Anda di halaman 1dari 26

Biowaiver Monographs for Immediate Release Solid Oral

Dosage Forms: Isoniazid

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Biofarmasetika

Kelompok 11

Fitria Dhirisma 260112140522


Renatha Deska Chanesia 260112140552
Putu Listynelia WA 260112140582
Nurul Asih Ramadhani 260112140612

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
JATINANGOR
2015
BAB I

PENDAHULUAN

Biopharmaceutics Classification System (BCS) atau sistem klasifikasi

biofarmasetika merupakan suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan

kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat

secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus

memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011).

Bioavailabilitas obat merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk

melihat efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat

dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas.

Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu

cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu

tinggal obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007).

Biowaiver adalah suatu pengecualian dari keharusan studi bioekivalensi manusia

apabila zat aktif memenuhi kriteria kelarutan dan permeabilitas in vitro tertentu dan

apabila profil disolusinya memenuhi persyaratan bentuk sediaan pelepasan cepat.

Persyaratan BCS biowaiver adalah obat disolusinya cepat, kelarutan dan

permeabilitasnya tinggi, jendela terapinya luas, dan eksipien yang digunakan

merupakan pelepasan cepat (intermediate release / IR).

Monografi biowaiver isoniazid berdasarkan data literatur dengan penambahan

dan data penelitian terbaru telah dilaporkan. Resiko pengujian BE dengan in vitro
daripada hasil studi in vivo untuk penerimaan immediate release (IR) terbaru dari

bentuk sediaan oral yang mengandung isoniazid (biowaiving), termasuk produk

reformulasi dan produk multisource terbaru yang dievaluasi dengan pertimbangan dari

segi biofarmasetika dan sifat klinik. Evaluasi ini mengacu pada produk obat yang

mengandung isoniazid hanya sebagai zat aktif dan tidak untuk produk kombinasi.

Tujuan dari diskusi kali ini adalah mengevaluasi seluruh data yang behubungan

dari literatur untuk Active Pharmaceutical Ingredient(API), untuk menilai resiko yang

terkait dengan biowaiver. Resiko didefinisikan sebagai probabilitas keputusan

biowaiver yang tidak tepat sebagai konsekuensi dari kesalahan keputusan dalam hal

kesehatan masyarakat dan resiko individu pasien. Melihat pertimbangan hal itu,

rekomendasi dibuat apakah sebaiknya biowaiver atau tidak. Pendekatan sistematik

untuk merekomendasikan atas keputusan biowaiver menngacu pada referensi WHO

guideline.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biopharmaceutical Classification System Secara Umum

BCS atau Biopharmaceutical Classification System merupakan hasil dari usaha

berkelanjutan dalam analisis matematika berkaitan dengan proses kinetika dan dinamika

obat dalam saluran pencernaan untuk memebuhi NDA dan ANDA. Sistem ini dapat

mengurangi tahapan dalam proses pengembangan obat baru, secara langsung maupun

tidak langsung, menghilangkan prosedur uji klinik untuk mendukung penggantian uji

bioekuivalen dengan uji disolusi secara in vitro.

BCS merupakan panduan umum untuk memprediksi absorpsi obat dalam usus

yang dibuat oleh FDA US. Ide untu membuat BCS diungkapkan oleh Gordon Amidon,

yang mendapat hadiah Distinguished Science Award pada Agustus 2006 pada Kongres

International Pharmaceutical Federation di Salvador Brazil. Batasan untuk Prediksi

dengan BCS adalah Kelarutan dan permeabilitas intestinal.

Klasifikasi kelarutan didasarkan pada USP, sedangkan permeabilitas intestinal

didasarkan pada perbandingan terhadap injeksi intravena. Semua factor factor tersebut

sangatlah penting karena 85 % jumlah obat yang terjual di US dan Eropa terdaftar

sebagai obat yang digunakan secara oral.

BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi

biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah :


1. Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi)

Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I

menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya

sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan

segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.

Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85%

dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai

pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin

perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).

2. Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)

Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat

kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat

secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah dosis yang

sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan

terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya

diterima untuk obat kelas I dan kelas II.

Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu,

korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati (Reddy

dkk., 2011).
3. Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)

Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat

berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi

sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat.

Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan permeabilitas membran

fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah

permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka kriteria kelas I dapat diterapkan

(Reddy dkk., 2011).

4. Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)

Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki

bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa

usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering

menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit

untuk diformulasikan (Wagh dkk., 2010).

Sedangkan batas kelas yang digunakan dalam BCS diantaranya adalah (Dash

dkk., 2011) :

1. Suatu obat dianggap sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi yang larut

dalam ≤ 250 ml air pada rentang pH 1 sampai 7,5.


2. Suatu obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada

manusia ≥ 90% dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau

dibandingkan dengan dosis pembanding intravena.

3. Suatu produk obat dianggap cepat melarut ketika ≥ 85% dari jumlah

berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit menggunakan alat disolusi I atau II

dalam volume ≤ 900 ml larutan buffer.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya:

1. Laju disolusi

Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang

dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US

Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm)

dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau cairan

lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8 atau cairan

usus buatan tanpa enzim (Wagh dkk., 2010).

2. Kelarutan

Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan

suatu obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji

harus ditentukan pada 37 ± 1oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH

untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji.

Misalnya, ketika pKa obat berada di kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan pada pH =

pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali
percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan dalam USP dapat digunakan dalam

studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok untuk alasan fisik atau kimia, larutan

penyangga lainnya dapat digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah penambahan

obat untuk buffer (Wagh dkk., 2010).

3. Permeabilitas

Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada

manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi

membran usus manusia.

Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia

adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa

atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena (Reddy dkk., 2011).

Penentuan Kelarutan dalam sistem BCS adalah:

-Menggunakan Profil pH-Kelarutan dari obat uji dalam media dengan pH antara 1-7,5

-Menggunakan Metode pengocokan dalam botol atau metode titrasi

-Menggunakan Analisis dengan pengujian yang menunjukkan stabilitas yang sudah

divalidasi

Beberapa penentuan dalam sistem BCS, diantaranya:

1. Penentuan permeabilitas

A. Jumlah obat yang diabsorpsi dalam tubuh


-Studi farmakokinetik

-Studi bioavailibilitas absolut

B. Metode permeabilitas intestinal:

-Penelitian perfusi intestinal pada manusia secara in vivo

-Penelitian perfusi intestinal pada hewan coba secara in vivo atau in situ

-Percobaan permeasi secara in vitro dengan jaringan usus manusia atau hewan

-Percobaan permeasi melewati sel epitel monolayer secara in vitro

2. Penentuan Disolusi

Penentuan Disolusi

-Menggunakan Aparatus I USP pada 100 rpm atau apparatus II USP pada 50 rpm

-Media disolusi sebanyak 900 mL: 0,1N HCl atau cairan lambung buatan , pH 4,5 dan

pH dapar 6,8 atau cairan intestinal buatan

-Bandingkan profil disolusi dari hasil uji dengan profil baku pembanding menggunakan

factor kesetaraan (f2)

Adapun persyaratan untuk BCS Biowaiver yakni:

-Disolusi yang sama dan cepat

-Permeabilitas yang tinggi

-Kelarutan yang besar

-Jendela/index terapi yang lebar

-Bahan tambahan yang digunakan dalam sediaan adalah bahan yang sebelumnya sudah

disetujui FDA untuk digunakan untuk bentuk sediaan padat cepat lepas.
Data Pendukung yang diperlukan

A. Data pendukung disolusi yang sama dan cepat

-Penjelasan yang jelas tentang produk yang digunakan untuk uji disolusi

-Data disolusi diperoleh dari 12 produk uji dan produl banding pada setiap interval uji

yang spesifik untuk setiap dosis. Representasi rata rata dari profil disolusi produk uji

dan produk pembanding dalam 3 media.

