Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PENDAHULUAN

PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL


“OBAT TETES MATA”

OLEH:

KELOMPOK 2

STIFA B 017

ASISTEN : INES PATIUNG

PROGRAM STUDI STRATA SATU FARMASI


LABORATORIUM FARMASETIKA
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2020
1. Defenisi dari sediaan Obat Tetes Mata
 Menurut Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1979),
Obat tetes mata adalah sediaan steril yang berupa larutan atau suspensi,
yang digunakan untuk mata dengan cara meneteskan obat pada selaput
lendir mata disekitar kelopak mata dan bola mata
 Menurut Junaedi,2005, obat tetes mata adalah obat yang dapat mengatasi
gejala penyakit mata dan membantu seseorang yang mengalami iritasi
ringan yang disebabkan debu atau asap kendaraan bermotor dan obat ini
bervariasi mulai dari berbagai merk bahkan kegunaanya
 Menurut V. Nuraini Widjajanti. Obat tetes mata adalah sediaan steril
dimana bahan obat dilarutkan kedalam pelarut yang cocok dan disimpan
dalam tempat yang steril
2. Aturan Umum/ persyaratan/karakteristik
 Menurut purpitasari,2009. Beberapa syarat tetes mata adalah jernih, steril,
isotonik, isohidris, dan stabilitas. Pemberian etiket pada sediaan tetes
mataharus tertera tidak boleh digunakan lebih dari 1 bulan setelah ditutup
buka
 Menurut Voight 1994
a. Steril, pemakaian tetes mata yang terkontaminasi mikroorganisme dapat
menyebabkan rangsangan yang berat yang dapat menyebabkan
hilangnya daya penglihatan atau tetap terlukanya mata sehingg
diperlukan untuk menjaga sedian tetap dalam keadaan steril baik itu
dilakukan dengan sterilisasi uap atau sterilisasi akhir
b. Jernih, persyaratan yang dmaksudkan adalah untuk menghindari
rangsangan akibat bahan padat. Sebagai material penyaring digunakan
leburan gelas
c. Pengawetan, dengan adanya pengecualian sediaan yang digunakan pada
mata luka ataau untuk tujuan pembedahan dan dapat dibuat sebagai
obat bertakaran tunggal, maka obat tetes harus diawetkan
d. Tonisitas, sediaan tetes mata sebaiknya mendekati isotonis agar dapat
diterima tanpa adanya rasa nyeri dan tidak dapat menyebabkan
keluarnya air matayang dapaat mencuci keluar bahan obatnya
e. Viskositas dan aktivitas permukaan, tetes mata dalam air mempunyai
kerugian sehingga dapat ditekan keluar dar saluran konjunktival oleh
gerakan pelupuk mata oleh karena itu waktu kontaknya pada mata
menurun. Dengan adanya peningkatan viskositas dapat dicapai distribusi
bahan aktif yang lebih baik didalam cairan ddan waktu kontak yang lebih
panjang.
 Menurut Ansel, 2011
a. Pada umumnya diberikan dalam volume yang kecil.
b. Ukuran tiap tetes yang dimasukkan ke dalam larutan obat biasanya 50
µL (berdasarkan pada 20 tetes/mL) jadi tetesan yang dimasukkan
kebanyakan akan hilang.
c. Volume ideal dari larutan obat untuk dipakai, berdasarkan kapasitas
mata yaitu 5-10 µL.
d. Semua larutan untuk mata harus dibuat steril jika diberikan dan bila.
mungkin ditambahkan bahan pengawet yang cocok untuk menjamin
sterilitas selama pemakaian
3. Keuntungan dan kerugiaan
 Menurut RPS, 1585
1. Keuntungan
Larutan optalmik merupakan cara yang biasanya paling popular dari pemberian
obat pada mata. Seperti didefenisikan, semua bahan sepenuhnya dalam larutan,
keseragaman tidak menjadi masalah dan terdapat gangguan fisik sedikit dengan
daya penglihatan.
2. Kerugian
Kerugian dasar dari larutan ini adalah relatif mempunyai waktu kontak yang
singkat antara pengobatan dan absorbsi permukaan.
 Menurut Codex hal 163
