Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI VETERINER

“Laksatif dan Antidiare”

Oleh:
Nama : Arien Indriyanti
NIM : 195130107111027
Kelas : 2019B
Asisten : Muhammad Fikri Syafaat

LABORATORIUM FARMAKOLOGI VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2021
BAB I

1.1 Latar Belakang


Laksatif merupakan obat yang pada umumnya digunakan sebagai terapi secara over
the counter oleh orang usia lanjut. Terdapat beberapa macam oral laksatif serta
mekanisme kerja yang berbeda – beda. Tipe laksatif bermacam – macam yaitu meliputi
laksatif bulk forming tidak dicerna namun mengabsorpsi cairan di usus dan mengembang
menjadi bentuk lebih lembut. Ada tiga tipe laksatif hiperosmotik yang digunakan secara
oral yaitu saline, laktulosa, dan polimer. Laksatif tersebut digunakan sebagai terapi
konstipasi jangka lama dan untuk terapi berulang. Laksatif juga digunakan pada kondisi
penyakit dimana penyakit tersebut akan bertambah parah jika pasien mengejan. (Utami,
2019).
Untuk mengetahui tingkat penggunaan obat laksatif dapat dilihat berdasarkan sifat
kimiawi dan farmakologi obat tersebut. Penggolongan obat laksatif berdasarkan sifat
kimiawi dan farmakologi yaitu laksansia kontak, laksansia osmotik, zat-zat pembesar
volume, zat-zat pelicin dan emollientia. Laksansia kontak adalah derivate antrakinon,
difenilmetan dan minyak kastor dapat meningkatkan gerak peristaltic dan pengeluaran zat
– zat di dalam usus. Penggunaan obat ini bersifat karsinogen pada mencit. Efeknya terlihat
setelah enam jam perlakuan. Laksansia osmotic adalah garam organic seperti magnesium
sulfat, magnesium sitrat, natrium sulfat, gliserol, mannitol dan sorbitol yang diserap secara
lambat oleh usus sehingga usus menarik air dari luar melalui dinding usus dan menjadikan
tinja lunak. Zat pembesar adalah senyawa polisakarida yang dapat menahan air sambal
mengembang sehingga perombakannya di dalam usus dapat membentuk asam organic dan
gas rangsang mekanis tersebut yang menyebabkan tinja menjadi besar. Zat pelicin adalah
zat kimia natrium dokusat, natriumlauril-sulfo-asetat dan paraffin cair, zat tersebut mampu
meningkatkan penetrasi air ke dalam tinja dan melancarkan pengeluaran tinja atau sebagai
pelicin. (Saraswati, 2020)
Diare akut merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang. Tujuan
pengobat yang utama pada diare adalah mencegah dehidrasi dan mengurasi durasi serta
tingkat keparahan diare. Regimen terapi yang direkomendasikan adalah rehidrasi oral.
Pada beberapa kasus rehidrasi oral tidak berpengaruh pada durasi, tingkat keparahan, atau
frekuensi episode diare, sehingga diperlukan terapi tambahan. Terapi tambahan adalah
pemberian mikronutrien, probiotik atau obat – obat antidiare. (Jawi, 2014). Obat – obat
kimia antidiare dapat digolongkan menjadi beberapa golongan yaitu golongan obat
antimotilitas, adsorben, obat yang mengubah transport elektrolit dan cairan. (Utami,
2019). Diare dibagi menjadi tiga kelompok yaitu diare sekretori yang terjadi bila ada
peningkatan jumlah cairan dalam lumen usus sehingga kemampuan usus untuk menyerap
kembali menurun. Disebabkan oleh infeksi dan zat. Diare Osmotik yang terjadi bila ada
disfungsi dalam kemampuan usus untuk menyerap kembali cairan yang mengalir melalui
lumen, yang disebabkan oleh kerusakan atau malabsorbsi nutrisi usus kecil dan
memungkinkan massa yang lebih besar atau lebih cair untuk memasuki usus besar. Diare
Eksudatif yang terjadi karena adanya inflamasi akut atau kronis, atau nekrosis mukosa
usus yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, protozoa, bahan kimia dan tumor, yang
akan berakibat adanya produksi cairan dan produksi inflamasi, termasuk hilangnya protein
serum dan penurunan penyerapan cairan serta elektrolit. (Rachmawati, 2016)

1.2 Tujuan
a. Mengetahui respon pemberian obat laksansia dan antidiare
b. Mahasiswa dapat melakukan monitoring kondisi klinis setelah pemberian laksansia
dan antidiare
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bisakodil

Bisakodil atau senna adalah laksatif stimulant dan dokusat yang termasuk dalam
laksatif golongan pelunak feses untuk mengatasi konstipasi karena penggunaan morfin.
Bisakodil bekerja langsung di kolon dan menginisiasi mekanisme yang menyebabkan
laksasi dan ekskresi. Bisakodil mneghalangi adsorbs pada colon dengan aktivasi adenilat
siklase pada eritrosit, yang meningkatkan cAMP menyebabkan sekresi dari Cl- dan HCO3-
dan keluarnya air dan elektrolit (Na+ dan K+) yang berpengaruh menginisiasi
pengosongan colon. Dosis yang dianjurkan tablet 5-15 mg per hari. Efek samping yang
sering terjadi adalah kram perut. (Anggraeni, 2016)

Bisakodil bekerja secara spesifik pada usus besar. Bisakodil bekerja melalui proses
prokinetic dan efek antisekretori. Sifat farmakokinetik dari bisakodil yaitu terserap
didalam usus kemudian masuk ke dalam darah sehingga terhidrolisi. Aksi waktu onset
dari bisakodil adalah 6 sampai 8 jam sedangkan proses absorbsi di dalam darah terjadi 6
sampai 12 jam pemberian per oral yang menghasilkan tinja yang lunak atau semifluid.
Bisakodil tersedia di pasaran dalam bentuk salut enteric dan memiliki efek samping
seperti kembang dan diare. (Saraswati, 2020)

2.2 Loperamide

Loperamid adalah opioid yang paling tepat untuk efek local pada usus karena tidak
mudah menembus ke dalam otak. Oleh karena itu, Loperamid hanya mempunyai sedikit efek
sentral dan tidak mungkin menyebabkan ketergantungan. Jika dikombinasi dengan antibiotik,
loperamide akan mengurangi frekuensi diare dan memperpendek durasi diare. Efek samping :
mual, nyeri perut, pusing-pusing, mulut kering, dan kelainan kulit mendadak (eksantema).
Namun efek jarang terjadi pada dosis biasa. Toleransi untuk penggunaan jangka Panjang
belum dilaporkan. Loperamid biasanya diberikan dalam dosis 2 mg 1-4 kali sehari
(Rachmawati, 2016).

Loperamid memiliki keunggulan karena memiliki efek anti diare dengan aspekaspek
negative yang terkait dengan pengaruhnya terhadap receptor opiate yang minimal. Hal ini
disebabkan oleh karena penyerapan loperamide rendah serta sulit menembus sawar darah
otak, sehingga efek yang ditimbulkan pada system saraf pusat minimal. Loperamid cukup
efektif untuk mengatasi gejala diare yang disebabkan oleh berbagai sebab non spesifik
termasuk traveler’s diarrhea dan chemotherapy-related diarrhea(Jawi, 2014).

2.3 Tinta Cina

Metode intestinal transit yaitu merupakan metode lintasan usus halus dengan tinta cina
sebagai marker dan metode defekasi. Metode intestinal transit/metode lintasan usus halus
bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas obat antidiare, laksansia, atau antispasmodic,
berdasarkan pengaruhnya pada rasio jarak usus yang ditempuh oleh suatu norit dalam jangka
waktu tertentu terhadap Panjang usus keseluruhan hewan percobaan. (Yasnita, 2018)

Oleum ricini atau minyak jarak mengandung komponen aktif asam risinoleat yang
dapat menginduksi perubahan permeabilitas pada cairan mukosa dan transport elektrolit yang
menghasilkan respons hipersekretori dan diare. Asam risinoleat dari minyak jarak
menyebabkan iritasi dan pembengkakan mukosa usus yang menyebabkan pelepasan
prostaglandin, sehingga dapat meningkatkan sekresi dan motilitas intestinal (Arika, 2018)

2.4 Handling Tikus

Menurut, (Seprianto, 2017), Teknik handling tikus yaitu dipegang dengan lembut
dengan memegang seluruh tubuh secara tegas serta meminimalkan gerakan hewan.
Memegang tikus terlalu kuat dapat mengganggu pernapasan dan akan menyebabkan sianosis.
Menurut, (Nugroho, 2018), Ujung ekor mencit diangkat dengan tangan kanan dan
ditempatkan pada permukaannya tidak licin, misal kawat penutup kendang, sehingga ketika
ditarik mencit akan mencengkram dan lebih mudah untuk memegang. Kulit tengkuk mencit
dijepit dengan telunjuk dan ibu jari tangan kiri, sementara ekornya tetap dipegang dengan
tangan kanan. Posisi tubuh mencit dibalikkan, sehingga permukaan perut menghadap kea rah
pemegang dan ekor dijepitkan anatara jari manis dan kelingking tangan kiri.

(Nugroho, 2018)
2.5 Euthanasia Tikus

Euthanasia merupakan teknik membunuh hewan uji secara manusiawi, mudah mati
tanpa kesakitan. Teknik tersebut mensyaratkan adanya aksi depresi pada saraf pusat sehingga
memungkinkan kepekaan terhadap rasa sakit berkurang. Teknik-teknik euthanasia yang ada
tersebut harus disesuaikan dengan tujuan penelitian dan jumlah hewan uji. Ada berbagai
macam teknik euthanasia pada hewan uji yaitu Euthanasia secara fisik dapat dibedakan
menjadi beberapa cara yaitu dislokasi leher (Cervical Dislocation); pemberian aliran listrik
(Electrocution); pemenggalan leher (Deacapitaion) dan penembakan (Shooting), Euthanasia
dengan Zat Anestetik Inhalan teknik ini dilakukan apabila teknik suntikan intravena sulit
untuk dilakukan. Senyawa yang biasanya digunakan adalah kloroform, eter, halothane,
metoksifluran dan nitrous oksida. Jumlah eter yang digunakan juga diperhitungkan agar tidak
terjadi pemborosan. Kloroform bersifat toksik terhadap beberapa organ seperti hati, hinjal,
alat kelamin dan bersifat karsinogenik, sehingga peneliti perlu lebih berhati – hati. (Nugroho,
2018)

Euthanasia dengan gas Non Anestetik dengan menggunakan CO; CO 2; N; Sianida.


Pada umumnya CO ini digunakan untuk membius tikus, mencit, kelinci, namun jarang
digunakan untuk hewan mamalia besar seperti anjing dan kucing. Pemakaian CO kurang dari
2% akan berakibat [ada haemoglobin di sel darah merah dan mengakibatkan paralise pada
sentral respirasi dan jantung. Euthanasia dengan Zat Transkuiliser adalah zat golongan ini
adalah Valium, Librium, miltown, atarax, serax dan equamil. Valium dan transkuiliser lainnya
pada dasarnya digunakan untuk menekan aktivitas sistem saraf pusat, mengurangi aktivitas
simpatis, mereduksi kecepatan jantung, kecepatan pernafasan. Aplikasi zat ini dapat diberikan
secara per oral, subkutan, intramuskuler maupun intravena. (Nugroho, 2018)

2.6 Sonde Tikus

Pada praktikum ini digunakan teknik sonde pada saat memberikan obat kepada tikus
melalui peroral untuk memastikan agar tidak ada yang terbuang atau tersisa. Teknik ini
diberikan pada hewan coba melalui rongga mulut dengan menggunakan spuit dan jarum
suntik tumpul. (Lailani, dkk, 2013)
BAB III

METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

a. Alat

Handschoon, Sonde oral, Spuit 1cc, timbangan hewan, beker glass, labu ukur,
penggaris, satu set alat bedah.

b. Bahan

5 ekor tikus usia 2-3 bulan dengan BB 200-20 gram, CMC Na, Aquadest, Dulcolax
(obat laksansia), Loperamid (obat diare), Diapet (herbal diare), Laksin (herbal
laksansia), Tinta Cina/norit (untuk pewarna / marker)

3.2 Langkah Kerja dan Rumus Perhitungan

a. Langkah Kerja

5 ekor tikus

Dipuasakan terlebih dahulu tikus selama 18 jam

Dibagi tikus menjadi 5 kelompok

Diberikan Loperamide (obat diare) 0,5 ml secara oral kepada mencit


kelompok I

Diberikan Dulcolax (obat laksansia) 0,5 ml secara oral kepada mencit


kelompok II

Diberikan Diapet (herbal diare) 0,5 ml secara oral kepada mencit


kelompok III

Diberikan Laksin (herbal laksansia) 0,5 ml secara oral kepada mencit


kelompok IV

Diberikan CMC Na (kontrol) 0,5 ml secara oral kepada mencit


kelompok V
Ditunggu selama kurang lebih 45 menit. Lalu mencit diberikan Tinta
Cina/norit (marker) pada mencit sebanyak 0,3 ml melalui rute oral

Ditunggu selama beberapa saat, setelah itu hewan uji dianasthesi


menggunakan kloroform dan dibedah untuk diambil ususnya. Diukur
dan diamati hasil uji.

Hasil
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil (Tabel dan Perhitungan Dosis)

4.1.1 Tabel

No Kelompok Rasio
.
1 Kontrol 0,7
2 Loperamide 0,47
3 Diapet 0,63
4 Dulcolax 0,8
5 Laksin 0,72
4.1.2 Perhitungan
Dosis

Rumus Rasio

Rasio = X : Y

Ket :

X = Panjang usus yang dilewati oleh marker

Y = Panjang usus keseluruhan

4.2 Analisa Prosedur

Disiapkan alat dan bahan kemudian sebelum dilakukan uji, mencit dipuasakan terlebih
dahulu selama 18 jam, tidak diberikan makan, tetapi tetap diberikan air minum bertujuan
untuk mengurangi bias saat dilakukan uji diare dan laksensia. Mencit dibagi menjadi tiga
kelompok perlakuan lalu ditimbang, diberikan lomperamide dan ditunggu 5 menit lalu diberi
norit secara oral dan ditunggu 15 menit. Kemudian, mencit dibunuh, dibuka rongga perit dan
dikeluarkan hati dari pilorus sampai katup ilosekal. Direntangkan usus dan ukur usus, lalu
dihigung presentase laju transitnya. Menurut literatur menggunakan metode intestinal transit
yaitu mengevaluasi aktivitas berdasarkan pengaruhnya pada rasio jarak usus yang ditempuh
oleh suatu marker dalam waktu tertentu terhadap Panjang usus keseluruhan pada hewan
percobaan (Ongkers, 2017).
4.3 Analisa Hasil

Dari praktikum kali ini didapatkan hasil yaitu Kelompok Loperamide memiliki rasio :
0,47, Kelompok Diapet memiliki rasio : 0,63, Kelompok Dulcolax memiliki rasio : 0,80,
Kelompok Laksin memiliki rasio : 0,72, dan Kelompok control memiliki rasio : 0,7. Rasio
didapatkan dari Panjang usus yang dilewati oleh marker dibagi Panjang usus keseluruhan.
Suatu obat dikatakan efektif sebagai anti diarea bila nilai rasionya lebih kecil daripada
kelompok kontrolnya. Sedangkan obat dikatakan efektif sebagai laksensia apabila rasionya
lebih besar daripada kelompok kontrolnya. Pada praktikum rasio obat anti diare yaitu
loperamide (0,47) dan diapet (0,63), bisa dikatakan bahwa kedua obat tersebut efektif sebagai
anti diare (rasio lebih kecil dibanding kelompok control (0,7)), dengan yang lebih efektif yaitu
loperamide, karena rasionya lebih kecil dibandingkan dengan diapet. Untuk obat anti
laksensia yaitu Dulcolax (0,80) dan Laksin (0,72), sesuai dengan teori yatu obat laksensia
harus lebih besar rasionya daripada kelompok control (0,7), Jadi kesimpulannya kedua obat
efektif, dimana Dulcolax yang lebih efektif, karena rasionya lebih besar dibandingkan dengan
Laksin. Pada praktikum kali ini obat herbal masi kurang efektif jika dibandingkan dengan
obat biasa. Menurut literatur, dijelaskan bahwa, obat yang diberikan dapat memberikan
efektifitas yang berbeda. Efektifitas suatu obat yang diberikan dapat dilihat melalui marker
pada usus hewan. Obat antidiare efektif apabila rasio lebih kecil dari rasio kontrol. Walaupun
jarak antara ratio obat dengan ratio kontrol tetapi hal tersebut menunjukan efektifitas suatu
obat. Sedangkan laksatif efektif apabila rasionya lebih panjang dibanding kontrol (Sumiwi,
dkk., 2017).

4.4 Menjawab Pertanyaan

1. Apakah efek yang kamu observasi setelah pemberian laksansia dan antidiare ?

Jawab :

Setelah pemberian obat laksansia, mencit yang di euthanasi dan dibedah


kemudian di ukur rasio jarak usus yang ditempuh oleh suatu norit terhadap panjang
usus keseluruhan memiliki rasio lebih besar dibanding kelompok kontrol. Setelah
pemberian obat antidiare, usus mencit memiliki rasio lebih kecil dibanding kelompok
kontrol. Menurut (Saraswati, 2020), Laksansia adalah obat yang memberikan efek
farmakologis dalam menghilangkan konstipasi atau menyembuhkan sembelit.
Sedangkan antidiare adalah obat yang memberikan efek mengurangi sekresi air dan
dapat mencegah kekurangan cairan dan elektrolit sehingga dapat menyembuhkan
diare. (Rachmawati, 2016)

2. Bagaimanakah mekanisme defekasi secara fisiologis ?

Jawab :

Proses defekasi diawali oleh terjadinya refleks defekasi, Saluran dari kanalis
anal terdiri dari ujung-ujung saraf sensoris yang sensitif terhadap taktil, suhu dan
rangsangan nyeri. Ujung serabut saraf sensoris dalam kanalis anal inilah yang
mengidentifikasi apabila lumen anus terisi, baik itu solid atau gas. Ketika rangsangan
berupa massa feses masuk ke dalam rektum (mass movement) yang menyebabkan
peningkatan tekanan diatas 18 mmHg. Serabut saraf sensoris akan terangsang dengan
regangan tersebut dan mengirimkan impuls aferen melalui nervus pelvikus
dihantarkan ke segmen sakral medulla spinalis sebagai pusat defekasi. Impuls eferen
secara refleks kembali ke kolon desenden, sigmoid, rektum dan anus melalui serabut
saraf parasimpatis dalam nervi erigentes. Isyarat parasimpatis ini mengirim sinyal
yang menyebar ke pleksus mienterikus untuk memulai terjadinya gelombang
peristaltik yang kuat yang kadang-kadang bermanfaat dalam pengosongan usus besar
dari fleksura lienalis, kolon descenden, pemendekan lapisan otot longitudinal dalam
kolon sigmoid dan kontraksi rektum, diikuti oleh kontraksi kuat dari lapisan otot
sirkuler mendorong feses ke distal hingga anus (Nurdin, 2013).

3. Ceritakan metode untuk evaluasi obat – obatan antidiare !

Jawab :

Untuk mengevaluasi obat-obatan antidiare dapat menggunakan metode


intestinal transit yang bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas obat antidiare, laksansia,
ataupun antispasmodik, berdasarkan pengaruhnya pada rasio jarak usus yang ditempuh
oleh suatu norit dalam jangka waktu tertentu terhadap panjang usus keseluruhan
hewan percobaan (Yasnita, 2018).

4. Apa yang bisa saudara kemukakan untuk mengatasi kesulitas defekasi ?

Jawab :

Untuk mengatasi kesulitan defekasi bisa dengan mengkonsumsi makanan yang


memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu proses percepatan defekasi namun
jumlah serat dan jenis juga sangat berperan. Hal ini di karenakan serat makanan
memiliki kemampuan mengikat air di dalam kolon yang membuat volume feses
menjadi lebih besar dan akan merangsang saraf pada rektum yang kemudian
menimbulkan keinginan untuk defekasi sehingga feses lebih mudah dieliminir (Ula,
dkk, 2020). Dapat juga dilakukan dengan membatasi makanan yang tinggi lemak,
makanan yang banyak mengandung gula dan makanan yang hanya mengandung
sedikit serat seperti, es krim, keju, daging, dan makanan instan. Cairan membuat feses
menjadi lunak dan mudah untuk dikeluarkan. Menghindari cairan yang mengandung
kafein, minuman tersebut dapat membuat saluran pencernaan menjadi kekurangan
cairan. Jus yang mengandung sorbitol seperti, jus apel dan pear dapat mengurangi
terjadinya konstipasi pada bayi dan usia lebih dari 6 bulan.Berolahraga yang teratur
dapat menjaga sistem pencernaan tetap sehat dan aktif. (Karima, 2019)
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Laksatif merupakan obat yang pada umumnya digunakan sebagai terapi secara
over the counter oleh orang usia lanjut. Laksatif tersebut digunakan sebagai terapi
konstipasi jangka lama dan untuk terapi berulang. Untuk mengetahui tingkat
penggunaan obat laksatif dapat dilihat berdasarkan sifat kimiawi dan farmakologi obat
tersebut. Penggolongan obat laksatif berdasarkan sifat kimiawi dan farmakologi yaitu
laksansia kontak, laksansia osmotik, zat-zat pembesar volume, zat-zat pelicin dan
emollientia. Tujuan pengobat yang utama pada diare adalah mencegah dehidrasi dan
mengurasi durasi serta tingkat keparahan diare. Regimen terapi yang
direkomendasikan adalah rehidrasi oral. Jadi kesimpulannya kedua obat efektif,
dimana Dulcolax yang lebih efektif, karena rasionya lebih besar dibandingkan dengan
Laksin. Pada praktikum kali ini obat herbal masi kurang efektif jika dibandingkan
dengan obat biasa. Dimana laksin yang sebenarnya bukan obat untuk konstipasi, tetapi
obat untuk diet, namun efek sampingnya yaitu meningkatkan frekuensi buang air
besar, sehingga pada praktikum kali ini digunakan laksin untuk obat anti laksensia.

5.2 Saran

Praktikum sudah berjalan dengan baik dan lancar, semoga praktiikum


selanjutnya berjalan lebih baik lagi. Hanya terkadang kami mengalami gangguan
jaringan yang kurang stabil
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, L.W. 2016. Studi Perbandingan Efektivitas Penggunaan PEG 3350 dan Bisakodil
pada Konstipasi yang Diinduksi Morfin. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas
Airlangga.

Arika, F. 2018. Uji Aktivitas Antidiare Ekstrak Etanol Daun Situduh Langit (Erigeron
Sumatrensis Retz.) Terhadap Tikus Jantan Dengan Metode Transit Intestinal.
[Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Jawi, I.M. 2014. Farmakologi Obat-Obat Anti Diare. Jurnal Konas VI PGHNAI : Universitas
Udayana Farmakologi.

Karima, U.A. 2019. Aplikasi Teknik Effleurage untuk Mengatasi Konstipasi pada Anak.
Magelang: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang.

Lailani, M., Edward, Z., dan Herman, R.B. 2013. Gambaran Tekanan Darah Tikus Wistar
Jantan dan Betina Setelah Pemberian Diet Tinggi Garam. Jurnal Kesehatan
Andalas : Vol. 2 No. 3.

Nugroho, R.A. 2018. Mengenal Mencit Sebagai Hewna Laboratorium. Samarinda :


Mulawarman University Press.

Nurdin, A. 2013. Fisiologi Defekasi. Junal Kesehatan : Vol. 6 No. 1

Ongkers, V.J. 2017. Efek Antidiare Infusa Biji Atung (Parinarium glaberimum Hassk) Pada
Mencit Betina Galur Swiss Dengan Metode Transit Intestinal. Skripsi. Universitas
Sanata Dharma : Fakultas Farmasi.

Rachmawati, F. 2016. Efek Antidiare Berbagai Komposisi Probiotik Pada Mencit yang
Diinduksi Diare. Skripsi. Universitas Airlangga : Fakultas Farmasi.

Saraswati, Y.P. 2020. Daya Pencahar Ekstrak Etanol Buah Berenuk (Crescentia cujete L)
Terhadap Mencit (Mus musculus) Galur Swiss. Skripsi. Universitas Atma Jaya
Yogyakarta : Fakultas Teknobiologi.

Seprianto. 2017. Laporan Strategi Pengembangan Laboratory Animal Center Berstandar


Internasional. Jakarta: Universitas Esa Unggul.

Sumiwi, S.A., Rini H., dan Irfani, S. 2016. Aktivitas Antidiare Ekstrak Etanol Kulit Batang
Sintok dengan Metode Transit Intestinal pada Mencit. Bandung : Universitas
Padjajaran.

Ula, V.Z., Nurbadriyah, W.D., dan Nurhadiyah, S. 2020. Hubungan Pola Makan Dengan
Kejadian Kontipasi Pada Remaja. Jurnal Ners LENTERA : Vol. 8 No. 1.

Utami, A.P. 2019. Uji Efektivitas Antidiare Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica L.)
Terhadap Mencit Jantan (Mus musculus). Karya Tulis Ilmiah. STIKES Bhakti
Husada Mulia. Madiun
Yasnita, K. 2018. Uji Efek Antidiare kstrak Etanol Daun Laban Vitex quinate
Lour.F.N.Williams) Terhadap Mencit Jantan. Skripsi. Universitas Sumatera
Utara : Fakultas Farmasi.
SS Kehadiran
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai