Anda di halaman 1dari 7

Jam/Tanggal : 11.30-14.

00/05 Mei 2021


Paralel/Kelompok : 3/2
Dosen Pembimbing : drh. Min Rahminiwati, MS, PhD

LAKSANSIA
Disusun oleh:

1. Putri Yasmin Khairunnisa (B04180157)


2. Nisrina Rosyida Noor Rifai (B04180132)
3. Mawaddaturrahmah (B04180133)
4. Attin Qurrotu A Yun (B04180147)

DIVISI FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
PENDAHULUAN

Latar belakang

Konstipasi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perubahan


konsistensi feses menjadi keras serta terjadi penurunan frekuensi atau kesulitan
defekasi. Konstipasi sering diikuti dengan gejala cemas ketika defekasi akibat
adanya rasa nyeri (Jannah et al. 2017). Sisa makanan yang tidak terserap oleh tubuh
akan diekskresikan dalam bentuk feses. Terlambatnya pengosongan feses yang
kering dan keras dapat menimbulkan konstipasi. Hal ini disebabkan oleh waktu
melewati usus yang lebih lambat daripada waktu defekasi normal. Konstipasi dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurang makanan yang mengandung serat,
kurang minum air, atau ketegangan saraf. Konstipasi juga bisa terjadi sebagai efek
samping dari obat-obatan yang dikonsumsi. Konstipasi dapat mengakibatkan
kanker usus besar (colon cancer) yang dapat berujung pada kematian (Mulyani
2012).

Laksansia adalah zat-zat yang dapat menstimulasi gerakan peristaltik usus


sebagai refleks dari rangsangan langsung terhadap dinding usus sehingga
mempermudah defekasi dan meredakan konstipasi (Tjay dan Raharja 2008).
Laksansia digolongkan menjadi zat perangsang langsung dinding usus, zat pelicin,
dan zat yang menimbulkan refleks defekasi pada usus. Tujuan pemberian laksansia
adalah menjaga feses tidak mengeras dan defekasi menjadi normal (Sundari dan
Winarno 2010).

Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh beberapa


sediaan obat yang memiliki daya kerja sebagai laksansia dan mengetahui
mekanisme perubahan yang terjadi dari pengaruh obat tersebut di dalam usus.

TINJAUAN PUSTAKA

Laksansia adalah obat yang digunakan untuk meningkatkan frekuensi


defekasi, menambah berat feses, serta melunakkan konsistensi feses yang
disebabkan akibat dehidrasi material yang tinggal terlalu lama dalam usus besar
sebelum dikeluarkan. Massa, kelembapan, dan derajat dehidrasi feses sangat
bergantung pada kadar serat di dalam makanan. Oleh sebab itu, jumlah serat dan air
dalam jumlah memadai pada makanan merupakan hal penting yang memengaruhi
kelancaran defekasi.

Aquades termasuk larutan hipotonis. Hipotonis merupakan keadaan berupa


konsentrasi zat terlarut dalam larutan rendah. Ketika larutan hipotonis dimasukkan
ke dalam lumen usus, larutan tersebut akan diabsorpsi ke luar usus hingga tercapai
suatu keseimbangan konsentrasi di dalam maupun di luar usus (Karczmar 2000).

Normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0.9 %) memiliki osmolaritas


(tingkat kepekatan) yang mendekati serum (bagian cair dari komponen darah) dan
bersifat isotonis sehingga terus berada di dalam pembuluh darah (Mycek 2001).
Normal saline bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi sehingga
tekanan darah terus menurun. Selain NaCl 0.9%, MgSO4 4.7% juga tergolong ke
dalam larutan isotonis (Karczmar 2000).

