Disusun Oleh :
Bella Saskia 061116002
Yogi Suhad W 061116003
Utami Khaesari Dean 061116009
Sepia Latipah 061116012
Nanda Putri 061116014
Vira Mourena 061116015
Monita Damayanti P 061116017
Diah Rusfika Ayu 061116019
Annisa Eka Handayani 061116037
Fenti Cahya Ningrum 061116039
Anida Ila R 061116040
Suryani Amalia 061116042
2.2.1 Suhu
Secara langsung, reaksi enzimatik yang berperan dalam proses fotosintesis
dikendalikan oleh suhu. Tingkat percepatan proses dalam sel akan meningkat
sejalan dengan meningkatnya suhu sampai mencapai batas tertentu antara selang
25 – 40ºC dan peningkatan suhu terbesar 10ºC (misalnya dari 10ºC ke 20ºC)
akan meningkatkan laju fotosintesis maksimal menjadi dua kali lipat.
Pengaruh suhu secara tidak langsung pada kehidupan di perairan adalah
suhu mempengaruhi daya larut gas karbondioksida (CO2) dalam perairan. Daya
larut CO2 dalam perairan berkurang bila suhu perairan dan akan bertambah
dengan adanya penurunan suhu. Suhu juga menentukan struktur hidrologis
perairan dalam hal kerapatan air (water density). Semakin dalam perairan, suhu
akan semakin rendah dan kerapatan air meningkat sehingga menyebabkan laju
penenggelaman fitoplankton berkurang.
2.2.2 pH air (Derajat keasaman)
Organisme air memiliki kemampuan yang berbeda dalam mentolerir pH
perairan. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktivitas biologi,
aktivitas fotosintesis, suhu, kandungan oksigen, kation dan anion serta batas
toleransi organisme akuatik terhadap derajat keasaman bervariasi tergantung
pada suhu air, oksigen terlarut serta stadia organisme tersebut (Pescod, 1973).
Menurut Nybakken (1988) pH merupakan gambaran jumlah atau lebih
tepatnya aktifitas hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH
menggambarkan seberapa asam atau basa suatu perairan. Pada lingkungan
perairan tawar pH relatif lebih stabil dan biasanya berada dalam kisaran antara
6-9, sedangkan Menurut Odum (1996) pH perairan yang cocok untuk
pertumbuhan organisme air berkisar antara 6 – 9.
2.2.3 Kecerahan Air
Menurut Parsons, dkk., (1984) transmisi cahaya (kecerahan perairan)
adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus
lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami transmisi cahaya
sangat penting karena berkaitan dengan aktivitas fotosintesis fitoplankton.
Kecerahan berkaitan dengan cahaya yang dapat masuk ke perairan
tersebut. Bagi biota air, cahaya mempunyai pengaruh terbesar secara tidak
langsung, yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-
tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup, sebagai sumber makanan
(Romimohtarto, 2004).
Dengan bertambahnya lapisan air intensitas cahaya tersebut akan
mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan
yang mengakibatkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari
permukaan. Kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air
yang berbeda.
2.2.4 DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan salah satu unsur utama yang penting yaitu
sebagai regulator pada proses metabolisme tumbuhan dan hewan air terutama
untuk proses respirasi (Prasetyaningtyas dkk, 2012). Sedangkan menurut Arifin
(2009), oksigen terlarut menggambarkan kandungan oksigen terlarut yang
terdapat dalam suatu perairan, sumber masukan oksigen terlarut di perairan
dapat berasal dari difusi udara dan fotosintesis.
Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada
suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut juga
berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman tergantung pada percampuran
(mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi
dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Dekomposisi bahan organik dan
oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga
mencapai 0 (nol) atau anaerob (Effendi, 2003).
2.2.5 BOD (Biological Oxygen Demand)
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya
oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik,
pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik
ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh
dari proses oksidasi (PESCOD, 1973).
Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat
pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri
aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD
merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya
oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut
menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang
hampir sama dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD,
contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk mencegah kontaminasi
dari oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air sampel tersebut juga harus
berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya
oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan
mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9 ppm
pads suhu 20°C (Sawyer & MC Carty, 1978 dalam Salmin, 2005).