B. Data pendukung Permeabilitas yang tinggi:

-Untuk studi farmakokinetik, informasi dalam design penelitian dan metode yang

digunakan bersama dengan data farmakokinetik

-Untuk metode permeabilitas langsung, informasi kesesuaian metode pendukung

dengan penjelasan setiap metode studi, kriteria manusia yang menjadi subjek penelitian,

binatang, atau sel epitel, konsentrasi obat, penjelasan dari metode analisis, metode untuk

menghitung jumlah obat yang diabsorpsi atau permeabilitas dan informasi potensi

eliminasi obat tersebut (jika diperlukan).

-Menghitung jumlah yang diabsorpsi atau permeabilitasnya

-Sebuah daftar dari obat uji terpilih bersama dengan data tentang jumlah absorpsi dalam

tubuh manusia digunakan untuk menentukan kesesuaian metode, nilai permeabilitas dan

kelas untuk setiap obat uji, dan kurva dari banyaknya obat yang diabsorpsi sebagai

fungsi permeabilitas dengan identifikasi batasan tinggi rendahnya permeabilitas dan

standard internal yang dipilih.


-Data permeabilitas pada zat aktif obat, standard internal, informasi stabilitas dan

mekanisme transport pasif pendukung yang sesuai dan metode yang digunakan untuk

mengembangkan permeabilitas yang tinggi atas zat aktif obat yang diuji

C. Data yang mendukung Kelarutan yang Besar:

- Penjelasan Metode Uji (Metode analitik, komposisi buffer)

- Informasi struktur kimia, bobot molekul, tetapan disosiasi, dan sifat bahan obat

- Hasil uji dirangkum dalam sebuah table yang berisi informasi tentang pH larutan,

kelarutan obat, volume yang diperlukan untuk melarutkan obat dengan dosis

maksimum.

- Representasikan rata rata profil pH-Kelarutan dalam bentuk grafik

2.2 Isoniazid

Karakteristik Umum

Isoniazid

Isonicotinic acid hydrazide

4-Pyridinecarboxylic acid hydrazide


Isoniazid merupakan Active Pharmaceutical Ingredient(API) untuk obat tuberkulosis
yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen standar yang sering digunakan terapi
kombinasi dengan isoniazid yaitu rifampisin, pyrazinamid dan etambutol untuk 2 bulan
pertama dan dilanjutkan dengan terapi kombinasi isoniazid dan rifampisisn sekitar 4
bulan terakhir. Isoniazid selain digunakan untuk obat tuberkulosis, digunakan juga
sebagai terapi kombinasi penyakit leprosy.

Index Terapi dan Toksisitas

WHO merekomendasikan rentang dosis isoniazid yakni 4-6 mg/kg dengan dosis
maksimum harian tidak melebihi 300 mg. 11 Dosis harian maksimum 300 mg
digunakan sebagai terapi preventif untuk populasi dengan resiko tinggi. WHO
merekomendasikan kepada pasien yang beresiko terjadinya periferal neuropathy,
sebaiknya diberikan suplemen 10 mg pyridoxin setiap harinya. Efek samping isoniazid
yakni hepatotoksik.

SIFAT KIMIA

Polimorfisme, Hidrat

Isoniazid tidak menujukkan polimorfisme atau membentuk hidrat. Hasil sintesis berupa
kristal yang telah dilaporkan menjadi ortrombik.

Kelarutan

Mengacu pada buku dan formakope, bahwa kelarutan isoniazid 125 mg/ml dalam air
pada suhu ruangan. 10,17,18. Kelarutan isoniazid pada suhu 37 0C telah ditentukan
menggunakan larutan buffer dengan pH 1,2; 4,5; dan 6,8 dengan metode standar shake-
flask USP selama 4 jam dengan pengontrolan larutan buffer pH. Data kelarutan menurut
literatur terdapat pada Table 1.
Koefisien Partisi

Telah dilaporkan bahwa nilai logP dalam oktanol/buffer pH 7,4 yaitu 1,1. 16,17.
Perhitungan Kasim, et al. 21 menggunakan metode fragmentasi berdasarkan kontribusi
atomik lipoflisitas dan menggunakan program the ClogP (version 3.0, Biobyte Corp,
Ckaremont, CA http://www.biobyte.com memberikan nilai log P 0,64 dan dengan
ClogP -0,67.

pKa

Berdasarkan metode yang digunakan untuk menentukan konstanta disosisasi, ada


perbedaan nilai pKa. Pada 200C nilai pKa 1,8 (rentang: 1,4-2,2) untuk pyridine nitrogen,
3,5 (rentang 3,5-3,9) untuk hidrazide nitrogen dan 10,8 (rentang: 9,8-11,2) untuk
deprotonasi dari kelompok hidrazid mesomerism terstabilisasi anion.
Kekuatan Dosis

Isoniazid hanya tersedia dalam bentuk tablet yang terdata dalam WHO Essential
Medicines List dengan rentang 100-300 mg.22

Di Jerman tablet isoniazid yang beredar yakni 50, 100, 200 mg, di Denmark, Finlandia
dan Swedia 300mg, di Belanda 200mg.

FARMAKOKINETIK ISONIAZID

1. Absopsi dan permeabilitas

Tidak ada studi yang menjelaskan tentang uji in-vivo tentang permeabilitas obat

isoniazid melalui usus dan sel. Pengelompokan berdasar API (active pharmaceutical

ingredient) (Karmin et al., 2004) membagi permeabilitas menjadi dua yakni

permeabilitas tinggi dan permeabilitas rendah, berdasarkan nilai ClogP1 dan logP

dimana nilai ini didapat dari data eksperimental permeabilitas usus pada manusia.

Apabila niai ClogP1 dan logP lebih besar dari nilai acuhan (metoprolol) yakni 1,35 dan

1,72 maka dapat diklasifikasikan memiliki permeabilitas yang tinggi dan begitu

sebaliknya apabila nilai ClogP1 dan logP dibawah nilai acuhan dikatakan memiliki

permeabilitas rendah. Isoniazid memiliki nilai ClogP1 dan logP 0,67 dan 0,64 sehingga

dapat disimpulkan memiliki permeabilitas rendah/jelek.

Mariappan et al (2003) dan Kakemi et al (1965) dalam ujinya menggunakan tikus

menyatakan bahwa isoniazid memiliki permeabilitas yang rendah pada lambung tetapi

absopsinya baik pada usus, hal ini dikarenakan sifat yang lemah pada medium asam.
Penelitian yang dilakukan pada awal 1952 menggunakan recovery urin selama 24 jam

setelah pemberian isoniazid oral 3 mg/kg pada pasien TBC dewasa. Didapatkan hasil

sebesar 48% sampai 70%, tetapi tidak dapat dipastikan bahwa hasil keseluruhan

berdasarkan dari recovery urin. Pada tahun 1979 (Kleber et al., 1979) melaporkan

bahwa Bioavalaibilitas mutlak pada pasien TBC sebesar 90% ± 10% dan beberapa

diantaranya telah mengalami operasi reseksi lambung. Nilai plasma pada pasien yang

mengalami berbagai prosedur bedah, termasuk jejunoileal bypass, Cmax dan dosis oral

untuk obat tidak berubah yakni 3 mg sampai 10 mg/hari (Polk et al., 1978).

Nilai Tmax ditetapkan oleh penulis yang berbeda yakni berkisar antara 1 sampai 2 jam

setelah penggunaan oral, pada laju absorpsi sedang sampai cepat serta permeabilitas

yang baik.

Mannisto et al (1982) meneliti tentang pengaruh makanan pada penyerapan isoniazid

pada sukarelawan sehat. Semua jenis makanan tidak mengganggu absorpsi isoniazid

sehingga kadar dalam darah tinggi tetapi pada konsumi tinggi karbohidrat absorpsi

isoniazid mengalami penurunan. Sehingga diambil hipotesa bahwa karbohidrat dapat

berinteraksi dengan isoniazid (Zent C et al., 1995). Reaksi kondensasi isoniazid pada

larutan gula lebih dari 30 hari pada suhu 26°C. Isoniazid bebas dalam larutan ditentukan

menggunkanan ekstraksu diikuti dengan deteksi fotometri. Reaksi kondensasi paling

menonjol adalah pada sirup blackcurrant, dalam larutan 5% glukosa, dalam campuran

60% sukrosa, 5% fruktosa dan glukosa 5%. Sebuah studi tentang recovery urin pada

penyerapan isoniazid pada larutan sirup dan pada larutan susu. Didapat hasil bahwa

penyerapan isoniazid pada larutan sirup berkurang 47% dan pada larutan susu sebesar
82% pada perut kosong. Dapat diambil hipotesa bahwa reaksi kondensasi

mempengaruhi keecepatan absorpsi isoniazid atau absorpsi obat menjadi berkurang

(Rao et al., 1971).

Studi lain yang dilakukan oleh Kakemi et al (1965)menyelidiki penyerapan produk

kondensasi dari isoniazid dengan glukosa, isonicotinylhydrazone glukosa, pada manusia

dan berbagai gula (isoniazid-hydrazones) pada tikus. Glukosa, lactose,

glucuronolactone, dan sodiumpyruvate isonicotinoylhydrazones keton yang perlahan

dan sulit diserap pada usus tikus. Pada manusia, ekskresi urin setelah mengkonsumsi

isoniazid murni atau campuran dari 460 mg isonicotinylhydrazone glukosa dalam 200

ml air. Itu menemukan bahwa, dibandingkan dengan isoniazid murni, jumlah kumulatif

isoniazid yang diekskresi berkurang ketika isonicotinylhydrazone glukosa diberikan.

Meningkatnya jumlah glukosa yang diberikan maka akan terjadi penurunan yang lebih

besar pada recovery urin isoniazid.

Chavan et al (1974) menilai BA relatif dari sediaan berbasis sorbitol isoniazid dosis cair

(Isokin liquid) terhadap bubuk isoniazid murni dalam air. Setelah pemberian 300 mg

isoniazid untuk 10 relawan sehat, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati baik

dalam tingkat darah atau ekskresi urin antara dua sediaan. Temuan ini menunjukkan

bahwa sorbitol tidak membentuk sejumlah besar produk kondensasi dengan isoniazid.

Hurwitz et al (1974) mengamati penurunan yang signifikan dalam konsentrasi plasma

setelah 1 jam, Cmax dan daerah di bawah kurva konsentrasi plasma (AUC) pada

pemberian aluminium hidroksida yang mengandung antasid. Sebelum pemberian oral

dari isoniazid untuk 11 pasien dengan TBC. Efeknya juga terjadi, setelah pemberian
magnesium atau aluminium yang dikombinasikan antasida (magaldrate). Atas dasar ini

direkomendasikan bahwa antasida harus diberikan minimal 1 jam sebelum isoniazid.

2. Distribusi

Isoniazid memiliki volume distribusi 43 L setelah penggunaan oral, serta memiliki

penetrasi yang konsisten pada berbagai organ (Weber and Hein, 1979). Konsentrasi

yang tinggi dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal, paru-paru, dan kulit (Holdiness

MR, 1984). Boxenbaum et al (1975) menjelaskan bahwa sebagian isoniazid tidak terikat

protein plasma secara signifikan. Studi sebelumnya telah melaporkan isoniazid yang

terikat protein plasma pada kisaran 0% sampai 74%. Kisaran tersebut dapat dijelaskan

dengan menggunakan tes yang bervariasi dalam kemampuan untuk mendeteksi produk

dekomposisi atau metabolit dari isoniazid.