MgSO4 27% dan NaCl 3% merupakan larutan hipertonis. Larutan tersebut


berada pada lumen usus dalam jumlah tertentu dan menyebabkan cairan bergerak
dari epitel usus ke lumen usus. Pergerakan cairan ini akan membuat feses yang
padat akan menjadi encer sehingga defekasi menjadi mudah. MgSO4 merupakan
obat laksansia garam yang terdiri dari kation yang tidak bisa diserap (magnesium)
dan anion yang tidak bisa diserap (sulfat). Keduanya bekerja membentuk massa dan
menghasilkan stimulus pada aktivitas peristaltik sehingga bekerja cepat untuk
mendorong garam tersebut keluar dari tubuh (Karczmar 2000).

METODE PRAKTIKUM

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah perasat bedah minor,
syringe, benang, kain penutup, alas busa, dan kapas. Bahan yang digunakan adalah
tikus, aquades, uretan, NaCl fisiologis 0.9%, NaCl fisiologis 3%, MgSO 4 4.7%, dan
MgSO4 27%.

Prosedur Praktikum

Tikus di-handling dengan cara menutup mata tikus menggunakan kain


penutup dan memegangi bagian tubuh atas tikus. Tikus tersebut diberikan anestesi
ketamin-xylazin dengan rute intramuskular. Tikus yang teranestesi diletakkan di
atas alas busa dengan posisi dorsal recumbency dan kakinya diikat menggunakan
benang pada sisi bantalan busa tersebut. Setelah itu, pembedahan dilakukan dengan
cara menyayat bagian abdomen tikus. Saat mencapai rongga abdomen, usus
dipreparasi dan diikat menggunakan benang sepanjang 2.5 cm dari daerah pylorus.
Usus dibagi menjadi 5 segmen dengan cara mengikat usus menggunakan benang
berinterval 5 cm dan berjarak 0.5 cm antarikatan. Pada setiap segmen diberikan
sediaan berbeda. Segmen kesatu diberikan NaCl 0.9%, kedua NaCl 3%, ketiga
MgSO4 4.7%, dan keempat MgSO4 27% dengan volume masing 0.25 ml. Kemudian
tunggu selama 2 jam untuk mengamati perubahan yang terjadi pada setiap segmen
dengan cara melihat volume akhir cairan dalam usus.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tikus diinjeksi menggunakan sediaan laksansia berupa NaCl 0.9%, NaCl


3%, MgSO4 4.7%, dan MgSO4 27% kemudian didiamkan selama 2 jam dan cairan
usus dari setiap segmen diaspirasi serta diukur volumenya.

Tabel 1. Volume Cairan Usus Tikus pada Akhir Percobaan (mL)

Tikus NaCl 0.9% NaCl 3% MgSO4 4.7% MgSO4 27%


(mL) (mL) (mL) (mL)

1 0.4 0.8 0.3 1

2 0.45 0.75 0.45 0.9

3 0.42 0.73 0.4 0.8

4 0.46 0.8 0.46 0.92

5 0.46 0.84 4.38 0.78

Rata- 0.44 0.78 0.41 0.88


rata

Praktikum dilakukan dengan mengikat usus menggunakan benang sehingga


usus terbagi menjadi beberapa segmen. Masing-masing segmen diinjeksikan
dengan larutan garam, yaitu NaCl fisiologis 0.9%, NaCl fisiologis 3%, MgSO4
4.7%, dan MgSO4 27% dengan volume 0.25 ml kemudian setelah 2 jam volume
cairan pada masing-masing segmen usus diukur. Pemberian NaCl fisiologis 0.9%
menunjukkan rata-rata volume cairan usus sebesar 0.44 ml. Hasil yang diperoleh
menandakan bahwa terjadi perubahan volume cairan usus. Hal ini tidak sesuai
dengan literatur. Menurut Karczmar dan Koppanyi (1963), natrium klorida (NaCl)
0.9% termasuk larutan isotonis. Isotonis merupakan keadaan berupa seimbangnya
konsentrasi zat terlarut dan air. NaCl 0.9% yang diberikan ke dalam lumen usus
seharusnya tidak menimbulkan absorpsi maupun penarikan air ke dalam lumen
karena konsentrasi di luar dan di dalam sudah seimbang. Ketidaksesuaian hasil yang
diperoleh kemungkinan terjadi karena pengikatan benang yang kurang sempurna
sehingga masih ada cairan yang dapat berpindah dari satu segmen ke segmen lain
dan menyebabkan data tidak akurat.

Hasil praktikum pada segmen usus yang diberi sediaan NaCl 3% memiliki
rata-rata sebesar 0.78 mL. NaCl 3% adalah larutan yang bersifat hipertonis
(Nadhifanny dan Perdani 2017). Larutan hipertonis akan menyerap cairan yang
berada di dalam usus sehingga kadar air meningkat di lumen usus dan menyebabkan
sel-sel mengkerut. Selain itu, NaCl 3% dapat merangsang saraf-saraf parasimpatis
yang berada di otot polos sistem pencernaan, terutama usus untuk berkontraksi. Hal
ini mengakibatkan defekasi terjadi lebih cepat (Ganiswarna 1995).

Magnesium sulfat adalah suatu garam anorganik yang mengandung


magnesium, sulfur, dan oksigen dengan rumus MgSO 4 (Saidah dan Yusup 2016).
Menurut Endyarni dan Syarif (2004), MgSO 4 merupakan senyawa laksatif salin
karena mengandung kation magnesium dan anion fosfat sehingga MgSO 4
membantu menggerakkan usus dengan menstimulasi motilitas usus. Ion magnesium
akan menarik air dari jaringan sekitar dengan cara osmosis. Hasil pengamatan
menggunakan larutan MgSO4 4.7% menunjukkan rata-rata volume sebesar 0.41
mL. Magnesium sulfat (MgSO 4) 4.7% termasuk larutan isotonis (Karczmar 2000).
Magnesium sulfat yang diberikan ke dalam lumen usus tidak menimbulkan absorpsi
maupun penarikan air ke dalam lumen karena konsentrasi ion di luar dan di dalam
usus sudah seimbang. Oleh karena itu, tidak terjadi perubahan volume larutan yang
berarti akibat tidak ada air yang diserap oleh lumen. Ketidaksesuaian pada hasil
pengamatan dapat terjadi karena epitel usus sudah tidak dalam keadaan normal
secara fisiologis sehingga tidak bekerja optimal saat diberikan sediaan hipertonis.
Faktor lainnya bisa juga disebabkan karena syringe yang digunakan saat pemberian
sediaan tidak diposisikan secara benar sehingga tidak semua sediaan terdeposisi ke
lumen usus.

Pengamatan menggunakan sediaan MgSO 4 27% menunjukkan rata-rata


volume cairan akhir pada usus sebesar 0.88 mL. Hal ini menunjukkan terjadinya
peningkatan cairan dalam lumen usus sebesar 0.63 mL. Magnesium sulfat (MgSO 4)
yang dikenal juga sebagai Epsom salt atau bitter salt merupakan laksansia yang
meningkatkan transit intestinal (Vu et al. 2000). Magnesium sulfat kering
merupakan pencahar osmotik atau pencahar garam yang bekerja meningkatkan
pengeluaran feses dengan cara menarik dan menahan cairan dalam jumlah besar
sehingga terjadi peningkatan pengeluaran feses akibat stimulasi gerakan peristaltik
(Osude-Uzodike dan Akanoh 2003). Penggunaan garam magnesium dosis tinggi
(MgSO4 27%) bertujuan untuk menghasilkan efek pencahar untuk mengobati
sembelit. Ion magnesium dan sulfat tidak dapat diserap dengan baik dalam usus
sehingga memberikan efek osmotik dan menyebabkan air tertahan di lumen usus.
Hal ini meningkatkan fluiditas isi intraluminal, menghasilkan tindakan pencahar,
dan menyebabkan pelepasan hormon, seperti kolesistokinin atau aktivasi sintase
oksida nitrat konstitutif yang berkontribusi pada efek farmakologis obat (Vu et al.
2000). Akibatnya, pemberian magnesium sulfat menyebabkan diare karena terjadi
peningkatan cairan berlebih di usus. Selain itu, penggunaan magnesium sulfat dapat
memperbaiki konsistensi feses dan meningkatkan pergerakan usus (Dupont dan
Hébert 2020). Penggunaan magnesium sulfate–rich natural mineral water juga
dapat meningkatkan transit gastrointestinal secara signifikan pada pasien konstipasi
sehingga magnesium sulfate–rich natural mineral water dapat digunakan sebagai
penanganan pertama pada functional constipation sebelum inisiasi obat (Dupont et
al. 2014).
SIMPULAN

Sediaan yang dapat digunakan sebagai laksansia adalah sediaan dengan sifat
hipertonis, seperti NaCl 3% dan MgSO4 27%. Sediaan dengan sifat hipertonis
mampu meningkatkan cairan dalam usus dan meningkatkan gerak peristaltik usus
sehingga terjadi perbaikan konsistensi feses serta peningkatan frekuensi defekasi.

DAFTAR PUSTAKA

Dupont C, Campagne A, Constant F. 2014. Efficacy and safety of magnesium


sulfate–rich natural mineral water for patients with functional constipation.
Clinical Gastroenterology and Hepatology. 12(8): 1280-1287.
Dupont C, Hébert G. 2020. Magnesium sulfate-rich natural mineral waters in the
treatment of functional constipation-A review. Nutrients. 12(1): 1-14.
Endyarni B dan Syarif BH. 2004. Konstipasi fungsional. Sari Pediatri. 6 (2): 75-
80.
Ganiswarna S. 1995. Farmakologi Terapi. Ed ke-4. Jakarta (ID): Percetakan Gaya
Baru.
Jannah IN, Mustika A, Puruhito EF. 2017. Reduction of constipating scoring system
among women aged 18-25 years old as a result of decocted trengguli (Cassia
fistula L.). Journal of Vocational Health Studies. 1(2): 58-62.
Karczmar AG, Koppanyi T. 2000. Experimental Pharmacodynamics. USA:
Burgess Publishing Company.
Mulyani S. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian konstipasi pada
lansia di RW II Kelurahan Rejo Mulyo Kecamatan Semarang Timur
Semarang [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Muhammadiyah Semarang.
Mycek, J. M. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Ed ke-2. Jakarta (ID): PT
Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Nadhifanny NDD, Perdani RRW. 2017. Nebulisasi NaCl 3% lebih efektif daripada
NaCl 0,9 % pada bronkiolitis akut. Majority. 6(3): 136-141.
Osude-Uzodike EB, Akanoh RN. 2003. Effect of magnesium sulfate (a laxative on
accommodation and convergence function. Journal of the Nigerian
Optometric Association. 10(1): 8-12.
Saidah S, Yusup N. 2016. Hubungan pemberian magnesium (MgSO4) pada
kehamilan pre eklamasi/eklamasia terhadap kejadian asfiksia pada BBL di RS
Islam Samarinda. Jurnal Kebidanan Mutiara Mahakam. 4(2): 11-20.
Sundari D, Winarno MW. 2010. Efek laksatif jus daun asam jawa (Tamarindus
indica Linn.) pada tikus putih yang diinduksi dengan gambir. Media Litbang
Kesehatan. 20(3): 100-103.
Tjay TH, Rahardja K. 2002 Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya. Ed ke-5. Jakarta (ID): Gramedia.
Vu MK, Nouwens MA, Biemond I, Lamers CB, Masclee AA. 2000. The osmotic
laxative magnesium sulphate activates the ileal brake. Aliment Pharmacol
Ther. 14(5): 587-595.

Anda mungkin juga menyukai