a. Keuntungan
1. Memberikan efek lokal yang baik pada mata
2. Kelebihan suspensi dibandingkan larutan mata: suspensi mata memiliki kelebihan
dimana adanya artikel zat aktif dapat memperpanjang waktu tinggal pada mata
sehingga meningkatkan waktu terdisolusinya oleh air mata, sehingga terjadi
peningkatan bioavabilitas dan efek terapinya.
b. Kerugian
1. Waktu kontak sediaan dengan permukaan mata singkat. Retensi sangat
dipengaruhi oleh viskositas, konsentrasi ion hidrogen dan volume yang diberikan.
2. Bioavabilitas rendah karena dapat dipengaruhi oleh nasolacrimal drainage,
dayatampung mata yang rendah, dan efek kedipan mata.
3. Volume larutan yang dapat ditampung oleh mata sangat terbatas (7-8 μL), maka
larutan yang berlebih dapat masuk ke nasal cavity menghasilkan absorpsi sistemik
yang tidak diinginkan.
4. Kornea dan rongga mata sangat kurang tervaskularisasi, selain itu kapiler pada
retina dan iris relatif non permeabel sehingga menyebabkan terbatasnya difusi
obat dari darah ke aquueous and vitreous humours. Umumnya sediaan untuk
mata adalah efeknya lokak/topikal.
 Menurut Tan, 2010
a. Keuntungan
Persyaratan pembuatannya lebih ketat daripembuatan obat tetes lainnya
yakni selain isotonis larutan harus memenuhi derajat keasaman dansterilitas.
b. Kerugian
Tetes mata yang tidak isitonis dan memilikiph terlalu tinggi atau rendah
dibandingkan dengan cairan mata dapat merangsang dan merusak mata. Tetesan
yang tidak steril dapat mengakibatkan infeksi pada mata yang akhirnya bisa
mnyebabkan kebutaan.
4.Karakteristik dan anatomi jalur penetrasi sediaan mata
 Menurut Nerella dkk,2013
Penyerapan melalui kornea merupakan mekanisme utama terapeutik okuler
yang paling konvensional
1. Difusi pasif adalah mekanisme utama dalm penyerapan obat untuk insersi okular
yang tidak dapat diobati dengan obat yang terdispersi
2. Pelepasan terkontrol lebih lanjut dapat diatur oleh penyebaran bertahap obat
terdispersi padat dalam matriks ini sebagai hasil difusi kedalam larutan berair .
sistem pengiriman obat mata yang ada demikian cukup bagus dan tidak efesien
 Menurut The pharmaceutical,2017
Berikut organ utama mata yang berperan sebagai penetrasi sediaan mata yaitu:
1. Conjungtiva, terletak dibagian sisi mata yang bergabung dengan kornea dan
kelopak mata. Conjungtiva memiliki luas permukaan sekitar 18 cm yang
berfungsi dalam memproduksi dan mempertahankan air mata dan memiliki
permeabilitas difusi agen terapi yang lebih besar dari kornea mata
2. Cornea, kornea terdiri dari 3 lapisan yaitu
a. Epitelium, memiliki bentuk yang berlapis-lapis yang terdiri dari banyak lemak
b. Stroma, berbentuk matriks yang berair yang tersusun dari kolagen dan
keratosit
c. Endothelium, lapisan ini kaya akan lemak, sel tunggal pada epitelium yang
mempertahankan hidrasi pada kornea
Difusi obat kedalam mata dikontrol oleh kornea dan difusi terjadi
melalui rute paracelluler. Pada lapisan luar dan dalam lipid pada bagian
kornea dan bagian stroma yang berair yang berfungsi mengontrol difusi obat
masuk kedalam mata.
3. Cairan lakrimal, cairan ini dikeluarkan dari kelenjar dan terletak dipermukaan
mata.cairan makrimal memiliki Ph 7,4 dan memiliki kapasitas buffer yang baik,
mampu menetralkan sediaan secara efektif pada rentang pH 3,5-10,0. Cairan
lakrimal bersifat isotonik dengn darah yang diformulasikan dengan nilai tonisitas
yang setara yaitu 0,7% dan 1,5% dengan NaCl. Tingkat pergantia cairan lakrimal
adalah sekitar 1 mikroliter.
 Menurut Quanying Bao, dkk 2019

