Anda di halaman 1dari 5

Hari, Tanggal : Rabu, 25 April 2018

Dosen : Drh.Andriyanto, M.Si


Tempat: Fifarm - 2

LAPORAN PRATIKUM
FARMAKOLOGI VETERINER II
LAKSANSIA

Anggota Kelompok:
1. Mas Taufiqqurrahman (B04150106) ……….
2. Dwi Putri Anggraini (B04150174) ……….
3. Muhammad Farhan (B04150176) ………
4. Ratyan Tri Widowati (B04150193) ……….
5. Alyssa (B04150194) ……….
6. Sandi Putra (B04150200) ………

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PENDAHULUAN
Makanan yang masuk ke dalam tubuh akan dimetabolisme menjadi energi.
Sisa makanan yang tidak diserap akan diekskresikan dalam bentuk feses, ekskresi
ini sering mengalami gangguan berupa kesulitan dalam defekasi yang dikenal
dengan konstipasi (Ganiswara 1995). Gangguan defekasi terjadi karena keadaan
fisiologis maupun patologis. Obat yang digunakan untuk mengantisipasi
konstipasi adalah obat yang termasuk kelompok pencahar atau laksansia atau
purgativa.
Mekanisme kerja laksansia masih belum dapat dijelaskan karena
kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kolon, transport air dan
elektrolit. Laksansia hanya digunakan untuk mengobati konsipasi fungsional dan
tidak dapat mengobati konstipasi yang disebabkan oleh keadaan patologis.
Laksansia/pencahar dapat digolongkan sebagai pencahar pembentuk massa,
pencahar hiperosmotik, pencahar pelumas, pencahar perangsang,pencahar
emolien, dan zat penurun tegangan permukaan.

TUJUAN
Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui prinsip kerja sediaan
laksansia pada saluran pencernaan hewan secara langsung.
METODE PRAKTIKUM
Tempat dan Waktu
Praktikum kali ini dilaksanakan di ruang praktikum fifarm 3, Departemen
AFF FKH IPB pada jam 11.30-14.00.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum adalah peralatan bedah
minor dan syringe, seekor tikus, benang, kapas, uretan aquades, NaCl fisiologis
0.9%, NaCl fisiologis 3%, MgSO4 4,7%, dan MgSO4 27%.
Tata Kerja
Bobot badan tikus ditimbang untuk megetahui berat dan dosis anestesi
yang akan diberikan. Anestetikum yang diberikan pada praktikum kali ini adalah
uretan (1,24 gr/kg BB). Uretan disuntikkan secara intraperitoneal (IP). Setelah
teranestesi, tikus diletakkan pada alas kayu/busa tersebut. Pembedahan dilakukan
dengan alat bedah pada bagian abdomen. Setelah itu, usus dipreparir sepanjang
2,5 cm dari daerah pylorus dan diikat dengan benang.
Usus halus dibagi menjadi 5 segmen dengan cara mengikat usus dengan
benang. Interval antar ikatan adalah 5 cm dan jarak 1 cm. Setiap segmen
diinjeksikan dengan larutan yang berbeda menggunakan syringe. Segmen pertama
diinjeksikan dengan aquades, segmen kedua diinjeksikan dengan NaCl 0,9%,
segmen ketiga dengan NaCl 3%, segmen keempat dengan MgSO 4 4,7%, dan
segmen terakhir dengan MgSO4 27%. Volume masing-masing larutan adalah 0,25
ml.
Setelah semua segmen terinjeksi, maka ruang abdomen yang terbuka
tersebut ditutup dengan kapas yang dibasahi dengan NaCl 0,9%. Aspirasi cairan
dilakukan setelah 45 menit pascainjeksi larutan tersebut. Setiap segmen diaspirasi
menggunakan syringe. Volume cairan dari masing-masing segmen dihitung. Cara
lain yang dapat dilakukan untuk mengoleksi sampel adalah dengan cara
memotong usus dekat ikatannya dan volume cairan yang tersisa ditampung pada
gelas ukur, kemudian hasilnya dicatat.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Hasil volume urin terhadap pemberian sediaan diuretikum
Pengujian ini bertujuan mengetahui pengaruh sediaan diuretikum terhadap
volume urin yang terbentuk. Pengujian dilakukan dengan cara memberikan tiap
tikus sediaan obat yang berbeda secara subkutan. Sediaan diuretikum yang
digunakan yaitu salyrgan, lasyx flurosamide, pituitrin, dan caffein. Sedangkan
sediaan kontrol yaitu NaCl 0.9%. Pengamatan dilakukan pada menit ke-5, 15, 30,
dan 45 setelah injeksi. Berdasarkan tabel hasil, pemberian NaCl 0.9% tidak
menimbulkan pembentukan urin baik pada menit ke-5 setelah injeksi, maupun
hingga menit ke-45 setelah injeksi.
Volume urin yang terbentuk pada pemberian sediaan salyrgan secara
berurutan yaitu 0.7 ml, 0.3 ml, 0 ml, 0 ml. Urin mulai terbentuk pada menit ke-5,
hal ini menunjukan onset obat sekitar 1-5 menit. Volume urin mulai berkurang
pada menit ke-15 dan mulai tidak ada pembentukan urin pada menit ke-30. Hal ini
menunjukan durasi obat sekitar 15 menit. Pada pemberian sediaan lasyx
flurosamide terjadi penaikan dan penurunan volume urin pada tiap menit
pengamatan. Volume urin yang diperoleh tiap menit pengamatan secara berurutan
yaitu 1.2 ml, 1.4 ml, 1 ml, 1.2 ml. Tidak teramati adanya penaikan dan penurunan
volume urin yang konstan.
Volume urin yang terbentuk pada pemberiaan sediaan caffein secara
berurutan yaitu 0.1 ml, 0 ml, 3 ml, 0.2 ml. Hal tersebut menjukan bahwa onset
obat sekitar 5 menit, dan berdurasi sekitar 45 menit. Sedangkan pada pemberian
sediaan pituitrin, urin terbentuk pada menit ke-45 dengan jumlah sebanyak 1 ml.
hal ini menunjukan onset obat tersebut lambat dibandingkan sediaan lainnya yaitu
sekitar 45 menit. Dari keempat sediaan, obat yang memiliki onset cepat secara
beruruta yaitu lasyx flurosamide, salyrgan, dan caffein. Dan obat yang memiliki
durasi paling lama secara berurutan yaitu lasyx flurosamide, caffeine, salyrgan
dan pituitrin. Karena pengamatan hanya dilakukan selama 45 menit, durasi
sediaan pituitrin tidak begitu teramati.
Diuretikum merupakan golongan obat-obatan yang sifatnya meningkatkan
produksi air kencing, digunakan sebagai terapi pada penderita tekanan darah
tinggi, oedema, dan diabetes melitus. Efek samping dari penggunaan jangka
panjang bisa berupa hipokalemi (kadar kalium rendah dalam darah), dan
hiperurisemia (kadar asam urat meningkat dalam darah) Penggunaan diuretik
harus dihindari pada pasien tekanan darah tinggi disertai kencing manis (diabetes)
atau pada penderita kolesterol (Universitas Indonesia 2007).
Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu diuretik osmotik,
penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan tiazid, golongan hemat kalium,
diuretik kuat, dan xantin. Salah satu diuretikum yang dapat mempengaruhi
volume urin adalah sediaan salyrgan. Salyrgan merupakan senyawa air raksa
dalam golongan diuretik kuat dan bekerja langsung pada tubulus ginjal. Transport
melalui dinding dihambat, sehingga aktivitas rearbsorbsipun dihambat. Salyrgan
mempunyai senyawa aktif metil Hg,senyawa ini dapat menyebabkan diuresis yang
berakibat hewan mengalami asidosis. Merkuri bekerja pada lengkung Henle pars
ascendens sehingga dapat dikatakansebagai diuretik kuat. Senyawa ini
menyebabkan retensi Na di lengkung Henle. Diuretik kuat meningkatkan eksresi
asam yang dapat difiltrasi dan amonia (Dipiro dan Josep.1997)

KESIMPULAN
Pemberian sediaan diuretikum berupa kafein terbukti paling efektif dalam
menginduksi urinasi,dan sediaan diuretikum Salyrgan memiliki kemampuan
diuretik yang cukup baik.

DAFTAR PUSTAKA
Bertram G Katzung, (2004): Basic and Clinical Pharmakology, 9Th edition,.
Prentice Hall.
Dipiro, Josep T, 1997. Pharmacotherapy Pathophysiologic Approach, Appleton
and Lange, 185-214
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Farmakologi dan terapi.
Jakarta (ID) : Balai penerbit FKUI
Mary J Mycek, et all (2001); Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 3th
edition, by Limppincott.
Varney Helen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Vol 1.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai