PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA
JURUSAN FARMASI
PERCOBAAN II
“PENGARUH FAKTOR FORMULASI TERHADAP BIOAVAIBILITAS
SEDIAAN ORAL”
DISUSUN OLEH:
NAMA : SAMAAL MALLISA
STAMBUK : G 701 18 160
KELAS /KELOMPOK : B/I (SATU)
TANGGAL : Rabu, 10 Maret 2021
ASISTEN : IDRIS
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
A. Latar Belakang
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat
kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar
biologic. Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan
efektivitas obat Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau
organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel.. Zat terlarut dapat
melewati pori ini secara difusi karena kekuatan tekanan darah Sebelum obat
diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan serta
cepat-lambatnya melarut menentukan banyaknya obat terabsorpsi. (Joenoes, 2015).
C. Tujuan Percobaan
Mengetahui pengaruh faktor formulasi sediaan terhadap ketersediaan hayati
berdasarkan waktu onset ofaction (mula kerja) dan durasi (lama kerja) obat yang
diberikan per oral.
D. Manfaat Percobaan
Untuk mengetahui dan memahami pengaruh faktor formulasi sediaan terhadap
ketersediaan hayati berdasarkan waktu onset ofaction (mula kerja) dan durasi (lama
kerja) obat yang diberikan per oral.
E. Prinsip Percobaan
Prinsip kerja dari percobaan ini adalah mengamati pengaruh faktor formulasi
sediaan dalam ketersediaan hayati berdasarkan mulai kerja dan lama kerja obat
yang diberikan secara peroral pada hewan uji. Kemudian dibagi menjadi 2
kelompok yaitu kelompok NaCMC + Fenitoin 1% dan kelompok Carbopol +
Fenitoin 1% yang terdispersi lalu dimasukka ke dalam hewan uji dan diamati,
kemudia dicatat onset dan durasi pada masing-masing hewan uji.
F.
E. Dasar Teori
Pemberian obat secara oral adalah rute pemberian obat yang paling mudah dan
biasa digunakan karena kemudahan dalam pemberiannya, kepatuhan pasien
yang tinggi dan efektivitas biaya. Akibatnya, banyak perusahaan obat generic
cenderung lebih banyak memproduksi produk obat oral bioekuivalen. Namun,
tantangan utama pemberian secara oral terletak pada kekurangan
bioavailabilitasnya. Bioavabilitas sediaan oral tergantung pada beberapa factor
termasuk kelarutan dalam air, permeabilitas obat, tingkat disolusi dan
metabolism jalur pertama. Penyebab paling umum bioavalabilitas oral rendah
dikatkan dengan kelarutan yang buruk dan permeabilitas rendah. Kelarutan
adalah sifat zat kimia padat, cair atau gas yang disebut zat terlarut untuk
dilarutkan dalam pelarut padat, cair atau gas untuk membentuk larutan
homogeny zat terlarut dalam pelarut (Dara Alicia Ima dan Patihul Husni, 2017).
Pemberian obat secara per oral sebenarnya pemberian yang paling umum,
mudah dilakukan, aman dan murah. Walaupun pemberian oral mempunyai
kemudahan dan murah tetapi mempunyai kerugian antara lain dapat
mempengaruhi bioavailabilitasnya, mengiritisi lambung terutama pada obat-obat
kelompok analgesic dan antiinflamasi. Pemberian obat secara oral pada hewan
dengan cara memberikan obat langsung melalui mulut hewan. (Rinidar,.dkk,
2020).
Bioavailabilitas adalah presentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk
obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh
atau aktif setelah pemberian produk obat untuk di ukur kadarnya dalam darah
terhadap waktu ekskresinya dalam urin. Bioavailabilitas absolut bila
dibandingkan dengan sediaan intravena yang bioavailabilitasnya 100%.
Bioavailabilitas relative, bila dibandingkan dengan sediaan bukan intravena.
Beberapa istilah dalam uji bioavailabilitas atau bioekivalen adalah
bioavailabilitas adalah presentase dan kecepatan zat akif dalam suatu produk
obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh
atau aktif setelah pemberian produk obat, ekivalensi farmasetik, alternative
farmasetik, bioekivalen dan produk komparator (Refereance product)
(Fatmawaty,H, dkk, 2015).
