Anda di halaman 1dari 15

Tanggal Praktikum : Senin, 15 November 2021

Dosen Pembimbing : Dr. Aziiz Mardanarian


Rosdianto, S.Kep., Ners., M.H.
(Kes), M.Si., AIF.

Kelompok Praktikum : Kelompok 7

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI VETERINER II


MODUL DIURETIKUM

Disusun oleh :
Quisha Nurninoshca 130210190013
Hilsa Rizqin Febriani 130210190025
Shafa Azizah 130210190028
Arifah Choirunnisa 130210190030
Afina firda Alifia 130210190048
Shollatunnisa Putri de Tasya 130210190054

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
NOVEMBER 2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan
volume urin. Selain terjadi kenaikan volume urin, diuretik juga memobilisasi
ekskresi elektrolit. Fungsi utama diuretik adalah untuk menanggulangi edema
yaitu dengan mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa hingga
volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal. Diuretik bekerja juga
mempengaruhi kondisi gagal jantung untuk dapat tetap terkendali meski
bukan terapi utama.
Mekanisme kerja diuretik dapat dibagi menjadi 4 yang selanjutnya
dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus. Contoh : Xanthin
dan digitalis
b. Menghambat reabsorpsi elektrolit pada tubulus ginjal dengan
menghambat enzim karbonik anhidrase. Contoh : Thiazide dan
diuretik hemat kalium
c. Meningkatkan tekanan osmotik. Contoh : diuretik osmotik
d. Menghambat sekresi anti diuretik hormon (vasopresin)
1.2. Tujuan
1.2.1. Mahasiswa dapat mengetahui prinsip kerja dari diuretikum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diuretik merupakan obat yang meningkatkan pelepasan ion natrium (Na) dan
air dalam urin. Hal ini dilakukan dengan memperkecil volume cairan ekstraseluler
(ECF), diuretik memobilisasi cairan edema dari rongga interstitial dan
mengembalikan perfusi jaringan normal serta fungsi organ. Penggunaan diuretik
dalam praktik klinis veteriner biasanya sebagai pencegah dan perawatan edema
umum atau edema lokal yang parah (Ahrens, 2008). Berdasarkan mekanisme kerja
obat diuretik dapat diklasifikasikan dalam kelompok yaitu inhibitor karbonat
anhidrase, loop, osmotik, thiazide, dan antagonis reseptor aldosteron (Alzghari, S.
2020).
Inhibitor karbonat anhidrase bekerja secara reversibel menghambat enzim
karbonat anhidrase yang menyebabkan reduksi ion hidrogen dalam pertukaran Naᐩ-
Hᐩ di tubulus proksimal. Penekanan reabsorbsi karbon dioksida dari filtrat glomerulus
−¿ ¿
serta peningkatan ekskresi Naᐩ- HCO 3 menghasilkan urin alkalin. Ginjal
mempertahankan ion Cl⁻ untuk menjaga keseimbangan ionik yang mengakibatkan
hiperkloremik asidosis (Ahrens, 2008). Hasil diuresis minimal karena asidemia yang
dihasilkan menghambat kerja diuresis, serta cairan tubulus yang meninggalkan
tubulus proksimal direklamasi lebih jauh ke nefron (Wile, 2012). Obat yang termasuk
ke dalam kelompok ini yaitu asetazolamid.
Diuretik loop memiliki mekanisme kerja dengan menghambat reabsorbsi
elektrolit pada bagian asendens tebal lengkung henle. Diuretik ini bekerja di
permukaan luminal dari sel epitel untuk menghambat kotranspor Naᐩ-Kᐩ-2Cl⁻ ke
dalam sel (Ahrens, 2008). Penghambatan ini akan menyebabkan natriuresis
substansial, hiponatremia, kemungkinan hipokalemia, hipokalsemia, serta
hipomagnesemia dengan kemungkinan berbeda - beda (Wile, 2012). Pemberian
diuretik loop secara intravena cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa
disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Akibatnya reabsorbsi cairan dan elektrolit di
tubulus proksimal menurun serta meningkatkan diuresis (Nafrialdi, 2007). Contoh
obatnya yaitu furosemide, torsemide, asam etakrinat, dan bumetanide.
Diuretik osmotik difiltrasi pada glomerulus tetapi sedikit yang direabsorbsi
oleh lumen nefron. Zat terlarut yang tidak terabsorbsi di tubulus proksimal
menyebabkan reabsorbsi air menurun, yang menghasilkan jumlah urin yang besar
(Ahrens, 2008). Pemberian secara intravena menyebabkan air berpindah dari bagian
intraseluler ke ekstraseluler. Hal ini menyebabkan kenaikan plasma yang
mengakibatkan osmolalitas cairan tubular. Gradien yang lebih rendah dalam
osmolalitas antara sel tubular dan lumen mengganggu reabsorbsi air. Sehingga terjadi
diuresis air dan hipernatremia (Wile, 2012). Obat diuretik osmotik yaitu manitol,
urea, gliserin, dan isosorbid.
Thiazide bekerja dengan memblokir kotranspor Naᐩ-Cl⁻ di bagian awal
tubulus distal (Ahrens, 2008). Sistem transpor ini dalam keadaan normal akan
membawa Naᐩ dan Cl⁻ dari lumen ke dalam sel epitel tubulus. Naᐩ akan dipompakan
ke luar tubulus dan ditukar dengan Kᐩ. Sedangkan, Cl⁻ akan dikeluarkan melalui
kanal klorida. Pemakaian thiazide menyebabkan ekskresi natrium, klorida dan
potasium meningkat (Nafrialdi, 2007). Thiazide hanya bertindak sebagai natriuretik
moderat, secara mencolok kurang poten dibanding diuretik loop. Bahkan pada dosis
maksimal, thiazide hanya dapat menghambat paling banyak 3-5% natrium yang
disaring dalam cairan tubulus (Wile, 2012). Pemberian thiazide melalui intravena
dapat mengurangi kecepatan filtrasi glomerulus karena pengurangan aliran darah
ginjal. Tetapi penurunan filtrasi ini efeknya sedikit sekali pada diuretik thiazide dan
hanya memiliki fungsi klinis jika fungsi ginjal sudah berkurang (Nafrialdi, 2007).
Antagonis reseptor aldosteron termasuk ke dalam kelompok diuretik hemat
kalium. Mekanisme kerja obat ini dengan melakukan penghambatan kompetitif
terhadap aldosteron. Hal ini menyebabkan kerja aldosteron terganggu, mulai dari
penurunan reabsorbsi ion Na dan K di bagian akhir tubulus distal dan duktus
koligentes, serta mengurangi ekskresi potasium (Nafrialdi, 2007). Antagonis
aldosteron ini efektif digunakan jika aldosteron terdapat dalam tubuh. Terdapat dua
macam obat antagonis reseptor aldosteron yaitu, spironolakton dan eplerenon. Obat
diuretik hemat kalium lainnya yaitu triamteren dan amilorid yang memiliki efek
serupa dengan antagonis reseptor aldosteron. Akan tetapi, efek ini berupa efek
langsung tanpa penghambatan reseptor aldosteron. Obat golongan ini terbukti secara
klinis lebih efektif jika diberikan bersama obat diuretik lain seperti thiazide untuk
meningkatkan natriuresisnya dan mengurangi ekskresi kalium.
Hormon antidiuretik (ADH) merupakan hormon oktapeptida yang diproduksi
oleh sel saraf nukleus supraoptikus dan paraventrikularis di hipotalamus. ADH
ditranspor melalui serabut saraf menuju sel-sel pituisit hipofisis posterior. Hormon ini
disebut juga vasopresin, berikatan dengan protein spesifik yaitu neurofisin. Dengan
rangsangan listrik atau pemberian asetilkolin dapat melepaskan ikatan tersebut
(Nafrialdi, 2007). Hormon ini secara langsung dapat menyebabkan vasokontriksi dan
meningkatkan reabsorbsi air (Ahrens, 2008).
Kafein merupakan alkaloid dalam famili methylxanthines. Zat ini berada pada
makanan, minuman maupun obat - obatan. Secara kompetitif, kafein bersifat
antagonis terhadap reseptor adenosin (AR). Reseptor ini berpasangan dengan protein
G, dan didistribusikan sebagian besar ke seluruh tubuh termasuk ginjal. Konsumsi
kafein memiliki efek diuretik sekunder. Homeostasis garam dan air terlibat dalam
berbagai segmen di nefron. Adenosin memainkan peran kompleks bergantung pada
diferensial ekspresi AR. Kafein meningkatkan laju filtrasi glomerulus dengan
menentang vasokontriksi arteriol aferens ginjal yang dimediasi oleh adenosin tipe 1
AR selama umpan balik tubuloglomerular. Selain itu, kafein juga menghambat
reabsorbsi Naᐩ di tubulus proksimal (Marx, et al, 2016).
Salyrgan adalah senyawa merkuri organik kompleks natrium-salisil-alil-
amidoasetat yang mengandung 36% merkuri (Bedford, 1931). Pada abad ke-19, obat
ini dianggap sebagai diuretik paling poten. Relatif bersifat tidak berbahaya. Obat ini
juga sangat berguna dalam kasus dekompensasi jantung dengan edema dan sirosis
portal hati. Akan tetapi, pengaruhnya berkurang ketika anasarea bersifat terminal
(Agnew, 1928)
BAB III
METODE KERJA
3.1. Alat
1) Kandan metabolisme
2) Sonde lambung
3) Spuit 1 ml
4) Tikus
3.2. Bahan
1) Aquades
2) Kafein 1%
3) Lasyx
4) NaCl
5) Pituitrin 0.1%
6) Salyrgan
7) Thiazide
3.3. Prosedur
1) Tikus dipuasakan selama 12-16 jam. Kemudian, tikus dicekok dengan
aquades sebanyak 5 mL ke dalam lambungnya menggunakan sonde
lambung sebelum percobaan.
2) Tikus disuntik lasix sebanyak 0.05 mL secara subkutan, lalu dimasukkan
ke dalam kandang metabolisme.
3) Urin yang keluar pada 20 menit pertama dibuang. Lakukan pengamatan
urin pada menit ke 60 dan menit ke 120 dengan menampung dan
mengukur volumenya.
4) Prosedur ini diulangi dengan menggunakan sediaan yang lain. NaCl
fisiologis diberikan secara subkutan sebanyak 0.5 mL, pituitrin 0.1%
diberikan secara subkutan sebanyak 0.25 mL, thiazide diberikan secara
oral sebanyak 1 mL, kafein 1% diberikan secara subkutan sebanyak 0.5
mL, dan salyrgan diberikan secara oral sebanyak 0.13g/mL.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Tabel pengamatan perbandingan volume urin pada menit ke-60 dan menit ke-
120 terhadap sediaan.

No Sediaan Volume Urin (mL) Menit ke-

60 120

1. Lasix 3.2 6.9

2. NaCl Fisiologis 1.1 -

3. Pituitrin 0.1% Setetes -

4. Thiazide 0.93 -

5. Kafein 1% 3.16 5

6. Salyrgan 1.8 -

4.2. Pembahasan
Pada percobaan, lasix diinjeksikan pada tikus sebanyak 0.05 mL lalu
dibiarkan berada di dalam kandang metabolisme. Kemudian, dilakukan
pengamatan terhadap hasil urinasi tikus yang menunjukkan pengaruh dari
injeksi lasix pada tikus tersebut. Melalui percobaan, didapatkan hasil bahwa
pada 60 menit pertama, tikus melakukan urinasi dan didapatkan urin sebanyak
3.2 mL. Setelah 60 menit selanjutnya, tikus didapatkan volume urin sebanyak
6.9 mL. Dapat disimpulkan dari percobaan terjadi peningkatan volume urin
dengan diberikan lasix.
Lasix merupakan obat diuretik yang mengandung bahan aktif
furosemide. Furosemide memiliki kemampuan dalam peningkatan pelepasan
natrium pada urin serta mengurangi gejala fisik dari retensi cairan pada pasien
(Makani & Setyaningrum, 2017). Obat ini termasuk ke dalam diuretik kuat
yang menurunkan absorbsi elektrolit di bagian asendens lengkung henle dan
secara langsung berefek pada ekskresi potasium di distal tubulus proksimal.
Furosemid meningkatkan ekskresi ginjal karena efeknya pada nefron,
sehingga peningkatan sodium dan retensi air tidak terjadi (Plumb, 2011).
NaCl fisiologis diinjeksikan pada tikus sebanyak 0.5 mL, kemudian
dibiarkan berada di dalam kandang metabolisme. Selanjutnya, dilakukan
pengamatan terhadap hasil urinasi tikus. Dalam percobaan ini ditunjukkan
bahwa pemberian NaCl fisiologis dapat menghambat diuresis, yang tampak
pada penurunan urin yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari urin yang
diperoleh sebanyak 1.1 mL setelah 60 menit pertama injeksi. Nilai tersebut
lebih sedikit dibandingkan lasyx, kafein 1% dan salyrgan. Sedangkan pada 60
menit kemudian, terjadi penurunan bahkan tidak ada lagi urin yang dihasilkan
dari tikus tersebut.
NaCl fisiologis merupakan larutan isotonis yang memiliki konsentrasi
serupa dengan cairan dalam tubuh, sehingga cairan di dalam tubuh tidak
tertarik dari ekstraseluler. Urin yang dihasilkan merupakan urin yang normal
berasal dari sisa metabolisme cairan dari saluran pencernaan. NaCl fisiologis
dapat menghambat diuresis, karena larutan ini meningkatkan osmolaritas
cairan tubuh. Tingkatan osmolaritas cairan tubuh merangsang pelepasan
vasopresin yang menghambat diuresis reabsorbsi air di duktus kolektif
(Udokang, et al, 2005).
Tikus yang diinjeksi dengan pituitrin 0.1% menghasilkan urin
sebanyak setetes pada menit ke-60 dan tidak menghasilkan urin pada menit
ke-120. Pituitrin adalah ekstrak hipofisis posterior sapi yang mengandung
oksitosin dan vasopresin (Chen, et al., 2020). Vasopresin merupakan
prekursor ADH (antidiuretic hormone).
Pituitrin menyebabkan tikus menghasilkan urin sebanyak setetes pada
menit ke-60. Hal ini karena keberadaan vasopresin pada pituitrin, atau hormon
anti diuretik. Dengan adanya ADH, duktus kolektivus menjadi permeabel
terhadap zat terlarut dan air, yang menyebabkan ginjal melepaskan lebih
sedikit air, sehingga mengurangi jumlah urin yang diproduksi. Tingkat ADH
yang semakin tinggi menyebabkan tubuh memproduksi lebih sedikit urin
(Sands & Layton, 2010). Selanjutnya, pada menit ke-120 urin tidak
dihasilkan. Hal ini terjadi karena hasil mekanisme pituitrin (vasopresin) yang
menyebabkan penurunan ekskresi air oleh ginjal dengan meningkatkan
permeabilitas membran sel tubulus distal dan duktus kolektivus serta
meningkatkan reabsorpsi air (Papich, 2016).
Setelah dipuasakan dan dicekok dengan aquades, tikus diberikan
thiazide secara oral sebanyak 1 mL. Tikus dibiarkan dalam kandang
metabolisme, lalu dilakukan urinasi setiap 60 menit sekali dengan kondisi urin
yang keluar pada 20 menit pertama dibuang. Diperoleh urin sebanyak 0.93
mL pada 60 menit pertama dan tidak ada urin sama sekali pada 60 menit
kedua. Hal ini menunjukkan efek pemberian thiazide pada tikus menyebabkan
penurunan volume urinasi.
Penurunan volume urin oleh thiazide biasanya terjadi pada pasien
diabetes insipidus (DI). Secara paradoks, hal ini terjadi karena penurunan
volume plasma yang diikuti penurunan laju filtrasi glomerulus. Sehingga,
reabsorbsi Na dan air di tubulus proksimal meningkat (Nafrialdi, 2007).
Mungkin juga hal ini terjadi akibat fungsi ginjal pada tikus berkurang,
sehingga aliran darah ginjal berkurang dan filtrasi juga menurun. Selain kedua
kemungkinan di atas, terdapat kemungkinan lain yang berhubungan dengan
onset thiazide. Pemberian secara oral biasanya menyebabkan onset kerja
menjadi lebih lambat dibanding pemberian parenteral. Onset biasanya terjadi
setelah 2-3 jam dan memuncak dalam 4-6 jam (Plumb, 2011). Pengeluaran
urin yang dihasilkan pada 60 menit pertama mungkin merupakan aquades
yang dimetabolisme oleh tikus sebelum onset kerja terjadi.
Kafein diinjeksikan pada subkutan tikus sebanyak 0,5 mL, lalu
didiamkan berada di dalam kandang metabolisme. Dilakukan pengumpulan
hasil urinasi tikus di setiap 60 menit sebanyak dua kali. Hasil percobaan
menunjukkan pada 60 menit pertama, diperoleh urin sebanyak 3.16 mL dan
60 menit kedua sebanyak 5 mL. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi
peningkatan volume urin dengan pemberian kafein.
Kafein memiliki sifat diuretik bukan sebagai efek utama melainkan
efek sekunder. Kafein berfungsi meningkatkan kerja jantung dan
meningkatkan tekanan darah, sehingga laju filtrasi glomerulus (GFR)
meningkat. Selain itu, kafein juga menghambat reabsorbsi natrium. Kafein
bekerja pada jantung dengan meningkatkan daya kerja dan cardiac output,
sehingga tekanan dalam pembuluh darah meningkat. Akibatnya GFR ikut
meningkat dan jumlah urin meningkat. Berdasarkan mekanisme ini kafein
dikategorikan diuretik akibat efek sekundernya (Ives, 2001).
Salyrgan diberikan pada tikus secara peroral sebanyak 0,13 g/mL,
kemudian ditempatkan di kandang metabolisme. Hasil pengamatan terhadap
volume urin yang dihasilkan tikus selama 60 menit pertama yaitu 1,8 ml dan
tidak dihasilkan urin pada menit ke 120. Hal ini bertentangan dengan literatur
salyrgan. Obat ini merupakan diuretik poten sehingga tikus seharusnya
mengalami urinasi. Hasil praktikum ini dapat kemungkinan disebabkan karena
onset salyrgan yang lama sehingga waktu pengamatan yang kurang untuk
melihat efek sepenuhnya.
Dalam studi yang dilakukan Agnew (1928), salyrgan merupakan
diuretik merkurial yang efektif dan tidak memiliki toksisitas. Salyrgan
merupakan diuretik kuat yang bekerja pada lengkung henle. Pada mayoritas
kasus pemberian salyrgan pada manusia, salyrgan mengakibatkan diuresis
yang berkepanjangan pada 12 jam pertama kemudian kembali normal setelah
dua hari. Dengan demikian, dapat diperkirakan efek salyrgan pada tikus
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melihat efek sepenuhnya.
BAB V
KESIMPULAN
Diuretik merupakan obat yang dipakai untuk meningkatkan pembentukan
volume urin disertai mobilisasi elektrolit ion. Mekanisme kerja obat diuretik
umumnya terbagi menjadi empat macam. Diuretik yang mempercepat filtrasi
glomerulus seperti kafein. Ada pula diuretik yang menghambat reabsorbsi elektrolit
seperti furosemide, thiazide, lasix, dan salyrgan. NaCl fisiologis digunakan lebih
sebagai kontrol dalam percobaan, dibanding menjadi zat diuretik. Pituitrin bekerja
sebagai prekursor vasopresin yang mencegah terjadinya diuresis.
Pada percobaan menggunakan lasix, didapatkan peningkatan volume urin.
Lasix mengandung bahan aktif furosemide yang bekerja dengan menghambat
absorbsi elektrolit pada lengkung henle. Obat ini juga meningkatkan ekskresi ginjal
sehingga volume urin meningkat. NaCl fisiologis pada percobaan ini menunjukkan
penekanan pada diuresis. Hal ini ditunjukkan dengan hasil 1.1 mL pada periode
pertama dan tidak dihasilkan urin pada periode selanjutnya. Hal ini terjadi karena
larutan meningkatkan osmolaritas pada tubuh. Peningkatan ini merangsang pelepasan
vasopresin agar menghambat diuresis dari tubulus kolektif. Pituitrin mengandung
prekursor vasopresin yang dapat meningkatkan reabsorpsi air pada duktus kolektivus.
Hal ini menurunkan jumlah air yang akan diekskresikan, sehingga diuresis terhambat.
Tampak pada urinasi yang dihasilkan hanya setetes bahkan tidak dihasilkan sama
sekali. Penggunaan thiazide dan salyrgan memberikan efek yang sama yaitu,
penghambatan reabsorbsi elektrolit. Akan tetapi, pada percobaan hasil diuresis tidak
tampak karena onset kerja kedua obat yang terlalu lama. Kafein merupakan zat yang
memiliki efek diuretik sekunder pada tubuh. Zat ini bertindak meningkatkan laju
filtrasi glomerulus melalui kenaikan aliran darah. Kafein juga menghambat reabsorbsi
Naᐩ di tubulus proksimal, sehingga absorbsi air berkurang dan volume urin
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Agnew, G. H. (1928). Salyrgan as a Diuretic. Canadian Medical Association Journal,
18(1), 45.
Ahrens, F. (2008). Chapter 9 : Diuretics. Handbook of Veterinary Pharmacology.
John Wiley & Sons. 207-219.
Alzghari, S. K., Rambaran, K. A., & Ray, S. D. (2020). Diuretics. Side Effect of Drug
Annual, 42(19), 227-237. https://doi.org/10.1016/bs.seda.2020.07.005
Bedford, D. E. (1931). Salyrgan in the Treatment of Heart Failure.
Chen, Z., Chen, T., Ye, H., Chen, J., & Lu, B. (2020). Intraoperative
Dexmedetomidine-induced Polyuria from a Loading Dose: a Case Report.
Journal of International Medical Research, 1–7.
Ives, H. E. (2001). Obat-obat Diuretikum. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta:
Salemba Medika.
Makani, M., & Setyaningrum, N. (2017). Pola Penggunaan Furosemid dan Perubahan
Elektrolit Pasien Gagal Jantung di Rumah Sakit X Yogyakarta. Jurnal Ilmiah
Farmasi, 13(2), 57–68. https://doi.org/10.20885/jif.vol13.iss2.art3
Marx, B., Scuvée, É., Scuvée-Moreau, J., Seutin, V., & Jouret, F. (2016).
Mécanismes de l'effet diurétique de la caféine [Mechanisms of caffeine-
induced diuresis]. Medecine sciences : M/S, 32(5), 485–490.
https://doi.org/10.1051/medsci/20163205015
Nafrialdi. (2007). Diuretik dan Antidiuretik. Farmakologi dan Terapi (Edisi 5).
Universitas Indonesia, Jakarta.
Papich, M. G. (2016). Saunders Handbook of Veterinary Drugs Small and Large
Animal (Fourth Edition ed.).
Plumb, D. C. (2011). Plumb's Veterinary Drug Handbook (7th Edition). PharmaVet
Inc.
Sands, J. M., & Layton, H. E. (2010). The Physiology of Urinary Concentration: an
Update. Seminars in Nephrology.
Udokang, N. E., & Akpogomeh, B. A. (2005). Effect of Volume Loading with Water,
Normal saline, Palm Wine and Lipton Tea on Urinary Output, pH, Specific
Gravity, Sodium and Potassium Concentrations in Human Subjects. Nigerian
Journal of Physiological Sciences, 20(1), 101-108.
Wile, D. (2012). Diuretics: A Review. Annals of Clinical Biochemistry :
International Journal of Laboratory Medicine, 49(5), 419-431.
https://doi.org/10.1258/acb.2011.011281

Anda mungkin juga menyukai