Anda di halaman 1dari 8

Jam/Tanggal : 11.30-14.

00/28 April 2021


Paralel/Kelompok : 3/2
Dosen Pembimbing : drh. Diah Nugrahani Pristihadi, M.Si.

ANTIDIARE
Disusun oleh:

1. Putri Yasmin Khairunnisa (B04180157)


2. Nisrina Rosyida Noor Rifai (B04180132)
3. Mawaddaturrahmah (B04180133)
4. Attin Qurrotu A Yun (B04180147)

DIVISI FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
PENDAHULUAN
Latar belakang

Diare adalah keadaan buang air besar dengan banyak cairan (mencret) dan
merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lainnya (Tjay dan
Rahardja 2002). Diare merupakan kondisi defekasi dengan feses berbentuk cairan
atau setengah cair yang memiliki kandungan air lebih banyak dari biasanya, yakni
lebih dari 100–200 ml per feses. Diare dapat atau tanpa disertai lendir dan darah,
tapi kondisi diare feses dipastikan mengandung lebih banyak air dibandingkan yang
normal (Hudayani 2008).
Diare merupakan proses fisiologis tubuh untuk mempertahankan diri dari
serangan mikroorganisme (virus, bakteri, dan parasit) atau bahan-bahan makanan
yang dapat merusak usus agar tidak menyebabkan kerusakan mukosa saluran cerna.
Diare dikatakan meningkat ketika frekuensi meningkat dengan konsentrasi feses
lebih cair. Obat antidiare digolongkan menjadi beberapa golongan:
1. Kemoterapeutika
Umumnya obat jenis ini tidak digunakan pada diare, tapi pada
kondisi tertentu obat antimikroba diperlukan pada diare yang disebabkan
oleh infeksi bakteri dan protozoa. Pemberian antimikroba dapat mengurangi
parah dan lamanya diare dan mungkin mempercepat pengeluaran toksin.
Kemoterapi digunakan untuk terapi kausal, yaitu memberantas bakteri
penyebab diare dengan antibiotika (tetrasiklin, kloramfenikol, dan
amoksisilin, sulfonamida, furazolidone, dan kuinolon) (Harkness 1984).
2. Zat penekan peristaltik usus
Obat golongan ini bekerja memperlambat motilitas saluran cerna
dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus. Contoh obat ini
adalah derivat petidin (difenoksilat dan loperamid) dan antikolinergik
(atropin dan ekstrak belladona) (Gunawan 2007).
3. Adsorbensia
Adsorben memiliki daya serap yang cukup baik. Obat ini melapisi
permukaan mukosa usus sehingga toksin dan mikroorganisme tidak dapat
merusak serta menembus mukosa usus (Gunawan 2007). Obat diare yang
dapat dibeli bebas mengandung adsorben atau gabungan antara adsorben
dengan penghilang nyeri (paregorik). Adsorben mengikat bakteri dan toksin
sehingga dapat dibawa melalui usus dan dikeluarkan bersama feses.
Adsorben yang digunakan dalam sediaan diare antara lain attapulgit aktif,
karbon aktif, garam, bismuth, kaolin, dan pektin (Harkness 1984).

Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui kerja dari gerakan
peristaltik usus dalam kondisi normal dan mengetahui dampak sediaan antidiare
terhadap gerakan peristaltik usus.
TINJAUAN PUSTAKA

Diare

Diare adalah keadaan buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari dengan
konsistensi cair atau lunak (Nanda 2015). Secara klinis, istilah diare digunakan
untuk menjelaskan terjadinya peningkatan likuiditas feses yang dihubungkan
dengan peningkatan berat atau volume feses dan frekuensinya. Banyak faktor resiko
yang diduga menyebabkan terjadinya penyakit diare. Salah satu faktornya adalah
sanitasi lingkungan yang kurang baik, persediaan air yang tidak higienis, dan
kurangnya pengetahuan (Rahman et al. 2016). Selain itu, faktor higiene perorangan
yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya diare (Azwinsyah et al. 2014).
Pada kondisi diare ini tidak terjadi gap osmotic dan diare tidak berhubungan dengan
isi usus sehingga tidak bisa dihentikan dengan puasa. Diare jenis ini dikenal sebagai
diare sekretorik.

Patogen menginduksi kerusakan mukosa dan menyebabkan peningkatan


permeabilitas mukosa pada beberapa diare karena infeksi. Setiap organisme
memiliki sebaran, karakteristik, dan daerah terinfeksi yang bervariasi. Kerusakan
mukosa yang terjadi bisa berupa difusi nanah oleh pseudomembrane sampai dengan
luka halus yang hanya bisa dideteksi secara mikroskopik. Kerusakan mukosa atau
peningkatan permeabilitas tidak hanya menyebabkan pengeluaran cairan seperti
plasma, tetapi juga mengganggu kemampuan mukosa usus untuk melakukan proses
absorbsi yang efisien karena terjadinya difusi balik dari fluida dan elektrolit yang
diserap. Diare jenis ini dikenal sebagai diare eksudatif. Penyebabnya adalah bakteri
patogen penyebab infeksi yang bersifat invasif (Shigella, Salmonella). Malabsorpsi
komponen nutrisi di usus halus seringkali menyertai kerusakan mukosal yang
diinduksi oleh patogen. Kegagalan pencernaan dan penyerapan karbohidrat (CHO)
akan meningkat dengan hilangnya hidrolase pada permukaan membran mikrovillus
(misalnya laktase, sukrase-isomaltase) atau kerusakan membran microvillus dari
enterosit. Peningkatan solut di dalam luminal karena malabsorbsi CHO
menyebabkan osmolaritas luminal meningkat dan terjadi difusi air ke luminal.
Diare jenis ini dikenal sebagai diare osmotik dan bisa dihambat dengan berpuasa.
Pada dasarnya, mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi
mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin.

Natrium Chloride

Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam
yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl)
sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan
perubahan konsentrasi natrium. Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan
interstitial disebabkan oleh keseimbangan Gibbs Donnan, sedangkan perbedaan
kadar natrium dalam cairan ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh adanya transpor
aktif dari natrium keluar sel yang bertukar dengan masuknya kalium ke dalam sel
(pompa Na+ dan K+). Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran
keseimbangan antara natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan.
Pemasukan natrium yang berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna
dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau
keringat di kulit. Cairan yang berioneonesi konsentrasi natrium yang berada pada
saluran cerna bagian atas hampir mendekati cairan ekstrasel, tetapi natrium
direabsorpsi sebagai cairan pada saluran cerna bagian bawah, oleh karena itu
konsentrasi natrium pada feses hanya mencapai 40 mEq/L4 (Yaswir dan Ferawati
2012).

Loperamide

Loperamide (imodium) adalah sediaan antidiare yang bekerja dengan


bereaksi langsung pada otot usus, menghambat peristaltik usus, dan
memperpanjang waktu transit. Loperamide merupakan obat agonis sintetik yang
dapat mengaktivasi μ-reseptor pada plexus myentericus di usus besar sehingga akan
menghambat pelepasan asetilkolin yang menyebabkan terjadinya relaksasi otot
saluran cerna (Faure 2013). Hal tersebut menandakan loperamide tergolong dalam
sediaan yang bersifat anti-spasme. Sediaan ini juga mempengaruhi perpindahan air
dan elektrolit melalui mukosa usus sehingga mampu mencegah kehilangan air dan
elektrolit, mengurangi volume feses, serta meningkatkan viskositas (Putri et al.
2016).

Attapulgite

Attapulgite (entrostop) merupakan sediaan yang bersifat adsorben (Sari et


al. 2018). Attapulgite berguna dalam mengatasi diare dengan mengurangi frekuensi
defekasi dan memperbaiki konsistensi feses. Sediaan ini memiliki kapasitas
absorbsi yang telah diaktifkan dengan cara pemanasan. Attapulgite akan melapisi
selaput lendir usus yang meradang dan menyerap cairan radang sehingga dapat
memadatkan konsistensi feses yang cair. Sediaan ini juga dapat menyerap gas-gas
beracun serta zat yang merangsang endotoksin, bakteri, dan virus penyebab diare.
Penggunaan attapulgite dapat mengurangi pergerakan usus dan meredakan kram
perut akibat diare. Sifat attapulgite yang radio transparan menyebabkan
penggunaannya tidak akan pengaruhi gambaran radiografi. Efek samping yang
muncul dari sediaan ini adalah konstipasi, perut kembung, dan mual (Oktaviani
2016).
METODE PRAKTIKUM

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah syringe 1 ml, sonde
lambung, gunting, pinset, penggaris, dan alas kayu. Bahan yang digunakan adalah
mencit (Mus musculus), NaCl fisiologis, Entrostop (attapulgite), Imodium
(loperamide), kombinasi xylazine dan ketamine (lethal dose), dan tinta hitam.

Prosedur Praktikum

Tiga mencit diberikan 3 sediaan obat berbeda. Mencit pertama sebagai


kontrol, sedangkan mencit kedua dan ketiga diberi sediaan obat antidiare secara
peroral menggunakan sonde lambung. Mencit pertama diberi NaCl fisiologis
sebanyak 0.2 ml. Setelah itu, syringe dibasuh dengan cara menyedot air untuk
menghilangkan NaCl fisiologis, lakukan metode tersebut setiap berganti sediaan
obat. Mencit kedua diberikan sediaan imodium (loperamide) dengan volume yang
sama. Mencit terakhir diberikan sediaan entrostop (attapulgite) yang telah dikocok
terlebih dahulu untuk menghomogenkan sediaan obat. Setelah itu, ketiga mencit
diletakkan di dalam kotak dan ditunggu selama 10 menit.

Mencit kemudian diberikan tinta sebagai penanda motilitas usus. Tinta


diberikan sebanyak 0.2 ml untuk setiap ekor mencit. Mencit diambil dari dalam
kotak dan tinta diberikan secara peroral dengan sonde lambung. Mencit yang telah
diberikan sediaan obat akan dieutanasia menggunakan sediaan ketamine-xylazine
dengan lethal dose. Obat tersebut diinjeksikan dengan rute intraperitoneal. Setelah
itu lakukan pembedahan, bagian abdomen dibuka dengan cara digunting dan organ
pencernaan mencit dikeluarkan. Organ pencernaan tersebut dipisahkan mulai dari
lambung, usus halus, hingga rektum lalu disejajarkan. Pembedahan dilakukan pada
semua mencit, baik mencit kontrol ataupun mencit yang diberikan sediaan obat
antidiare. Selanjutnya, rasio panjang usus mencit dihitung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Hasil Pengamatan Pemberian Sediaan NaCl Fisiologis, Imodium,


dan Entrostop

Sediaan Panjang Usus Panjang Rasio


(cm) Marker (cm)

NaCl Fisiologis (0.9%) 52 35 0.67

Imodium/loperamide 43 17 0.40

Entrostop/attapulgite 48 32 0.66
Contoh perhitungan rasio (NaCl fisiologis):

𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑟𝑘𝑒𝑟 35
Rasio =𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑢𝑠𝑢𝑠 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢ℎ𝑢𝑟𝑎𝑛 = 52 = 0.67

Hasil praktikum menunjukkan rasio yang berbeda pada setiap perlakuan.


Mencit pertama yang dijadikan kontrol diinjeksikan NaCl fisiologis sebanyak 0.2
ml memiliki panjang marker 35 cm dan panjang usus secara keseluruhan 52 cm
sehingga rasio peristaltik dari perhitungan panjang marker dibanding dengan
panjang usus keseluruhan menghasilkan rasio sebesar 0.67. Imodium diberikan
pada mencit kedua secara per oral melalui sonde lambung. Rasio panjang marker
terhadap panjang usus keseluruhan menunjukkan hasil 0.40. Hasil ini lebih rendah
dari rasio kontrol, yakni sebesar 0.67. Hal ini berarti imodium memperlambat gerak
peristaltik usus yang berakibat pada penurunan kejadian diare dan semakin kecil
rasio berarti semakin baik obat antidiare bekerja (Suherman et al. 2013). Imodium
memiliki kandungan loperamide. Loperamide merupakan obat antidiare yang
bekerja menurunkan pergerakan usus dan digunakan untuk mengobati gejala diare
(Zarghami dan Rezapour 2017). Penurunan gerakan usus disebabkan oleh sedikit
peningkatan secara sementara dari tekanan intraluminal dan hambatan gerak
peristaltik dalam colonic loop. Hal ini menunjukkan bahwa loperamide menekan
kontraksi peristaltik akibat distensi lumen usus (Sohji et al. 1978). Loperamide
bekerja sebagai penyeimbang resorpsi-sekresi dari sel-sel mukosa dengan cara
memulihkan sel-sel yang berada dalam kondisi hipersekresi ke keadaan resorpsi
normal; meningkatkan waktu transit dari mulut ke sekum; dan meningkatkan
absorpsi air, natrium, serta klorida dalam tubuh jika terjadi gangguan elektrolit
(Widyaningsih dan Safitri 2014).

Hasil pengamatan pada mencit ketiga yang diberi sediaan entrostop


(attapulgite) menunjukkan panjang marker sebesar 32 cm dengan panjang usus
secara keseluruhan sebesar 48 cm dan rasio peristaltik yang didapat sebesar 0,66
cm. Hasil ini lebih kecil dibanding kontrol yang menunjukkan bahwa attapulgite
kurang efektif dalam menghambat gerakan peristaltik. Hal ini karena attapulgite
merupakan golongan adsorben yang tidak diserap tetapi dapat mengikat air,
sehingga air di feses akan berkurang dan konsistensi feses menjadi normal (Sari et
al. 2018). Kandungan dalam attapulgite berperan sebagai adsorben kuman dan
toksin yang menyebabkan diare, disamping mengurangi kehilangan cairan tubuh
dan frekuensi diare, attapulgit juga memperbaiki konsistensi feses. Attapulgite
dapat mengurangi durasi dan tingkat keparahan diare yang ditunjukkan dengan
menurunnya frekuensi kontraksi dan konsistensi feses, mencegah dehidrasi dan
mengurangi jumlah oral rehydration solution (ORS) yang dikonsumsi (Riawati
2013). Attapulgite tidak memiliki efek samping yang berarti karena tidak diserap
secara langsung dan bekerja lokal di dalam usus (Sari et al. 2018).
SIMPULAN