Bioavailabilitas adalah presentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk
obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh
atau aktif setelah pemberian produk obat untuk di ukur kadarnya dalam darah
terhadap waktu ekskresinya dalam urin. Bioavailabilitas absolut bila
dibandingkan dengan sediaan intravena yang bioavailabilitasnya 100%.
Bioavailabilitas relative, bila dibandingkan dengan sediaan bukan intravena.
Beberapa istilah dalam uji bioavailabilitas atau bioekivalen adalah
bioavailabilitas adalah presentase dan kecepatan zat akif dalam suatu produk
obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh
atau aktif setelah pemberian produk obat, ekivalensi farmasetik, alternative
farmasetik, bioekivalen dan produk komparator (Refereance product)
(Fatmawaty,H, dkk, 2015).
Administrasi obat secara oral adalah rute pemberian yang paling sering
digunakan untuk system penghantaran obat karena kemudahan, kepraktisan dan
penerimaan pasien terutama pada kasus dosis berulang untuk terapi kronis.
Bioavailabilitas obat oral sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kelarutan dan
permeabilitas. Berdasarkan kedua poin tersebut, BCS membagi empat jenis obat.
BCS (Biopharmacheutical drug Classification System) kelas II termasuk obat
lipofilik karena memiliki permeabilitas tinggi tapi kelarutannya rendah.
Kelarutan yang rendah membatasi laju kelarutan obat yang menyebabkan
bioavailabilitas obat rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu teknik
formulasi untuk peningkatan kelarutan obat sehingga bioavailabilitasnya tinggi.
Formulasi dengan penambahan surfaktan sebagi substrat p-glikoprotein dapat
meningkatkan kelarutan obat (Hasanah Amira Nur dan Taofik, R, 2018).
F. Uraian Bahan
1. Aquadest (FI Edisi III, 1979;96)
Nama Resmi : AQUADESTILLATA
Nama Lain : Aquadest, Air Suling
RM/BM : H2O/18,02
Rumus Struktur :
(Pubchem, 2021).
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak
berbau, dan tidak mempunyai rasa.
Kelarutan : -
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Persyaratan Kadar : -
2. Na-CMC (FI Edisi VI, 2020;832)
Nama Resmi : CARBOXYMETHYLCELLULOSE
SODIUM
Nama Lain : Karboksimetilselulosa Natrium, Garam
selulosa karboksilmetil eter natrium.
RM/BM : -
Rumus Struktur : -
Pemerian : Serbuk atau granul putih sampai krem;
higroskopik.
Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air membentuk
larutan koloidal; tidak larut dalam
etanol, eter dan pelarut organik lain.
Kegunaan : Sebagai pendispersi
Penyimpanan : Dalam wadah silinder.
Persyaratan Kadar : Karboksimetilselulosa Natrium adalah
garam natrium dari polikarboksimetil eter
selulosa, mengandung tidak kurang dari
6,5% dan tidak lebih dari 9,5% natrium (Na)
dihitung terhadap zat
kering.
3. Karbomer (HOPE Edisi VI, 2009;326).
Nama Resmi : CARBOMER
Nama Lain : Acrypol; Acritamer; acrylic acid polymer;
carbomera; Carbopol; carboxy
polymethylene; polyacrylic acid;
carboxyvinyl polymer; Pemulen; Tego
Carbomer.
RM/BM : -/7-105 hingga 4-109
Rumus Struktur :
H. Prosedur Kerja
1. Hewan uji dibagi ke dalam 2 kelompok
Kelompok 1 diberi sediaan dengan NaCMC+fenitoin
Kelompok 2 diberi sediaan dengan Carbopol+fenitoin
2. Timbang berat masing-masing hewan, hitung volume pemberian sesuai
dengan dosis dan berat badan.
3. Catat waktu saat mulai timbulnya efek dari sediaan yang diberikan.
4. Catat waktu saat hilangnya efek obat pada tikus
5. Hasil pengamatan dari tiap kelompok dikumpul dan dibuatkan tabel,
kemudian disusun hasil percobaannya dan dilanjutkan dengan melakukan
analisis data yang diperoleh.
6. Simpulkan bagaimana pengaruh bahan pengental terhadap bioavailabilitas
sediaan yang diberikan secara oral.