3. Metabolisme dan Eliminasi

Jalur metabolisme utama isoniazid adalah asetilasi oleh enzim N-asetiltransferase yang

terletak di hati dan usus kecil. Aktivitas enzim menunjukkan variasi genetik dan

metabolisme obat yang berbeda. Pasien dengan metabolisme cepat (acetylate rapidly)

dapat memetabolisme obat sekitar 45-110 menit sedangkan untuk pasien dengan

kemampuan metabolisme lambat sekitar 2-4,5 jam. Metabolit aktif yang berperan

sebagai tuberculostatic adalah monoacetylhydrazine. Ekskresi urin adalah rute pertama

pada eliminasi obat, lebih dari 80% obat tereliminasi setelah 24 jam penggunaan,

sebagian besar sebagai metabolit. Dan kurang dari 10% di eliminasi melalui feses.
KINERJA BENTUK SEDIAAN

1. Studi BABE

- Pengujian BA INH dilakukan dengan menguji 3 obat dagang dan 3 obat

generik di USA

- Pelepasan pada semua formulasi terjadi pada suhu 37 C selama 30 menit

dengan menggunakan USP Simulated Gastric Fluid sine pepsin (SGFsp)

- Pengujian dengan menggunakan paddle apparatus dengan kecepatan 75 rpm

- Pengujian BE dilakukan secara in vivo dengan 6 orang sukarelawan

- Dosis yang digunakan 10 mg/kg/hari, sampling dilakukan tiap 8 jam

- Semua produk yang diuji terbukti bioekivalen

- Pengujian dilakukan secara oral dan intravena sehingga dapat ditentukan

nilai mutlak BA dari INH dimana nilai AUC pemberian oral lebih baik

daripada pemberian intravena

2. Eksipien

- INH pada setiap produk memiliki nama paten dengan beberapa eksipien di

setiap Negara yang berbeda-beda dan telah berhasil melewati studi BE

secara in vivo

- Berikut adalah daftar eksipien pada produk oral INH


3. Disolusi

- USP yang berlaku menjelaskan bahwa tablet INH memiliki kurang dari

Q≥80% selama 45 menit dalam 900 ml dalam HCl 0.01N pada suhu 37 C

dengan apparatus keranjang dengan kecepatan 100 rpm

- Semua formulasi telah melewati uji BE secara in vivo dan sesuai dengan

kriteria disolusi secara in vitro

- Uji disolusi dari INH murni sesuai dengan persyaratan WHO untuk uji BE.

Dalam waktu 10 menit, sebanyak 100% senyawa obat terlarut dalam USP

SGFsp dengan pH 1.2, dalam USP SIFsp dengan pH 6.8, dan dalam buffer

fosfat pH 4.5
BAB III

PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Kelarutan

Spesifikasi kondisi percobaan tingkat kelarutan Isoniazid (INH) dalam literatur

tidaklah sama dengan spesifikasi BCS (spesifikasi kondisi BCS dapat dilihat di Tabel 1

terdiri dari tingkatan pH 1 – 7,5). Percobaan kelarutan INH menurut BCS adalah pada

suhu 37oC, sedangkan dalam literatur dilakukan dalam ruang dengan suhu 40oC .

Penelitian terbaru menyatakan bahwa tingkat minimum kelarutan INH terdapat pada pH

6,8. INH semakin larut pada kondisi pH asam, hal ini disebabkan karena INH

merupakan senyawa sintetik basa yang komponen alaminya rendah. Perhitungan rasio

D/S (Dose/Solubilty) pada sediaan tablet di German menyatakan INH larut dalam

jumlah 250 ml atau lebih rendah. Oleh karena itu, berdasarkan guideline BCS senyawa

aktif INH dikategorikan sebagai sangat mudah larut.

Permeabilitas

Data eksresi urin yang dihubungkan dengan tingkat bioavabilitas tidak dapat

menggambarkan tingkat permeabilitas dari INH. Hal ini disebabkan karena metode ini

menimbulkan banyak pertanyaan pada penelitian terdahulu. Sebagai contoh pada

penelitian tedahulu, setelah pemberian dosis normal pada individu yang sama, AUC

(Area Under Curve) kadar efikasi INH lebih tinggi pada pemberian rute oral
dibandingkan rute IV. Oleh karena itu penentuan permeabilitas dengan metode ini

dianggap memiliki kesalahan dan tidak diyakini.

Penelitian BCS terbaru mengklasifikasikan permeabilitas INH sebagai senyawa aktif

yang termasuk permeabilitas kelas I dan kelas III. Perbedaan klasifikasi kelas

permeabilitas ini disebabkan karena belum ada penelitian permeabilitas INH di usus

halus secara in vitro. Penentuan kelas BCS obat INH sebagai kelas III (permeabilitas

rendah, kelarutan tinggi) didasarkan atas korelasi koefisien partisi yang diperhitungkan

dengan permeabilitas bukan koefisien partisi INH yang diukur sebelumnya. Sedangkan

penelitian lain yang mengklasifikasikan permeabilitas INH sebagai kelas I (kelarutan

tinggi, permeabilitas tinggi) didasarkan atas tingkat metabolism INH yang sangat

intensif. Oleh karena itu, guideline WHO mengklasifikasikan permeabilitas INH dengan

batas 3/1.

Klasifikasi BCS

Isoniazid (INH) memenuhi kriteria senyawa aktif obat “sangat larut”. Disamping itu,

INH memiliki data absorbsi oral dan permeabilitas yang korelasinya tidak dapat

disimpulkan. Berdasarkan hal ini, permeabilitas INH memiliki batasan kelas I dan III

dalam klasifikasi BCS yang didasarkan pada kriteria “permeabilitas tinggi”. Guideline

FDA dan EMEA memberikan batas fraksi pada dosis yang terabsorbsi yaitu tidak boleh

kurang dari 90%, sedangkan WHO memberikan batas fraksi tidak boleh kurang dari

85%.
Alternatif Teknik Pengganti untuk Pengujian BE In Vivo

Isoniazid adalah obat yang memiliki kelarutan tinggi. Dari situ kita dapat

menyimpulkan bahwa INH juga akan terdisolusi dengan sangat cepat. Guideline FDA

dan EMEA menetapkan produk obat harus cepat terdisolusi, tapi penetapan peluang

biowaiving hanya pada BCS kelas I. Sedangkan WHO menetapkan peluang biowaiving

pada produk obat BCS kelas III. INH memiliki batasan permeabilitas 3/1 (kelas I dan

kelas III dalam BCS). Hal ini menyebabkan INH harus membuktikan kecepatan

disolusinya melali uji BE in vivo. Namun hal ini terhambat karena INH dapat

mengalami perubahan permeabilitas akibat interasksi dengan eksipien (contoh :

interaksi senyawa aktif INH dengan laktosa atau sakarida lain yang tidak terdeteksi pada

uji in vivo). Oleh karena itu, persetujuan metode biowaiver tidak memenuhi syarat bagi

hasil BE dari formulasi INH yang memiliki interaksi dengan eksipien.

Resiko Bioinekivalensi yang disebabkan karena Eksipien dan/atau Proses

Manufaktur

Oleh karena karakter senyawa aktif INH yang dapat berinteraksi dengan eksipien,

penentuan jumlah eksipien dalam formulasi harus diperhatikan. INH dapat berinteraksi

dengan sakarida (laktosa) dan secara in vitro juga berinteraksi dengan magnesium

oksida. Dalam proses maufaktur, INH tidak menimbulkan masalah jika dikombinasikan

dengan obat anti-tuberkolosis lainnya. Keismpulannya adalah pengecualian laktosa dan/


atau sakarida lainya yang dapat berinteraksi dengan INH dan selanjutnya menurunkan

permeabilitas dari INH.

Resiko Bioinekivalensi pada Pasien

Isoniazid yang dikombinasikan dengan rifampicin, pyrazinamide, dan ethambutol

adalah lini pertama bagi pengobatan rutin tuberkolosis yang direkomendasikan WHO

serta organisasi Unit Anti-tuberkolosis Internasional. Isoniazid yang beredar memiliki

bioavaibilitas yang baik serta efikasi terapetik yang sama. Jika terjadi kadar rendah

(sub-terapetik) pada INH, hal itu diasumsikan terjadi karena interval pengobatan yang

lama atau kondisi resisten pada pasien akibat ketidakpatuhan.


BAB IV

KESIMPULAN

Prosedur biowaiver untuk sediaan tablet IR isoniazid tidak dapat dilakukan pada

produk-produk yang mengandung eksipien laktosa atau sakarida lainnya yang dapat

berinteraksi dengan INH. Prosedur biowaiver dapat dilakukan pada sejumlah produk

INH yang melalui proses manufaktur pada negara bagian Eropa seperti Jerman,

Belanda, dan Finlandia serta Amerika Serikat. Persyaratan “sangat cepat terdisolusi”

bagi produk komparator harus terpenuhi dengan kriteria sama baiknya atau sama

cepatnya dengan produk innovator (yaitu ≥85% zat aktif dalam label terdisolusi 15

menit pada pH 1,2; 4,5; dan 6,8 dengan kecepatan 75 – 100 rpm).

Tabel 1. Kelarutan INH (mg/mL) berdasarkan data literature dan data percobaan terbaru serta
Rasio Dosis/Kelarutan pada Dua Sediaan Tablet

37oC 40oC Rasio (Dosis/Kelarutan)


pH media
Data Literatur Data Percoobaan Data Literatur
Tablet 200 mg Tablet 300 mg
(Maejima) Baru (Florey)

Air 196 1.0 1.5

Air 159 1.3 1.9

Air 260 0.77 1.2

1,2 211 0.95 1.4


1,2 174 1.1 1.7

4,5 161 1.2 1.9

6,8 188 1.1 1.6

6,8 153 1.3 2.0

DAFTAR PUSTAKA

Aylward M, Maddock J,DaviesDE, ProtheroeDA, Leideman T. 1984.


Dextromethorphan and codeine: Comparison of plasma kinetics and antitussive
effects. Eur J Respir Dis 65(4):283–291.
Bethlehem. (2011). Biopharmaceutical Classification System and Formulation
Development. Technical Brief 2011 Volume 9.
Bolser DC. 2006. Cough suppressant and pharmacologic protussive therapy: ACCP
evidence-based clinical practice guidelines. Chest 129(1Suppl):238S–249S.
C. Becker, et al., 2006. Biowaiver Monographs for Immediate Release Solid Oral
Dosage Forms: Isoniazid. Published online in Wiley Inter Science
(www.interscience.wiley.com). DOI 10.1002/jps.20765.
Chau TT, Harris LS. 1980. Comparative studies of the pharmacological effects of the d-
and l-isomers of codeine. J Pharmacol Exp Ther 215(3):668–672.
Dash, Vikash., & Kesari, Asha. (2011). Role of Biopharmaceutical Classification
System In Drug Development Program. Journal of Current Pharmaceutical, 5
(1), 28-31.
Freestone C, Eccles R. 1997. Assessment of the antitussive efficacy of codeine in cough
associated with common cold. J Pharm Pharmacol 49(10):1045–1049.
Goodman L, Gilman A. 2006. The pharmacological basis of therapeutics. 11th ed. New
York: The Macmillian Company.
Hutchings HA, Eccles R. 1994. The opioid agonist codeine and antagonist naltrexone
do not affect voluntary suppression of capsaicin induced cough in healthy
subjects. Eur Respir J 7(4):715–719.
Mignat C, Wille U, Ziegler A. 1995. Affinity profiles of morphine, codeine,
dihydrocodeine and their glucuronides at opioid receptor subtypes. Life Sci
56(10):793–799.
Sutriyo., Rachmat, Hasan., & Rosalina, Mita. (2007). Pengembangan Sediaan dengan
Pelepasan Dimodifikasi Mengandung Furosemid sebagai Model zat aktif
Menggunakan Sistem Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, 5(1), 1-
8.Reddy, Kumar., & Karunakar. (2011). Biopharmaceutics Classification
System: A Regulatory Approach. Dissolution Technologies, 31-37.
Wagh P., Millind., & Patel, Jatis. (2010). Biopharmaceutical Classification System:
Scientific Basis for Biowaiver Extensions. International Journal of Pharmacy
and Pharmaceutical sciences, 2(1), 12-19.

Anda mungkin juga menyukai