnya dan merugikan bagi
Kegiatan pembudidayaan.
Berdasarkan pemikiran bahwa proses sirkulasi air adalah untuk memperbaiki
atau mempertahankan kualitas air, maka ke empat faktor di atas harus benar-benar
diperhatikan agar jangan sampai dengan melakukan sirkulasi air, kualitas perairan
di dalam tambak mengalami degradasi atau bertambah rusak.
Sumber air yang dimasukkan ke dalam tambak ada beberapa macam, tergantung
dari teknologi dan lokasi dimana tambak tersebut berada. Beberapa sumber air dan
cara yang biasa digunakan dalam proses sirkulasi air tambak antara lain sebagai
berikut :
1. Air laut yang dimasukkan secara langsung ke dalam tambak dengan bantuan
pasang surut ataupun melalui alat bantu yang berupa pompa air. Cara ini digunakan
pada lahan tambak yang relatif dekat atau berhadapan langsung dengan laut dan
perlu memperhatikan kondisi dan kualitas air laut sebelum dimasukkan ke dalam
tambak secara langsung. Pada tambak yang menggunakan pompa air sebagai alat
bantunya akan membutuhkan investasi yang cukup besar untuk pemasangan
instalasi pompa air beserta paralon yang dirangkai sampai batas pantai, sedangkan
dari segi lahan cara ini rentan terhadap pengikisan air laut terhadap lahan tambak;
2. Air sungai yang masih bersifat payau dan dimasukkan ke dalam tambak
secara langsung dengan bantuan pasang surut ataupun melalui alat bantu yang
berupa pompa air. Cara ini biasa digunakan pada tambak yang letaknya relatif agak
jauh dari laut atau dekat dengan laut dan sungai dengan pertimbangan pemasangan
instalasi pompa air relatif lebih sederhana dibandingkan dengan pengambilan air
langsung dari laut. Cara ini rentan terhadap sedimentasi dan pencemaran limbah
sungai yang berasal dari rumah tangga maupun industri yang berada di sekitar area
sungai;
3. Sistem ‘tandon’, yaitu petakan/lahan yang dibuat sebagai tempat
penampungan air laut atau air sungai sebagai sumber pemasukan air tambak. Pada
sistem ini, air di dalam tandon biasanya diberi perlakuan teknis sebelum
dimasukkan ke dalam tambak, sehingga kualitas air yang dimasukkan sudah
terkontrol dari segi kuantitas dan kualitasnya. Sistem ini dapat dikatakan
merupakan cara yang relatif ideal bagi kegiatan budidaya karena air dari laut telah
diendapkan dan segala faktor yang merrugikan bagi kegiatan budidaya telah
diminimalkan melalui perlakuan teknis yang telah diberikan;
4. Sistem water recircle yaitu proses daur ulang air dari saluran pembuangan
tambak ditampung kembali ke dalam suatu tandon melalui proses sterilisasi dan
dijadikan sebagai sumber pemasukan air tambak. Cara ini biasa digunakan pada
tambak yang relatif jauh dari laut maupun sungai atau sebagai antisipasi jika air laut
dan sungai sedang mengalami masalah sehingga tidak memungkinkan untuk
dimasukkan ke dalam tambak. Bisa dikatakan cara ini merupakan cara yang paling
rentan terhadap masalah dibandingkan dengan beberapa cara lainnya, karena air
pembuangan yang dimasukkan kembali kedalam tambak merupakan air kotor
meski sudah melalui proses sterilisasi.
Selain sumber pemasukan air seperti telah diuraikan di atas, sirkulasi air juga
memerlukan saluran pembuangan air tambak yang berfungsi selain untuk mengatur
volume air tambak juga untuk membuang kotoran dan lumpur di dasar
tambak. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembuangan air tambak dan
perlu dipertimbangkan antara lain :
1. Desain dan konstruksi antara dasar tambak dengan saluran pembuangan air
tambak memungkinkan kelancaran sirkulasi dan tidak berpotensi
menimbulkan penyumbatan pada salurannya;
2. Saluran pembuangan lebih tinggi dari kondisi pasang surut terendah,
sehingga dalam proses pembuangan air tambak tidak mengalami kendala
yang disebabkan oleh pasang surut;
3. Saluran pembuangan harus dilengkapi dengan pintu/paralon pembuangan
yang dapat digunakan untuk mengatur pembuangan air dasar tambak,
pertengahan dan permukaan air;
4. Saluran pembuangan terutama bagian sentral memiliki filter yang dapat
mencegah keluar/lolosnya udang pada saat dilakukan pembuangan air
tambak;
5. Saluran pembuangan harus terpisah dengan sumber pemasukan air tambak
sehingga tidak terjadi kontaminasi air yang akan digunakan dalam proses
budidaya;
6. Saluran pembuangan air tambak sedapat mungkin berhubungan dengan
sungai atau kanal khusus sehingga kotoran dan lumpur tambak yang
terbuang dapat terbawa arus dan tidak mengendap di satu tempat yang
menyebabkan terjadinya sedimentasi saluran pembuangan;
Kondisi tambak yang dibuat bekas lahan mangrove cenderung rata dan
rendah. Sehingga dengan pengaruh gravitasi masih dapat mengalami pasang
surut air laut (Ratnawati dan Asaad 2012).
5. Arus air
Ukuran partikel-partikel tersebut ada yang berukuran kecil dan ada yang relatif
besar karena karena proses akumulasi yang terjadi. Pemunculan partikel tersebut bisa
berada di lapisan air maupun muncul dipermukaan air tambak. Melalui pengamatan
yang cermat maka penampakannya akan dapat terlihat bahkan terdeteksi semenjak dini
penyebab permasalahannya. Beberap kondisi fisik perairan tambak yang biasa
dijumpai antara lain :
1. Air tambak berdebu, kondisi ini untuk menggambarkan bahwa di dalam air tambak
muncul partikel-partikel sangat halus dan melayang-layang karena tidak terlarut
atau mengendap di dalam perairan tambak. Kondisi seperti ini dapat
mengakibatkan gangguan pada insang udang dan pada jangka waktu tertentu dapat
mengakibatkan penyakit insang merah. Alternatif perlakuan yang bisa diterapkan
untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan melakukan peningkatan sirkulasi
air baik dari segi frekuensi maupun volumenya secara kontinyu. Penggunaan
saponin pada dosis tertentu diharapkan dapat mengikat partikel yang ada di perairan
tambak.
2. Air tambak berbusa/berbuih, pada kondisi ini air dipermukaan tambak tampak
berbusa/berbuih dan akan lebih jelas kelihatan pada saat kincir air dioperasikan.
Hal ini menandakan bahwa di perairan tersebut telah terjadi mortalitas plankthon
secara massal yang dapat menimbulkan keseimbangan ekosistem perairan colaps,
kecerahan air tambak cenderung tidak stabil, dasar tambak kotor karena endapan
bangkai plankthon. Perlakuan teknis yang dapat digunakan untuk mengatasi
kondisi ini adalah dengan melakukan sirkulasi air secara kontinyu dan pada kondisi
tertentu dapat dilakukan inokulasi bibit plankthon secara kontinyu dari petakan
tambak lainnya disertai dengan peningkatan dosis penggunaan pupuk atau
pemakaian bahan organik.
3. Pemunculan klekap di permukaan air tambak. Klekap pada dasarnya merupakan
campuran antara kotoran dasar tambak dengan bangkai plankthon yang terangkat
ke permukaan air karena adanya proses oksidasi dengan bantuan sinar matahari.
Kondisi ini terjadi karena dasar tambak yang kotor dan kecerahan air tambak yang
relatif tinggi. Klekap bila telah mengendap kembali di dasar tambak akan terjadi
pembusukan dan dapat menyebabkan peningkatan kandungan H2S, NH3 di dalam
tambak yang berbahaya bagi udang. Pemunculan klekap di permukaan tambak
dapat diatasi dengan pengangkatan klekap dari permukaan tambak dan pembersihan
dasar tambak yang diibangi dengan sirkulasi secara kontinyu dan pembentukan
kembali kualitas air tambak melalui regenerasi plankthon yang telah mati dengan
cara inokulasi bibit plankthon dan pemumpukan dengan dosis yang sesuai dengan
kebutuhan;
4. Tumbuhnya lumut di dalam tambak. Kondisi ini terjadi karena kecerahan air
tambak yang relatif tinggi dan berlangsung dalam kondisi lama dan disertai dengan
proses pemupukan yang kontinyu. Lumut yang tumbuh di dalam tambak akan
menghambat aktifitas dan gerak udang serta proses penumbuhan plankthon relatif
lebih susah. Lumut akan hilang jika penetrasi sinar matahari yang membantu
pertumbuhan lumut terhalang oleh plankthon pada kecerahan air tertentu.
Ke empat kondisi tersebut di atas merupakan hal yang sering dijumpai pada
petakan-petakan tambak yang dalam pengamatan kualitas perairan kurang cermat
ataupun pemberian perlakuan teknis yang kurang tepat pada sasarannya. Perairan
tambak dengan kualitas perairan dan kondisi udang yang sesuai dengan keseimbangan
ekosistem akan mempengaruhi rona dan kualitas kondisi fisik perairan akan terjaga
dengan sendirinya serta sangat tergantung pada upaya untuk mempertahankan kondisi
tersebut.
F. Pengelolaan Tambak
Kegiatan pengelolaan tambak menunjukkan pola budidaya yang memiliki ciri khas
masing-masing. Ciri tersebut terletak pada tahapan persiapan lahan, manajemen
kualitas air, manajemen pakan dan manajemen penyakit. Saat ini telah dikenal
pengelolaan tambak dengan 3 cara, yaitu :
1. Sistem Intensif
Menurut Prihatman (2000), ciri-ciri tambak udang intensif yaitu: memiliki luasan
tambak antara 0,2-0,5 ha/petak. Petak kolam terbuat dari beton keseluruhan atau
dinding terbuat dari beton sedangkan dasar tambak masih menggunakan dasar
tanah. Petakan tambak berbentuk bujur sangkar yang dilengkapi dengan saluran
pembuangan ditengahnya. Dasar tambak dibuat keras dengan lapisan kerikil serta
terdapat kolam mixing untuk mencampur air tawar dan air laut sebelum dimasukkan
ke dalam tambak. Terdapat pipa pembuangan kotoran yang terbawa angin serta air
hujan yang berada di pojok dipasang secara permanen. Menggunakan sistem aerasi
untuk menambahkan suplai oksigen terlarut (DO). Frekuensi penggantian air lebih
sering dilakukan menggunakan pompa.
Pengelolaan tambak udang secara intensif kebanyakan mengalami penurunan
jumlah produksi terutama di Pulau Jawa dan Pesisir Timur Lampung. Kondisi ini
disebabkan oleh daya dukung lingkungan yang mulai menurun. 6 Pernyataan ini
didukung oleh Budidardi et al. (2005), budidaya udang secara intensif memiliki
dampak negatif yaitu akumulasi jumlah pakan yang diberikan pada budidaya udang
intensif berpotensi menurunkan kualitas air pada tambak budidaya yang berakibat
pada jumlah konmsumsi pakan yang diberikan. Input limbah sisa hasil budidaya
tidak dianjurkan menimbulkan peningkatan pengkayaan nutrien, hal ini akan
menyebabkan blooming fitoplankton dan merubah komposisi spesies ekologis yang
berdampak pada kelanjutan usaha budidaya (Agus, 2008).
Muhammad, M. A. (2013, Februari 07). Fungsi Tambak dan Konstruksi Tambak. Retrieved
September 12, 2017, from Serdadu Cemara:
https://serdaducemara.wordpress.com/2013/02/07/fungsi-tambak-dan-konstruksi-
tambak/