Anatomi dari mata manusia terdiri dari beberapa bagian yaitu:

a. Sklera f. Vitreous humor l. Vitreous fluid


b. Kornea g. Badan siliaris m. Optik
c. Pupil h. kloroid
d. Lensa i. retina
e. Iris k.fovea

Berikut adalah jalur penetrsi obat pada mata adalah:

a. Jalur topikal d. Jalur peribulbar g. Jalur otot rektus interior


b. Jalur subkonjungtiva e. Jalur rektus superior h. Jalur retrobulbar
c. Jalur sub-tenon f. Jalur intravitreal
5.Prafomulasi dan pewadahan
Preformulasi
 Menurut Turco, 1970
Kelarutan, stabilitas, pH stabilitas dan kapasitas dapar, kompatibilitas
dengan bahan lain dalam formula.
 Menurut Ansel 9th edition, 2011
Partikel tersuspensi tidak boleh berasosiasi menjadi partikel lebih besar
selama penyimpanan dan harus dapat diredistribusikan dengan mudah dan seragam
dengan pengocokan sebelum pemakaian.
 Menurut Fasttrack, 2008
PH dan kontrol pH formulasi okular adalah penentu penting dari stabilitas
agen terapeutik, penerimaan okular dari formulasi dan penyerapan obat melintasi
kornea. Idealnya pH formulasi harus yang memaksimalkan stabilitas kimia (dan, jika
diperlukan, penyerapan) dari formulasi.

Pewadahan

 Menurut scoville,1957
Wadah larutan mata sebaiknya digunakan dalam unit kecil, tidak lebih dari 15ml dan
lebih disukai yang berukuran kecil. Botol 7,5ml adalah ukuran yang baik untuk
pewadahan larutan mata. Penggunaan wadah kecil memperpendek waktu
pengobatan dan meminalkan jumlah pemaparan kontaminasi
 Menurut RPS 18th: 1590
Wadah gelas sediaan mata tradisional dengan dilengkapi penetas gelas telah
dilengkapi hampir sempurna dengan unit penetes polietilen densitas rendah yang
disebut droptainer. Hanya sejumlah kecil wadah gelas yang masih digunakan
biasanya karena pembatasan sterilitas. Larutan intraokuler volume besar 250-500 ml
yang telah dikemas dalam gelas tetapi bahkan sediaan parenteral mulai dikemas
dalam pabrik khusus wadah polietilen. Polietilen memiliki sifat yang densitasnya
rendah . wadah plastik adalah permeabel terhadap beberapa bahan termasuk
cahaya dan air. Wadaah plastik dapat mengandung variasi bahan-bahan ekstraneous
seperti bahan pelepas jamur, antioksidan. Wadah gelas memberikan bahan yang
baik untuk penyiapan untuk larutan mata. Wadah yang digunakan sebaiknya dicuci
dengan air destilasi dengan otoklaf. Penetes normal disterilkan dan dikemas dalam
blister pack yang baik
 Menurut (Aldrich, et al., 2013).
Larutan tetes mata dapat dikemas dalam wadah dosis ganda ketika ditujukan untuk
penggunaan individu. Wadah untuk sediaan tetes mata harus steril pada saat
mengisi dan menutup. Wadah langsung untuk sediaan mata disegel sehingga
sterilitas dipastikan pada saat penggunaan pertama. Kemasan yang digunakan pada
sediaan tetes mata tidak harus berinteraksi secara fisika atau kimia dengan formulasi
dengan cara apapun untuk mengubah kekuatan, kualitas, atau kemurnian produk
obat. Kemasan harus memenuhi persyaratan yang berlaku
6.Formula umum dan fungsi penggunaan bahan
 Menurut Mehul B. Vyas dan Samir, K. Shah, 2015 formula umum dari sedian steril
tetes mata terdiri dari
1. Zat aktif, contohnya naphazolie Hydrocloride dan Pheniramine Maleate
2. Peningkat Viskositas misalnya NaCMC dan HPMCE 4M
3. Pengisotonis, misalnya sodium clorida
4. Pengawet, misalnya benzalkonium clorida dan disodium edalate
5. pH adjust, misalnya NaOH
6. buffer, misalnya Phospate buffer
 Menurut sonali S.A dan Krisnha R.G,2016
1. Zat aktif, contohnya bepotastine besilate
2. Pengawet atau preservative, contohnya benzalkonium chloride
3. Tinicity modifer atau pengisotonis, contohnya sodium hydroxide
4. PH adjusting, contohnya hydrochlric acid dan hydrogen peroxide
 Menurut Prevesh Kumar dan Pawan Singh, 2018
1. Peningkat viskositas , misalnya sodium carboxy methyl cellulose
2. Pelarut, misalnya destilled water
3. pH adjusting, misalnya sodium hydroxide dan hydrochloric acid

7.Metode dan prosedur pembuatan


Metode
Menurut Ditjen POM. 1979)
1. Cara Sterilisasi Akhir
Cara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunakan dalam pembuatan
sediaan steril. Zat aktif harus stabil terhadap molekul air dan pada suhu sterilisasi.
2. Cara Aseptik
Cara ini terbatas penggunaannya pada sediaan yang mengandung zat aktif peka suhu tinggi
dan dapat mengakibatkan penguraian atau penurunan kerja farmakologinya.
Menurut Jenkins, G.L. 1969)
1. Sterilisasi Uap
Proses sterilisasi menggunakan uap jenuh di bawah tekanan berlangsung di suatu bejana
yang disebut autoklaf.
2. Sterilisasi Panas Kering
Proses sterilisasi ternal untuk bahan yang tertera di farmakope dengan menggunakan panas
kering biasanya dilakukan dengan suatu proses bets dalam suatu oven yang didesain khusus
untuk tujuan tersebut
3. Sterilisasi Gas
4. Sterilisasi dengan Radiasi Ion
5. Sterilisasi dengan Penyaringan

Menurut King, R.E,. 1984

1. Sterilisasi Basah (autoklaf)


Tahan panas (121°C selama 15 menit) dan tahan lembab, cairan bercampur dengan air,
wadah dapat ditembus oleh air.
2. Sterilisasi Panas Kering (oven)
Tahan panas (170°C selama 1 jam) tidak tahan lembab, cairan tidak bercampur dengan air.
3. Filtasi menggunakan membrane
Tidak tahan panas berbentuk cairan tidak dapat digunakan untuk wadah.
4. Iridasi (gamma, elektron)
Memiliki ikatan molekul stabil terhadap radiasi.
5. Sterilisasi gas
Wasah polimer harus permeable terhadap udara, uap, air, gas

Cara Pembuatan

Menurut Tim MGMP pati, 2019

1. Obat dilarutkan kedalam salah satu zat pembawa yang mengandung salah satu
zat pengawet, dijernihkan dengan cara penyaringan, masukkan kedalam wadah,
tutup wadah dan sterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 115 derajat
cellcius-116 derajat cellcius
2. Obat dilarutkan kedalam cairan pembawa berair yang mengandung salah satu
zat pengawet dan disterilkan meggunakan bakteri filter masukkan kedalm
wadah secara teknik aseptis da tutup rapat
3. Obat dilarutkan kedalam cairanpembawa berair yang mengandung salah satu
zat pengawet, dijernihkan dengan cara pnyaringan, masukkan kedalam wadah ,
tutup rapat dn sterilkan dengan penambahan bakterisid, dipanaskan pada suhu
98-100 derajat cellcius selama 30 menit

Menurut Hardjasaputra, S.L. Purwanto, Dr. dkk. 2002)

1. Timbang semua bahan pada kaca arlogi sesuai dengan formula dan segera dilarutkan dengan
menggunakan aquades secukupnya.
2. Jika terdapat beberapa bahan maka segera lartkan satu bahan sebelum menimbang bahan
berikutnya.
3. Masukkan semua bahan kedalam gelas piala yang dilengkapi batang pengaduk, dan
tambahkan aquadest hingga larut, bilas kaca arloji dengan aquadest minimal dua kali.
4. Setelah semua bahan larut, tuang larutan tersebut kedalam gelas ukur hingga volume
tertentu dibawah volume akhir yang diinginkan.
5. Basahi terlebih dahulu kertas saring lipat rangkap 2 dengan menggunakan aquadest . Air
pembasah ditempatkan dalam suatu Erlenmeyer.
6. Saring larutan dalam gelas ukur kedalam Erlenmeyer bersih dan steril melalui corong dan
kertas saring kedalam Erlenmeyer yang berisi filter larutan sebelumnya.
7. Bilas gelas piala dengan aquadest , tuang hasil bilasan kedalam gelas ukur dan saring
kedalam Erlenmeyer yang berisi filtrate larutan sebelumnya.
8. Saring kembali larutan yang telah tersaring melalui saringan G3 kedalam kolom reservoir.
9. Pengemasan dilakukan sesuai dengan proses sterilisasi akhir
8.Evaluasi sediaan
 Menurut Mehul B. Vyas, daval patel dkk, 2015 evaluasi sedian obat tetes mata
terdiri dari:
1. Evaluasi kejelasan: evaluasi ini dilakukan dengan inspeksi visual setiap
wadah dan mengukur indeks bias dengan menggunakan refraktometer
pada suhu 25 derajat celcius
2. Evaluasi pH :evaluasi ini dilakukan dengan menyiapkan larutan kental
dan diukur dengan menggunakan pH meter
3. Evaluasi Viskositas: evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan alat
batch F1 -F9 brookfield viskometer dengan RPM yang berbeda
4. Evaluasi osmolaritas: evaluasi ini dilakukan dengan cara
mengoptimalkan sediaan dengan menggunakan tekanan uap
osmometer pada suhu kamar
5. Evaluasi mukoadhesi: evaluasi ini diakukan dengan menggunakan
metode mengukur indeks mukoadhesi. Dimana penyebaran mucin
disiapkan dengan mendispersikan bubuk mucin ke dalam buffer fosfat
dengan pH 7,4 dan diaduk dengan magnetik pada 600 rpm selama 24
jam
6. Evaluasi sterilisasi: evaluasi dilakukan untuk menganalisa bakteri
aerobik dan anaerob dan jamur dengan menggunakan medium
tioglikolat ( ATGM ) dan medium kasein kedelai ( SBCD). Pada kontrol
positif dan tes kontrol negatif digunakan Bacillus subtilis sebagai
organisme dalam pengujian uji bakteri aerob dan bakteri desvulgatus
digunakan dalam pengujian bakteri anaerob dan bakteri candida
albicans digunakan dalam pengujian jamur. Kemudian dilakukan
nokulasi secara terpisah kedalam media ATGM dan SBCD dan diinkubasi
pada suhu 35 derajat cellcius dan 20-25 derajat cellcius selama 7 hari
7. Uji antimikroba: uji ini dilakukan dengan USP. Dimana kultur bakteri dan
kultur jamur yang digunakan ditanam kedalam media agar padat
masing-masing
8. Uji stabiltas: uji stabilitas dilakukan dengan pedoman ICH.formulasi yang
dioptimalkaan disimpaan dalam ruangan pada suhu dan kelembapan
tertentu ( 40 derajat celcius dan 75% RH) selama satu bulan. Pada
satabilitas kimia dinilai dari estimasi persentase sisa obat dalam
formulasi dan stabilitas fiski dievaluasi dengan adanya perubahan pH ,
viskositas, dan penampilan
 Menurut Prevesh Kumar; Pawan Singh,2018
1. Evaluasi kejelasan: evaluasi ini dilakukan dengan inspeksi visual setiap
wadah dan mengukur indeks bias dengan menggunakan refraktometer
pada suhu 25 derajat celcius
2. Evaluasi Ph: evaluasi ini dilakukan dengan menyiapkan larutan kental
kemudian diukur dengan menggunakan pH meter
3. Evaluasi Viskositas: evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan batch
F1-F3 oleh Brookfield viscometer dengan RPM yang berbeda
4. Uji stabiltas: uji stabilitas dilakukan dengan pedoman ICH.formulasi yang
dioptimalkaan disimpaan dalam ruangan pada suhu dan kelembapan
tertentu ( 40 derajat celcius dan 75% RH) selama satu bulan. Pada
satabilitas kimia dinilai dari estimasi persentase sisa obat dalam
formulasi dan stabilitas fisi dievaluasi dengan adanya perubahan pH ,
viskositas, dan penampilan
 Menurut Sonali, S.A dan Krisnha R.G, 2016
1. Evaluasi penampilan, pada evaluasi in sampel yang diuji diperiksa secara
visual dari segi warna dan kejernihannya
2. Evaluasi pH, pada evaluasi ini sampel yang digunakan di uji kadar pH
sesuai dengan pH mata dengan menggunakan pengukur pH digital
3. Evaluasi isotonisitas, evaluasi isotonitas merupakan karakteristik yang
penting dalam sedian steril. Pada formulasi, isotinitas harus dipertahankan
untuk mencegah adanya kerusakan jaringan mata. Pada pengujian
isotonitas sampel dicampur dengan tetes darah diamati dibawah
mikroskop pada pembesaran 45x dan dibandingkan dengan NaCl ,9% yang
mengambaran sifat isotonik
4. Evaluasi pengukuran drop, pada evaluasi ini bertujuan untuk
mengevaluasi ini bertujuan untuk mengkonfirmasi sediaan yang diuji
memiliki ukuran drop yang cukup untuk memberikan jumlah obat yang
efektif secara terapI
DAFTAR PUSTAKA

Aldrich,D.S.,C.M.Bach,W.Brown et al.2013. Opthalamic preparations


Ansel, H.C. 2011. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Pres
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III,XXXIV.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia . Jakarta
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Depkes RI : Jakarta.
Drs. Tan H.T dan Drs. Kirana Rahardja.2010. Obat-obat sederhana untuk
gangguan sehari-hari: PT elex media komputindo. Jakarta.
Hardjasaputra, S.L. Purwanto, Dr. dkk. 2002. Data Obat Indonesia (DOI),Jenkins, G.L. 1969.

Junaedi.2005. Mata Segalanya, Bandung. Dunia sehat


King, R.E,. 1984. Dispensing of Medication, Ninth Edition. Marck Publishing Company :
Philadelphia
Puspitasari, F., 2009. Penetapan Kadar Kloramfenikol dalam Tetes Mata Pada Sediaan Generik dan
Paten secara Kromtografi Cair Kinerja Tinggi. Fakultas farmasi. Universitas Muhammadiyah
Porwukerto
Quanying Bao,dkk.2017. Physicochemical Attributes and Dissulution Testing of Ophtlamic Ointmens.
University Of Connecticut School Pharmacy. HHS Public Acces
Scoville’s : the Art of Compounding, Burgess Publishing Co, USA edisi 10. Grafidian

Turco, S., dkk., 1970. Sterile Dosage Forms, Lea and Febiger, Philadelphia.
U.S.Pharmacopeia
Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.

Widjajanti Nuraini .1988.Obat-obatan. Kanisius(anggota IKAPI).

Anda mungkin juga menyukai