Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN VIII

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
EFEK DIURETIKA
(UJI POTENSI DIURETIKA)

Dosen :
Teodhora, M.Farm., Apt.

Disusun Oleh :
Sherly Auliazon (18330113)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Didalam tubuh terdapat sel yang terendam cairan intestinal. Maka dari itu volume
dan komposisi dari cairan intestinal tetap dalam batas – batsa yang ditentukan, supaya sel
– sel selalu berfungsi dengan normal. Perubhana dari volume dan komposisi cairan
nintestial dapat memunculkan kelainan fungsi tubuh. Kelainan volume cairan vaskuler
akan menganggu fungsi ardovaskuler akan mengganggu fungsi kardiovaskuler, untuk
perubahan komposisi cairan intestitial akan emnganggu fungsi.

Ad banyak kondisi yang membuat gangguan pada volume ddan komposisi cairan
tubuh, seperti pada ingesti (pemasukan) air atau defripasi (hilangnya) air, ingesti atau
defrivasi elektrolit, kelebihanya asam atau alkali, produk metabolisme atau pemberian
bahan – bahan toksik.

Jadi dapat dilihat regulasi aktif untuk mempertahankan lingkungan supaya konstan,
dalm menghadapuii factor dapat mengganggu kestabilan volume dan komposisinya
cairan interistitial

Sebagai mahasiswa pula dibidang farmasi, kita haru tahu hal – hal yang ada
hubungannya dengan obat, dari segi farmasetik, farmakodinamik, dan farmakologi.
Maka dari itu pada praktikum kali ini akan membahas obat – obat diuretic dengan
pengruh serta sampai kedosisnya.

1.2 Tujuan Percobaan


Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
1. Memahami kerja farmakologi dari berbagai kelompok diuretika.
2. Memperoleh gambaran tentang cara evaluasi potensi diuretika.

1.3 Prinsip Percobaan

Diuretic merupakan obat yang banyak resepnya diluar negeri seperti USA, respon
yang dikeluarkan dari obat ini pula bervariasi maakanya harus benar – benar pahama dan
mengerti jenis obat diuretic ini. Dalam kehidpuan kita sehari -hari furosemide itu juga
merupaka cntoh diuretic, yang dapat mengurangi tekanan darah dan membatu proses
pengeluaran urine kita. Diuretika juga senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin
menjadi lebih banyak frekuensi dan kuantitasnya. Jika pada peningkatan ekskresi air
terjadi juga ekskresi garamgaram, maka diuretika ini disebut natriuretika atau saluretika.
Diuretika dapat dikelompokkan menurut mekanisme kerjanya, yaitu:
- Diuretika inhibitor karboanhidrase; contohnya asetazolamid.
- Diuretika lengkung Henle; contohnya furosemide.
- Diuretika golongan tiazid; contohnya hidroklortiazid.
- Diuretika antagonis aldosterone; contohnya spironolakton.
- Diuretika hemat kalium jenis siklomidin; contohnya triamterene dan amiloride
Dalam dunia farmakologi efek obat yang diberikan pada seseorang, apakah dapa bekerja
dengan baik, hal ini juga berkaitan dengan farmakodinamika yang berhubungan dengan
pengaruh obat itu sendiri. Efek obat akan hilang saat obat keluar dari tubuh kita. Potensi
kerja obat tergantuk konsentrasi dan efek yang dibutuhkan masing – masing individu.
Zaman dahulu obat diuretic ini diperkenalkan paracelsus terap edema, kemudian swatz
yang menemukan pasien jantung dapat sembuh dengan antimicrobial, maka dari sini lah
mulai dilakukan obat – obat diuretic.

Diuretic dimana zat yang bisa memperbanyak pengeluaran uri lewat kerja dari
ginjal. Obat – obatnya pula obat yang dapat memperkuat kontraksi dari jantung, dapat
memperluas volume dari darah bahkan sampai sekresi hormone antidiuretic ADH. Obat
dieretik ini nantinya akan membuat pembuangan urin dari kerja gnjal. Tanaman dari
diuretik ini pula dapta meluruhkan kantung kemir diuretic, cara kerjanya dengan
melakukan proses penyumbatan ataupula penghambatan kompetitif hiperldosterinisme
terjadi, karena nantinya peningkatan ekskresi glikokortikoid ini terjadi pembedahan,
trauma fisik, dan gagal jantung.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pengeluaran urin sebagai penambaahan produksi volume urin yang dikeluarkan dan
pengeluarannya pula dalam jumlah zat zat terlarut dalam air. Perubahan dari osmotic ini pula
dimana dalam tubulus menjadi meningkat karena natrium lebih banyak dalam urine. Dan
meningkatkan air lebih banyak pada tubulus ginjal. Pada produksi ini pula urin akan menjadi
lebih banyak. Dengan itu pula diuretic meningkatkan volume urine dan sering mengubah
pHnya komposisi ion didalam diuretic dn darah. Diuretic merupakan senyawa yang nantinya
akan menimbulkan ekskresi urin yang lebih banyak. Fungsi ginjal kemurnian darah semua za
tasing dan sisisa pertukaran zat dar dalam darah dimana nanatinya akan melintas saringan
ginjal kecuali zat putih telur dan sel – sel darah. Fungsi lainnya pula dapat meregulasi kadar
garam dan cairan ditubuh. Ginjal merupan pengatur bagi homeositassis, keseimbangan
dinamis cairan intra dan eksternal.

 Proses pemberntukan urine pula melalui beberapa proses :


1. Filtrasi, dimana nantinya terjadi pemindahan terlarut dan kapiler glomerular dalam
tekanan tertentu didalam kapsul bowman.
2. Reabsorbsi. sebagai besar. fiktrat transport. aktif pada gradien tersebut.
3. Sekresi , dimana sekresi tubukar nantinya akatif dalaam memindahkan zat keluar dari
darah kaoilar pertibular lewat sel – sel tubular ke cairan tubukukar untuk dikeluarkan
dalam urine.
Mekanisme kerja dair diuretic dengan mengurangi reabsorbsi natrium. Obat obatnya oula
yang khusus terdapat pada tubuli, atau pada tempat – tempat sebagai berikut :

1. Tubuli proksimal
Ultrafiltrat memiliki kadnungan garam yang .direabsorbsi aktif .untuk Na.& air, Hal ini
disebabkan oleh reabsorbsi proporsional. Ssuanan filtra tidak akan berubahn dan isotonis
plasma. Diuretic osmosis kerjanya di tubulus proksimal dengan merintangi reabsorbsi air
dan natrium.
2. Lengkungan Henle
3. Tubuli Distal
4. Saluran Pengumpul
 Pengobatan Diuretik. Diuretic ada beberapa bagian diantraanya :
1. Diuretic kuat
Diuretic ini nantinya akan bekerja ansa Henle asenden yang epiel tebal d engan
menghambat trans[port elektrolit natrium, dan klorida. Obat – obat ini lah yanga
nantinya akan memberikan manfaat kuat dan cept tetapi singakt. Banyak dikonsumsi
untuk kondisis akurat. Mekanisme dari kerjanya pula dapat memberhentikan
reabsorbsi Na& Cl did ascending. dari loop .Henle yang nanatinya kan mempengaruhi
system kontransport Cl-binding, yang membuat naiknya .ekstraksi air, Na, Mg, dan
Ca.

2. Diuretic Hemat Kalium


Hilir tubuli distal dan ductus koligentes korteks. caranya dapat mengambat. reabsorbsi
natrium dan sekresi kalium dengan. ajalan antagonisme secara langsung. Feknya dari
obat ini pula lemah dan khusus biasanya untuk terkominasi dengan diuretic lannya
untuk mengemat kalium. Aldostreron entilulasi reabsorbsi Na dan sekresi K.
3. Diuretic golongan tiazid
Diuretic ini kerjanya pada hulu tubuli distal dengan menghambat reabsorbsi natrium
klorida. Efeknya lemat dan lama, untuk terapi pemeliharaan hipertensi dan jantung
lemah. Memiliki kurva dosis – efek datar yautu dosis optimal dinaikkan. Golongan ini
seperti klorotiazid, metilklozid.

4. Diuretic golongan penghambat enzim karbonik anhydrase


Dimana kerjanya tubuli proksimal dengan menghambat reabsorbsi bikarbonat. Zat ini
lah nantinya akan merintangi enzim karbonanhidrase di tubuli proksmial. Sehingga
samping karbiant. Akubat terjadina penghambatan di tubuli proksimal tidak ada ion
H+ untuk ditularkan dengan Na terjadi penigngkatan ekskresi Na, K dan air. Oabt ini
pula sebagai obat antiepilepsi.

5. Diuretic osmotic
Dimana dipakai untuk zat yang buka elektrolit yang mudah dan cepat diskresikan oleh
ginjal. Tempat kerjanya ada di tubuli proksimal dengan menghambat reabsorbsi
natrium dan air lewat daya osmotiknya, ansa hele yang menhambat reabsorbsi natrium
dan air karena hipertonisistas daerah medulla menurun. Ductus koligentes
mengahmbat reabsorbsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out.
BAB III

PROSEDUR

3.1 Alat
- Spuit Injeksi 1 Ml
- Sonde
- Timbangan Hewan
- Kandang Diuretic
- Beaker Glass
- Gelas Ukur
3.2 Bahan
1. Hewan
Tikus putih, jantan (jumlah 6 ekor), bobot tubuh 200-300 g batang pengaduk
2. Obat
- CMC Na 1% secara PO
- Furosemid 20 mg/ 70 kgBB manusia secara PO
- Spironolakton 100 mg/ 70 kgBB manusia secara PO
- Air hangat 50 ml/ kgBB tikus

3.3 Metode Kerja


1. Puasakan tikus selama 12-16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.
2. Sebelum pemberian obat, berikan air hangat per oral sebanyak 50 ml/ kg BB tikus.
3. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2
ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan:
- Kelompok I : CMC Na 1% secara PO
- Kelompok II : furosemide 20 mg/ 70 kgBB manusia secara IV
- Kelompok III : spironolakton 100 mg/ 70 kgBB manusia secara
4. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit.
5. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing.
6. Tempatkan tikus ke dalam kandang diuretic.
7. Kumpulkan urine selama 2 jam, catat frekuensi pengeluaran urine dan jumlah urine
setiap kali diekskresikan.
8. Catat dan tabelkan pengamatan.
9. Hitung persentase volume kumulatif urine yang diekskresikan:
volume urine yang diekskresikan dalam waktu 2 jam
= x 100 %
volume air yang diberikan per oral
Efek diuretika positif jika persentase volume kumulatif urine yang diekskresika
>75% dari volume air yang diberikan.
3.4 Perhitungan
Dalam suatu praktikum farmakologi “efek diuretik” akan diberikan sediaan uji CMC-NA,
Furosemid, dan spironolakton pada tikus. Hitunglah dosis dan volume pemberian obat
pada masing-masing tikus (dosis obat dapat dilihat pada penuntun praktikum), apabila
diketahui berat badan tikus dan konsentrasi larutan sebagai berikut (kecuali CMC-Na tdk
perlu dihitung) :

CMC –NA 1% (0,5 ml)

Furosemid 0,04% (20 mg dalam 50 ml)

Spironolakton 0,1% (50 mg dalam 50 ml)

Kel Tikus ke BB Dosis Volume


Pemberian Pemberian
(mg) (ml)
I I 250 g 0,5 mg 0,5 ml
II 280 g 0,5 mg 0,5 ml

II III 230 g 0,414 mg 1,035 ml

IV 270 g 0,486 mg 1,215 ml

III V 250 g 2,25 mg 2,25 ml

VI 260 g 2,34 mg 2,34 ml

 Kelompok I Perhitungan Dengan CMC Na 1% Secara PO


Tikus 1
Dosis Pemberian sebesar 0,5 ml
Voulume pemberian sebesar 0,5 ml
Hal ini dikarenakan CMC Na merupakan placebo tidak memberikan efek obat.

Tikus 2
Dosis Pemberian sebesar 0,5 ml
Voulume pemberian sebesar 0,5 ml
Hal ini dikarenakan CMC Na merupakan placebo tidak memberikan efek obat.

 Kelompok II Perhitungan Dengan Furosemide 20 Mg/ 70 Kgbb Manusia


Secara IV

Tikus 1
Faktor konversi manusia 70 kg  Tikus 200 g = 20 mg x 0,018 = 0,36 mg
230 g
Dosis berdasarkan BB = x 0,36 mg = 0,414 mg
200 g
0,414 mg
Volume Pemberian = x 50 ml = 1,035 ml
20 mg

Tikus 2
Faktor konversi manusia 70 kg  Tikus 200 g = 20 mg x 0,018 = 0,36 mg
270 g
Dosis berdasarkan BB = x 0,36 mg = 0,486 mg
200 g
0,486 mg
Volume Pemberian = x 50 ml = 1,215 ml
20 mg

 Kelompok III Perhitungan Dengan Spironolakton 100 Mg/ 70 Kgbb Manusia


Secara IV
Tikus 1
Faktor konversi manusia 70 kg  Tikus 200 g = 100 mg x 0,018 = 1,8 mg
250 g
Dosis berdasarkan BB = x 1,8 mg = 2,25 mg
200 g
2,25 mg
Volume Pemberian = x 50 ml = 2,25 ml
50 mg

Tikus 2
Faktor konversi manusia 70 kg  Tikus 200 g = 100 mg x 0,018 = 1,8 mg
260 g
Dosis berdasarkan BB = x 1,8 mg = 2,34 mg
200 g
2,34 mg
Volume Pemberian = x 50 ml = 2,34 ml
50 mg

3.5 Tabel Pengamatan


Percobaan Bahan Obat Efek Diuretik
Potensi Tikus CMC Na 1% Frekuensi 40 52 61 94 120’
Diuretika secara PO Urinasi ’ ’ ’ ’
(menit ke-)
Volume Urine 1 0,6 0,3 0,8 0,2
(ml)
Volume Urine 2,9 ml
Kumulatif
selama 2 jam
(ml)

Volume Air 5 ml
yg Diberikan
secara PO
(ml)
Potensi 58%
Diuretika (%)
CMC Na 1% Frekuensi 36 49 75 88 100’ 120’
secara PO Urinasi ’ ’ ’ ’
(menit ke-)
Volume Urine 0,5 0,2 0,5 0,7 0,5 0,2
(ml)
Volume Urine 2,6 ml
Kumulatif
selama 2 jam
(ml)
Volume Air 5 ml
yg Diberikan
secara PO
(ml)
Potensi 52 %
Diuretika (%)
Furosemide Frekuensi 36 52 67 75 84’ 96’ 110’ 119’
20 mg Urinasi ’ ’ ’ ’
(manusia 70 (menit ke-)
Volume Urine 1 0,8 0,5 1,2 1 1 1,8 2
kg) secara
(ml)
PO
Volume Urine 9,3 ml
Kumulatif
selama 2 jam
(ml)
Volume Air 5 ml
yg Diberikan
secara PO
(ml)
Potensi 186 %
Diuretika (%)

Kenapa furosemit urin yang keluar leibih banyak bahas?


Percobaan Bahan Obat Efek Diuretik
Potensi Tikus Furosemide 20 Frekuensi 39 50 74 89 106’ 120’
Diuretika mg (manusia 70 Urinasi (menit
kg) secara PO ke-)
Volume Urine 1 0,5 0,8 1,5 2 2,8
(ml)
Volume Urine 8,6 ml
Kumulatif
selama 2 jam
(ml)

Volume Air yg 5 ml
Diberikan secara
PO (ml)
Potensi Diuretika 172%
(%)
Spironolakto n Frekuensi 45 66 80 96 120’
100 mg Urinasi (menit ’ ’ ’ ’
(manusia 70 kg) ke-)
Volume Urine 0,3 0, 1,3 1,1 2
secara PO
(ml)
Volume Urine 5,5 ml
Kumulatif
selama 2 jam
(ml)
Volume Air yg 5 ml
Diberikan secara
PO (ml)
Potensi Diuretika 110%
(%)
Spironolakto n Frekuensi 26 47 60 92 108’ 120’
100 mg Urinasi (menit ’ ’ ’ ’
(manusia 70 kg) ke-)
Volume Urine 0,8 1 1 0,6 1,5 2,4
secara PO
(ml)
Volume Urine 5,3 ml
Kumulatif
selama 2 jam
(ml)
Volume Air yg 5ml
Diberikan secara
PO (ml)
Potensi Diuretika 146%
(%)

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan

Pada praktikum ini menggunakan hewan percobaan tikus, dari hasil perhitungan
dosis dan volume pemberian pada obat CMC Na, furosemide, dan spironolakton. Obat
CMC Na merupakan placebo yang tidak memberikan efek obat makanya diberikan
volumepemberian maksimal 0,5 ml. pada kelompok pemberian obat spironolakton.
memiliki dosis dan volume pemberian yang paling besar dibandingkan kelompok obat
furosemide. Hal ini dikarenakan Spironolactone adalah obat yang digunakan untuk
mengobati tekanan darah tinggi. Obat ini bekerja dengan cara menghambat penyerapan
garam (natrium) berlebih dalam tubuh dan menjaga kadar kalium dalam darah agar tidak
terlalu rendah, sehingga tekanan darah dapat ditekan, sedangkan untuk obat Furosemide
bekerja dengan cara menghalangi penyerapan natrium di dalam sel-sel tubulus ginjal dan
meningkatkan jumlah urine yang dihasilkan oleh tubuh. Pada saat melakukan uji coba
diuretic pada tikus, tikus harus dipuasakan selama 12 – 16 jam, tetapi boleh diberikan air
minum, sebelum dilakukan pemberian obat diberikan air hangat per oral sebanyak 5 ml/
kg BB tikus. Pemberian air hangat ini bertujuan agar tikus memiliki rasa ingin
mengeluarkan urin yang banyak. Pada kelompok obat 1 pemberian obat CMC Na 1%
volume uri pada menit ke 40 memiliki volueme 1 ml, pada menit ke 52 dan 61 menit
volume urine tikussemakin menurut menjadi 0,6 ml ; 0,3 ml, pada menit ke 94 volume
urine tikut Kembali meningkat menjadi 0,8 ml, tetapi pada menit 120 turun drastic
menjadi 0,2 ml volume urine tikus pada obat CMC Na 1% dengan pemberian Per Oral.
Jadi dapat dilihat semakin lama menit urine semakin turun volume urinnya 45 menit > 94
menit > 52 menit > 61 menit > 120 menit. Untuk volume urine selama 2 jam sebesari 2,9
ml dengan potensi diuretic sebesar 58%.
Pada pemberian obat CMC Na 1% volume urine pada menit ke 36, 75, dan 100
menit sebesar 0,5 ml, pada menit ke 49 dan 120 sebesar 0,2, dan pada menit ke 88
sebesar 0,7. Dapat disimpulkan pada volume urine CMC Na 1% pada menit ke
36,49,75,88,100 dan 120 memiliki volume yang tidak jauh beda selisihnya. Untuk
volume urine selama 2 jamnya sebesar 2,6 ml dengan potensi diuretic sebesar 52%.
Dapat terlihat meskipun pemberian obatnya sama – sama CMC Na 1%. Jadi dapat dilihat
volume urinnya 88 menit > 100 menit =75 menit = 36 menit > 49 menit =120 menit.
Volume urine selama 2 jam dan potensi diuretiknya lebih besar pada kelompok frekuensi
urine menit ke 40,52,61, 94, dan 120. Pada kelompok II pemberian obat furosemide
pada menit ke 39 memiliki volume urine sebesar 1 ml , pada menit ke 50 memiliki
volume urine yang menurun sebesar 0,5 ml pada menit ke 74 memiliki volume urine
yang Kembali meningkat sebesar 0,8 ml, pada menit ke 89 memiliki urine yang makin
meningkat sebesar 1,5 ml, pada menit ke 106 memiliki urine yang juga sama semakin
meningkat sebesar 2, dan bahkan pada menit ke 120 semakin meningkat volume urine
yang telah diamati sebesar2,8. Jadi dapat dilihat volume urinenya 119 menit > 110 menit
> 75 menit > 96 menit = 84 menit = 36 menit > 52 menit > 67 menit . Untuk volume
urine tikus selama 2 jam didapat sebesar 8,6 ml dengan pemberian air 5 ml secara Per
Oral, dengan didapatnya potensi diuretic sebesar 172%.
Pada kelompok II pemberian obat furosemide Pada menit ke 45 memiliki volume
urine sebesar 0,3 ml, di menit ke 66 meningkat volume urine sebesar 0,8 ml, dimenit ke
80 semakin meningkat volume pemberian menjadi 1,3, pada menit ke 96 menurun
volume urin yang didapat menjadi 1,1, dan di menit ke 120 kembali meningkat drastic
volume urin yang didapat sebesar 2. Jadi dapat dilihat semakin lama menitnya semakin
besar volume urinenya 120 menit > 106 menit > 89 menit > 74 menit > 50 menit > 39
menit . Untuk volume urine selama 2 jam sebesar 8,6 ml dengan volueme air yang
diberikan secara Per Oral sebanyak 5 ml dengan potensi diuretic sebesar 172%. Volume
urine pada kelompok obat furosemide volume urine selama 2 jam dan potensi
diuretiknya lebih besar pada kelompok frekuensi urine menit ke
36,52,67,75,84,96,110,119. Sehingga sesuai kerja obat furosemide sesuai dengan
literatur pada menit awal vol ume urine belum begitu banyak keluar pada menit akhir
banyak keluar Mekanisme kerja pada obat furosemide sebagai penghantar pembawa ion
Na dan K pada membrane numinal.
Pada kelompok III pemberian obat spironolakton 100 mg pada menit ke 45 memiliki
volume pemberian sebesar 0,3 ml, pada menit ke 66 meningkat volume urine sebesar 0,8
ml, terus meningkat pada menit ke 80 sebesar 1,3 ml volume urine, pada menit ke
96terjadi penurunan pada volume urine sebesar 1,1 ml dan pada menit ke 120 kembali
meningkat volume urine sebesar 2 ml. Jadi dapat dilihat semakin lama menitnya semakin
besar volume urinenya 120 menit > 80 menit > 96 menit > 66 menit > 45 menit. Untuk
volume urine tikus selama 2 jam sebesar 5,5 ml dengan potensi diuretic sebesar 110%
pada pemberian volume air 5 ml secara Per Oral. Pada pemberian obat spironolakton
100 mg pada menit ke 26 memiliki volume urine sebesar 0,8 ml, pada menit ke 47 dan
60 meningkat volume urine sebesar 1 ml,terjadi penurunan volume urine pada menit ke
92, dan Kembali meningkat volume urine pada menit ke 108 dan semakin meningkat
volume urine pada menit ke 120 menjadi 2,4 ml. Jadi dapat dilihat urutan besar kecil
volume urinenya 120 menit > 108 menit > 60 menit = 47 menit > 26 menit > 92 menit.
untuk volume urine tikus selama 2 jam sebesar 5,3 ml dengan potensi diuretic sebesar
146% pada pemberian volume air 5 ml secara Per Oral. Volume urine pada kelompok
obat spironolakton volume urine selama 2 jam lebih besar pada kelompok frekuensi urine
menit ke 45,66,80,96,120. Sedangkan pada Potensi Diuretinya lebih besar pada
kelompok frekuensi urine menit ke 26,47,60,92,108,120. Pada pemberian obat
spironalakton sesuai dengan literatur karena pada obat spironalakton Mekanisme
kerjanya sebagai penghambat kompetitif efek timbal – balin alfosteron reseptor.
Dari hasil data pengamatan dapat terlihat bahwa pada pemberian obat Furosemide
20 mg memiliki volume urine selama 2 jam yang paling tinggi dibandingkan dengan obat
spironolakton dan CMC Na 1%. Hal ini dikarenakan pada obat furosemid adalah obat
diuretik golongan “loop diuretik” atau diuretik lengkungan yang dikenal sebagai diuretik
kuat.
4.2 Pertanyaan
1. Apa tujuan dilakukan pengujian efek diuretik?
2. Bagaimana mekanisme farmakologi obat yang digunakan dalam pengamatan sehingga
dapat memberikan efek diuresis pada tikus?
3. Berdasarkan hasil pada tabel pengamatan, tentukanlah efek diuretika pada masing-
masing sediaan uji (CMC-Na, Furosemide, dan Spironolakton) tersebut apakah positif
atau negatif memiliki efek diuretika!
4. Intepretasikan data hasil percobaan berdasarkan tabel pengamatan dan bandingkan
dengan teori yang ada !

