Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Perkembangan teknologi pengiriman obat ke molekul setiap didasarkan
pada kebutuhan pasar, diferensiasi produk dan kepatuhan pasien. Dalam
skenario ini, ada permintaan yang semakin meningkat untuk lebih bentuk
sediaan pasien-compliant. Salah satu inovasi penting dalam arah ini adalah
pengembangan dari pelarutan cepat / disintegrasi bentuk sediaan. Ini telah
terbukti ideal untuk populasi geriatri dan anak, pasien terbaring di tempat
tidur atau bepergian, orang yang menderita dysphasia, kondisi klinis di mana
asupan air terbatas, dan situasi di mana air tidak tersedia (Jagdale et al, 2011).
Sifat solubilitas dari suatu obat merupakan salah satu kunci yang
menentukan bioavailabilitas oral dari obat tersebut. Dalam beberapa tahun
terakhir jumlah dari obat yang mempunyai solubilitas yang rendah meningkat
secarqa signifikan. Formulasi dari obat yang mempunyai solubilitas yang
rendah untuk sediaan oral merupakan tantangan bagi peneliti formulasi obat.
Obat-obatan yang sukar larut memberikan masalah bagi ketersediaan hayati
hingga kecepatan disolusi obat tersebut. Berbagai variasi tekhnik telah
dipergunakan untuk meningkatkan solubilitas dan kecepatan disolusi dari
obat obatan yang sukar larut (Hanwte et al, 2011).
Diltiazem hidroklorida adalah obat BCS Kelas-I. Memiliki rasa yang
sangat pahit. Hidroklorida diltiazem adalah penghambat saluran kalsium
umumnya diindikasikan untuk pengobatan angina dan hipertensi, dan secara
ekstensif di metabolisme, terutama pada metabolisme hati. Obat ini
dipasarkan sebagai tablet lepas lambat langsung, diperluas menjadi kapsul
lepas lambat, dan suntikan. Kompleksasi dengan -CD akan menutupi rasa
pahit dari diltiazem HCl (Jagdale et al, 2011)
I.2. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian Biopharmaceutical Classification Scheme
(BCS).

2. Memahami jenis-jenis Biopharmaceutical Classification Scheme


(BCS).
3. Memahami faktor apa saja yang mempengaruhi kelarutan dan
permeabilitas.
4. Mengetahui dan memahami contoh senyawa obat BCS class I.

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi
biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas
dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian
obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat
harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem,
2011).
Tujuan dari BCS adalah :
1. Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan
dengan

merekomendasikan

strategi

untuk

mengidentifikasi

uji

bioekivalensi.
2. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat dari bentuk sediaan padat
oral yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.
3. Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai
dengan disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan
permeabilitas produk obat.
(Reddy et al, 2011).
Batas kelas:
1. Sangat larut: Sebuah zat obat adalah dianggap sangat larut saat kekuatan
dosis tertinggi larut dalam <250 air ml pada rentang pH 1-7,59.
2. Sangat Permeable: substansi obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat
penyerapan pada manusia ditentukan untuk menjadi> 90% dari dosis yang
diberikan, berdasarkan massa-balance atau dibandingkan dengan referensi
intravena dosis .
3. Cepat Melarutkan: Sebuah produk obat dianggap cepat melarutkan
ketika> 85% dari jumlah berlabel zat obat larut dalam waktu 30 menit
menggunakan alat USP I atau II divolume <900 ml larutan buffer 3.
(Wagh & Patel, 2010).
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi
biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah :

Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi) Misalnya Metoprolol,


Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan
3

yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik
diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan
segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.

Oleh

karena itu hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85%
dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi invitro dalam
berbagai nilai ph, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan

untuk menjamin perbandingan produk (Wagh & Patel, 2010).


Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah) Misalnya Fenitoin,
Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki
daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat
secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah dosis
yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat
daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in
vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II.
Bioavaibilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu,
kolerasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat

diamati (Reddy et al, 2011).


Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi) Misalnya Simetidin,
Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada
tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat
cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan
obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan
permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut.
Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan,

maka kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy et al, 2011).


Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah) Misalnya taxol,
hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki bioavailabilitas yang
buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus.
Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi,
sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini
cenderung sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh & Patel, 2010).
Faktor yang mempengaruhi Biopharmaceutical Classification System

(BCS), antara lain:

1. Laju disolusi
Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak
kurang dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30
menit, menurut US Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau
alat disolusi II pada 50 rpm) dalam volume 900 ml atau kurang disetiap
media seperti HCl 0,1 N atau cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan
buffer ph 4,5, larutan buffer ph 6,8 atau cairan usus buatan tanpa enzim
(Wagh & Patel, 2010).
2. Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan
kelarutan suatu obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap
ph suatu obat uji harus ditentukan pada 37 1C dalam media air dengan
rentang OH 1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan
pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya ketika pKa obat berada
dikisaran 3-5, klarutan harus ditentukan pada pH=pKa, pH= pKa +1, pH=
pKa-1, dan pada pH= 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan.
Larutan standar yang dijelaskan USP dapat digunakan dalam studi kelarutan
harus di verifikasi setelah penambahan obat untuk buffer (Wagh & Patel,
2010).
3. Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat
pada manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa
melintasi membran usus manusia.
4. Suatu obat dikatakan sangat permeabilitas ketika tingkat penyerapan pada
manusia 90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada
keseimbangan massa atau dibandigkan dengan dosis pembanding intravena
(Reddy et al, 2011).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran
cerna antara lain adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor
biologis dan faktor lain-lain.
a. Bentuk sediaan
Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat
yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis
obat. Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, suspense, emulsi, serbuk dan
larutan, proses absorpsi obat memerlikan waktu yang berbeda-beda dan

jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan. Ukuran partikel


bentuk sediaan juga mempengaruhi absorpsi obat. Makin kecil ukuran
partikel, luas permukaan yang bersinggungan dengan pelarut makin besar
sehingga kecepatan melarut obat makin besar. Adanya bahan-bahan
tambahan atau bahan pembantu, seperti bahan pengisi, pelican,
penghancur, pembasah dan emulgator, dapat mempengaruhi waktu hancur
dan melarut obat, yang akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi
obat.
b. Sifat kimia fisika obat
Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat
dapat mempengaruhi kelarutan dan proses absorpsi obat. Selain itu, bentuk
Kristal atau polimorf, kelarutan dalam lemak atau air dan deraja ionisasi
juga mempengaruhi proses absorpsi obat.
c. Faktor biologis
Faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat
antara lain adalah variasi keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan
lambung, gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu
pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus serta banyaknya
pembuluh darah pada tempat absorpsi.
d. Faktor Lain
Faktor lain yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain
adalah umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain
dan adanya penyakit tertentu.
(Siswandono & Soekarjo, 2000).
BAB III
PEMBAHASAN
Obat yang kami gunakan sebagai contoh dari Biopharmacetis Calssification
(BCS) Class 1 (BCS 1) adalah metoprolol tartrat. Rumus molekul : C34H56N2O12.
Metoprolol tartrat merupakan penghambat selektif beta-adrenoreseptor (USP,
2009).

Gambar. Rumus molekul Metoprolol Tartrat


Metoprolol merupakan kardioselektif beta-blocker yang diklasifikasikan
sebagai obat kelas 1 dalam Biofarmasetik Klasifikasi (Biopharmaceutics
Classification Scheme/BCS), yang berarti metoprolol merupakan obat yang
memiliki kelarutan dan permeabilitas yang tinggi. Obat secara keseluruhan
diabsorpsi melalui saluran pencernaan, namun sebagian besar dari obat ini
mengalami first effect metabolisme sehingga bioavaibilitasnya berkurang hingga
50%. Setelah pemberian dosis obat oral, peak (puncak) konsentrasinya dalam
plasma akan timbul 1-2 jam setelahnya. Metoprolol dieleminasi sekitar 3-4 jam,
yang d=bergantung pada tujuan terapinya. Oleh karena itu, pemberian metropolol
dilakukan 4 kali sehari. Berdasarkan hal tersebut dan juga hubungan antara efek
betablocking dan konsentrasi obat dalam plasma, metoprolol memerlukan
formulasi untuk menjadikannya obat extended-release (ER). Formulasi metoprolol
ER melancarkan puncak dan lembah dalam konsentrasi plasma dan dapat
mengurangi dosis pemberian obat. Pemberian dosis dapat dikurangi menjadi satu
atau dua kali sehari (Klein, S. & J. B. Dressman. 2006).
Sistem matriks hidrofilik merrupakan teknologi paling popular yang
digunakan pada obat extended-release (ER). Hidrasi cepat dan lapisan gel kuat
sebagai polimer pengontrol penting untuk tujuan mendapatkan obat ER dengan
dosis tinggi dan memiliki kelarutan tinggi di dalam air. Biasanya industri farmasi
menggunakan hipromelose dengan tingkat vikositas tinggi dalam formulasinya.
Obat yang memiliki kelarutan sangat tinggi berada di dalam fomulasi tablet ER

dan berbatasan dengan permukaan tablet yang langsung terlarut ketika


bersentuhan dengan media pelarut, sebelum menjadi lapisan gel. Formulasi ini
memberikan ledakan pelepasan awal yang kemudian diikuti dengan pelepasan
terkontrol obat. Dilaporkan bahwa barrier membrane (BM) sebagai pelapis dapat
menekan ledakan pelepasan di awal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melihat ketahanan pelepasan obat metoprolol tatrat obat BCS kelas 1 dengan
pelapis BM matriks hidrofilik secara in vitro, pada media yang dikondisikan
secara fisikokimia menyerupai sistem pencernaan pada saat kondisi makan atau
tidak makan (Seeger, N. et. al., 2012).
Metode yang digunakan pada penelitian ini antara lain :
1. Formulasi Tabet
Formulasi tablet metoprolol tatrat ER matriks hidrofilik menggunakan
hipromeluse dengan viskositas tinggisebagai polimer. Pelapis BM mengandung
dispersi aquas etilselulosa dan sistem HPMC dasar, sebagi pembentuk pori
(85:15 w/w), diaplikasikan pada matriks pada 4% w/w untuk mengeliminasi
ledakan pelepasan dari matriks yang tidal dilapisi, umumnya diamati pada obat
dengan kelarutan tinggi (Seeger, N. et. al., 2012).

Tabel. Formulasi Tablet


(Sumber: Seeger, N. et. al., 2012)
2. Studi Disolusi
Tablet yang tidak dilapisi dan tablet yang dilapisi BM dievaluasi
dengan aparatus III USP dengan simulasi gradien pH saluran pencernaan
manusia saat tidak makan (puasa) dan makan.Setelah itu, digunakan alat
mini-paddle apparatus pada 200 mL media dengan laju pengadukkan 100
rpm. Untuk mensimulasi perubahan fisiologi tambahan dari komposisi
cairan pencernaan, khususnya peningkatan osmolaritas dan penurunan
tegangan permukaan setelah konsumsi makanan, osmolaritas atau

tegangan permukaan dari media divariasi dengan mengaplikasikan


berbagai konsentrasi dari NaCl atau sukrosa atau berbagai konsentrasi dari
SLS atau Tween 80, dan pH dijaga tetap konstan (FaSSIF Ph 6,8).
Besarnya variasi osmolaritas dan tegangan permukaan dsesuaikan dengan
relevansi fisiologis dari saluran pencernaan manusia pada kondisi puasa
dan makan. Seluruh pengujian direplikasi tiga kali. Sampel diambil dari
waktu yang ditetapkan sebelumnya hingga terjadi dilusi yang dapat
diterima, kemudian dianalisis menggunakan Spektrofotometri UV dengan
panjang gelombang 272 nm (Seeger, N. et. al., 2012).

Tabel. Simulasi Saluran Pencernaan dalam Kedaan Puasa

Tabel. Simulasi Saluran Pencernaan dalam Keadaan Konsumsi Makanan

Tabel. Contoh Obat BCS kelas 1


(Sumber : Qiu, Y. et. al. 2009)
Pengujian secara in vitro adalah pengujian di luar organisme hidup, tetapi
dalam lingkungan terkontrol. Dikondisikan suatu larutan agar sama dengan cairan
gastro intestinal dengan berbagai media menerapkan konsentrasi yang berbeda
dari NaCl atau sukrosa atau konsentrasi yang berbeda dari SLS atau Tween 80,
masing-masing, sementara pH dijaga konstan. Pelepasan obat acara yang dilapisi
BM (Barrier membrane) matrik metoprolol hidrofilik tartrat (MPT) dengan cairan
gastro intestinal yang dikondisikan dan dikontrol pHnya dari keadaan berpuasa
dan makan. Jelaslah terlihat variasi pH fisiologis dalam di saluran pencernaan
tidak mempengaruhi pelepasan obat (Seeger et al., 2012).

10

(Seeger et al., 2012).


Mengetahui osmolalitas dan tegangan permukaan pada pelepasan obat
menunjukkan pelepasan obat untuk pelapis BM pada matriks MPT dalam keadan
GI Kosong dan pH 6,8 disesuaikan dengan fisiologis osmolalitas dari 100-600
mosmol / kg dan ditambahkan 0,001-0,1% surfaktan. Grafik menunjukkan bahwa
pelepasan obat dari kedua matriks yang dilapisi BM yang osmolalitas dan
konsentrasi surfaktan terkendalikan. Dampak dari BM-lapisan sangat terkontrol
bahkan di bawah kondisi terburuk (osmolalitas rendah dan konsentrasi yang
sangat tinggi dari surfaktan) mencegah pelepasan (Seeger et al., 2012).

11

(Seeger et al., 2012).

BAB IV
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah :
1. BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi
biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur
permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu, sistem ini
dibuat untuk pemberian obat secara oral.
2. BCS (Biopharmaceutical Classification

System)

diklasifikasikan

menjadi empat kelas, diantaranya adalah Kelas I (Permeabilitas tinggi,


12

Kelarutan

tinggi)

Misalnya

Metoprolol,

Diltiazem,

Verapamil,

Propranolol; Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah) Misalnya


Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine; dan,
Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi) Misalnya Simetidin,
Acyclovir, Neomycin B, Captopril; Kelas IV (Permeabilitas rendah,
Kelarutan rendah) Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid.
3. Faktor yang mempengaruhi Biopharmaceutical Classification System
(BCS), antara lain : laju disolusi, kelarutan, permeabilitas, dan suatu
obat dikatakan sangat permeabilitas ketika tingkat penyerapan pada
manusia 90% atau lebih dari dosis yang diberikan.
4. Contoh dari Biopharmacetis Calssification (BCS) Class 1 (BCS 1)
adalah metoprolol tartrat merupakan obat yang memiliki kelarutan dan
permeabilitas yang tinggi. Obat secara keseluruhan diabsorpsi melalui
saluran pencernaan, namun sebagian besar dari obat ini mengalami first
effect metabolisme sehingga bioavaibilitasnya berkurang hingga 50%.

13

Anda mungkin juga menyukai