Sediaan antidiare yang diuji bekerja dengan mekanisme yang berbeda.


Sediaan imodium (loperamide) bekerja dengan cara menurunkan gerak peristaltik
usus sehingga menunjukkan rasio usus yang jauh lebih kecil dari usus mencit
kontrol, sedangkan sediaan entrostop (attapulgite) bekerja dengan cara
mengabsorpsi (adsorben) air serta mikroorganisme dan toksin penyebab diare
sehingga menunjukkan rasio usus yang tidak berbeda signifikan dengan usus
mencit kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Azwinsyah F, Santis A, Dharma S. 2014. Faktor- faktor yang berhubungan dengan


rendahnya kepemilikan jamban keluarga dan personal hygiene dengan
kejadian diare di Desa Saku Sei Musam Kendit Kecamatan Bahorok
Kabupaten Langkat tahun 2014 [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera
Utara.

Faure C. 2013. Role of antidiarrhoeal drugs as adjunctive therapies for acute


diarrhoea in children. International Journal of Pediatrics. 2 (1): 75-80.

Gunawan SG. 2007. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-5. Jakarta (ID): UI Press.
Harkness R. 1984. Interaksi Obat. Bandung (ID): ITB Press.
Hudayani M. 2008. Efek Anti Diare Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit pada Mencit
Jantan. Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Nanda. 2015. Nursing Diagnoses: Definitions & Classification. Iowa (IA): Willey-
Blackwater.

Oktaviani L. 2016. Uji antidiare ekstrak rimpang rumput teki (Cyperus rotundus L.)
dibandingkan dengan obat attapulgite pada mencit (Mus musculus L.) jantan
yang diinduksi Oleum ricini [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.

Putri AH, Busman H, Nurcahyani N. 2016. Uji efektifitas rimpang rumput teki
(Cyperus rotundus L.) dengan obat Imodium terhadap antidiare pada mencit
(Mus musculus L.) jantan yang diinduksi Oleum rinci. Jurnal Biologi
Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati. 3 (2): 25-32.

Rahman HF, Widoyo S, Siswanto H, Biantoro. 2016. Faktor-faktor yang


berhubungan dengan kejadian diare di Desa Solor Kecamatan Cermee
Bondowoso. Jurnal NurseLine. 1(1): 25-35.

Riawati. 2013. Formulasi tablet kunyah attapulgite dengan variasi konsentrasi


bahan pengikat polivinil pirolidon menggunakan metode granulasi basah
[skripsi]. Pontianak (ID): Universitas Tanjungpura.
Sari CP, Indriani HY, Febrianti Y. 2018. Respon pengobatan pada pasien diare
spesifik rawat inap di Rumah Sakit Swasta Provinsi Banten. Jurnal Ilmiah
Farmasi. 14(1): 35-45.

Suherman LP, Hermanto F, Pramukti ML. 2013. Efek antidiare ekstrak etanol daun
mindi (Melia azedarach Linn) pada mencit swiss webster jantan. Kartika
Jurnal Ilmiah Farmasi. 1(1): 38-44.
Sohji Y, Kawashima K, Shimizu M. 1987. [Pharmacological studies of loperamide,
an anti-diarrheal agent. II. Effects on peristalsis of the small intestine and
colon in guinea pigs (author's transl)]. Nihon Yakurigaku Zasshi. 74(1): 155-
163.

Tjay TH, Rahardja K. 2002 Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya. Edisi ke-5. Jakarta (ID): Gramedia.

Widyaningsih TD, Safitri RM. 2014. Efek antidiare minuman fungsional jelly drink
cincau hitam (Mesona palutris BL). Jurnal Agroteknologi. 8(1): 74-84.
Yaswir R, Ferawati I. 2012. Fisiologi dan gangguan keseimbangan natrium, kalium
dan klorida serta pemeriksaan laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas. 1(2):
80-85.
Zarghami M, Rezapour M. 2017. Loperamide depedency: A case report. Addict
Health. 9(1): 59-63.

Anda mungkin juga menyukai