JAWABAN

1. Tujuan pengujian efek diuretic unutuk Memahami kerja farmakologi dari berbagai
kelompok diuretika, Memperoleh gambaran tentang cara evaluasi potensi diuretika,
menentukan efek dari obat diuretic, yaitu CMC Na, furosemide dan spironolakton
pada hewan coba tikus berdasarkan pengukuran volume urine. Diuretika dapat
dikelompokkan menurut mekanisme kerjanya, yaitu :
- Diuretika inhibitor karboanhidrase : contohnya asetazolamid
Mekanisme Kerja :
Asetazolamid bekerja dengan cara menghambat karbonik anhidrase dalam sel dan
pada membran tubulus proksimal. Karbonik anhidrase bekerja dengan mengkatalisis
pada reaksi :
CO2 + H2O ⇋ H+ + HCO3+ (bikarbonat)
Dalam Penurunan kemampuan dalam menukar NA + menjadi H+ dengan adanya
asetazolamid ini menyebabkan efek diuresis yang ringan.
Dalam HCO3 yang di pertahankan di dalam lumen ditandai dengan adanya
peningkatan PH pada urine. Proses hilangnya HCO 3 menyebabkan asidosis
metabolisme hiperkloremik dan penurunan kemampuan diuresis setelah beberapa
hari dalam pengobatan.
Penggunaan dalam Terapi :
a. Penyakit pada Glaukoma: dalam penggunaan klinik dengan menggunakan obat
asetazolamid yang paling umum adalah berfungsi untuk menurukan kenaikan
pada tekanan dalam bola mata glukoma sudut terbuka. Obat Asetazolamid dapat
menurunkan pada produksi aqueous humor, dengan cara dihambat proses
karbonik anhidrase pada corvus siliaris pada mata. Obat ini berguna dalam
pengobatan kronis glaucoma tetapi tidak digunakan pada saat serangan akut.
b. Penyakit Epilepsi : asetazolamid kadang digunakan pada saat dalam pengobatan
epilepsi grand mal ataupun petit mal. Obat ini mengurangi berat dan tingkat
serangan kejang. Asetazolamid sering digunakan secara kronis dengan obat
antiepilepsi untuk meningkatkan kerja obat.
c. Penyakit Mountain Sickness : sedikit pemberian obat asetazolamid dapat
digunakan untuk dalam pencegahan pada mountain sickness akut.
Farmakokinetik : Asetazolamid diberikan peroral setiap hari.
Efek Samping : Asedosis metabolik ( ringan), penurunan pada kalium,
pembentukan batu ginjal, mengantuk, dan parestasia mungkin akan terjadi.
- Diuretika lengkung Henle : contohnya furosemide
Pada bagian saat menaiknya ca 25% dari semua ion Cl- yang telah difiltrasi
direabsorpsi secara aktif, disusul dengan secara reaborpsi pasif dari Na+ dan K+,
tetapi tanpa menggunakan air, hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika
lengkungan henle bekerja terutama di bagian sini dengan cara merintangi transpor
Cl- begitupula dengan pada saat reabsorpsi Na+, pengeluaran air dan K+
diperbanyak .
Penggunaan terapi
Merupakan dalam pemilihan obat bagian pilihan utama yang bekerja dalam
menurunkan di bagian edema pada paru-paru akut dan pada kondisi gagal jantung
kongestiv karena cara kerja yang cepat, maka obat ini sangat berguna untuk dalam
keadaan situasi darurat seperti edema paru-paru akut yang sangat memerlukan
penanganan diuresis yang cepat.
Farmakokinetik :
Diberikan secara peroral atau secara parenteral, masa kerja obat sangat relative
singkat hanya 1-4 jam.
Efek samping :
Ototoksisitas,hiperurisemia,hipopolemia akut, kekurangan kalium.
- Diuretika golongan tiazid : contohnya hidroklortiazid
Hidroklorotiazid adalah derivat tiazid yang telah terbukti lebih paling populer
dibandingkan obat induk. Hal ini karena obat ini memiliki kemampuan dalam
menghambat karbonik anhidrase kurang dibandingkan dengan klorotiazid.
Obat ini memiliki cara kerja lebih kuat, sehinga dosis yang diperlukan kurang
dibandingkan dengan klorotiazid. Selain itu, efektivitas sama dengan obat
induknya.
Tiazid adalah derifat sulfonamide dan cara kerja dengan proses menjadi
penghambat di dalam karbonik anhidrase. di dalam diuretik tiazid memiliki pada
proses kerja aktivitas lebih besar dibandingkan dengan aktivitas asetazolamid,
dalam semua tiazid semuanya mempengaruhi pada tubulus distal, dan semuanya
memiliki efek diuretik maksimum yang sama yang berbeda hanyalah dalam
potensinya saja, yang dinyatakan dalam per milligram basa.
- Diuretika antagonis aldosterone : contohnya spironolakton.
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. dalam Peran
utamanya aldosteron bekerja memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubuli
serta ekskresi kalium.
pada tugas ini yang termasuk dalam bagian dari antagonis aldosteron adalah
spironolakton, dan ia bertugas dengan cara untuk bersaing dengan reseptor tubular
yang terletak pada nefron yang dapat mengakibatkan retensi pada kalium dan
meningkatnya ekskresi air serta pada natrium.
Obat ini juga bekerja dalam meningkatkan kerja pada tiazid dan diuretik loop.
Diuretik yang bertugas dala mempertahankan kalium lainnya termasuk bagian dari
amilorida, yang bekerja pada bagian duktus pengumpul dalam menurunkan
reabsorpsi pada natrium dan ekskresi kalium dengan cara memblok pada bagian
saluran di natrium, tempat aldosteron bertugas. Diuretik ini dipakai dengan
berbarengan diuretik yang bertugas untuk menyebabkan kehilangan kalium serta
pada untuk pengobatan edema di sirosis hepatis. Efek pada diuretiknya tidak sekuat
golongan diuretik kuat.
Dalam bekerja Obat ini dalam tubulus renalis rektus utuk menghambat reabsorpsi
Na+, sekresi K+ dan H+. diuretic hemat kalium digunakan terutama vila aldosteron
berlebihan.
Penggunaan utama obat-obatan hemat kalium adalah sebagai untuk pengobatan
pada hipertensi, paling sering di kombinasikan dengan tiazid.
Digunakan dalam terapi :
a. Diuretik : Meski pada spironolakton memiliki efektifitas yang rendah dalam
memobilisasi Na+ dari tubuh dibandingkan dengan obat lain, namun pada obat
ini memiliki sifat yang berguna dalam menyebabkan retensi K+ .
b. Hiperaldosteronisme sekunder : diuretik hemat kalium yang digunakan tunggal
pada secara rutin untuk menimbulkan efek negative bersih keseimbangan pada
garam. Obat ini sangat efektif terutama pada saat dalam keadaan klinik yang
disertai hiperaldosteronisme sekunder.
Farmakokinetik : Spironolakton diabsorpsi sempurna peroral dan terikat erat
pada protein.
Efek Samping : Tidak seimbangnya elektrolit terutama pada K+, Sakit kepala
atau pusing, Hiperkalemia, mual, alergi, dan kebingungan mental.
- Diuretika hemat kalium jenis siklomidin : contohnya triamterene dan amilorid.
Triamterene dan Amilorid Merupakan penghambat saluran transport Na+
menyebabkan penurunan pertukaran Na+ - K+, obat-obatan ini memiliki efek
diuretic hemat kalium sama dengan spironolakton. Namun, kemampuan obat ini
untuk menghambat tempat pertukaran K+ -Na+ di tubulus renalis rektus tidak
tergantung pada kehadiran aldosteron jadi obat ini memiliki aktifitas diuretic
walaupun pada individu pada penyakit adison.
Efek Samping :
Kejang pada kaki dan kemungkinan meningkatkan nitrogen darah serta asam urat
dan retensi K+.
- Mekanisme kerja pada obat furosemide sebagai penghantar pembawa ion Na dan
K pada membrane numinal. Pada obat spironalakton Mekanisme kerjanya sebagai
penghambat kompetitif efek timbal – balin alfosteron reseptor. Pada obat
Furosemide memiliki efek diuretic yang paling baik karena kerjanya dengan
menghambat reansorbsi natrium dan klorida pada jerat henle menaik dan tubulus
ginjal dista, mempengaruhi system kontranspor ikatan klorida, selanjutnya juga
dapat meningkatkan kskresi Na, Cl-, Mg, Kalsium dan air.
- Untuk spironolakton kerjanya dengan segmen yang berespon terhadap
aldosterone pada nefron distal, dimana homeostatis K+ dikendalikan. Dengan
mekanime kerja yang berkompetensi dengan aldosterone pada reseptopr di
tubulus ginjal dista, meningkatkan NaCl dan ekskresi air selama konversi ion
kalium dan hydrogen, juga dapat meblok efek aldosterone pada otot polos
arterioles.
3. Dari hasil percobaan yang dilakukan pada Tikus 1 dan 2 yang diberikan obat CMC
Na 1% secara Per Oral dan air hangat sebanyak 5 ml secara Per oral, kemudian
urinnya setelah 2 jam ditampung dan menghasilkan 2,9 ml untuk tikus 1 sedangkan
2,6 ml pada tikus 2 lalu hitung persentase volume kumulatif urine pada tikus tersebut
dan setelah dihitung menghasilkan efek daya potensi diuretik sebesar 58% pada tikus
1 dan 52% pada tikus 2 hal ini menunjukan bahwa tikus yang diberikan CMC Na
menunjukan bahwa menghasilkan efek diuretik yang negatif. Karena, Berdasarkan
pada literatur dan hasil yang di dapat adalah sesuai karena CMC Na berfungsi
sebagai control negative atau plasebo. Dari hasil percobaan yang dilakukan pada
Tikus 1 dan 2 yang diberikan obat Furosemid 20 mg/70 kgBB manusia secara Per
Oral dan air hangat sebanyak 5 ml secara Per oral, kemudian urinnya setelah 2 jam
ditampung dan menghasilkan 9,3 ml untuk tikus 1 sedangkan 8,6 ml pada tikus 2 lalu
hitung persentase volume kumulatif urine pada tikus tersebut dan setelah dihitung
menghasilkan efek daya potensi diuretik sebesar 186% pada tikus 1 dan 172% pada
tikus 2 hal ini menunjukan bahwa tikus yang diberikan Furosemide menunjukan
bahwa menghasilkan efek diuretik yang Positif. Karena, Berdasarkan pada literatur
dan hasil yang di dapat adalah sesuai Karena, Furosemide Berdasarkan literatur
bahwa Furosemid merupakan obat diuretik dengan golongan diuretic kuat dengan
cara mekanisme kerja menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli
ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida, kalium dan tidak
mempengaruhi pada tekanan darah yang normal. Dari hasil percobaan yang
dilakukan pada Tikus 1 dan 2 yang diberikan obat Spironolakton 100 mg/ 70 kgBB
manusia secara PO dan air hangat sebanyak 5 ml secara Per oral, kemudian urinnya
setelah 2 jam ditampung dan menghasilkan 5,5 ml untuk tikus 1 sedangkan 5,3 ml
pada tikus 2 lalu hitung persentase volume kumulatif urine pada tikus tersebut dan
setelah dihitung menghasilkan efek daya potensi diuretik sebesar 110% pada tikus 1
dan 146% pada tikus 2 hal ini menunjukan bahwa tikus yang diberikan Spironolakton
menunjukan bahwa menghasilkan efek diuretik yang Positif. Karena, Berdasarkan
pada literatur dan hasil yang di dapat adalah sesuai Karena, Spironolakton
Berdasarkan literatur bahwa obat spironolakton merupakan obat yang antagonis
aldosteron dan meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium di tubulus distal.
Spironolakton dikombinasikan dengan diuretika lain untuk mengurangi hilangnya
kalium melalui urin. Sehingga benar dan sesuai dengan teori bahwa pemberian obat
furosemide memiliki volume urine yang keluar pling banyak dibandingkan obat
spironolakton. Spironolakton merupakan golongan diuretik hemat kalium dengan
mekanisme kerjanya bersaing dengan reseptor tubular yang terletak pada nefron yang
dapat mengakibatkan retensi pada kalium dan meningkatnya ekskresi air serta pada
natrium.
4. Dan 5
Dari hasil percobaan yang dilakukan pada Tikus 1 dan 2 yang diberikan obat CMC
Na 1% secara Per Oral dan air hangat sebanyak 5 ml secara Per oral, kemudian
urinnya setelah 2 jam ditampung dan menghasilkan 2,9 ml untuk tikus 1 sedangkan
2,6 ml pada tikus 2 lalu hitung persentase volume kumulatif urine pada tikus tersebut
dan setelah dihitung menghasilkan efek daya potensi diuretik sebesar 58% pada tikus
1 dan 52% pada tikus 2 hal ini menunjukan bahwa tikus yang diberikan CMC Na
menunjukan bahwa menghasilkan efek diuretik yang negatif. Karena, Berdasarkan
pada literatur dan hasil yang di dapat adalah sesuai karena CMC Na berfungsi
sebagai control negative atau plasebo. Dari hasil percobaan yang dilakukan pada
Tikus 1 dan 2 yang diberikan obat Furosemid 20 mg/70 kgBB manusia secara Per
Oral dan air hangat sebanyak 5 ml secara Per oral, kemudian urinnya setelah 2 jam
ditampung dan menghasilkan 9,3 ml untuk tikus 1 sedangkan 8,6 ml pada tikus 2 lalu
hitung persentase volume kumulatif urine pada tikus tersebut dan setelah dihitung
menghasilkan efek daya potensi diuretik sebesar 186% pada tikus 1 dan 172% pada
tikus 2 hal ini menunjukan bahwa tikus yang diberikan Furosemide menunjukan
bahwa menghasilkan efek diuretik yang Positif. Karena, Berdasarkan pada literatur
dan hasil yang di dapat adalah sesuai Karena, Furosemide Berdasarkan literatur
bahwa Furosemid merupakan obat diuretik dengan golongan diuretic kuat dengan
cara mekanisme kerja menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli
ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida, kalium dan tidak
mempengaruhi pada tekanan darah yang normal. Dari hasil percobaan yang
dilakukan pada Tikus 1 dan 2 yang diberikan obat Spironolakton 100 mg/ 70 kgBB
manusia secara PO dan air hangat sebanyak 5 ml secara Per oral, kemudian urinnya
setelah 2 jam ditampung dan menghasilkan 5,5 ml untuk tikus 1 sedangkan 5,3 ml
pada tikus 2 lalu hitung persentase volume kumulatif urine pada tikus tersebut dan
setelah dihitung menghasilkan efek daya potensi diuretik sebesar 110% pada tikus 1
dan 146% pada tikus 2 hal ini menunjukan bahwa tikus yang diberikan Spironolakton
menunjukan bahwa menghasilkan efek diuretik yang Positif. Karena, Berdasarkan
pada literatur dan hasil yang di dapat adalah sesuai Karena, Spironolakton
Berdasarkan literatur bahwa obat spironolakton merupakan obat yang antagonis
aldosteron dan meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium di tubulus distal.
Spironolakton dikombinasikan dengan diuretika lain untuk mengurangi hilangnya
kalium melalui urin. Sehingga benar dan sesuai dengan teori bahwa pemberian obat
furosemide memiliki volume urine yang keluar pling banyak dibandingkan obat
spironolakton. Spironolakton merupakan golongan diuretik hemat kalium dengan
mekanisme kerjanya bersaing dengan reseptor tubular yang terletak pada nefron yang
dapat mengakibatkan retensi pada kalium dan meningkatnya ekskresi air serta pada
natrium.
BAB V
KESIMPULAN
1. Efek diuretic pada tikus dapat memperbanyak sekresi urin. Efek utama dari diuretic dapat
meningkatkan volume urin yang diproduksi sertameningkatkan jumlah pengeluaran zat –
zat terlarut dan air. Volume urin yang dihasilakn oleh tikus akibat pemberian obat diuretic
semakin bertambah.
2. Pada perhitungan dosis dan volume pemberian tikus dengan pemberian Obat CMC Na
merupakan placebo yang tidak memberikan efek obat makanya diberikan volume
pemberian maksimal 0,5 ml. Pada kelompok pemberian obat spironolakton. memiliki
dosis dan volume pemberian yang paling besar dibandingkan kelompok obat furosemide.
Hal ini dikarenakan Spironolactone adalah obat yang digunakan untuk mengobati tekanan
darah tinggi. Obat ini bekerja dengan cara menghambat penyerapan garam (natrium)
berlebih dalam tubuh dan menjaga kadar kalium dalam darah agar tidak terlalu rendah,
sehingga tekanan darah dapat ditekan, sedangkan untuk obat Furosemide bekerja dengan
cara menghalangi penyerapan natrium di dalam sel-sel tubulus ginjal dan meningkatkan
jumlah urine yang dihasilkan oleh tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Buku Petunjuk Praktikum Farmakologi ISTN

Ganiswara. 2002. Farmakologi dan Terapi. Gaya Baru: Jakarta

Katzung.1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit EGC: Jakarta

Mustchler, E. 1991.Dinamika Obat. Penerbit ITB: Bandung

Mycek, M.J et al. 1997. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika: Jakarta

Rivana Usgiati. 2004. Efek Diuretika Daun Meniran terhadap Volume Urin Tikus Putih

Jantan.Skripsi. FMIPA UNI

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan

Efek Sampingnya.  PT Elex Media Komputindo: Jakarta

Sukarida, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. PT.ISFI Penerbitan: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai