Disusun oleh :
Quisha Nurninoshca 130210190013
Hilsa Rizqin Febriani 130210190025
Shafa Azizah 130210190028
Arifah Choirunnisa 130210190030
Afina firda Alifia 130210190048
Shollatunnisa Putri de Tasya 130210190054
60 120
4. Thiazide 0.93 -
5. Kafein 1% 3.16 5
6. Salyrgan 1.8 -
4.2. Pembahasan
Pada percobaan, lasix diinjeksikan pada tikus sebanyak 0.05 mL lalu
dibiarkan berada di dalam kandang metabolisme. Kemudian, dilakukan
pengamatan terhadap hasil urinasi tikus yang menunjukkan pengaruh dari
injeksi lasix pada tikus tersebut. Melalui percobaan, didapatkan hasil bahwa
pada 60 menit pertama, tikus melakukan urinasi dan didapatkan urin sebanyak
3.2 mL. Setelah 60 menit selanjutnya, tikus didapatkan volume urin sebanyak
6.9 mL. Dapat disimpulkan dari percobaan terjadi peningkatan volume urin
dengan diberikan lasix.
Lasix merupakan obat diuretik yang mengandung bahan aktif
furosemide. Furosemide memiliki kemampuan dalam peningkatan pelepasan
natrium pada urin serta mengurangi gejala fisik dari retensi cairan pada pasien
(Makani & Setyaningrum, 2017). Obat ini termasuk ke dalam diuretik kuat
yang menurunkan absorbsi elektrolit di bagian asendens lengkung henle dan
secara langsung berefek pada ekskresi potasium di distal tubulus proksimal.
Furosemid meningkatkan ekskresi ginjal karena efeknya pada nefron,
sehingga peningkatan sodium dan retensi air tidak terjadi (Plumb, 2011).
NaCl fisiologis diinjeksikan pada tikus sebanyak 0.5 mL, kemudian
dibiarkan berada di dalam kandang metabolisme. Selanjutnya, dilakukan
pengamatan terhadap hasil urinasi tikus. Dalam percobaan ini ditunjukkan
bahwa pemberian NaCl fisiologis dapat menghambat diuresis, yang tampak
pada penurunan urin yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari urin yang
diperoleh sebanyak 1.1 mL setelah 60 menit pertama injeksi. Nilai tersebut
lebih sedikit dibandingkan lasyx, kafein 1% dan salyrgan. Sedangkan pada 60
menit kemudian, terjadi penurunan bahkan tidak ada lagi urin yang dihasilkan
dari tikus tersebut.
NaCl fisiologis merupakan larutan isotonis yang memiliki konsentrasi
serupa dengan cairan dalam tubuh, sehingga cairan di dalam tubuh tidak
tertarik dari ekstraseluler. Urin yang dihasilkan merupakan urin yang normal
berasal dari sisa metabolisme cairan dari saluran pencernaan. NaCl fisiologis
dapat menghambat diuresis, karena larutan ini meningkatkan osmolaritas
cairan tubuh. Tingkatan osmolaritas cairan tubuh merangsang pelepasan
vasopresin yang menghambat diuresis reabsorbsi air di duktus kolektif
(Udokang, et al, 2005).
Tikus yang diinjeksi dengan pituitrin 0.1% menghasilkan urin
sebanyak setetes pada menit ke-60 dan tidak menghasilkan urin pada menit
ke-120. Pituitrin adalah ekstrak hipofisis posterior sapi yang mengandung
oksitosin dan vasopresin (Chen, et al., 2020). Vasopresin merupakan
prekursor ADH (antidiuretic hormone).
Pituitrin menyebabkan tikus menghasilkan urin sebanyak setetes pada
menit ke-60. Hal ini karena keberadaan vasopresin pada pituitrin, atau hormon
anti diuretik. Dengan adanya ADH, duktus kolektivus menjadi permeabel
terhadap zat terlarut dan air, yang menyebabkan ginjal melepaskan lebih
sedikit air, sehingga mengurangi jumlah urin yang diproduksi. Tingkat ADH
yang semakin tinggi menyebabkan tubuh memproduksi lebih sedikit urin
(Sands & Layton, 2010). Selanjutnya, pada menit ke-120 urin tidak
dihasilkan. Hal ini terjadi karena hasil mekanisme pituitrin (vasopresin) yang
menyebabkan penurunan ekskresi air oleh ginjal dengan meningkatkan
permeabilitas membran sel tubulus distal dan duktus kolektivus serta
meningkatkan reabsorpsi air (Papich, 2016).
Setelah dipuasakan dan dicekok dengan aquades, tikus diberikan
thiazide secara oral sebanyak 1 mL. Tikus dibiarkan dalam kandang
metabolisme, lalu dilakukan urinasi setiap 60 menit sekali dengan kondisi urin
yang keluar pada 20 menit pertama dibuang. Diperoleh urin sebanyak 0.93
mL pada 60 menit pertama dan tidak ada urin sama sekali pada 60 menit
kedua. Hal ini menunjukkan efek pemberian thiazide pada tikus menyebabkan
penurunan volume urinasi.
Penurunan volume urin oleh thiazide biasanya terjadi pada pasien
diabetes insipidus (DI). Secara paradoks, hal ini terjadi karena penurunan
volume plasma yang diikuti penurunan laju filtrasi glomerulus. Sehingga,
reabsorbsi Na dan air di tubulus proksimal meningkat (Nafrialdi, 2007).
Mungkin juga hal ini terjadi akibat fungsi ginjal pada tikus berkurang,
sehingga aliran darah ginjal berkurang dan filtrasi juga menurun. Selain kedua
kemungkinan di atas, terdapat kemungkinan lain yang berhubungan dengan
onset thiazide. Pemberian secara oral biasanya menyebabkan onset kerja
menjadi lebih lambat dibanding pemberian parenteral. Onset biasanya terjadi
setelah 2-3 jam dan memuncak dalam 4-6 jam (Plumb, 2011). Pengeluaran
urin yang dihasilkan pada 60 menit pertama mungkin merupakan aquades
yang dimetabolisme oleh tikus sebelum onset kerja terjadi.
Kafein diinjeksikan pada subkutan tikus sebanyak 0,5 mL, lalu
didiamkan berada di dalam kandang metabolisme. Dilakukan pengumpulan
hasil urinasi tikus di setiap 60 menit sebanyak dua kali. Hasil percobaan
menunjukkan pada 60 menit pertama, diperoleh urin sebanyak 3.16 mL dan
60 menit kedua sebanyak 5 mL. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi
peningkatan volume urin dengan pemberian kafein.
Kafein memiliki sifat diuretik bukan sebagai efek utama melainkan
efek sekunder. Kafein berfungsi meningkatkan kerja jantung dan
meningkatkan tekanan darah, sehingga laju filtrasi glomerulus (GFR)
meningkat. Selain itu, kafein juga menghambat reabsorbsi natrium. Kafein
bekerja pada jantung dengan meningkatkan daya kerja dan cardiac output,
sehingga tekanan dalam pembuluh darah meningkat. Akibatnya GFR ikut
meningkat dan jumlah urin meningkat. Berdasarkan mekanisme ini kafein
dikategorikan diuretik akibat efek sekundernya (Ives, 2001).
Salyrgan diberikan pada tikus secara peroral sebanyak 0,13 g/mL,
kemudian ditempatkan di kandang metabolisme. Hasil pengamatan terhadap
volume urin yang dihasilkan tikus selama 60 menit pertama yaitu 1,8 ml dan
tidak dihasilkan urin pada menit ke 120. Hal ini bertentangan dengan literatur
salyrgan. Obat ini merupakan diuretik poten sehingga tikus seharusnya
mengalami urinasi. Hasil praktikum ini dapat kemungkinan disebabkan karena
onset salyrgan yang lama sehingga waktu pengamatan yang kurang untuk
melihat efek sepenuhnya.
Dalam studi yang dilakukan Agnew (1928), salyrgan merupakan
diuretik merkurial yang efektif dan tidak memiliki toksisitas. Salyrgan
merupakan diuretik kuat yang bekerja pada lengkung henle. Pada mayoritas
kasus pemberian salyrgan pada manusia, salyrgan mengakibatkan diuresis
yang berkepanjangan pada 12 jam pertama kemudian kembali normal setelah
dua hari. Dengan demikian, dapat diperkirakan efek salyrgan pada tikus
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melihat efek sepenuhnya.
BAB V
KESIMPULAN
Diuretik merupakan obat yang dipakai untuk meningkatkan pembentukan
volume urin disertai mobilisasi elektrolit ion. Mekanisme kerja obat diuretik
umumnya terbagi menjadi empat macam. Diuretik yang mempercepat filtrasi
glomerulus seperti kafein. Ada pula diuretik yang menghambat reabsorbsi elektrolit
seperti furosemide, thiazide, lasix, dan salyrgan. NaCl fisiologis digunakan lebih
sebagai kontrol dalam percobaan, dibanding menjadi zat diuretik. Pituitrin bekerja
sebagai prekursor vasopresin yang mencegah terjadinya diuresis.
Pada percobaan menggunakan lasix, didapatkan peningkatan volume urin.
Lasix mengandung bahan aktif furosemide yang bekerja dengan menghambat
absorbsi elektrolit pada lengkung henle. Obat ini juga meningkatkan ekskresi ginjal
sehingga volume urin meningkat. NaCl fisiologis pada percobaan ini menunjukkan
penekanan pada diuresis. Hal ini ditunjukkan dengan hasil 1.1 mL pada periode
pertama dan tidak dihasilkan urin pada periode selanjutnya. Hal ini terjadi karena
larutan meningkatkan osmolaritas pada tubuh. Peningkatan ini merangsang pelepasan
vasopresin agar menghambat diuresis dari tubulus kolektif. Pituitrin mengandung
prekursor vasopresin yang dapat meningkatkan reabsorpsi air pada duktus kolektivus.
Hal ini menurunkan jumlah air yang akan diekskresikan, sehingga diuresis terhambat.
Tampak pada urinasi yang dihasilkan hanya setetes bahkan tidak dihasilkan sama
sekali. Penggunaan thiazide dan salyrgan memberikan efek yang sama yaitu,
penghambatan reabsorbsi elektrolit. Akan tetapi, pada percobaan hasil diuresis tidak
tampak karena onset kerja kedua obat yang terlalu lama. Kafein merupakan zat yang
memiliki efek diuretik sekunder pada tubuh. Zat ini bertindak meningkatkan laju
filtrasi glomerulus melalui kenaikan aliran darah. Kafein juga menghambat reabsorbsi
Naᐩ di tubulus proksimal, sehingga absorbsi air berkurang dan volume urin
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Agnew, G. H. (1928). Salyrgan as a Diuretic. Canadian Medical Association Journal,
18(1), 45.
Ahrens, F. (2008). Chapter 9 : Diuretics. Handbook of Veterinary Pharmacology.
John Wiley & Sons. 207-219.
Alzghari, S. K., Rambaran, K. A., & Ray, S. D. (2020). Diuretics. Side Effect of Drug
Annual, 42(19), 227-237. https://doi.org/10.1016/bs.seda.2020.07.005
Bedford, D. E. (1931). Salyrgan in the Treatment of Heart Failure.
Chen, Z., Chen, T., Ye, H., Chen, J., & Lu, B. (2020). Intraoperative
Dexmedetomidine-induced Polyuria from a Loading Dose: a Case Report.
Journal of International Medical Research, 1–7.
Ives, H. E. (2001). Obat-obat Diuretikum. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta:
Salemba Medika.
Makani, M., & Setyaningrum, N. (2017). Pola Penggunaan Furosemid dan Perubahan
Elektrolit Pasien Gagal Jantung di Rumah Sakit X Yogyakarta. Jurnal Ilmiah
Farmasi, 13(2), 57–68. https://doi.org/10.20885/jif.vol13.iss2.art3
Marx, B., Scuvée, É., Scuvée-Moreau, J., Seutin, V., & Jouret, F. (2016).
Mécanismes de l'effet diurétique de la caféine [Mechanisms of caffeine-
induced diuresis]. Medecine sciences : M/S, 32(5), 485–490.
https://doi.org/10.1051/medsci/20163205015
Nafrialdi. (2007). Diuretik dan Antidiuretik. Farmakologi dan Terapi (Edisi 5).
Universitas Indonesia, Jakarta.
Papich, M. G. (2016). Saunders Handbook of Veterinary Drugs Small and Large
Animal (Fourth Edition ed.).
Plumb, D. C. (2011). Plumb's Veterinary Drug Handbook (7th Edition). PharmaVet
Inc.
Sands, J. M., & Layton, H. E. (2010). The Physiology of Urinary Concentration: an
Update. Seminars in Nephrology.
Udokang, N. E., & Akpogomeh, B. A. (2005). Effect of Volume Loading with Water,
Normal saline, Palm Wine and Lipton Tea on Urinary Output, pH, Specific
Gravity, Sodium and Potassium Concentrations in Human Subjects. Nigerian
Journal of Physiological Sciences, 20(1), 101-108.
Wile, D. (2012). Diuretics: A Review. Annals of Clinical Biochemistry :
International Journal of Laboratory Medicine, 49(5), 419-431.
https://doi.org/10.1258/acb.2011.011281