PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA
JURUSAN FARMASI
PERCOBAAN IV
“PENGARUH CARA PEMBERIAN OBAT TERHADAP
BIOAVAIBILITAS SECARA IN VIVO”
DISUSUN OLEH:
ASISTEN : FADRIANI
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
A. Latar Belakang
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat
fisikokimia obat Promag bentuk sediaan yang mana obat diberikan, dan rute
pemakaian terhadap laju dan jumlah absorpsi obat sistemik. jadi,
biofarmasetika juga mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas
obat dalam produk, pelepasan obat dari produk, laju disolusi atau pelepasan
obat dari site absorpsi dan absorpsi sistemik obat. studi biofarmasetika
didasarkan atas prinsip dasar ilmiah dan metodologi eksperimental studi
dalam farmasetika menggunakan metode in Vitro dan in Vivo. prosedur yang
menggunakan peralatan dan perlengkapan uji tanpa melibatkan hewan
laboratorium atau manusia. metode in Vivo merupakan studi yang lebih
kompleks yang melibatkan subjek manusia atau hewan laboratorium (Shargel,
dkk, 2012).
Aplikasi dalam bidang farmasi yaitu agar seorang farmasis dapat mengetahui
pengaruh cara pemberian obat terhadap bioavailabilitas secara in vivo dengan
cara membandingkan luas daerah di bawah kurva dan konstanta absorpsi obat
pada berbagai cara pemberian yang dimana hal ini merupakan hal penting
dalam proses absorbsi obat ketika masuk kedalam tubuh hingga
mencapai efek terapeutik. Hal inilah yang melatar belakangi percobaan ini.
B. Tujuan Percobaan
Memahami perbandingan luas daerah di bawah kurva dan konstanta absorpsi obat
pada berbagai cara pemberian.
C. Maksud Percobaan
Mengetahui perbandingan luas daerah di bawah kurva dan konstanta absorpsi
obat pada berbagai cara pemberian.
D. Manfaat Percobaan
Memahami dan mengetahui perbandingan luas daerah di bawah kurva dan
konstanta absorpsi obat pada berbagai cara pemberian.
E. Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan ini yaitu melakukan pengamatan pengaruh cara pemberian obat
terhadap bioavailabilitas secara in vivo, dimana diambil darah kelinci 1 ml
sebagai blanko dan lalu diberikan amoxicillin dengan rute pemberian yang
berbeda-beda, yaitu rute intraperitoneal, intravena, dan subkutan. Kemudian,
diambil darah kelinci sebanyak 1 ml pada menit ke 5 dan 15, ditambahkan EDTA.
Selanjutnya, disentrifugasi dan diukur absorbansi dengan menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis
F. Dasar Teori
Bioavaibilitas adalah ketersediaan hayati (dilambangkan sebagai F dan umumnya
dinyatakan sebagai persentase, F%) mengukur proporsi obat yang diserap dan
tersedia untuk menghasilkan efek sistemik. Ketersediaan hayati adalah properti
fundamental dari produk farmasi untuk rute pemberian tertentu. Ini harus
diketahui dan terbukti dapat direproduksi untuk semua produk obat yang
dimaksudkan untuk menghasilkan efek sistemik. Penilaian ketersediaan hayati
juga dapat bermanfaat untuk zat yang diberikan secara lokal dan dimaksudkan
untuk menghasilkan hanya efek lokal, untuk menunjukkan tidak adanya paparan
sistemik dan untuk mendukung klaim mengenai tidak adanya efek sistemik, atau
kemungkinan residu dalam jaringan yang dapat dimakan dari spesies penghasil
makanan (Toutain dan A. Bosquet, 2017).
Rute pemberian obat dapat diberikan dengan berbagai cara seperti berefek
Sistemik mulai dari injeksi, peroral, sublingual, implantasi subkutan dan rektal
sedangkan berefek lokal intranasal, intraokuler, intraokuler, intravaginal kulit dan
intrapulmonal. intrakardial sedangkan ekstravaskular intramuskular Intra
intraperitoneal sublingual, intravaginal, intranasal, dan inhalasi. khusus
penyampaian obat pada hewan haruslah dipertimbangkan kemudahannya, biaya
pengobatan dan keamanan Ti medisnya dalam pemberian titik berbeda pada
manusia hewan memerlukan trik tersendiri agar obat yang diberikan tersampaikan
dengan baik tanpa menyakiti hewan tersebut dan melukai tenaga medisnya.
pemilihan rute obat atau rute pemberian obat tergantung dari jenis obat yang
diberikan onset of action dan lamanya durasi suatu obat bekerja (Rinidar, dkk,
2020).
Penggunaan obat melalui oral adalah yang paling menyenangkan, murah dan
paling aman. kerugiannya beberapa obat akan mengalami perusakan oleh cairan
lambung atau usus. kecepatan absorpsi obat melalui oral tergantung ketersediaan
obat tersebut terhadap cairan biologi yang disebut ketersediaan hayati.
Ketersediaan hayati adalah persentase obat yang diabsorbsi tubuh dari suatu dosis
yang diberikan dan tersedia untuk memberikan Efek terapeutiknya urutan
berkurangnya ketersediaan obat hayati dari bentuk obat ialah larutan suspensi oral
kapsul tablet tablet bersalut. bentuk obat yang memberikan aksi onset cepat tidak
selalu menguntungkan, sebab makin cepat obat diabsorpsi akan cepat mengalami
metabolisme dan ekskresi. sedang obat yang diabsorpsi lambat akan memberikan
aktivitas obat yang lebih panjang maka itu pemilihan bentuk obat memerlukan
pertimbangan terhadap banyak faktor (Anif, 2018).
(Pubchem. 2021)
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak
berbau, tidak mempunyai rasa
Kelarutan : -
Khasiat : -
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Persyaratan kadar : -
2. Alkohol ((FI III, 1979 : 65)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol / Alkohol
RM/BM : C2H6O / 46,07
Rumus struktur :
(Pubchem. 2021)
Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah
menguap dan mudah bergerak; bau khas;
rasa panah. Mudah terbakar dengan
memberikan nyala biru yang tidak berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam
kloroform P dan dalam eter P
Khasiat : Antiseptikum ekstern.
(Pubchem.2021)
Pemerian : -
Kelarutan : -
Khasiat : Murni pereaksi
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
4. NaNO2 (Natrium nitrit) (FI Edisi III, hal. 714)
Nama resmi : NATRII NITRIIT
Nama lain : Natrium nitrit
RM/BM : NaNO2/69,00
Rumus struktur :
(Pubchem.2021)
Pemerian : Hablur atau granul, tidak berwarna atau
(Pubchem.2021)
Pemerian : -
Kelarutan : -
Khasiat : Murni pereaksi
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
6. Asam triklorasetat (FI Edisi III, Hal. 654)
(Pubchem.2021)
Pemerian : Hablur atau massa hablur
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air,
dalam
etanol 95% P dan dalam eter p
Khasiat : Zat tambahan
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Persyaratan kadar : CCI3.CO2H mengandung tidak kurang
dari 98,0% C2 HCI3O2.
7. Amonium sulfamat (FI Edisi III, Hal. 645)
Nama resmi : AMONIUM SULFAMATE
Nama lain : Amonium sulfamat
RM/BM : H6N2O3S / 114.13 g/mol
Rumus struktur :
(Pubchem.2021)
(Pubchem.2021)
Pemerian : Serbuk; putih, putih kekuningan atau
putih agak merah jambu; hampir tidak
berbau;
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar
larut dalam etanol (95%) P; mudah larut
dalam asam mineral ecer dan dalam
larutan
Khasiat : Zat tambahan
Kegunaan : Sebagai antibakteri
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung
dari
cahaya.
Persyaratan kadar : Sulfadiazine mengandung tidak
kurang dari 99,0% C10H10N4O2S,
dihitung terhadap zat yang telah
dikeringkan.
I. Uraian Obat
1. Sulfadiazine (MIMS & MEDSCAPE, 2021)
Indikasi : Antibiotik
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap sulfonamid. Porfiria
akut, kelainan darah, penyakit kuning.
Gangguan hati atau ginjal berat. Bayi < 2
bln (kecuali dalam
Dosis : Dewasa: 2-4 g/hari dibagi PO 3-6x/hari.
Anak- anak: 150 mg/kg/hari dibagi setiap 4-
6 jam PO, atau 4 g/persegi. meter/hari dibagi
q4 -6 jam PO.
Efek Samping : Superinfeksi bakteri atau jamur (penggunaan
lama), Sakit kepala, kejang, halusinasi, depresi
mental, ataksia, insomnia, vertigo, neuritis
perifer, Diare, mual, muntah, anoreksia, sakit
perut, pankreatitis, stomatitis, Hepatitis,
ikterus neonatal, dan kernikterus.
J.2 Spesifikasi
1. Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
Umur : 5-6 bulan
Berat badan : 1,5-2 kg
K. Prosedur Kerja
1. Hewan dibagi dalam beberapa kelompok, tiap kelompok untuk satu macam
cara pemberian, antara lain intravena, per oral, intramuskular,
intraperitoneal, dan subkutan.
2. Dosis yang diberikan sama untuk setiap cara pemberian yaitu 150 mg/kg
BB
3. Tetapkan kadar sulfadiazin dalam darah sebelum pemberian dan 10, 20, 30,
45, 60, 90, 120, 150, 180,240 menit setelah pemberian obat.
4. Hitung AUC dan tetapan kecepatan Absorbsi (Ka) untuk masing-masing
cara pemberian.
L.2 Bahan
1. Koran
2. Kertas grafik
3. Masker
4. Handscoon
5. Kaos tangan
6. Aquadest
7. Kapas
8. Asam Klorida
9. Amonium Sulfamat 0,5 %
10. Natrium Nitrit 0,1 %
11. Larutan N-(1-naftil) etilen diamonium klorida 0,1 %
12. Asam trikloroasetat 15 %
13. Alkohol
14. Larutan injeksi natrium sulfadiazine 5 %
15. Tissue
L.2 Sampel
1. Sulfadiazine
M. Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Ditimbang kelinci yang digunakan.
3. Dihitung KD, Stok dan Vp.
4. Dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok hewan uji.
5. Diambil darah hewan uji sebanyak 1 ml pada menit ke 0.
6. Diberikan Amoxicillin secara IP, IV, dan SC pada masing-masing hewan
uji.
7. Dilanjutkan pengambilan darah hewan uji sebanyak 1 ml pada menit ke 5
dan 15.
8. Dimasukkan darah yang telah diambil ke dalam tabung.
9. Ditambahkan larutan edta ke dalam tabung.
10. Disentrifugasi.
11. Diukur absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
12. Diamati dan dicatat hasilnya.
N. Skema Kerja
Alat dan Bahan
Hewan Uji
- diambil 1 ml sebagai blanko
Menit ke 5 dan 15
- diambil darah 1 mL
- di add edta 4 mL
Tabung EDTA
Sentrifuge
Spektrofotometer UV-Vis
Diamati
O. Hasil Pengamatan
1. KD, Stok, Vp
BB Kelinci (kg)
Kelinci IP 1,26 kg
Kelinci IV 1,24 kg
Kelinci SC 1,58 kg
2. Persamaan Linear
a. Kurva Baku Amoxicillin
Intraperitoneal (IP)
Waktu (menit) Absorbansi (y)
Blanko = 0 295,5
5 0,101
15 0,119
Subkutan (SC)
Waktu (menit) Absorbansi (y)
Blanko = 0 311,0
5 1,580
15 1,564
c. Analisis Data
No. X Y X2 Y2 XY
1. 2 ppm 0,003 4 0,000009 0,006
2. 4 ppm 0,004 16 0,000016 0,016
3. 6 ppm 0,013 36 0,000169 0,078
4. 8 ppm 0,023 64 0,000529 0,184
5. 10 ppm 0,026 100 0,000676 0,26
∑ rata-rata 6 2,265 44 0,0002798 0,1088
b = ¿¿
( 5× 0,1088 )−( 6 × 2,265 )
=
5 ( 44 )−6²
( 0,544 ) −( 13,59 )
=
220−36
−13,046
=
184
= -0,071
a = ¿¿
3. Data Farmakokinetik
a. Pemberian Secara IP
D2−D1
-K=
t 2−t 1
0,119−0,101
=
15−5
0,018
=
10
= 0,0018 /menit
- Kadar Awal
D = K (t) + D0
0,101 = 0,0018 (5) + D0
D0 = 0,101 - 0,009
= 0,092
- Tetapan Eliminasi (Ke)
De = Ke (t) + D0
0,119 = Ke (15) + 0,092
0,119−0,092
Ke =
15
0,027
=
15
= 0,0018 /menit
- Tetapan Absorpsi (Ka)
Da = Ka (t) + D0
0,101 = Ka (5) + 0,092
0,101−0,092
Ka =
5
0,009
=
5
= 0,0018 /menit
1 1
=(
0,0018 0,0018 )
− (0,092)
b. Pemberian Secara SC
D2−D1
-K=
t 2−t 1
1,564−1,580
=
15−5
−0,016
=
10
= -0,0016 /menit
- Kadar Awal
D = K(t) + D0
1,580 = -0,0016 (5) + D0
D0 = 1,580 + 0,008
= 1,588
- Tetapan Eliminasi (Ke)
De = Ke (t) + D0
1,564 = Ke (15) + (1,588)
1,564−1,588
Ke =
15
−0,024
=
15
= -0,0016 /menit
- Tetapan Absorpsi (Ka)
Da = Ka (t) + D0
1,580 = Ka (5) + (1,588)
1,580−1,588
Ka =
5
−0,008
=
5
= -0,0016 /menit
1 1
=(
−0,0016 −0,0016 )
− (1588)
Cara kerja, disiapkan alat dan bahan serta hewan uji terlebih dahulu.
Ditimbang yang akan digunakan. Dihitung KD, Stok dan Vp sampel uji, yaitu
Amoxicillin. Lalu, diambil darah hewan uji sebanyak 1 ml pada menit ke 0
sebagai blanko. Kemudian, diberikan amoxicillin secara intraperitoneal dan
subkutan pada masing-masing hewan uji. Lalu, dilanjutkan pengambilan darah
hewan uji sebanyak 1 ml pada menit ke 5 dan 15. Dimasukkan darah ke dalam
tabung dan ditambahkan EDTA. Disentrifugasi dan diukur absorbansi dengan
menggunakan spektrofotometer. Lalu, diamati dan dicatat hasil pengamatan.
Alasan perlakuan penimbang kelinci sebelum dilakukan pengujian adalah agar
dapat diketahui berat setiap kelinci. Alasan penggunaan kelinci adalah sebagai
hewan uji. Alasan penggunaan amoxicillin yaitu larutan sampel obat yang
akan diamati. Alasan penggunaan alkohol sebelum pengambilan darah yaitu
sebagai antiseptik. Obat dibuat suspensi terlebih dahulu agar dapat
memudahkan obat masuk kedalam tubuh hewan uji. diambil terlebih dahulu
darah melalui telinga hewan uji hal ini dilakukan untuk membandingkan kadar
obat setelah dan sebelum pemberian obat. Pengambilan darah dilakukan
ditelinga hewan uji hal ini dikarena kan area telinga pada hewan uji terdapat
pembuluh darah vena yang jelas terlihat sehingga memudahkan praktikan
dalam mengambil darah tanpa harus melukai hewan uji lebih parah. Diberikan
obat Amoxicilin secara subkutan pada kelinci 1 dan asam Amoxicilin secara ip
pada kelinci 2 hal dilakukan untuk melihat dan membandingkan parameter
farmakokinetik dari pemberian yang berbeda. Darah diambil pada menit ke5
dan ke-15 hal dilakukan untuk melihat dan membandingkan kadar obat pada
kedua waktu tersebut. Alasan penggunaan EDTA yaitu sebagai pereaksi.
Alasan penggunaan sentrifuge yaitu untuk memisahkan komponen darah.
Alasan penggunaan spektrofotometer UV-Vis yaitu sebagai alat untuk
mengetahui nilai absorbansi sampel. Alasan tidak melakukan pemberian rute
intravena karena berat badan kelinci tidak cukup, dan juga pada waktu
pembuatan suspensi obatnya tidak semua larut (masih ada partikel-partikel
obatnya) sehingga beresiko menyumbat pembuluh darah pada kelinci.
Berdasarkan literatur diatas, maka nilai absorbansi yang baik yaitu dengan
rentang antara 0,2-0,8 yang dimana absorbansi memiliki hubungan linier
dengan konsentrasi. Dari hasil pengamatan yang diperoleh tidak sesuai,
pengambilan darah kelinci pada menit ke 5 dan 15 yang diperoleh yaitu pada
rute intravena tidak dilakukan; pada rute intraperitoneal berturut-turut nilai
absorbansi 0,101 dan 0,119; serta pada rute subkutan berturut-turut nilai
absorbansi 1,580 dan 1,564. Sehingga absorbansi tidak berada dalam rentang
nilai yang baik.
Aplikasi dalam bidang farmasi adalah seorang farmasis dapat mengetahui dan
menentukan serta membandingkan luas daerah dibawah kurva dan konstanta
absorbsi obat pada berbagai cara pemberian. Hal inilah yang melatarbelakangi
dilakukannya percobaan ini.
Q. Kesimpulan
1. Hasil pengamatan absorbansi dari pengambilan darah kelinci pada menit
ke 5 dan 15 yang diperoleh yaitu pada rute intravena tidak dilakukan; pada
rute intraperitoneal berturut-turut nilai absorbansi 0,101 dan 0,119; serta
pada rute subkutan berturut-turut nilai absorbansi 1,580 dan 1,564. Hal ini
tidak sesuai dengan literatur, dimana nilai absorbansi melebihi rentang
yang sesuai 0,2-0,8. Jadi, ada kesalahan data dalam pengamatan tersebut.
Hasil pengamatan parameter farmakokinetik yang diperoleh yaitu pada
rute intravena tidak dilakukan; dan pada rute intraperitoneal adalah Ka =
0,0018/menit, Ke = 0,0018/menit, dan AUC = 0; serta pada rute subkutan
adalah Ka = -0,0016/menit, Ke = -0,0016/menit, dan AUC = 0.
S. Saran
Diharapkan di percobaan selanjutnya, praktikan dapat lebih memperhatikan
lagi dalam melakukan pengamatan agar terhindar dari kesalahan data, serta
dapat lebih tenang.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar Keterangan