1. Timbangan
2. Stopwatch
3. Spoit oral
4. Kandang
5. Lap kasar
6. Lumpang dan alu
7. Gelas kimia
8. Gelas ukur
9. Dispo
10. Erlenmeyer
11. Batang pengaduk
12. Pipet volume
13. Sonde
2. Bahan
1. Aquadest
2. Larutan NaCMC 1%
3. Larutan Carbopol 1%
4. Kapas
5. Kertas koran
6. Masker
7. Handscoon
3. Sampel
1. Fenitoin
4. Hewan Uji
1. Tikus Putih (Rattus norvegicus L.)
J. Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan serta hewan uji.
2. Ditimbang dan ditandai tikus yang akan digunakan
3. Dihitung KD, Stok dan Vp.
4. Dibagi menjadi 3 kelompok hewan uji yaitu
(I) Fenitoin HPMC 1%,
(II) Fenitoin + Carbopol 1%,
(II) Fenitoin + Na CMC 1%.
5. Diberikan secara oral ketiga perlakuan tersebut pada masing-masing hewan
uji.
6. Dicatat waktu terjadinya onset obat dan durasi obat
7. Dianalisis data.
K. Skema Kerja
Alat dan Bahan
- disiapkan
Hewan uji
- ditimbang
- dihitung Kd, Stok, Vp
- diambil 5 ekor
Analisis data
M. Hasil Pengamatan
1. Kelompok Hewan Uji 1 (NaCMC + fenitoin)
Waktu (sekon)
Hewan Uji
Onset Durasi
Tikus 1 145 sekon 372 sekon
Tikus 2 252 sekon 296 sekon
Tikus 3 127 sekon 177 sekon
Tikus 4 123 sekon 150 sekon
Tikus 5 106 sekon 156 sekon
Jumlah 753 sekon 1151 sekon
Rata-rata (𝒙̅) 150,6 sekon 230,2 sekon
Waktu (sekon)
Hewan Uji
Onset Durasi
Tikus 6 36 sekon 956 sekon
Tikus 7 360 sekon 960 sekon
Tikus 8 139 sekon 497 sekon
Tikus 9 25 sekon 385 sekon
Tikus 10 33 sekon 487 sekon
Jumlah 593 sekon 3285 sekon
Rata-rata (𝒙̅) 118,6 sekon 657 sekon
Tikus Berat Badan (g)
1 154 gram
2 177 gram
3 196 gram
4 197 gram
5 204 gram
6 203 gram
7 166 gram
8 156 gram
9 177 gram
10 224 gram
N. Analisis Data
Kelompok Hewan Uji I :
KD ¿ Dosis x fk
¿ 100 mg/70 kgBB x 0,018
¿ 1,8 mg/200 gBB
¿ 9 mg/kgBB
KD x BBtikus max
Stok ¿
1/2 Vmax
9 mg/kgBB x 0,204 kg
¿
1/2(5 ml)
1,836 mg
¿
2,5 ml
¿ 0,734 mg/ml
KD x BBtikus 1
VP1 ¿
stok
9 mg/kgBB x 0,154 kg
¿
0,734 mg /ml
1,386 mg
¿
0,734 mg /ml
¿ 1,88 ml
KD x BBtikus 2
VP2 ¿
stok
9 mg/ kgBB x 0,177 kg
¿
0,734 mg/ml
1,593mg
¿
0,734 mg /ml
¿ 2,17 ml
KD x BBtikus 3
VP3 ¿
stok
9 mg/kgBB x 0,196 kg
¿
0,734 mg/ml
1,764 mg
¿
0,734 mg /ml
¿ 2,40 ml
KD x BBtikus 4
VP4 ¿
stok
9 mg/ kgBB x 0,197 kg
¿
0,734 mg/ml
1,773mg
¿
0,734 mg /ml
¿ 2,41 ml
KD x BBtikus 5
VP5 ¿
stok
9 mg/kgBB x 0,204 kg
¿
0,734 mg /ml
1,836 mg
¿
0,734 mg /ml
¿ 2,50 ml
Onset
SD = √ ( x 1− x́ )2 + ( x 2−x́ )2 + ( x 3−x́ )2 + ( x 4− x́ )2 + ( x 5−x́ )2
Durasi
SD = √ ( x 1− x́ )2 + ( x 2−x́ )2 + ( x 3−x́ )2 + ( x 4− x́ )2 + ( x 5−x́ )2
= √ 39204,76
= 198,00 sekon
KD x BBtikus max
Stok ¿
1/2 Vmax
9 mg/kgBB x 0,224 g
¿
1 /2(5 ml)
2,016 mg
¿
2,5 ml
¿ 0,806 mg/ml
KD x BBtikus 6
VP6 ¿
stok
9 mg/kgBB x 0,203 kg
¿
0,806 mg/ml
1,827 mg
¿
0,806 mg/ ml
¿ 2,26 ml
KD x BBtikus 7
VP7 ¿
stok
9 mg/kgBB x 0,166 kg
¿
0,806 mg/ml
1,494 mg
¿
0,806 mg/ ml
¿ 1,85 ml
KD x BBtikus 8
VP8 ¿
stok
9 mg/kgBB x 0,156 kg
¿
0,806 mg/ml
1,404 mg
¿
0,806 mg/ ml
¿ 1,74 ml
KD x BBtikus 9
VP9 ¿
stok
9 mg/kgBB x 0,177 kg
¿
0,806 mg/ml
1,593 mg
¿
0,806 mg/ ml
¿ 1,97 ml
KD x BBtikus 10
VP10 ¿
stok
9 mg/kgBB x 0,224 kg
¿
0,806 mg/ml
2,016 mg
¿
0,806 mg/ ml
¿ 2,50 ml
Onset
SD = √ ( x 6−x́ )2+ ( x 7− x́ )2 + ( x 8−x́ )2+ ( x 9−x́ )2+ ( x 10−x́ )2
Durasi
SD = √ ( x 6−x́ )2+ ( x 7− x́ )2 + ( x 8−x́ )2+ ( x 9−x́ )2+ ( x 10−x́ )2
Pemberian obat secara oral adalah rute pemberian obat yang paling mudah dan
biasa digunakan karena kemudahan dalam pemberiannya, kepatuhan pasien
yang tinggi dan efektivitas biaya. Akibatnya, banyak perusahaan obat generic
cenderung lebih banyak memproduksi produk obat oral bioekuivalen. Namun,
tantangan utama pemberian secara oral terletak pada kekurangan
bioavailabilitasnya (Dara Alicia Ima dan Patihul Husni, 2017).
Prinsip kerja dari percobaan ini adalah mengamati pengaruh faktor formulasi
sediaan dalam ketersediaan hayati berdasarkan mulai kerja dan lama kerja
obat yang diberikan secara peroral pada hewan uji. Kemudian dibagi menjadi 2
kelompok yaitu kelompok NaCMC + Fenitoin 1% dan kelompok Carbopol +
Fenitoin 1% yang terdispersi lalu dimasukka ke dalam hewan uji dan diamati,
kemudia dicatat onset dan durasi pada masing-masing hewan uji.
Alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu Timbangan stopwatch, spoit
oral, kandang, lap kasar, gelas beker, dispo 5 mL, Erlenmeyer, batang
Pengaduk, pipet volume, Sonde dan bahannya yaitu aquadest, hidroksi propil
metil selulosa, Na-CMC dan Karbomer dengan sampel fenitoin dan hewan uji
Tikus Putih.
Cara kerja dari percobaan ini yaitu pertama pada pemberian rute oral Na CMC
dan Fenitoin. Disiapkan alat dan bahan, Dibuat suspense Na CMC dan fenitoin,
Diambil tikus dari kandang, Dimasukkan larutan obat ke dalam dispo sebanyak
volume pemberian, Dimasukkan sonde ke dalam mulut tikus secara perlahan-
lahan melalui tepi langit sampai ke esophagus, Dicatat dan diamati geliatnya
selama 5 menit . Kedua Pemberian rute oral Carbopol dan Fenitoin, Disiapkan
alat dan bahan, Dibuat suspense Carbopol dan Fenitoin, Diambil tikus dari
kandang, Dimasukkan larutan obat kedalam dispo sebanyak volune pemberian,
Dimasukkan sonde ke dalam mulut tikus secara perlahan melalui tepi langit
sampai ke esophagus, Dicata dan diamati geliat yang terjadi selama 5 menit.
Hasil yang diperoleh pada percobaan ini yaitu, SD onset control NaCMC 1% +
Fenitoin yaitu sebesar 116,7098 S dan SD durasi control NaCMC 1% + Fenitoin
yaitu sebesar 683,987 S. Onset control Carbopol 1% + Fenitoin yaitu sebesar
285,659 S dan SD durasi control Carbopol 1% + Fenitoin yaitu sebesar 577,878
S. berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa Fenitoin yang
didispersikan ke dalam Larutan NaCMC 1 % memiliki onset lebih cepat dengan
durasi obat yang lebih lama.
Menurut Medscape (2021), onset fenitoin berlangsung lebih lambat dan
bervariasi sesuai formulasinya, dimana onset selama 1 minggu PO adalah 2- 24
jam dan waktu paruh 20 jam. Dan menurut Satiti dkk (2011), Suspensi CMC
tidak mempunyai efek induksi kejang, sehingga tidak mampu memperpanjang
onset dan memperpendek durasi, hal ini sesuai dengan percobaan yang kami
lakukan dimana onset dari Fenitoin+ NaCMC 1% 116,7098 lebih pendek
dibanding Fenitoin+ Carbopol 1% yaitu 285,659. Durasi Fenitoin+ NaCMC 1%
683,987 lebih panjang dibanding Fenitoin+ Carbopol 1% yaitu 577,878.
Mekanisme kerja obat fenitoin adalah meningkatkan kanal Na+ inaktif untuk
semuaa potensial membran yang diberikan fenitoin cenderong perlu kanal Na+
yang inaktif dan mencegah kembalinya kedalam katup. Phenytoin memiliki
onset sekitar 0,5-1,5 jam dengan durasi 15-30 menit (Medscape, 2021).
Onset adalah waktu antara pemberian obat hingga menimbulkan efek sedangkan
durasi adalah lama suatu efek obat bekerja (Noviani, 2017).
Bioavaibilitas obat oral akan berpengaruh pada kelarutan. Ketika kelarutan obat
rendah maka akan membatasi laju kelarutan obat yang akan menyebabkan
bioavaibilitas obat rendah. Bioavaibilitas juga berpengaruh pada permeabilitas
obat, tingkat disolusi dan metabolisme jalur pertama (Dara, 2017).
Aplikasi dalam bidang farmasi yaitu seorang farmasi dapat lebih memahami
bagaimana bioavaibilitas suatu obat dalam tubuh manusia sehingga dapat
dijadikan sebagai bahan pengetahuan mengenai jalur ADME pada tubuh
manusia.
P. Kesimpulan
1. Bioavailabilitas adalah presentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu
produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam
bentuk utuh atau aktif setelah pemberian produk obat untuk di ukur kadarnya
dalam darah terhadap waktu ekskresinya dalam urin.
2. Hasil yang diperoleh pada percobaan ini yaitu, SD onset control NaCMC 1%
+ Fenitoin yaitu sebesar 116,7098 S dan SD durasi control NaCMC 1% +
Fenitoin yaitu sebesar 683,987 S. Onset control Carbopol 1% + Fenitoin
yaitu sebesar 285,659 S dan SD durasi control Carbopol 1% + Fenitoin yaitu
sebesar 577,878 S. berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa
Fenitoin yang didispersikan ke dalam Larutan NaCMC 1 % memiliki onset
lebih cepat dengan durasi obat yang lebih lama.
Q. Saran
Sebaiknya pratikan lebih mengerti mengenai mekanisme percobaan sehingga
percobaan dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dara Alicia Ima dan Patihul Husul. (2017). Artikel Tinjauan: Meningkatkan Kelarutan
Obat. Bandung: Universitas Padjajaran.
Darusman, F dkk (2017). Sistem Penghantaran Obat Glimepirid Sebagai
Antidiabetika Oral Dengan Pelepasan Dimodifikasi Melalui Pembentukan
Mikrogranul, Mukoadhesif Untuk Penyakit Diabetes mellitus Tipe II. Bandung:
Universitas Islam Bandung
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (). Farmakope Indonesia Edisi III.
Jakarta: DEPKES RI
Fatmawaty, H dkk (2015). Teknologi Sediaan Farmasi. Yogyakarta: Deepublish
Hasanah Amira Nur dan Taofik (2018). Metode Penambahan Surfaktan
Sebagai Substrat PG-P Untuk Meningkatkan Kelarutan Obat Lipofilik : Article
Review. Bandung: Universitas Padjajaran