Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI VETERINER

Laksatif dan Antidiare

Oleh:

Nama : Florencia Chandrika Halim


NIM : 185130100111057
Kelas : 2018 C / C8
Asisten : Regina Dinda Rahmayanti

LABORATORIUM FARMAKOLOGI VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Anggraeni (2016), konstipasi merupakan gangguan motilitas pada
usus, perubahan pada konsistensi feses, serta kesulitan defekasi. Ditandai dengan
frekuensi buang air yang tidak mencapai batas normal, feses yang keras, kering, dan
kecil sehingga timbul rasa sakit dan kesulitan saat melakukan defekasi. Lebih lanjut
menurut Keraru (2017), terdapat faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi, yakni:
kurangnya konsumsi serat sehingga feses kurang bermasasa, konsistensi feses rendah,
dan sulitnya pengeluaran feses; selanjutnya disebabkan oleh kurangnya cairan yang
masuk ke dalam tubuh, kurang beraktivitas atau berolahraga, pengaruh obat-obatan,
perubahan pola hidup seperti kehamilan, penuaan serta perjalanan, perubahan motilitas
kolon yang disebabkan emosi (stres), penyalahgunaan laksatif, mengabaikan keinginan
defekasi, dan penyakit atau kelainan atau gangguan tertentu.
Menurut Keraru (2017), laksatif merupakan obat yang mengatasi gangguan
konstipasi dengan memfasilitasi defekasi, caranya dengan meningkatkan kadar cairan
dalam usus sehingga akan merangsang pergerakan dalam usus. Laksatif akan
meningkatkan berat feses karena bersifat mengabsorpsi air sehingga mempercepat
propulsi massa yakni gerakan mendorong tinja atau feses. Laksatif bekerja pada
beberapa bagian usus dan memberikan efek pada sekresi cairan, serta merangsang
pergerakan pada bagian lainnya.
Terdapat beberapa penyebab diare menurut Shaleh (2016), yakni: infeksi
parasit seperti amebiasis, balantidiasis, helmintiasis, atau infeksi bakteri seperti
slmonellosis, tuberculous, serta infeksi oleh virus yang berada pada GIT (virus
gastroenteritis). Selain itu juga dapat disebabkan oleh keracunan makanan akibat racun
dari bakteri ataupun racun yang dikeluarkan oleh makanan itu sendiri. Selanjutnya
akibat obat-obatan misalnya post antibiotik, serta diare yang penyebabnya tidak
diketahui seperti pseudomembranous enterocolitis.
Menurut Shaleh (2016), diare ditandai dengan defekasi yang kandungan
airnya tinggi, disertai peningkatan volume dan frekuensi defekasi yang tinggi. Diare
dipengaruhi oleh konsistensi feses dan atau motiltias usus. Konsistensi feses yang
terbentuk dipengaruhi oleh beberapa hal seperti adanya gangguan proses mekanik dan
enzimatik yang disertai gangguan pada mukosa sehingga mempengaruhi pertukaran air
dan elektrolit. Terjadinya diare disebabkan oleh gangguan keseimbangan air dan
elektrolit dengan beberapa patofisiologi, seperti: perubahan transport ion aktif akibat
penurunan absropsi natrium atau peningkatan sekresi klorida; perubahan motilitas usus;
peningkatan osmolaritas luminal; serta peningkatan tekanan hidrostaltik jaringan.
Menurut Musdar (2012), obat antidiare bekerja dengan melepaskan kejang-
kejang otot yang menyebabkan nyeri perut. Ada pula yang bekerja secara intralumen,
yang bekerja dengan menyerap air, adsorbens, bahan berserta, serta bahan pembentuk
rasa. Biasanya antidiare bekerja dengan menurunkan motilitas saluran pencernaan, serta
mempengaruhi trasnfer elektrolit. Pengobatan diare juga menggunakan terapi supportif
dengan pemberian oralit untuk mencegah dehidrasi, pengobatan ini merupakan yang
paling dini untuk mengobati diare adalah mencegah dan mengatasi dehidrasi serta
kehilangan garam, dengan memberikan garam rehidrasi oral untuk menstimulus
transpor Na dan air melalui dinding usus.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah:
1.2.1 Mengetahui respon pemberian obat laksatif dan antidiare.
1.2.2 Mahasiswa dapat melakukan monitoring kondisi klinis setelah pemberian
laksansia dan antidiare.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Loperamide


2.1.1 Farmakodinamik
Menurut Shaleh (2016), loperamide bekerja seperti defenoksilat yang
memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan
longitudinal usus. Bekerja dengan efek seperti opiod pada susu yakni dengan
mengaktifkan reseptor opiod presinaptik di dalam sistem saraf enterik agar pelepasan
asetilkolin terhambat, dan gerakan peristaltik menurun.
2.1.2 Farmakokinetik
Menurut Shaleh (2016), loperamid memiliki kadar puncak di dalam plasma
hingga 4 jam sesudah obat dikonsumsi. Masa laten yang lama disebabkan oleh
terjadinya motilitas salurannya cerna yang terhambar dan obat tersebut mengalami
sirkulsi enterohepatik. Waktu paruh dari loperamid adalah 7-14 jam.Obat ini
dieskresikan bersama dengan feses.
2.1.3 Dosis
Menurut Meredith (2017), pada mamlia seperti primata dosis yang diberikan
adalah 0,04 mg/kg secara peroral, pada feret 0,2 mg/kg secara peroral, pada rodentsia
0,1 mg/kg secara peroral. Sedangkan pada hewan lainnya belum ada informasi lebih
lanjut.
2.1.4 Efek Samping
Menurut Shaleh (2016), efek samping yang biasanya terjadi adalah kolik
abdomen.
2.2 Obat Bisacodyl
2.2.1 Farmakodinamik
Menurut Anggraeni (2016), bisakodil bereaksi di kolon degan menginisiasi
mekanisme sehingga terjadi laksasi dan sekresi. Bisakodil emnghalangi absorpsi pada
kolon dengan aktivasi adenilat siklase pada entrosit sehingga cAMP meningkat dan
berakibat pada terjadinya sekresi dari Cl- dan HCO3-, sehingga air dan elektrolit (Na+
dan K+) keluar dan mempengaruhi inisiasi dari pengosongan kolon. Penurunan ekspresi
aquaporin menurunkan trasnpor air pada usus dehingga kandungan air yang emningkat
akan menginisiasi motilitas dan defekasi menjadi lebih mudah.
2.2.2 Farmakokinetik
Menurut Anggraeni (2016), bisakodil dieksresikan melalui empedu dan
direhidrolisis menjadi difenol yang akan merangsang motiltias usus pesar. Onset
kerjanya timbul 6-12 jam setelah diberikan melalui peroral, atau 15 menit hingga 1 jam
setelah diberikan melalui rektal. Bisakodil diabsorpsi sektiar 5% dan dieskresikan
bersama urin dalam bentuk glukoronid, namun dieksresikan terutama dalam bentuk
feses.
2.2.3 Dosis
Menurut Anggraeni (2016), dosis bisakodil untuk mencit adalah 100 mg/kg BB.
2.2.4 Efek Samping
Menurut Anggraeni (2016), kram perut merupakan efek samping yang terjadi
akibat penggunaan obat bisakodil.
2.3 Aquadest
Menurut Bernad (2019), aquadest merupakan air hasil penyulingan yang
sama dengan air murni, karena hampir tidak mengandung mineral. Air ini dihasilkan
dari satu kali proses penyulingan namun tetap mengandung mineral-mineral tertentu.
Aquadest biasanya digunakan sebagai kontrol negatif dalam perlakuan.
2.4 Tinta Cina
Menurut Saranani dan Pusmarani (2018), pada pengukuran metode transit
intestinal, tinta cina digunakan sebagai marker atau penanda.
2.5 Cara Handling, Euthanasi, dan Sonde pada Tikus
Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (2014), langkah-
langkah untuk memegang tikus dilakukan dengan meletakkan tikus di atas meja,
dipegang bagian ekor tikus menggunakan tangan kanan. Jari telunjuk dan jari tengah
menahan ke dua sisi leher tikus dengan agak erat namun tidak menyakiti. Berikut ini
adalah cara memegang tikus:

Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (2014), terdapat


beberapa cara melakukan euthanasi yang layak pada tikus, yakni: melakukan disklokasi
leher serta anesthesi secara inhalasi maupun injeksi.
Menurut Stevani (2016), teknik sonde merupakan teknik memasukan cairan
obat menggunakan sonde oral. Sonde oral ditempelkan pada langit-langit mulut atas
mencit, lalu dimasukkan perlahan-lahan hingga esofagus, dan dimasukkan cairan obat
tersebut.
BAB III
METODE

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat:
- Penggaris
- Gunting bedah
3.1.2 Bahan:
- Tikus
- Loperamid (uji antidiare)
- Bisakodil (Uji laksatif)
- Norid 10%
3.2 Prosedur Kerja
Hewan coba (tikus)

Ditimbang hewan coba, lalu dihitung dosis yang diperlukan

Dilakukan sonde bisakodil sbanyak 0,2 ml secara per oral

Diberikan norit 10% setelah 5 menit diberikan bisakodil

Didiamkan selama 15 menit, setelah itu dilakukan dislokasi servikalis


Dibedah bagian abdomen dan dikeluarkan mulai bagian piloris hingga pilocaecal
Direntangkan usus dan dihitung panjang rempuh norit serta panjang total usus
Dihitung nilai gastrointenstinal transitnya

Hasil

3.3 Perhitungan Rumus Dosis


- Berat badan mencit = 23 gram
- Dosis Bisakodil = 30 mg x 0,0026 = 0,078 mg/20gr

 VAO =

= 0, 22 ml
 Norit (1% BB) = 1% x 23 gram
= 0,23 gram
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisa Prosedur


Pada uji laktasif, prosedur yang dilakukan pertama kali adalah menimbang
mencit dan dilakukan perhitungan dosis bisakodil, VAO, dan norit. Selanjutnya mencit
diberikan 0,22 ml VAO secara per oral dan mencit didiamkan selama 5 menit. 5 menit
selanjutnya mencit diberikan 0,23 gr norit secara per oral. Setelah didiamkan selama 15
menit, dilakukan dislokasi servikalis pada mencit, dan dilakukannya pembedahan pada
abdomen mencit. Dikeluarkan usus dan dipotong mulai dari piloris hingga katup
isosekal. Bagian tersebut direntangkan untuk mengukur panjang usus yang dilewati oleh
norit, serta panjang keseluruhan usus.
Menurut Anggraeni (2016), untuk menghitung nilai gastrointestinal trasnit
dilakukan dengan menghitung jarak tempuh larutan tinta hitam. Mencit dipuasakan
dahulu selama 16 jam, lalu disonderkan laksatif dan kontrol lain. Setelah 30 menit,
disondekan larutan tinta hitam, dan 20 menit kemudian dilakukan dislokasi servikal.
Dipotong usus dari duodenum hingga ileum.
Prosedur pada saat praktikum tidak diketahui apakah mencit dipuasakan
atau tidak. Pemuasaan dilakukan agar hasil tidak abu-abu. Terjadi perbedaan durasi
antara waktu setelah mencit diberikan laksatif dan tinta hitam antara litelatur dan
prosedur yang dilakukan pada saat praktikum. Namun, prinsip prosdur yang
dilakukannya sama.
4.2 Analisa Hasil
Hasil yang didapatkan pada praktikum ini berupa jarak yang ditempuh norit
senilai 31 cm, dengan total panjang usus 52 cm. Jika dihitung nilai gastrointestinal
transitnya menggunakan rumus yang diterangkan oleh Anggraeni (2016), yakni jarak
tempuh tinta dibagi panjang usus x 100%, maka nilai gastrointestinal transit hasil
praktikum adalah 59,61%. Berbeda jauh dengan hasil yang dilakukan oleh Anggraeni
(2016), dimana norit hanya mampu menempuh 14,6 cm dengan total panjang usus 54,5
cm, dan nilai gastrointestinal transitnya sebesar 26,79%. Apabila terjadi konstipasi,
maka nilai gastrointestinal transitnya akan rendah. Maka dapat disimpulkan bahwa
mencit pada praktikum tidak mengalami konstipasi, berbeda dengan mencit pada
pengujian Anggraeni (2016).

4.3 Menjawab Pertanyaan


4.3.1 Efek yang Terjadi Setelah Pemberian Laksansia dan Antidiare
Menurut Anggraeni (2016), terdapat beberapa golongan yang memberikan
efek berbeda setelah pemberian laksatif. Pertama golongan bulk-forming memberi efek
peregangan pada kolon sehingga merangsang peristaltik usus dan defekasi. Selanjutnya
laksatif stimulan yang merangsang mukosa dan otot polos pada usus sehingga terjadi
peningkatan peristaltik dan sekresi lendir usus. Golongan ketika yakni memberikan efek
kemudahan pada air dan lipid ke dalam feses sehingga materi feses melunak dan
dilumasi, sehingga penyerapan air pada feses melambat, dan menimbulkan
permeabilitas mukosa saluran cerna. Golongan terakhir adalah laksatif osmotik yang
memberikan efek lunak pada feses akibat peningkatan cairan dalam feses, karena
adanya tekanan osmotik yang menahan air di usus. Keseluruhannya, efek setelah
diberikan laksatif adalah kemudahan proses defekasi.
Menurut Shaleh (2016), pemberian obat antidiare akan memperlambat
motilitas saluran cerna salah satunya dengan mempengaruhi otot sirkuler dan
longitudinal usus. Obat antidiare juga mempengaruhi pertukaran air dan elektrolit
sehingga frekuensi feses menurun dan konsistensinya lebih padat.
4.3.2 Mekanisme Defekasi secara Biologis
Menurut Keraru (2017), defekasi dikontrol oleh sistem saraf pusat yang
melalui daerah pinggang dan sakrum pada jaringan saraf tulang belakang. Tinja akan
terdorong ke dalam rektum ketika ada gerakan massa di kolom, dan merangsang
reseptor regang di dinding rektum sehingga timbul refleks defekasi dengan tekanan
sekitar 18 mmHg. Ketika tekanan ini mencapai 55 mmHg, refleks akan menyebabkan
sfingter ani internus relaksasi, namun rektum dan kolon sigmoid berkontraksi lebih
kuat. Defekasi terjadi ketika sfringter ani eksternus turut relaksasi.
4.3.3 Metode untuk Evaluasi Obat-Obatan Antidiare
Menurut Shaleh (2016), evaluasi obat-obatan antidiare dapat dilakukan
dengan mengamati mula terjadinya diare (menit), lama terjadinya diare (menit), dan
frekuensi diare.
4.3.4 Bagaimana Cara Mengatasi Kesulitan Defekasi
Menurut Keraru (2017), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi defekasi,
yakni kondisi psikolodi, kebiasaan, serta kandungan serat dalam makanan. Stress dapat
meningkatkan motilitas usus sehingga memudahkan defekasi. Kebiasaan menunda
defekasi akan menyebabkan penurunan motiltias penyerapan air sehingga karena feses
menjadi kering dan keras dan berakibat pada sulitnya feses untuk dikeluarkan. Dengan
menghindari kedua hal tersebut, maka kesulitan defekasi dapat teratasi. Feses yang
keras dan kering yang susah dikeluarkan dapat diatasi dengan konsumsi serat yang
memiliki struktur massa dan tekstur yang lembut.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Laksatif merupakan obat yang mengatasi gangguan konstipasi dengan
memfasilitasi defekasi, salah satu contoh obatnya yakni bisakodil. Laksatif akan
meningkatkan berat feses karena bersifat mengabsorpsi air sehingga mempercepat
propulsi massa yakni gerakan mendorong tinja atau feses sehingga akan mengatasi
masalah konstipasi atau sulit defekasi. Dengan mengukur nilai transit gastrointestinal,
dapat diketahui kemampuan suatu obat laksatif dalam mengatasi konstipasi, dilihat dari
jarak norit dalam menempuh usus.
Diare dipengaruhi oleh konsistensi feses dan atau motiltias usus. diare ditandai
dengan defekasi yang kandungan airnya tinggi, disertai peningkatan volume dan
frekuensi defekasi yang tinggi. Obat antidiare seperti loparemid bekerja dengan
melepaskan kejang-kejang otot yang menyebabkan nyeri perut. Biasanya antidiare
bekerja dengan menurunkan motilitas saluran pencernaan, serta mempengaruhi trasnfer
elektrolit.
5.2 Saran
Praktikum sudah berjalan dengan baik. Diharapkan semoga selanjutnya juga dapat
dilakukan pengujian obat antidiare agar praktikan dapat lebih memahami ilmunya.
Semoga praktikum ini dapat bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, W. L. 2016. Studi Perbandingan Efektivitas Penggunaan PEG 3350 dan Bisakodil
pada Konstipasi yang Diinduksi Morfin. [SKRIPSI]. Fakultas Farmasi. Universitas
Airlangga
Bernad, F. L. 2019. Analisis Mesin Penghasil Aquades Menggunakan Mesin Siklus Kompresi
Uap dengan Pengaruh Putaran Kipas sebelum Evaporator. [SKRIPSI]. Fakultas Sains
dan Teknologi. Universitas Sanata Dharma
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2014. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara
In Vivo. Berita Negara Republik Indonesia.
Keraru, N. E. 2017. Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta
(Coffea canephora) Manggarai Terhadap Efek Laksatif pada Tikus Putih Betina.
[SKRIPSI]. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sanata Dharma
Meredith, A. 2017. BSAVA: Small Animal Formulary 9th Edition Part B: Exotic Pets.Inggris:
British Small Animal Veterinary Association
Musdar, A. T. 2012. Uji Aktivitas Anti Diare Ekstrak Etanol Daun Salam (Poliyanthi Folium)
pada Mencit (Mus Musculus) yang Di Induksi Oleum Ricini. [SKRIPSI]. Fakultas Ilmu
Kesehatan. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Saranani, S. dan Pusmarani, J. 2018. Aktivitas Antidiare Buah Okra (Abelmoschud Esculentus
L.) pada Mencit yang Diinduksi Oleum Ricini. Jurnal Mandala Pharmacon Indonesia.
4(2):102-108
Shaleh, U. M. 2016. Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol Daun Kacang Gude (Cajanus
Cajan(L.) Millsp) pada Mencit (Mus Musculus). Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Stevani, H. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi: Praktikum Farmakologi. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai