Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN LENGKAP

FARMAKOGNOSI ANALITIK
“ANALISIS OBAT TRADISIONAL’’

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
STIFA A 019

ASISTEN : APT. MUH AZWAR, S.Si, M.Si

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Jamu atau obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang
berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku, obat tradisional dilarang
menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat yang
sering disebut dengan bahan kimia obat (BKO) (Yuliarti, 2010).

Obat tradisional telah lama dikenal dan digunakan oleh semua


lapisan masyarakat di Indonesia untuk tujuan pengobatan maupun
perawatan kesehatan. Jika ada anggota keluarga atau masyarakat yang
sedang menderita suatu penyakit, sebagian masyarakat berinisiatif untuk
memanfaatkan tanaman obat yang terdapat di sekitar lingkungannya
untuk mereka gunakan dalam pengobatan. Pemanfaatan tanaman
berkhasiat obat di masyarakat terus berkembang dan diwariskan ke
generasi selanjutnya. Perkembangan obat tradisional ini dimulai dari
ramu-ramuan tradisional yang berkembang di tengah masyarakat, yang
kemudian berkembang menjadi suatu ramuan yang diyakini memiliki
khasiat tertentu bagi manusia. Penggunaan obat tradisional di Indonesia
telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak zaman dahulu kala, dan
merupakan bagian dari budaya bangsa dan telah dimanfaatkan sejak
berabad-abad yang lalu (Wasito, 2011).

Jamu merupakan salah satu obat bahan alam Indonesia dengan


presentase konsumen sebanyak 59,12%. Cukup tingginya presentase
masyarakat yang menggunakan jamu karena dinilai memiliki efek samping
yang relatif lebih sedikit apabila aspek keamanannya terpenuhi. Semakin
maraknya penggunaan obat tradisional berdasarkan khasiat yang turun
temurun, semakin memperluas kesempatan terjadinya pemalsuan
simplisia, bahkan ada beberapa jamu yang mengandung Bahan Kimia
Obat (BKO) yang telah jelas dilarang penambahannya, baik sengaja
maupun tidak disengaja ke dalam obat tradisional, seperti yang tertera
pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 246/Menkes/Per/V/1990 BAB V
Pasal 23 (Fauziah et al., 2015).

Berdasarkan pengawasan dari Badan Pengawasan Obat dan


Makanan (BPOM) dari Juni 2008 hingga 2011, telah dilaporkan sekitar
lebih dari 80 produk obat tradisional yang positif mengandung bahan kimia
obat (BKO). Obat tradisional yang sering ditemukan mengandung BKO
antara lain, obat rematik atau pegal linu yang mengandung fenilbutason,
metampiron (antalgin), asam mefenamat, piroksikam, natrium diklofenak,
prednison, indometasin; obat batuk yang mengandung dekstrometorfan;
obat gatal-gatal (eksim) yang mengandung chlorpheniramine maleate
(CTM) dan deksametason serta obat asma mengandung efedrin, teofilin
dan salbutamol (BPOM RI, 2010; BPOM RI, 2008). Obat tradisional
dengan khasiat sebagai obat stamina yang mengandung Sibutramin,
Sildenafil, dan Tadalafil; obat pelangsing yang mengandung Furosemid,
Bisakodil, Amfetamin, Sibutramin hidroklorida; obat penenang yang
mengandung Diazepam, Phenobarbital; obat penurun panas yang
mengandung Parasetamol dan Ibuprofen; obat sakit perut yang
mengandung Papaverin; dan obat pelancar air seni yang mengandung
Furosemid, Bisakodil, Amfetamin, Sibutramin hidroklorida (BPOM RI,
2010; BPOM RI, 2008).

I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1 Maksud Percobaan

Adapun maksud dari percobaan ini adalah bagaimana cara


mengindentifikasi adanya BKO dalam sediaan obat tradisional.
I.2.2 Tujuan Percobaan

Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui apakah


sediaan obat tradisional yang diuji mengandung bahan kimia obat (BKO).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Secara lebih detail, definisi jamu atau obat tradisional adalah bahan
atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi
atau sintetik berkhasiat obat yang sering disebut dengan bahan kimia obat
(BKO) (Yuliarti, 2010).

BKO dalam obat tradisional inilah yang menjadi titik penjualan bagi
produsen. Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan
produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak
terkontrol, baik dosis maupun cara penggunaannya atau bahkan semata-
mata demi meningkatkan penjualan karena konsumen menyukai produk
obat tradisional yang bereaksi cepat pada tubuh (Yuliarti, 2010).

Jamu

Jamu pegal linu merupakan salah satu produk obat tradisional yang
banyak diminati oleh masyarakat. Jamu pegal linu ini diyakini dapat
menghilangkan pegal linu, capek-capek, nyeri otot dan tulang, dan dapat
memperlancar peredaran darah, memperkuat daya tahan tubuh dan
menghilangkan sakit seluruh badan. Banyak industri obat tradisional
maupun industri kecil obat tradisional yang mengembangkan jamu ini
dengan ramuan-ramuan tertentu (Wahyuni, 2004).

Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan jamu dengan kasta tertinggi karena khasiat,
keamanan serta standar proses pembuatan dan bahayanya telah diuji
secara klinis, jamu berstatus sebagai fitofarmaka juga dijual diapotek dan
sering diresepkan oleh dokter (Yuliarti, 2008).

Metode identifikasi bahan kimia obat dalam sediaan Obat Tradisonal


Kromatografi Lapis Tipis
Salah satu cara untuk mengidentifikasi bahan kimia obat yang terdapat
dalam sediaan obat tradisonal adalah dengan menggunakan kromatografi
lapis tipis dan dilanjutkan dengan spektrofotometri ultraviolet untuk melihat
spektrumnya. Di antara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi
lapis tipis (disingkat KLT) adalah yang paling cocok untuk analisis obat di
laboratorium farmasi. Metode ini hanya memerlukan investasi yang kecil
untuk perlengkapan, menggunakan waktu yang singkat untuk
menyelesaikan analisis (15-60 menit), dan memerlukan jumlah cuplikan
yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 g). Selain itu, hasil palsu yang
disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan
ruangan minimum, dan penanganannya sederhana (Stahl, 1985).

Spektrofotometri Ultraviolet
Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh
sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energy yang cukup
untuk mempromosikan electron pada kulit terluar ke tingkat energi yang
lebih tinggi. Spektroskopi UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan
ion anorganik atau kompleks didalam larutan. Spectrum UV-Vis
mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur
yang bisa didapatkan dari spectrum ini. Tetapi spectrum ini sangat
berguna untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004).
BAB III

METODE KERJA

III.1 Alat dan Bahan

III.1.1 Alat

Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu erlenmeyer,


cawan porselin, chamber, gelas ukur, pipa kapiler, gelas kimia, kertas
saring, alumunium foil, lumpang dan alu, lempeng KLT dan corong pisah.

III.1.2 Bahan

Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu antalgin,


petroleum eter, etanol, aquadest, jamu pegal linu dan rematik, methanol,
kloroform dan asam asetat.

III.2 cara kerja

III.2.1 Larutan A

1. Ditimbang serbuk jamu sebanyak 5 gram.


2. lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer.
3. Disari dengan 25 ml petroleum eter lalu disaring.
4. Ampasnya disari dengan 50 ml etanol.
5. Kemudian filtrat diuapkan pada penangas air hingga 5 ml.
III.2.2 Larutan B
1. Ditimbang serbuk jamu sebanyak 5 gram.
2. Dimasukkan kedalam erlenmeyer, ditambah antalgin sebanyak 25
mg.
3. Disari dengan 50 ml petroleum eter, lalu disaring.
4. Ampasnya disari dengan 50 ml etanol.
5. Filtrat diuapkan pada penangas air hingga 5 ml.
III.2.3 Larutan C
1. Baku antalgin 0,1 % b/v dalam etanol.
III.2.4 Cara Kromotografi Lapis Tipis (KLT)
1. Dibuat fase gerak methanol : kloroform : asam asetat 20%
(3:7:0,5), lalu di jenuhkan.
2. Diberi batas bawah dan batas atas pada lempeng KLT.
3. Larutan A, B dan C ditotolkan terpisah.
4. Dielusi lempeng KLT pada eluen .
5. Diletakkan pada KLT 254 dan 366, lalu diamati.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Tabel Pengamatan
Identifikasi BKO Pengamatan UV 254 Pengamatan UV 366

Warna Rf Warna Rf
noda Noda
Jamu Kuning 0,465 cm Hijau
terang
Jamu + Obat Biru 0,232 cm Hijau kabur

Obat Biru

IV.2 Perhitungan
IV.2.1 Perhitungan PBS Tablet Antalgin
Diketahui : Bobot yang diinginkan = 100 mg
Dosis Etiket = 500 mg
Jumlah Tablet = 10
Bobot keseluruhan = 5.890 mg
Ditanya : PBS = ...?
Bobot yang diinginkan
Penyelesaian : PBS = x Bobot Keseluruhan
DE x Jumlah tablet
100 mg
PBS = x 5.890 mg
500 mg x 10
PBS = 0,5 x 5.890 mg
PBS = 117,8
IV.2.2 Perhitungan Nilai Rf
a. Larutan A
Diketahui : Jarak tempuh eluen = 4,3 cm
Jarak tempuh noda = 2 cm
Ditanya : Nilai Rf = …?
Jarak tempuh noda
Penyelesaian : Rf =
Jarak empuh eluen
2 cm
Rf =
4,3 cm
Rf = 0,465 cm
b. Larutan B
Diketahui : Jarak tempuh eluen = 4,3 cm
Jarak tempuh noda = 1 cm
Ditanya : Nilai Rf = …?
Jarak tempuh noda
Penyelesaian : Rf =
Jarak empuh eluen
1 cm
Rf =
4,3 cm
Rf = 0,232 cm
IV.3 Pembahasan
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan atau berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun menurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Bahan Kimia Obat adalah bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang
berkhasiat obat. Uji keberadaan bahan kimia obat dalam jamu pegal linu
yang belum diseduh dilakukan dengan menggunakan metode
Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Kromatografi Lapis Tipis adalah metode
pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan
berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas,
logam atau lapisan yang cocok. Antalgin adalah salah satu obat
penghilang rasa nyeri (analgetik) turunan Non-Steroidal Anti Inflammatory
(NSAID). Antalgin juga merupakan obat antipiretik dan antiinflamasi.
Pada percobaan ini, dibuat 3 larutan berbeda yaitu larutan A (jamu),
larutan B (jamu + obat), larutan C (obat). Dalam metode KLT untuk
mengidentifikasi antalgin dalam jamu pegal linu yaitu dapat diamati
kromatogram berdasarkan perbandingan nilai Rf dari jamu dengan nilai Rf
baku pembanding yaitu antalgin.
Sebelum diketahui nilai Rf, masing-masing jamu pegal linu dan baku
pembanding ditotol pada lempeng KLT yang kami gunakan adalah Silika
GF 254. Setelah itu, dielusi dengan menggunakan methanol : kloroform :
asam asetat 20% dengan perbandingan 3 : 7 : 0,5. Kemudian, dihitung
nilai Rf nya.
Nilai Rf didapat dari perbandingan antara jarak titik pusat bercak dari
titik awal dengan jarak garis depan dari titik awal. Warna bercak dari
masing-masing sampel dan baku pembanding dapat dilihat di bawah
lampu UV 254 nm. Pada pengamatan lampu UV 254 nm, larutan A (jamu)
menunjukkan noda berwarna kuning dengan nilai Rf sebesar 0,465 cm.
Larutan B (jamu + antalgin) menunjukkan noda berwarna biru dengan nilai
Rf sebesar 0,232 cm. Larutan C (antalgin) menunjukkan noda berwarna
biru, tetapi memiliki bentuk yang tidak simetri atau tidak sesuai dengan
yang seharusnya. Sehingga, tidak diketahui jarak tempuh noda pada
larutan C. Pada pengamatan lampu UV 366 nm, larutan A (jamu)
menunjukkan hasil warna hijau terang, larutan B (jamu + antalgin) warna
hijau kabur, dan larutan C tidak menunjukkan warna.
Berdasarkan hasil tersebut, sampel jamu dapat dinyatakan negative
mengandung kandungan kimia obat antalgin karena memiliki warna noda
yang berbeda dengan antalgin.
Adapun tujuan penambahan bahan petroleum eter sebagai pelarut
non polar yang berfungsi menarik kandungan lipid pada sampel, etanol
70% sebagai pelarut polar yang digunakan untuk menyari senyawa pada
obat antalgin, eter sebagai pelarut polar yang digunakan untuk menyari
senyawa pada sampel.
Adapun faktor kesalahan pada percobaan ini adalah pada larutan
baku pembanding terdapat kesalahan dalam pembuatannya sehingga
larutan memiliki konsentrasi yang menyebabkan larutan tidak dapat
terbaca dengan baik pada KLT serta kurangnya ketelitian kami dalam
melakukan prosedur kerja.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada percobaan Analisis Obat Tradisional
adalah jamu pegal linu tidak mengandung bahan kimia obat antalgin yang
dianalisis dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis.
V.2 Saran
V.2.1 Saran Untuk Dosen
Sebaiknya tetap mempertahankan untuk selalu membimbing dan
mengawasi ketika sedang praktikum
V.2.2 Saran Untuk Asisten
Sebaiknya selalu menjaga kerjasama yang baik dengan praktikan
V.2.3 Saran Untuk Laboratorium
Sebaiknya selalu menyiapkan alat dan bahan
DAFTAR PUSTAKA
Badan POMRI, 2010, Acuan Sediaan Herbal, Vol.5, EdisiI, Direktorat Obat
Asli Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia, Jakarta, hal 30-31.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI).
2008. Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta:
BPOM RI, KOPER POM dan CV SagungSeto.
Fauziah, SS., Lestari, F., Lukmayani, Y., dan Aprilia H. Pengaruh
Pemberian Jamu Pegal Linu Mengandung Bahan Kimia Obat
(BKO) Terhadap Fungsi Hati Tikus Wistar Jantan. Prosiding
Penelitian SPeSIA Unisba, 2015, 96-103.
Yuliarti, N. 2010. Sehat, Cantik, Bugar, dengan Herbal dan Obat
Tradisional. Penerbit ANDI.
LAMPIRAN

Gambar Keterangan

Sampel jamu pegal linu

Penimbangan jamu

Penimbangan antalgin

Pembuatan Larutan A (jamu)

Pembuatan larutam B (jamu +


obat)
Pembuatan Larutan C (obat)

Pentotolan sampel pada lempeng


KLT

Hasil sinar UV 254 nm

Hasil sinar UV 366 nm

Anda mungkin juga menyukai