Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Air Kolam Ikan


Ikan merupakan bahan pangan sebagai sumber protein yang tergolong
tinggi dibandingkan beberapa produk pertanian lainnya. Seiring dengan
meningkatnya kesadaran akan manfaat protein untuk kesehatan, konsumsi
masyarakat terhadap produk perikanan semakin meningkat. Pertumbuhan ikan
selama budidaya sangat ditentukan oleh lingkungan akuakultur di dalam
kolam (Pratama, F. A., dkk, 2016).
Kolam merupakan lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah
tertentu sehingga dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan atau hewan air
lainnya. Kolam air tawar merupakan sebuah kolam buatan yang dapat diisi
dengan air sungai atau pengisian menggunakan air yang bersifat tawar
sehingga dapat digunakan sebagai media kehidupan biota air terutama dalam
hal budidaya perikanan (Hidayatullah, M., dkk, 2018). Kualitas kehidupan dan
kelangsungan hidup organisme di dalam air sangat dipengaruhi oleh kualitas
perairan itu sendiri sebagai media hidup organisme air (Marwazi, M. A., dkk,
2018).
Sumber air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan harus memenuhi
persyaratan baik parameter fisika dan kimia. Sifat fisik air merupakan tempat
hidup dan menyediakan ruang gerak. Sifat kimia merupakan penyedia unsur-
unsur ion, gas-gas terlarut, pH dan sebagainya. Sehingga kondisi kedua hal
tersebut harus sesuai dengan persyaratan untuk hidup dan berkembangnya
ikan yang dipelihara. Permasalahan yang sering timbul dalam kegiatan
budidaya ikan ialah kualitas perairan yang tidak stabil, sedangkan kualitas air
sangat menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan mengingat air
adalah media hidup ikan jika perairan tercemar, maka akan mengganggu
pertumbuhan ikan yang di budidayakan (Siegers, W. H., dkk, 2019).
Islami, dkk (2017) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas air dalam kegiatan akuakultur antara lain: suhu air, oksigen terlarut
(DO), derajat keasaman (pH), alkalinitas, amonia, nitrit, nitrat,
karbondioksida, dan bahan organik terlarut lainnya. Oksigen terlarut di dalam
air akan berpengaruh terhadap Kesehatan ikan dan temperature air kolam
menentukan laju metabolisme. Derajat keasaman air kolam yang sesuai dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Oleh karena itu,
mengontrol dan mengondisikan kualitas air dalam budidaya ikan adalah
bagian sangat penting yang menentukan keberhasilan budidaya ikan (Sukarni,
S., dkk, 2020).
Suhu optimum untuk ikan budidaya adalah 28-32°C. Aktivitas gerak dan
nafsu makan ikan mulai menurun pada suhu 25C, di bawah suhu 12°C ikan
akan mati kedinginan dan apabila suhu berada pada 35°C, ikan budidaya akan
mengalami stress dan kesulitan nafas karena konsumsi oksigen ikan
meningkat, sedangkan daya larut oksigen di air menurun. Semakin tinggi suhu
kolam, akan mempercepat reaksi ammonium menjadi ammonia. Hal lain yang
dapat membuat perubahan suhu disuatu perairan dikarenakan adanya pengaruh
penyerapan dan pelepasan panas dari teriknya matahari. Suhu yang berubah-
ubah dapat mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton dan organisme yang ada
diperairan tersebut (Siegers, W. H., dkk, 2019).
Pencemaran lingkungan budidaya dapat disebabkan oleh pakan yang
termakan dan tidak termakan oleh ikan. Pemberian pakan yang tidak tepat
mengakibatkan menumpuk dan mengendapnya sisa pakan di dalam air.
Keadaan ini akan mempengaruhi parameter kimiawi dan fisik kualitas air,
organisme akuatik dan lingkungan sekitarnya. Kualitas air yang buruk tersebut
menyebabkan keracunan atau kekurangan oksigen serta mempercepat
berkembangnya bibit penyakit (Dhiba, A. A. F., dkk, 2019).
B. Tinjauan Umum tentang Desinfektan
Pada tahun 1850, desinfektan sudah dipakai dengan menggunakan metode
klorinasi. Selama itu hipoklorit digunakan sebagai desinfektan sebelum
adanya penelitian. Desinfektan merupakan bahan selektif yang digunakan
untuk merusak penyakit yang disebabkan oleh organisme yang berasal dari
bakteri, virus, dan amoeba. Pada proses ini organisme belum mati seluruhnya,
berbeda dengan sterilisasi yang mana dapat membunuh seluruh organisme
yang ada. Desinfektan umumnya diperoleh dari bahan kimia, bahan fisika
(cahaya matahari), mekanik (kebersihan dari air kolam) dan radiasi (sinar
gamma) (Herawati, D., & Yuntarso, A, 2017).
Jenis desinfektan dibagi menjadi dua, yaitu desinfektan kimia dan
desinfektan nabati. Penggunaan desinfektan kimia dalam jangka lama dapat
menimbulkan dampak negatif, karena dalam penggunaannya, bahan kimia
dapat meninggalkan residu yang berpotensi untuk mengganggu kesehatan.
Desinfektan nabati tidak menimbulkan residu karena terbuat dari bahan yang
ada di alam sehingga mudah menguap (Anggraini, Y., & Damanik, S. M,
2021).
Dalam proses disinfektan dikenal 2 cara, yaitu cara fisik dan kimia.
Banyak bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai disinfektan, tetapi
umumnya dikelompokkan ke dalam golongan aldehid atau golongan
pereduksi, yaitu bahan kimia yang mengandung gugus -COH; golongan
alkohol, yaitu senyawa kimia yang mengandung gugus -OH; golongan
halogen atau senyawa terhalogenasi, yaitu senyawa kimia golongan halogen
atau yang mengandung gugus -X; golongan fenol dan fenol terhalogenasi,
golongan garam amonium kuarterner, golongan pengoksidasi, dan golongan
biguanide (Churaez, F. I., dkk, 2020).
Bahan desinfektan yang dipakai tidak boleh membahayakan, dapat
diterima masyarakat pemakai, serta mempunyai efek desinfeksi untuk waktu
yang cukup lama. Beberapa cara desinfeksi yang dapat dilakukakan yaitu
dengan desinfeksi dengan pemanasan/perebusan, desinfeksi dengan klorinasi,
desinfeksi dengan radiasi sinar ultraviolet dan panas matahari, serta desinfeksi
dengan ozonisasi.
Proses desinfeksi merupakan metode untuk membunuh mikroorganisme
yang tidak dikehendaki berada dalam air minum, seperti bakteri patogen
sebagai penyebab berbagai penyakit. Desinfeksi terhadap air minum yang
umum digunakan di Indonesia adalah klor dan senyawa klor, yang diberikan
dalam bentuk gas Cl2 atau dalam bentuk kaporit Ca(OCl2). Desinfeksi
demikian biasa disebut Klorinasi. Air yang siap didistribusikan perlu
didesinfeksi sampai mengandung desinfektan yang cukup, sisa desinfektan ini
diperlukan untuk penjagaan apabila terjadi kontaminasi selama dalam
perjalanan menuju ke konsumen (Sirajuddin, S. dkk., 2019).
C. Tinjauan Umum tentang Kaporit
Kaporit digunakan sebagai desinfektan karena klor pada kaporit terutama
HOCl umumnya sangat efektif untuk inaktivasi pathogen dan bakteri
indikator. Kaporit digunakan sebagai desinfektan karena harganya yang lebih
murah, lebih stabil dan lebih melarut dalam. Kaporit berfungsi untuk
mereduksi zat organik, mengoksidasi logam, dan sebagai desinfeksi terhadap
mikroorganisme air (Busyairi, M., dkk, 2016).
Kaporit disebut juga Calcium Hypoklorit Ca(OCl2) karena mengandung
60-70% Calsium Hypoklorit, sisanya Kalsium karbonat dan lain-lain. Kaporit
mudah larut dalam air dan bersifat koresif apabila berkontak dapat menyakiti
kulit, mata dan bagian tubuh lainnya. Semakin tinggi kandungan kaporit maka
semakin efektif dalam proses desinfeksi (Sirajuddin, S. dkk., 2019).
Kaporit merupakan desinfektan yang umum digunakan dalam segala
bentuk baik bentuk kering / kristal dan bentuk basah / larutan. Dalam bentuk
kering, biasanya kaporit berupa serbuk atau butiran, tablet atau pil dan dalam
bentuk basah biasanya kristal yang ada dilarutkan dengan aquadest menurut
kebutuhan desinfeksi. Berdasarkan uji kaporit dalam laboratorium disebutkan
bahwa kaporit terdiri lebih dari 70% bentuk klorin. Kaporit dalam bentuk
butiran atau pil dapat cepat larut dalam air dan penyimpanannya ditempat
kering yang jauh dari bahan kimia yang mengakibatkan korosi, dalam kondisi
atau temperatur rendah, relatif stabil (Herawati, D., & Yuntarso, A., 2017).
Penggunaan kaporit harus diperhatikan dengan baik dan harus sesuai
dengan batas aman yang ada. Penggunaan kaporit dalam konsentrasi yang
kurang dapat menyebabkan mikroorganisme yang ada di kolam ikan tidak
terdesinfeksi dengan baik. Sedangkan penggunaan kaporit dengan konsentrasi
yang berlebih dapat meninggalkan sisa klor yang menimbulkan dampak buruk
bagi kesehatan (Khakim, L., & Rini, C. S., 2018).
D. Tinjauan Umum tentang Klor
Berdasarkan sejarahnya, proses klorinasi menggunakan gas klor pertama
kali digunakan pada tahun 1887 di Amerika Serikat sedangkan klor cair
digunakan pada tahun 1914. Senyawa klor ini digunakan sebagai disinfektan
di dalam penyediaan air minum pada tahun 1908 oleh George Johnson dan
John Lea di Jersey City, New Jersey, USA. Adapun di London pertama kali
digunakan pada tahun 1854 tetapi berupa kaporit atau chlorinated lime
(Cahyana, G. H., 2020).
Senyawa-senyawa klor yang umum digunakan dalam proses klorinasi
antara lain gas klor, senyawa hipoklorit, klor dioksida, bromin klorida,
dihidroisosianurat, dan kloroamin. Jika sisa gas klor kurang dari 0,2 m/l, maka
akan menyebabkan kemampuan desinfeksi berkurang, jika lebih dari 0,2 mg/l
maka akan terdesinfeksi dengan baik, dan jika lebih dari 0,5 mg/l, maka air
akan bersifat karsinogenik, dan toksik (Silvana, L., & Rodiah, S., 2020).
Senyawa klor berupa kaporit (Ca(OCl2)) memiliki fungsi untuk
menjernihkan dan mendesinfeksi mikroorganisme. Namun, penggunaan
kaporit harus diperhatikan dengan baik dan sesuai dengan batas aman yang
ada. Penggunaan kaporit dengan konsentrasi yang berlebih dapat
meninggalkan sisa klor yang menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan.
Sisa klor dalam konsentrasi yang berlebih dapat terikat pada senyawa organik
dan membentuk halogen hidrokarbon (Cl-HC) yang diantaranya dikenal
sebagai senyawa karsinogenik (Herawati, D., & Yuntarso, A., 2017).
Klor dapat dijadikan desinfektan karena memenuhi karakteristik sebagai
biosida yaitu: (1) toksik bagi mikroba pada konsentrasi yang tidak berbahaya
bagi manusia dan hewan; (2) cepat bereaksi membunuh virus dan bakteri
dengan waktu kontak yang singkat; (3) tahan lama sehingga mampu
menanggulangi infeksi akibat rekontaminasi di zone distribusi; (4) murah dan
mudah diperoleh; (5) mudah dianalisis di laboratorium; dan (6) mudah
menentukan dosisnya. Sisa klor bebas dibutuhkan apabila di pipa distribusi
yang ditanam dalam tanah terjadi rekontaminasi bakteri dan virus akibat
kebocoran pipa. Sisa klor inilah yang kemudian diharapkan dapat membasmi
bakteri dan virus di dalam air yang masuk melalui pipa bocor. Klor akan sulit
mencapai bakteri dan virus yang berada di bagian dalam serpihan feses
tersebut. Bakteri, virus, dan kista protozoa terlindungi oleh zat padat yang ada
di dalam air limbah. Daya tahan virus juga dipengaruhi oleh temperatur, zat
organik (seperti feses), dan adanya mikroba aerob (Cahyana, G. H., 2020).
Klor pada kaporit terutama HOCl umumnya sangat efektif untuk inaktivasi
patogen dan bakteri indikator. Break Point Clorination (BPC) adalah
Penentuan jumlah optimum klor untuk bereaksi dengan logam – logam, zat
organik dan ammonia yang dibutuhkan untuk desinfeksi air dalam suatu
wadah melalui proses pereaksian. BPC merupakan jumlah klor aktif (ion
OCldan HOCl) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik
dan bahan anorganik yang terlarut dalam limbah dan kemudian sisa klor
aktifnya berfungsi sebagai disinfektan (Herawati, D., & Yuntarso, A., 2017).
Pada gas klor, pH lebih dari 5 berupa asam hipoklorit, sedangkan pada pH
9, sebagian sisa klor berupa ion hipoklorit, sehingga asam hipoklorit
merupakan senyawa yang paling efektif untuk menginaktivasi bakteri dalam
air, karena biasanya pH air berkisar antara 6,8 – 7,2. Pada reaksi tersebut juga
terbentuk ion H+ sehingga menyebabkan turunnya pH pada air. Klorin
membunuh bakteri dengan cara merusak struktur sel organisme. Klor bebas
merusakan membran inti sel bakteri, hal ini menyebabkan bakteri kehilangan
permeabilitasnya dan meruskak fungsi sel lainnya, dan menyebabkan
kebocoran protein, RNA, dan DNA, sehingga bakteri akan mati (Silvana, L.,
& Rodiah, S., 2020).
Untuk sisa gas klor pada sampel air dapat ditentukan menggunakan alat
komparator, yaitu dengan cara memasukkan 10 ml sampel air ke dalam kuvet
larutan blanko, kemudian diletakkan pada bagian larutan blanko komparator,
lalu 10 ml sampel air dimasukkan kedalam kuvet larutan pembaca, dan
ditambahkan 3 tetes larutan ortholidin, kemudian diletakkan pada bagian
larutan pembaca komparator, dan dapat diamati sampai menunjukkan warna
yang sama (Silvana, L., & Rodiah, S., 2020).
Referensi:

Anggraini, Y., Damanik, S. M., 2021. Petunjuk Praktikum Manajemen Patient


Safety.
http://repository.uki.ac.id/2746/1/PETUNJUKPRAKTIKUMPATIENTSAFE
TY.pdf [diakses 24 April 2021].

Busyairi, M., Dewi, Y. P., & Widodo, D. I., 2016. Efektivitas Kaporit pada
Proses Klorinasi terhadap Penurunan Bakteri Coliform dari Limbah Cair
Rumah Sakit X Samarinda (the Effectiveness of Calcium Hypochlorite to
Chlorination Process in Decreasing the Amount of Coliform Bacteria in the
Wastewater of X). Jurnal Manusia dan Lingkungan, [Online] 23 (2), 156-162.
https://journal.ugm.ac.id/JML/article/view/18786/12117

Cahyana, G. H., 2020. Desinfeksi Novel Corona Virus di dalam Air Minum
PDAM dan Air Limbah Untuk Fase Normal Baru. Jurnal Serambi
Engineering, [Online] 5(3), hal 1262-1273.
https://www.researchgate.net/publication/343578559_Desinfeksi_Novel_Coro
na_Virus_di_Dalam_Air_Minum_PDAM_dan_Air_Limbah_Untuk_Fase_Nor
mal_Baru [diakses 24 April 2021].

Churaez, F. I., dkk., 2020. PEMBUATAN DAN PENYEMPROTAN


DISINFEKTAN: KEGIATAN KKN EDISI COVID-19 DI DESA BRINGIN,
MALANG. SINERGI: JURNAL PENGABDIAN, [Online] 2 (2), hal. 50-55.
http://journal.ummat.ac.id/index.php/JSPU/article/view/2485/1680 [diakses 24
April 2021].

Dhiba, A. A. F., Syam, H., & Ernawati, E., 2019. ANALISIS KUALITAS
AIR PADA KOLAM PENDEDERAN IKAN LELE DUMBO (Clarias
gariepinus) DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN SINGKONG
(Manihot utillisima) SEBAGAI PAKAN BUATAN. Jurnal Pendidikan
Teknologi Pertanian, [Online] 5 (1), hal. 131-144.
https://ojs.unm.ac.id/ptp/article/view/8569/5012 [diakses 25 April 2021].

Herawati, D., & Yuntarso, A., 2017. Penentuan Dosis Kaporit sebagai
Desinfektan dalam Menyisihkan Konsentrasi Ammonium pada Air Kolam
Renang. Jurnal SainHealth, [Online] 1(2), hal. 66-74.
https://media.neliti.com/media/publications/231129-penentuan-dosis-kaporit-
sebagai-desinfek-24f6d6bf.pdf [diakses 24 April 2021].

Hidayatullah, M., Fat, J., & Andriani, T., 2018. Prototype Sistem telemetri
pemantauan Kualitas Air pada Kolam Ikan Air Tawar Berbasiss
Mikrokontroler. POSITRON, [Online] 8 (2), hal. 43-52.
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpositron/article/view/27367/pdf [diakses
25 April 2021].

Islami, A. N., Hasan, Z., & Anna, Z., 2017. PENGARUH PERBEDAAN
SIPHONISASI DAN AERASI TERHADAP KUALITAS AIR,
PERTUMBUHAN, DAN KELANGSUNGAN HIDUP PADA BUDIDAYA
IKAN NILA (Oreochromis niloticus) STADIA BENIH. Jurnal Perikanan
Kelautan, [Online] 8 (1). http://jurnal.unpad.ac.id/jpk/article/view/13892/6646
[diakses 24 April 2021].

Khakim, L., & Rini, C. S., 2018. Identifikasi Eschericia coli dan Salmonella
sp. pada air kolam renang candi pari. Medicra (Journal of Medical Laboratory
Science/Technology), [Online] 1(2), hal. 84-93.
http://ojs.umsida.ac.id/index.php/medicra/article/view/1491/1314 [diakses 24
April 2021].

Marwazi, M. A., Lestari, N., & Japa, L., 2018. KUALITAS AIR KOLAM
BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR BALAI BENIH IKAN BATU
KUMBUNG LOMBOK BARAT MENGGUNAKAN BIOINDIKATOR
ALGA. In. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi, [Online] 1 (1),
hal. 512-520).
http://jurnalfkip.unram.ac.id/index.php/SemnasBIO/article/view/613/561
[diakses 23 April 2021].

Pramleonita, M., dkk., 2018. Parameter Fisika dan Kimia Air Kolam Ikan Nila
Hitam (Oreochromis niloticus). Jurnal Sains Natural, [Online] 8 (1), hal. 24-
34. http://ejournalunb.ac.id/index.php/JSN/article/view/107/115 [diakses 22
April 2021].

Pratama, F. A., Afiati, N., & Djunaedi, A., 2016. Kondisi Kualitas Air Kolam
Budidaya dengan Penggunaan Probiotik dan tanpa Probiotik terhadap
Pertumbuhan Ikan Lele Sangkuriang (clarias sp) di Cirebon, Jawa
Barat. Management of Aquatic Resources Journal, [Online] 5 (1), hal. 38-45.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/maquares/article/view/10666/10348
[diakses 21 April 2021].

Rohim, M., 2020. Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air. [e-book]. Surabaya:
Qiara Media Partner. https://books.google.co.id/books?
id=gRYYEAAAQBAJ&pg=PA20&lpg=PA20&dq=Desinfeksi+dengan+pema
nasan/perebusan+2.+Desinfeksi+dengan+klorinasi+3.+Desinfeksi+dengan+ra
diasi+sinar+ultra+violet+dan+panas+matahari+4.+Desinfeksi+dengan+ozonis
asi&source=bl&ots=kY_F3RZME9&sig=ACfU3U0CH3EGPiWqVGPXmeL
U_tzu9ztbIg&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwiUtvX6uZnwAhUPqksFHRcNBn
wQ6AEwAHoECAEQAw#v=onepage&q=Desinfeksi%20dengan
%20pemanasan%2Fperebusan%202.%20Desinfeksi%20dengan%20klorinasi
%203.%20Desinfeksi%20dengan%20radiasi%20sinar%20ultra%20violet
%20dan%20panas%20matahari%204.%20Desinfeksi%20dengan
%20ozonisasi&f=false [diakses 24 April 2021].
Rozanto, N. E., & Windraswara, R., 2017. Kondisi Sanitasi Lingkungan
Kolam Renang, Kadar Sisa Khlor, dan Keluhan Iritasi Mata. HIGEIA (Journal
of Public Health Research and Development), [Online] 1 (1), 89-95.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/view/13990 [diakses 24
April 2021].

Siegers, W. H., Prayitno, Y., & Sari, A., 2019. Pengaruh Kualitas Air terhadap
Pertumbuhan Ikan Nila Nirwana (Oreochromis sp.) pada Tambak Payau. The
Journal of Fisheries Development, [Online] 3 (2), hal. 95-104.
https://core.ac.uk/download/pdf/229022288.pdf [diakses 22 April 2021].

Silvana, L., & Rodiah, S., 2020. Pengaruh Penambahan Gas Klor sebagai
Desinfektan Coliform dan Eschericia Coli Pada Pengolahan Air Minum.
In Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan, [Online] 3 (1),
hal. 589-593).

Sirajuddin, S. dkk., 2019. Penuntun Praktikum Dasar Kesehatan Masyarakat.


Makassar: Universitas Hassanuddin Fakultas Kesehatan Masyarakat

Sukarni, S., dkk., 2020. KONTROL KUALITAS AIR KOLAM IKAN LELE
BERBASIS MICROBUBBLES DAN INTERNET OF THINGS (IOT). E-
Prosiding Hapemas, [Online] 1 (1), hal. 224-234.
http://conference.um.ac.id/index.php/hapemas/article/view/255/210 [diakses
22 April 2021].

Triastianti, R. D., & Hazilmi, R., 2018. PERBAIKAN KUALIATAS AIR


HUJAN SEBAGAI AIR BERSIH DENGAN METODE MINERALISASI
DAN DESINFEKSI. Jurnal Rekayasa Lingkungan, [Online]18 (2), hal 1-10.
http://journal.ity.ac.id/index.php/JRL/article/view/29/17 [diakses 24 April
2021].

Anda mungkin juga menyukai