Anda di halaman 1dari 6

Laporan Praktikum Hari, Tanggal : Rabu, 9 September 2020

Toksikologi Waktu : 08.30 – 11.00 WIB


Dosen : Dr. Drh Andriyanto, MSi
Dr. Siti Sa’diah, MSi., Apt.
Drh. Min Rahminiwati, MS, Ph.D

ABSORBSI DAN REABSORBSI

Kelompok 7

Syafrin Mahdi B04160003


Rabbani Bray Adam B04170136
Hasnaulhusna B04170138
Erika Andreina Ramadani B04170139
Nur Laili Chasanah B04170140
Rama Adi Rianto B04170141

DIVISI FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan


mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk
hidup dan sistem biologik lainnya (Wirasuta dan Niruri 2007). Apabila zat kimia
dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang
berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada
suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh dosis, konsentrasi
racun di reseptor tempat kerja, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem
bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Pada
umumnya efek berbahaya/efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi antara
zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Ada dua aspek yang harus
diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme
hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek
farmakodinamik/toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek
farmakokinetik/toksokinetik).
Toksikokinetik adalah ilmu yang mempelajari tentang perjalanan zat asing
masuk ke dalam tubuh dan perlakuan tubuh terhadap zat asing tersebut (Burcham
2013). Sedangkan toksikodinamik menjelaskan tentang pengaruh zat asing terhadap
tubuh hingga terjadinya suatu penyakit atau gangguan tertentu. Toksikokinet ik
mencakup perjalanan zat asing dari menjadi pajanan kemudian masuk dalam tubuh
dalam dosis tertentu dan selanjutnya menentukan besaran dosis efektif zat asing
hingga mampu berefek pada manusia. Sedangkan toksikodinamik mencakup efek
awal yang terjadi pada tubuh kemudian terjadi perubahan struktur atau fungsi
hingga terjadinya penyakit.
Absorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat kontak
(paparan) menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi
didefinisikan sebagai jumlah xenobiotika yang mencapai sistem sirkululasi sistemik
dalam bentuk tidak berubah (Wirasuta dan Niruri 2007). Tokson dapat terabsorpsi
umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekular. Absorpsi
sistemik tokson dari tempat extravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan
fisiologik tempat absorpsi (sifat membran biologis dan aliran kapiler darah tempat
kontak), serta sifat-sifat fisiko-kimia tokson dan bentuk farmseutik tokson (tablet,
salep, sirop, aerosol, suspensi atau larutan). Jalur utama absorpsi tokson adalah
saluran cerna, paru-paru, dan kulit. Pada pemasukan tokson langsung ke sistem
sirkulasi sistemik (pemakaian secara injeksi), dapat dikatakan bahwa tokson tidak
mengalami proses absorpsi (Wirasuta dan Niruri 2007).

B. Tujuan

Mengetahui pengaruh pH terhadap banyaknya obat yang diabsorpsi dan


direabsorpsi oleh lambung.
TINJAUAN PUSTAKA

Absorpsi obat adalah proses senyawa obat dipindahkan dari tempat


absorpsinya ke dalam sirkulasi sistemik. Proses ini tergantung pada karakteristik
tempat absorpsi, aliran darah di tempat absorpsi, sifat fisiko-kimia obat dan
karakteristik produk (bentuk sediaan). Berbagai bentuk sediaan obat dengan cara
pemberiannya, menentukan tempat absorpsi obat. Terdadpa tujuh macam
mekanisme absorpsi obat, tetapi pada umumnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu
mekanisme difusi, pasif, dan transport aktif/transport dengan fasilitas (Parfati et al.
2003).
Mekanisme absorpsi obat melalui difusi pasif dipengaruhi oleh pKa obat,
pH tempat absorpsi dan fraksi obat yang tidak terionkan. Hal-hal yang dapat
mempercepat atau memperlambat perpindahan obat dari tempat absorpsi ke dalam
sirkulasi sistemik juga akan mempengaruhi laju absorpsi obat; misalnya kecepatan
pengosongan lambung (apabila tempat absorpsinya pada saluran cerna),
peningkatan aliran darah yang disebabkan oleh pemijatan atau panas
(meningkatkan laju absorpsi). Contoh lain yang mempengaruhi laju absorpsi
sebagai akibat dari faktor ionisasi adalah aspirin; aspirin bersifat asam, dalam
lambung dengan pH rendaj, berada dalam bentuk yang tidak terionkan sehingga
absorpsi aspirin cepat (Parfati et al. 2003).
Kebanyakan obat diabsorpsi dari saluran cerna dan masuk ke hati sebelum
disebarkan ke sirkulasi umum. Metabolism langkah pertama oleh usus atau hati
membatasi efikasi banyak obat ketika diminum peroral. Minum obat bersamaan
dengan makanan dapat mempengaruhi absorpsi. Keberadaan makanan dalam
lambung memperlambat waktu pengosongan lambung sehingga obat yang tidak
tahan asam, misalnya penisilin menjadi rusak atau tidak diabsorpsi. Oleh karena itu,
penisilin atau obat yang tidak tahan asam lainnya dapat dibuat dengan salut enterik
yang dapat melindungi obat dari lingkungan asam dan bisa mencegah iritasi
lambung. Hal ini tergantung pada formulasi, pelepasan obat bisa diperpanjang,
sehingga menghasilkan preparat lepas lambat (Noviani dan Vitrinurilawaty 2017).
Pada umumnya obat diabsorpsi dari saluran pencernaan dengan mekanisme
difusi pasif (Wagner 1971). Molekul obat berdifusi dari daerah konsentrasi tinggi
(cairan gastro intestinal) ke daerah konsentrasi rendah (darah) (Swarbrick 1971).
Hasil penelitian terdahulu diketahui bahwa peningkatan kelarutan suatu obat
menghasilkan absorpsi yang meningkat pula (Attwood dan Florence 1983).
Menurut Turner et al. (1970) permeabilitas membrane biologi terhadap suatu bahan
obat dapat digambarkan oleh koefisien partisinya dan mempunyai hubungan linier
dengan kecepatan transport atau kecepatan absorpsinya.
METODOLOGI

Alat dan Bahan


Praktikum ini menggunakan alat yaitu spuid, papan fiksasi, selang karet
three way stop cock , kertas saring, corong gelas, alat ukur, benang, tabung reaksi,
rak tabung. Bahan yang digunakan yaitu tikus, asam salisilat dalam suasana asam
dan basa, FeCl3, larutan NaCl fisiologis, dan standar asam salisilat.

Prosedur Praktikum
1. Tikus dianastesi menggunakan kombinasi ketamine dan xylazine 0,3ml.
2. Tikus diletakkan pada papan fiksasi jepit ke empat kakinya.
3. Rambut bagian daerah abdomen tikus dicukur, lalu disayat di bagian linea alba
dari bawah sampai ke bagian bawah tulang rusuk, hati-hati jangan sampai
merobek diafragma.
4. Lambung dikeluarkan, bagian esophagus diikat dengan benang dan duodenum
dilubangi 1 cm di bawah pylorus.
5. Pipa disambung dengan selang karet three-way stop clock dan dimasukkan,
kemudian dibuat ikatan kuat pada pylorus dan membuat ikatan 0,5-1 cm di
bawah ikatan pertama.
6. Lambung dibilas dengan NaCl Fisiologis sampai bersih, kemudian
dikosongkan.
7. Asam salisilat dalam suasana asam atu basa dimasukkan sebanyak 4 ml,
kemudian dikocok sampai homogen.
8. Cairan dalam lambung diambil 1ml kemudian disaring menggunakan kertas
saring. Hasil fitrat ditambahkan sebanyak 5 ml FeCl3. Perubahan warna yang
terjadi diamati dan dibandingkan dengan warna standar.
9. Selama 1 jam didiamkan dan selalu di basahi organ dengan NaCl Fisiologis.
10. Sisa cairan dalam lambung diambil hingga kosong, disaring dengan kertas
saring. Hasil filtrat yang diperoleh diberikan larutan FeCl3.
11. Perubahan warna diamati, dibandingkan dengan warna standar.
HASIL PENGAMATAN