2.3 Produktivitas Perairan
Produktivitas perairan merupakan laju penambatan atau penyimpanan
energi (cahaya matahari) oleh komunitas autotrof di dalam sebuah ekosistem
perairan. Produktivitas itu sendiri terdiri dari produktivitas primer (produsen)
dan produktivitas skunder (konsumen: zoo plankton, ikan, benthos, dll)
(Asriyana & Yuliana, 2012). Nybakken (1992), Odum (1996), dan Wetzel
(2001), menjelaskan produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang
dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu merombak
bahan anorganik menjadi bahan organik yang langsung dapat dimanfaatkan oleh
organisme itu sendiri maupun organisme lain dengan bantuan energi matahari
maupun melalui mekanisme kemosintesis. Lebih lanjut Kirk (2011); Lee et al.
(2014); Mercado-Santana et al. (2017); Chen et al. (2017), menyebutkan bahwa
produktivitas primer merupakan laju produksi karbon organik (karbohidrat) per
satuan waktu dan volume melalui proses fotosintesis yang dilakukan oleh
organisme tumbuhan hijau. Dalam konsep produktivtas, dikenal istilah
produktivitas primer kotor (gross primary productivity) dan produktivitas primer
bersih (net primary productivity). Produktivitas primer kotor merupakan laju
total fotosintesis, termasuk bahan organik yang dimanfaatkan untuk respirasi
selama jangka waktu tertentu disebut juga produksi total atau asimilasi total.
Produktivitas bersih merupakan laju penyimpanan bahan organik di dalam
jaringan setelah dikurangi untuk pemanfaatan untuk respirasi selama jangka
waktu tertentu (Nyabakken, 1992; Odum, 1996; Wetzel, 2001; Asriyana &
Yuliana, 2012).
Produktivitas dalam suatu perairan tidak terlepas dari kualitas air dalam
perairan itu sendiri. Kualitas air adalah mutu air yang memenuhi standar untuk
tujuan tertentu. Syarat yang ditetapkan sebagai standar mutu air berbeda-beda
tergantung tujuan penggunaan, sebagai contoh, air yang digunakan untuk irigasi
memiliki standar mutu yang berbeda dengan air untuk dikonsumsi. Kualitas air
dapat diketahui nilainya dengan mengukur perubah fisika (Suhu dan
Kecerahan), kimia (pH dan DO) dan biologi (Makroinvertebrata).
BAB III
3.1 Alat
3.3 Metode
Pengukuran suhu,dengan mencelupkan badan air pada setiap unit pengamatan per
satuan waktu,Ukur suhu air dan udara dengan melihat skala yang ditunjukan
thermometer
Untuk mengukur kecerahan,diambil seutas tali dan tingka yang diberi skala lalu tali
diikat pada tongkat dengan titik pusat secchi disk yang berdiameter 20-30 cm lalu
masukan alat kedalam perairan sampai secchi disk tidak terlihat dan baca skala.
Rumus yang dihitung
𝐾1+𝑘2
D= 2
Ket:
D : Kedalaman kecerahan air
K1 : Kedalaman secchi disk yang masih terlihat
K2 : Kedalaman secchi disk yang masih terlihat
Pengukuran Oksigen yang terlarut (Disolved Oxygen),sampel air diambil dengan
menggunakan botol coklat yang tersedia sampai penuh hindari adanya udara yang
terperangkap dalam botol,hitung kadar oksigen dengan DO meter
Pengukuran CO2 bebas,air di tuang ke dalam erlenmayer sebanyak 50ml lalu ditambah
3 tetes Phenolphtahalin (PP),bila terbentuk warna pink maka air sampel tidak
mengandung CO2 dan jika tak terbentuk warna pink maka di titrasi dengan NaOH
sampai warna pink stabil dan catat berapa ml titrant yang terpakai
𝑚𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛𝑡 𝑥 𝑛 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛𝑡 𝑥 22.000
CO2-bebas (mg/l) = 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Pengukuran produktivitas Primer,Botol gelap dan botol terang diisi air sampel sampai
penuh dan pastikan tidak ada gelembung udara yang masuk lalu botol diikat ke
pelampung yang digunakan sebagai penanda lalu didiamkan selama 3 jam,setelah 3 jam
angkat botol lalu ukur DO nya dengang DO Meter.Lalu dihitung Net Fotosintesis
DO,Gross Fotosintesis DO dan Respirasi DO.
Rumus
Net Fotosintesis DO (mg/l)=DO botol terang – DO awal
Gross Fotosintesis DO (mg/l)= DO botol terang – DO botol gelap
Respirasi Do (mg/l) = DO awal – DO botol gelap
BAB IV
Parameter Keterangan
Do awal 9,4 mg/L
Co2 Terlarut 11 mg/L
Suhu Udara 32°C
Suhu Air 31°C
pH 6
Kecerahan 59 cm
Kedalaman 140
Nilai DO
Parameter Awal DO Hari ke-5
Botol terang 1 3.2 mg/L 1,4 mg/L
Botol gelap 1 3,3mg/L 1,5 mg/L
Botol terang 2 3 mg/L 1,4 mg/L
Botol gelap 2 3,5 mg/L 1,3 mg/L
4.1.3 Perhitungan
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh suhu perairan Situ Cikaret sebesar 31°C,
hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Wijayanti (2007) bahwa
nilai suhu perairan yang baik berkisar 25-31°C. Kemudian berdasarkan nilai DO
(Oksigen Terlarut) didapatkan sebesar 9,4 mg/L, hal ini sesuai dengan literature yang
digunakan yaitu nilai DO yang baik pada perairan yaitu berkisar >5 mg/L. Suhu dapat
membatasi pesebaran biota air seperti makrozoobenthos, hal ini dipengaruhi oleh
adanya faktor yang saling berhubungan salah satunya DO (Oksigen Terlarut). Semakin
meningkatnya suhu maka oksigen terlarut dalam air akan rendah, sebaliknya apabila
semakin turunnya suhu air maka oksigen terlarut semakin meningkat. Rendahnya
oksigen terlarut akan mempengaruhi metabolism makrozoobenthos. Setelah dilakukan
uji titrasi sampel air Situ Cikaret didapatkan hasil CO2 sebanyak 11 mg/L, sedangkan
pH air yang diperoleh sebersar 6 yang berarti pH air mendekati asam.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi pH berkaitan erat dengan karbondioksida hal
ini dikarenakan semakin tinggi pH maka kadar karbondioksida akan semakin rendah.
Kadar karbondioksida merupakan hasil dari proses respirasi. Karbondioksida bebas
dilepaskan dan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat yang kemudian
direduksi menjadi bikarbonat dan karbonat menjadikan pH menjadi rendah.
Kecerahan yang didapatkan 59 cm, sementara menurut Indra Budi Prasetyawan,
2017 bahwa kecerahan yang baik untik perairan tawan seberar 200 cm, hal ini
menunjukkan perbedaan yang cukup jauh dari literature yang digunakan, hal ini
disebabkan pada pengambilan sampel dilakukan didekat kios penjual makanan yang
dimana linbah kios terbeut dibuang ke Situ Cikaret.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Agustira, R, Lubis, KS, dan Jamila. 2013. Kajian Karakteristik Kimia Air, Fisika Air dan
Debit Sungai Pada Kawasan DAS Padang Akibat Pembuangan Limbah Tapioka. Jurnal
Online Agroekoteknologi, Vol. 1(3), hal 617-619.
Andriani. 2004. Analisis Hubungan Parameter Fisika-Kimia dan Klorofil-a dengan
Produktivitas Primer Fitoplankton di Perairan Pantai Kabupaten Luwu. Skripsi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Arifin, R. 2009. Distribusi Spasial dan Temporal Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a) dan
Keterkaitannya Dengan Kesuburan Perairan Estuari Sungai Brantas, Jawa Timur.
Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. http://reporsitory.ipb.ac.id.ridwanarifin.pdf
(Diakses 9 Juni 2019).
Asriyana dan Yuliana, 2012. Produktivitas Perairan. Bumi Aksara. Jakarta
Behrenfald M.J., Boss E, Siegel DA, Shea DM. 2005. Carbon-based ocean productivity and
phytoplankton physiology from space. Global Biogeochemical Cycles. Vol 19.
GB1006, doi:10.1029/2004GB002299
Chen H., et al. 2017. Simplified, rapid, and inexpensive estimation of water
primaryproductivity based on chlorophyll fluorescence parameter Fo. Journal of Plant
Physiology, 211 : 128–135
Chen H., et al. 2017. Simplified, rapid, and inexpensive estimation of water
primaryproductivity based on chlorophyll fluorescence parameter Fo. Journal of Plant
Physiology, 211 : 128–135
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Fachmudin, A, dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktik Konservasi Tanah Pertanian Lahan
Kering, World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia, Bogor. Indonesia.
Hariyadi S, E. M. Adiwilaga, T. Prartono, S. Hardjoamidjojo & A. Damar. 2010.
Produktivitas Primer Estuari Sungai Cisadane Pada Musim Kemarau. Limnotek, 17
(1) : 49-57
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Strategi Pelestarian Situ Di Wilayah
Jabodetabek.
Kirk, JTO. 2011. Light and Photosynthesis in Aquatic Ecosystems. Third Edition. New York:
Cambridge University Press
Komite Visi Danau Dunia. 2004. Fisi Danau Dunia Sebuah Ajakan Untuk Melakukan
Tindakan. Forum Danau Indonesia, Penerjemah. Jakarta: Lakenet. Terjemahan dari:
World Lake Vision.
Lee, Z.P., Marra, J., Perry, M.J. and Kahru, M., 2014. Estimating Oceanic Primary
Productivity from Ocean Color Remote Sensing: A Strategic Assesment. Journal of
Marine Systems 149: 50-59.
Lee, ZP, Marra, J, Perry, MJ, and Kahru, M. 2014. Estimating Oceanic Primary Productivity
from Ocean Color Remote Sensing: A Strategic Assesment. Journal of Marine Systems,
149: 50-59.
Mercado-Santana, JA, et al. 2017. Productivity in the Gulf of California large marine
ecosystem. Environmental Development, 22 : 18–29.
Nybakken, JW. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Cetakan Kedua. Jakarta:
PT. Gramedia. Diterjemahkan oleh HM Eidman, Koesoebiono, DG Bengen, M.
Hutomo, dan S. Sukardjo.
Nybakken, JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia.
Odum, EP. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Diterjemahkan oleh T. Samingan.
Parsons, TR, M. Takahashi, dan B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographyc Processes.
3rd Edition. New York-Toronto: Pergamon Press. Vol 277 (1).
Pescod, M.B. 1973. Investigation of rational effluent and stream standard for tropical
countries. Enviromental Engineering Division. Asian Institute Technology Bangkok.
Bangkok.
Prasetyaningtyas T., Priyono B., dan Agung T. 2012. Keanekaragaman Plankton di Perairan
Tambak Ikan Bandeng di Tapak Tugurejo, Semarang. Jurnal. UNS.
Rahayu N. L., W. Lestari & E. R. Ardly. 2017. Bioprospektif Perairan Berdasarkan
Produktivitas: Studi Kasus Estuari Sungai Serayu Cilacap, Indonesia. Biosfera, 34 (1)
: 15-21. DOI: 10.20884/1.mib.2017.34.1.405
Romimohtarto, K, dan Juwana, S. 2004. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut.
Jakarta: Djambatan.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah
Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, 30(3), hal. 21-26.
Supriyadi, A, Syaufina, L, dan Ichwandi, I. 2015. Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Situ
Cikaret, Kabupaten Bogor. LIMNOTEK,Vol. 22 (1), hal. 52-55.
Wetzel, RG. 2001. Limnology Lake and River Ecosystem. Third Edition. London: Academic
Press.
Wahyudi,Eri/www.bogorkab.go.id/Sejarah Danau Cikaret. Di Akses tanggal 13 Mei
2019.
Xiao X, Y. Wang, H. Zhang, X. Yu. 2015. Effects of primary productivity and ecosystem
size on food-chain length in Raohe River, China. Acta Ecologica Sinica, 35 : 29–34.
http://dx.doi.org/10.1016/j.chnaes.2015.04.003