Anda di halaman 1dari 25

PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA DAN
FARMAKOKINETIKA TERAPAN
Kelompok 3
Kelas C
1. Devika Arisanti 1911102415069
2. Fitria Yuni Sari 1911102415144
3. Hidayati 1911102415084
4.Rara Afifa Juraidi 1911102415102
5. Rizky Amalia 1911102415080
Tablet
Rute oral merupakan salah satu cara
administrasi obat ke dalam tubuh yang sering
digunakan. Tablet merupakan bentuk sediaan
padat oral yang sering diberikan (Amsa, 2014).

Tablet merupakan bentuk sediaan pada yang


mengandung zat aktif dengan atau tanpa
pengisi. Tablet immediate release merupakan
salah satu tablet yang dirancang dalam
penguraian dan pelepasan obat tanpa
pengontrolan atau dilapisi suatu teknik lainnya
(Chaudhari, 2016).
PARACETAMOL
Parasetamol atau asetaminofen telah
ditemukan sebagai obat analgesik yang efektif lebih
dari satu abad yang lalu tepatnya pada tahun 1893,
tetapi hingga sekarang para ahli tidak henti-hentinya
meneliti mekanisme kerja dari obat tersebut.
Parasetamol adalah obat analgesik dan
antipiretik yang populer di masyarakat luas, bahkan
mungkin dapat dikategorikan sangat terkenal.
Parasetamol sangat mudah didapatkan secara bebas
di warung-warung, apotek, rumah sakit dan semua
sarana pelayanan kesehatan lainnya. Obat ini
terkenal dimasyarakat sebagai pelega sakit kepala,
sakit ringan, serta demam (Zulizar, 2013).
UJI DISOLUSI

Uji disolusi merupakan suatu


metode yang digunakan dalam pengembangan
formulasi obat baru, memantau kualiatas roduk
obat, menilai dampak potensial dari perubahan
pasca-persetujuan pada kasus kinerja produk,
memprediksi kinerja in vivo dari produk obat
(Diaz, 2015).
UJI DISOLUSI

Uji disolusi bertujuan untuk memprediksi


korelasi bioavailabilitas in vivo dari produk obat. Uji
disolusi penting sebagai:
1. Petunjuk untuk pengembangan formulasi dan produk
obat,
2. Kontrol kualitas selama proses produksi,
3. Memastikan kualitas bioekivalen in vitro antar batch,
dan
4. Regulasi pemasaran produk obat (Zulizar, 2013).
ALAT DAN BAHAN

ALAT BAHAN
Labu ukur, Pipet ukur,
Beaker glass, Batang Tablet Paracetamol paten,
Tablet Paracetamol generik,
pengaduk, Gelas ukur.
HCl 0.1 N, Aquadest
Timbangan, Dissolution
tester, Spektrofotometri
UV-Vis
Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Paracetamol dalam HCI 0.1 N

PROSEDUR
KERJA
PROSEDUR KERJA

Pembuatan Kurva Baku Larutan Standar Paracetamol dalam HCI 0.1 N


PROSEDUR KERJA
Penentuan Profil Disolusi Paretacamol
HASIL
PENGAMATAN
KURVA BAKU PARACETAMOL
PROFIL DISOLUSI PARACETAMOL
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan sebagai tablet
cetak dan tablet kempa. Bentuk tablet rata atau cembung rangkap, umumnya bulat,
dapat ditambahkan bahan tambahan atau tanpa bahan tambahan. Bahan
tambahan dapat berupa bahan pengisi, penghancur, pengikat, pelicin, pelincir dan
pembasah (Murtini, 2016).
Parasetamol adalah metabolit fenasetin yang bertanggung jawab
terhadap efek analgesiknya. Obat ini merupakan penghambat prostaglandin yang
lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek antiinflamasi yang bermakna.
Parasetamol umumnya digunakan di masyarakat sebagai penurun demam. Dosis
terapi yang digunakan biasanya 500 mg (Bertram, 2010).
Lanjutan ...

Para ahli telah memberikan nama untuk empat


tahap dasar perjalanan obat dalam tubuh, yaitu penyerapan
atau absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Seluruh
proses ini disingkat ADME. Ahli farmasi lainnya juga
membagi kedalam 4 fase yakni farmasetika (pra-formulasi
dan formulasi obat), biofarmasetika (ketika obat masuk
dalam tubuh hingga obat terlepas dari pembawanya hingga
akan diabsorbsi), farmakokinetika (Obat diabsorbsi ke
dalam darah, yang akan segera didistribusikan melalui
tiap-tiap jaringan dalam tubuh), farmakodinamika
(interaksi obat-reseptor obat, fase metabolisme dan eksresi
obat) (Sari, dkk, 2013).
Lanjutan ...

Umumnya, produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui


suatu rangkaian proses, meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti
pelepasan obat, disolusi obat dalam media aqueous, dan absorpsi melewati
membran sel menuju sirkulasi sistemik. Dalam ketiga proses tersebut di
atas, kecepatan obat mencapai sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang
paling lambat dalam rangkaian yang disebut tahap penentu kecepatan
(Shargel, 2005).
Lanjutan ....

Faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi bentuk sediaan padat dapat


diklasifikasikan ke dalam 4 kategori utama yaitu: sifat fisika kimia obat, formulasi
produk obat, proses pembuatan sediaan, dan kondisi uji disolusi. Beberapa faktor
eksternal yang terkait dengan kondisi percobaan dalam uji disolusi dapat
mempengaruhi kecepatan disolusi, antara lain: intensitas pengadukan, macam dan
komposisi medium, suhu, dan model alat disolusi yang digunakan (Siswanto, 2014).
Lanjutan ....

BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika


diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kelas I (Permeabilitas Tinggi, Kelarutan Tinggi)
Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol, dan Paracetamol. Obat kelas I
menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap.
Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi
pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk
larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data
bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).
Lanjutan ...

2. Kelas II (Permeabilitas Tinggi, Kelarutan Rendah)


Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, Asam Mefenamat, dan Nifedipine.
Obat kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi
obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah dosis yang
sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan
terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya
diterima untuk obat kelas I dan kelas II.
Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu,
korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati (Reddy
dkk., 2011).
Lanjutan ....

3. Kelas III (Permeabilitas Rendah, Kelarutan Tinggi)


Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, dan Captopril. Permeabilitas obat
berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat.
Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang
cepat, variasi ini disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk
sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan,
maka kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).
Lanjutan ...

4. Kelas IV (Permeabilitas Rendah, Kelarutan Rendah)


Misalnya Taxol, Hydroclorthiaziade, dan Furosemid. Senyawa ini memiliki
bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus.
Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan
permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk
diformulasikan (Wagh dkk., 2010).
Kurva baku adalah kurva yang diperoleh dengan memplotkan nilai absorban
dengan kosentrasi larutan standar yang bervariasi menggunakan panjang gelombang
maksimum. Pembuatan kurva baku digunakan untuk mencari persamaan regresi linear
sehingga dapat digunakan dalam pencarian suatu kadar yang absorbansinya sudah diukur,
persamaan regeresi linier ini merupakan hubungan antara seri kadar glimepirid dengan
absorbansi glimepirid (Tulandi, 2015).
Lanjutan ...

Spektrofotometri ini hanya terjadi bila terjadi perpindahan elektron


dari tingkat energi yang rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Perpindahan
elektron tidak diikuti oleh perubahan arah spin, hal ini dikenal dengan sebutan
tereksitasi singlet (Hasibuan, 2015).
Prinsip kerja Spektrofotometri adalah bila cahaya (monokrommatik
maupun campuran) jatuh pada suatu medium homogen, sebagian dari sinar
masuk akan dipantulkan sebagian diserap dalam medium itu dan sisanya
diteruskan. Nilai yang keluar dari cahaya yang diteruskan dinyatakan dalam
nilai absorbansi karena memiliki hubungan dengan konsentrasi sampel
(Hasibuan, 2015).
Lanjutan ...

Dari hasil perhitungan diperoleh persamaan garis kurva baku parasetamol y = 0.083x -
0.015 dengan harga koefisien kolerasi (R²) = 0.997. Penetapan kadar parasetamol terlarut dilakukan
dengan mengukur sampel dari masing-masing waktu sampling pada spektrofotometri UV pada panjang
gelombang maksimum.
Pada menit ke-5 % disolusi yang didapatkan Paracetamol Paten dan Paracetamol Generik
adalah sebesar 0,000358% dan 0,000237%. Pada menit ke-10 % disolusi yang didapatkan sebesar
0,000494% dan 0,000339%. Menit ke-15 sebesar 0,001376% dan 0,000818%. Menit ke-20 sebesar
0,002940% dan 0,001743%. Pada menit ke-30 diperoleh %disolusi paten dan generik sebesar
0,006286% dan 0,003700%.
Dengan jumlah %disolusi paten selama 30 menit hanya sekitar 0,006286% dan %disolusi
generik sekitar 0,003700%, menandakan bahwa hasil itu masih jauh dari yang disyaratkan yaitu sekitar
80 % dari jumlah yang tertera di etiket.
ANY
QUESTIONS?
CREDITS: This presentation template was created by

THANKS!
Slidesgo, including icons by Flaticon, and infographics &
images by Freepik

Please keep this slide for attribution

Anda mungkin juga menyukai