Tabel 1 Hasil pengamatan


Sampel Volume Volume Konsentrasi Konsentrasi
Awal Akhir T0 T1
Salisilat 1,5 mL 0,2 mL 55% 15%
dalam asam

Pembahasan
% 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑠𝑖 𝑇0 − % 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑠𝑖 𝑇1
% absorbsi =
% 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑠𝑖 𝑇0
55%−15%
=
55%

= 0,727
= 72,7%

PEMBAHASAN

Pada percobaan pemberian asam salisilat dalam suasana asam, konsentrasi


awal asam salisilat yang diabsorbsi oleh lambung sebesar 55%, dan setelah
dibiarkan selama kurang lebih satu jam, terjadi penurunan konsentrasi asam salisilat
menadi 15%. Menurut perhitungan, konsentrasi asam salisilat yang telah diserap
oleh lambung tikus yaitu sebesar 72,7% dari total keseluruhan. Absorbsi asam
salisilat oleh lambung akan lebih banyak pada pH rendah dibandingkan pada pH
tinggi. Absorbsi obat dipengaruhi oleh nilai pKa obat, kelarutan dalam lemak, pH
isi usus, dsb (Stockley 2008). Asam salisilat memiliki sifat farmakokinetik yang
dapat mengabsorbsi dengan cepat terutama pada bagian duodenum dan dapat pula
diserap oleh lambung karena sifatnya yang asam (Tjay dan Rahardja 2003).
Pemberian obat secara oral membuat sebagian salisilat dapat diabsorbsi
dengan cepat dalam bentuk utuh dalam lambung dan sebagian besar di usus halus
bagian atas. Penyerapan tertinggi terjadi sekitar 2 jam setelah pemberian.
Biotransformasi asam salisilat terjadi di banyak jaringan, terutama di mikrosom dan
mitokondria hati. Obat yang bersifat asam akan banyak terkumpul dalam sel yang
bersifat asam seperti lambung, ginjal, dan jaringan inflamasi (Wilmana 2001)

KESIMPULAN

Absorbsi asam salisilat oleh lambung akan lebih banyak pada pH rendah
dibandingkan pada pH tinggi. Hal ini karena absorbs obat dipengaruhi oleh pKa
obat dan pH lambung.
DAFTAR PUSTAKA

Attwood D, Florence AT. 1983. Surfactant Systems. London (UK): Chapman and
Hall.
Burcham PC. 2013. An Introduction to Toxicology. Australia (AU): Springer
Science & Business Media.
Noviani N, Vitrinurilawaty. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Gigi: Farmakologi.
(ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Parfati N, Budisutio FH, Tan CK. 2003. Farmasi Klinis. Jakarta (ID): PT Elex
Media Komputindo.
Stockley IH. 2008. Stockley’s Drug Interaction 8th Edition. Great Britain:
Pharmaceutical Press.
Swarbrick J. 1970. Current Concept in The Pharmaceutical Sciences:
Biopharmaceutics. Philadelphia (US): Lea & Febiger.
Tjay HT, Rahardja K. 2003. Obat-Obat Penting. Jakarta(ID): Elex Media
Komputindo.
Turner RH, Mehta CS, Benet LS. 1970. Apparent Directional Permeability
Coefficient for Drug Ions: In Vitro Intestinal Perfusion Studies. J. Pharm.
Sci. 59 (5): 590-595.
Wagner JG. 1971. Biopharmaceutics and Relevant Pharmacokinetics. Hamilton
(US): Drug Intelligence Publications.
Wilmana PF. 2001. Analgesik, Antipiretik, Analgesik, Anti-Inflamasi Nonsteroid,
dan Obat Pirai. Ganiswarna S.G. ed. IV. Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
FKUI.
Wirasuta IMAG, Niruri R. 2007. Buku Ajar Toksikologi Umum. Bali (ID):
Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai