Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PERCOBAAN 7

Efek Obat Diuretik Pada Tikus

DI SUSUN OLEH :

Nama : Sintia

NIM : 170106044

Dosen Pengampu : Apt. Abdurahman Ridho, M. Farm


Asisten : Riska Permatasari

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

PROGRAM STUDI FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Praktikum

Mampu menghitung dosis obat diuretik pada hewan uji dan


mempelajari bagaimana kerja dan efek obat diuretik pada hewan uji.

1.2 Prinsip

Berdasarkan pemberian suatu induktor dan obat diuretik pada hewan


uji (Tikus) yaitu fenobarbital dan furosemide dengan melihat bagaimana kerja
dan efek obat diuretik pada hewan uji melalui urin yang dihasilkan dan
diamati selama 6 jam.

2
BAB II

TEORI DASAR

2.1 Teori Dasar

Diuretik merupakan obat yang dapat menambah kecepatan


pembentukan urin. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, yaitu pertama
menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang
kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air.
Diuretik memiliki fungsi utama yaitu memobilisasi cairan edema, yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstrasel kembali menjadi normal (Nurihardiyanti et al., 2015).
Diuretik berperan dalam penurunan tekanan darah yang terjadi setelah
penggunaan senyawa ini berlangsung 2 fase. Penurunan tekanan darah mula-
mula terjadi akibat peningkatan eksresi natrium. Konsentrasi ion natrium
terjadi penurunan akibatnya volume plasma dan volume menit jantung akan
turun, sebaliknya tekanan perifer (secara reflektoris) agak naik. Pada fase
kedua, volume plasma akan dinormalkan kembali dan eksresi natrium akan
hampir sama dengan harga awal terapi. Penurunan tekanan darah pada fase ini
kemungkinan terutama disebabkan oleh kurangnya kandungan natrium dalam
dinding pembuluh. Tetapi pada umumnya yang digunakan dalam menangani
hipertensi adalah dengan menggunakan obat-obatan sintetis seperti furosemide
(Nurihardiyanti et al., 2015).
Proses diuresis bertujuan memobilisasi cairan yang berlebihan dalam
tubuh, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga
volume cairan ekstrasel, baik intravaskuler, maupun interstisiel, kembali
menjadi normal. Obat – obat diuretik mekanisme kerjanya antara lain
menurunkan atau menghambat reabsorbsi Na+ dan ion lainnya seperti Cl-,
Salah satunya adalah Furosemid, yang merupakan obat diuretik. Obat ini
mempunyai efek diuretika yang kuat (Iswdhani et al., 2019).
Diuretik kuat mencakup sekelompok diuretik yang efeknya sangat kuat
dibandingkan dengan diuretik lain. Tempat kerja utamanya dibagian epitel

3
tebal lengkung henle bagian asenden, oleh karena itu golongan obat ini disebut
juga sebagai loop diuretic. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah
furosemid, toremid, asam etakrinat, dan bumetanid (Sulistia, 2016).
Furosemid merupakan loop diuretic yang bekerja secara reversibel
dengan melekat pada situs pengikat klorida kotransporter Na+Cl-K+ di
membran sel luminal pada segmen tebal ansa henle. Kotransporter ini
bertanggung jawab untuk transpor natrium dari saluran kemih ke dalam sel
tubulus melalui perbedaan konsentrasi. Efek utama penutupan kotransporter
ini adalah mengurangi reabsorbsi sodium sebanyak 20- 30%, sehingga
akhirnya terjadi diuresis. Furosemid juga berperan sebagai penghambat
reabsorbsi natrium pada tubulus proksimal melalui blokade karbonik
anhydrase (Utami dan Taralan, 2017).
Mekanisme kerja obat diuretic loop adalah meningkatkan aliran
natrium ke tubulus distal sehingga memungkinkan ekskresi kalium. Hal ini
bermanfaat untuk menurunkan komplikasi hiperkalemia pada Penyakit ginjal
kronik terutama pasien dengan agen antihipertensi ACEI atau ARB. Efek
samping penggunaan diuretic loop antara lain hiperurisemia dan gout,
hiperglikemia dan peningkatan LDL kolesterol (Fajriansyah dan Nisa, 2017).
Furosemid dapat digunakan untuk edema paru, gagal jantung
kongestif, serta penyakit ginjal. Efek yang tidak diharapkan dari furosemid
adalah gangguan elektrolit, hipovolemia dan hipotensi, tinitus hingga ketulian.
Efek samping furosemid adalah gangguan saluran cerna, pankreatitis,
ensefalopati hepatik, hipotensi postural, hiperglikemia, retensio urin,
gangguan elektrolit (hiponatremia, hipokalemia), peningkatan ekskresi
kalsium, nefrolitiasis, hipokloremia, hipomagnesemia, alkalosis metabolik,
depresi sumsum tulang, hiperurisemia, gangguan penglihatan, ruam dan
fotosensitivitas (Utami dan Taralan, 2017).

4
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

No. Nama Alat Fungsi


1. Sarung tangan Untuk mengurangi kontaminasi langsung
dengan tikus/mencit. Karena ditakutkan
adanya bakteri pada tubuh hewan tersebut.
Kemudian untuk menjaga agar bila
menggigit tidak langsung terkena kulit
tangan kita, akan tetapi terkena sarung
tangannya lebih dahulu.
2. Masker Untuk melindungi hidung ataupun mulut
agar tidak terpapar oleh kuman atau
bakteri yang ada pada tikus/mencit.
Sehingga kuman atau bakteri tersebut
tidak akan masuk ke dalam tubuh.
3. Batang pengaduk Untuk mengaduk larutan Furosemid dan
Fenobarbital
4. Beaker Untuk menampung larutan Furosemid,
Fenobarbital dan urin
5. Gelas ukur Untuk mengukur volume aqua destilat dan
urin
6. Hot plate Untuk memanaskan aqua destilat
7. Kandang urinasi Tempat untuk uji diuretik pada hewan uji
8. Spuit 1 mL Untuk menginduksi secara IM
9. Jarum Sonde Untuk memasukkan obat secara per oral
9. Timbangan hewan Untuk menimbang hewan uji

5
3.1.2 Bahan

No. Nama Bahan Fungsi


1. Alkohol 70% Ketika digigit oleh hewan uji, alkohol
dapat menghentikan proses pendarahan
yang berlangsung
2. Hand sanitizer Untuk desinfeksi agar kuman atau bakteri
yang ada pada mencit dan tikus tidak
masuk ke dalam tubuh
3. Mencit/ tikus Sebagai hewan uji dalam praktikum
anastesi umum
4. Aqua destilat Untuk melarutkan Na-CMC, Tablet
furosemide dan fenobarbital
5. Na CMC Sebagai larutan uji untuk kelompok
negatif (2 mL/200 g tikus per oral)
6. Tablet furosemide Sebagai obat untuk diuretika bagi
kelompok uji 40 mg (obat: 2 mL/200 g
tikus per oral)
7. Fenobarbital Sebagai induktor untuk kelompok uji
(induktor: 0,1 mL/200 gr tikus per IM)

3.2 Prosedur

Disiapkan alat dan bahan. Kemudian kedua hewan dibagi menjadi 2


kelompok. Kelompok 1 sebagai kelompok negatif, kelompok 2 sebagai
kelompok uji. Selanjutnya dilakukan penimbangan hewan uji dan perhitungan
dosis obat yang perlu diberikan kepada hewan uji. Lalu Kelompok 1 diberikan
CMC 2 mL/200 g tikus secara per oral. Kelompok 2 diinduksi dengan
induktor fenobarbital 0,1 mL/200 g tikus secara intra muskular dan diberikan
obat furosemid 2 mL/200 g tikus secara per oral. Setelah itu dilakukan
pengamatan dalam tiap jam volume urin yang ditampung pada tiap kelompok
tikus selama 6 jam. Lalu dilakukan pendataan volume urin dilakukan analisa
efek diuretik yang terjadi pada masing-masing kelompok.

6
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Data Hasil Volume Urin pada Tikus

Tabel 1. Data Hasil Volume Urin Tikus Tiap Jam (mL)

Perlakuan Volume Urin Tiap Jam (mL)


1 2 3 4 5 6
Kelompok negatif 0,11 0,21 0,34 0,65 1,12 1,76
(suspensi CMC 1 %)
Kelompok uji 3,59 4,25 5,56 6,69 7,98 9,75
(Furosemid 40 mg)

Grafik 1. Perbandingan Volume Urin Tiap Waktu Pengamatan

Perbandingan Volume Urin Tiap Waktu Pengamatan


12
10
8
6
4
2
0
1 2 3 4 5 6
Kelompok Negatif
0.11 0.21 0.34 0.65 1.12 1.76
(Suspensi CMC 1%)
Kelompok Uji (Furosemid
3.59 4.26 5.56 6.69 7.98 9.75
40 mg)

Kelompok Negatif (Suspensi CMC 1%) Kelompok Uji (Furosemid 40 mg)

7
4.2 Pembahasan

Pada praktikum ini dilakukan percobaan mengenai efek obat diuretik


pada tikus, dengan tujuan agar mampu menghitung dosis obat diuretik pada
hewan uji dan mempelajari bagaimana kerja dan efek obat diuretik pada
hewan uji.
Obat diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan
pembentukan urine dan penambahan volume urine. Fungsi utama obat – obat
diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel
menjadi normal. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam
glomeruli (gumpalan kapiler) yang terletak di bagian luar ginjal (cortekx).
Dinding glomeruli inilah yang bekerja sebagai saringan halus yang secara
pasif dapat dilintasi air, garam dan glukosa (Iswidhani et al., 2019).
Ultrafiltrat yang diperoleh dari filtrasi dan mengandung banyak air
serta elektrolit ditampung di wadah yang mengelilingi setiap glomerulus
seperti corong (kapsul Bowman) dan kemudian disalurkan ke pipa kecil. Pada
bagian ini terjadi penarikan kembali cairan secara aktif dari air dan komponen
yang sangat penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam – garam antara lain
ion Natrium. Zat – zat ini dikembalikan pada darah melalui kapiler yang
mengelilingi tubuli, sisa cairan yang tidak berguna sebagian besar tidak
diserap kembali ditampung pada ductus coligens, filtrat akhir disalurkan ke
kandung kemih dan ditimbun dan dikeluarkan sebagai urine (Iswidhani et al.,
2019).
Proses diuresis bertujuan memobilisasi cairan yang berlebihan dalam
tubuh, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga
volume cairan ekstrasel, baik intravaskuler, maupun interstisiel, kembali
menjadi normal. Obat – obat diuretik mekanisme kerjanya antara lain
menurunkan atau menghambat reabsorbsi Na+ dan ion lainnya seperti Cl-,
Salah satunya adalah Furosemid, yang merupakan obat diuretik. Obat ini
mempunyai efek diuretika yang kuat (Iswidhani et al., 2019).
Dalam praktikum ini dilakukan pemberian obat diuretik terhadap
hewan uji yaitu tikus berdasarkan pemberian suatu induktor dan obat diuretik

8
pada hewan uji (Tikus) yaitu fenobarbital dan furosemide dengan melihat
bagaimana kerja dan efek obat diuretik pada hewan uji melalui urin yang
dihasilkan dan diamati selama 6 jam.
Tikus dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama
merupakan kelompok negatif yang hanya diberikan Suspensi CMC 1%.
Sedangkan kelompok kedua merupakan kelompok uji yang diberikan induktor
yaitu fenobarbital dan obat diuretik yaitu furosemide.
Furosemid merupakan loop diuretic yang bekerja secara reversibel
dengan melekat pada situs pengikat klorida kotransporter Na+Cl-K+ di
membran sel luminal pada segmen tebal ansa henle. Kotransporter ini
bertanggung jawab untuk transpor natrium dari saluran kemih ke dalam sel
tubulus melalui perbedaan konsentrasi. Efek utama penutupan kotransporter
ini adalah mengurangi reabsorbsi sodium sebanyak 20- 30%, sehingga
akhirnya terjadi diuresis. Furosemid juga berperan sebagai penghambat
reabsorbsi natrium pada tubulus proksimal melalui blokade karbonik
anhydrase (Utami dan Taralan, 2017).
Na-CMC diberikan pada tikus kelompok negatif karena tidak memiliki
pengaruh terhadap hewan uji dan tidak memiliki efek diuretika.
Fenobarbital diberikan pada tikus kelompok uji karena sebagai
induktor yang bekerja dengan menekan neuron abnormal secara selektif,
menghambat penyebaran dan rangsangan depolarisasi dengan cara menyekat
kanal Ca2+, memperlama pembukaan kanal Cl- dan menyekat respon
eksikatorik yang diinduksi oleh glutamat sehingga tikus mengalami diuretis.
Prosedur pertama untuk kelompok negatif, disiapkan alat dan bahan.
dilakukan penimbangan hewan uji dan perhitungan dosis obat yang perlu
diberikan kepada hewan uji agar dapat mengetahui berat serta dosis obat yang
perlu diberikan pada tikus. Lalu pada kelompok 1 diberikan CMC 2 mL/200 g
tikus secara per oral dengan cara memasukkan ke dalam mulut tikus
menggunakan sonde oral. Setelah itu dilakukan pengamatan dalam tiap jam
volume urin yang ditampung pada tiap kelompok tikus selama 6 jam.
Selanjutnya dilakukan pendataan volume urin dilakukan analisa efek diuretik
yang terjadi.

9
Prosedur kedua untuk kelompok uji, disiapkan alat dan bahan.
dilakukan penimbangan hewan uji dan perhitungan dosis obat yang perlu
diberikan kepada hewan uji agar dapat mengetahui berat serta dosis obat yang
perlu diberikan pada tikus. Lalu pada kelompok 2 diinduksi dengan induktor
fenobarbital 0,1 mL/200 g tikus secara intra muscular menggunakan spuit dan
diberikan obat furosemid 2 mL/200 g tikus secara per oral dengan cara
memasukkan ke dalam mulut tikus menggunakan sonde oral. Setelah itu
dilakukan pengamatan dalam tiap jam volume urin yang ditampung pada tiap
kelompok tikus selama 6 jam. Selanjutnya dilakukan pendataan volume urin
dilakukan analisa efek diuretik yang terjadi.

Pada tikus kelompok negatif, hasil praktikum yang didapatkan di


dalam Tabel. 1 mengenai data hasil volume urin tikus tiap jam (mL), hasil
urin yang dihasilkan diamati setiap 1 jam selama 6 jam. Maka didapatkan hasil
secara berturut-turut pada jam ke 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 adalah 0,11 mL; 0,21 mL;
0,34 mL; 0,65 mL; 1,12 mL; dan 1,76 mL.

Pada tikus kelompok uji, hasil praktikum yang didapatkan di dalam


Tabel. 1 mengenai data hasil volume urin tikus tiap jam (mL), hasil urin yang
dihasilkan diamati setiap 1 jam selama 6 jam. Maka didapatkan hasil secara
berturut-turut pada jam ke 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 adalah 3,59 mL; 4,25 mL; 5,56
mL; 6,69 mL; 7,98 mL; dan 9,75 mL.

Berdasarkan Grafik. 1 mengenai perbandingan volume urin tiap waktu


pengamatan, didapatkan hasil pada setiap kelompok uji yang berbeda-beda.
Pada kelompok negatif yang hanya diberikan Na-CMC didapatkan hasil urin
yang bertambah volume setiap jam nya, tetapi volume yang dihasilkan tidak
sebanyak pada kelompok uji yang sebelumnya diberikan induktor fenobarbital
dan obat diuretik. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pemberian obat diuretik
akan meningkatkan pengeluaran urin dan sesuai dengan mekanisme kerja
Furosemid. Dimana furosemid merupakan obat diuretik kuat. Furosemid
adalah obat yang berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6 jam).
Mekanisme kerjanya pada lengkungan henle dengan cara mereabsorsi kurang
lebih 25% semua ion yang telah difiltrasi secara aktif kemudian disusul

10
dengan reabsorbsi pasif dari dan tetapi pengeluaran air juga diperbanyak.
Awal tindakan setelah oral adalah dalam waktu satu jam, dan diuresis
berlangsung sekitar 6-8 jam, waktu paruhnya tergantung pada fungsi ginjal
biasanya waktu paruh obat ini 2 hari. Obat furosemid mudah diserap melalui
saluran cerna. Bioavabilitas furosemid 65% diuretik kuat terikat pada protein
plasma secara ekstensif sehingga tidak difiltrasi di glomerolus tetapi cepat
sekali disekresi melalui system transport asam organik ditubuli proksimal.
Dengan cara ini obat ini terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di
tempat kerja di daerah yang lebih distal lagi.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat diuretik yaitu dosis
yang diberikan tepat/sesuai dan berat badan kedua tikus yang bertujuan untuk
meminimalisir hasil yang tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan literatur
seperti pada saat akan dilakukan pemberian obat secara oral dan intramuskular
sebisa mungkin apa yang akan diberikan pada tikus baik itu Na-CMC,
Fenobarbital dan Furosemid tidak tumpah sehingga tidak akan mengurangi
dosis serta tercapai efek atau hasil yang diharapkan dalam percobaan ini.

11
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


praktikan mampu menghitung dosis obat diuretik pada hewan uji dan
mempelajari bagaimana kerja dan efek obat diuretik pada hewan uji. Dimana
pada dua kelompok yang diberikan larutan kontrol Na-CMC, induksi
fenobarbital dan obat diuretik furosemide 40 mg dan diamati selama 6 jam,
memiliki aktivitas diuretik yang ditandai dengan jumlah urin yang dihasilkan
kelompok uji lebih banyak dibandingkan dengan jumlah urin yang dihasilkan
kelompok negatif.

12
DAFTAR PUSTAKA

Fajriansyah., Nisa, M. (2017). Evaluasi Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat


Antihipertensi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Lanjut Usia. Jurnal
Ilmiah Manuntung. Vol 3 (2), pp. 178-185.

Iswidhani., Maruni, W. D., Nurhidayati., Yunan. J. (2019). Efek Diuretik Daun


Dan Buah Kacang Panjang (Vigna sinensis var. Sesquipedalis) pada
Hewan Coba Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar. Jurnal
Analisis Medika Biosains (JAMBS). Vol 2 (1), pp. 1-12.

Nurihardiyanti, Yuliet, Ihwan. (2015). Aktivitas Diuretik Kombinasi Ekstrak Biji


Pepaya (Carica papaya L) dan Biji Salak (Salacca zalacca varietas
zalacca (Gaert.)Voss) pada Tikus Jantan Galur Wistar (Rattus norvegicus
L). GALENIKA Journal of Pharmacy. Vol 1 (2), pp. 105-112.

Sulistia Gan Gunawan. (2016). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Universitas


Indonesia.

Utami, M. D dan Taralan, T. (2017). Transfusi Albumin dan Furosemid pada


Sindrom Nefrotik Anak dengan Edema. Sari Pediatri. Vol 18 (6), pp. 498-
503.

13

Anda mungkin juga menyukai