Anda di halaman 1dari 45

LABORATORIUM FARMAKOLOGI-BIOFARMASETIKA

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA
JURUSAN FARMASI

PERCOBAAN IV
“PENGARUH CARA PEMBERIAN OBAT TERHADAP
BIOAVAIBILITAS SECARA IN VIVO”

DISUSUN OLEH:

NAMA : TWULYENNA MALLISA

STAMBUK : G 701 18 046

KELAS /KELOMPOK : B/I (SATU)

TANGGAL : RABU, 07 APRIL 2021

ASISTEN : FADRIANI

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
A. Latar Belakang
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat
fisikokimia obat Promag bentuk sediaan yang mana obat diberikan, dan rute
pemakaian terhadap laju dan jumlah absorpsi obat sistemik. jadi,
biofarmasetika juga mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas
obat dalam produk, pelepasan obat dari produk, laju disolusi atau pelepasan
obat dari site absorpsi dan absorpsi sistemik obat. studi biofarmasetika
didasarkan atas prinsip dasar ilmiah dan metodologi eksperimental studi
dalam farmasetika menggunakan metode in Vitro dan in Vivo. prosedur yang
menggunakan peralatan dan perlengkapan uji tanpa melibatkan hewan
laboratorium atau manusia. metode in Vivo merupakan studi yang lebih
kompleks yang melibatkan subjek manusia atau hewan laboratorium (Shargel,
dkk, 2012).

Kapan waktu distribusi obat dipertimbangkan mungkin untuk membuat


konsep kompartemen yang ditentukan oleh waktu tergantung volume
distribusi yang jelas. Awalnya obat didistribusikan dalam volume plasma
(volume distribusi awal) kemudian berdifusi ke ruang ekstraseluler lalu ke
dalam sel. Percampuran dalam cairan plasma dan difusi ke cairan jaringan
membutuhkan waktu dan volume distribusi yang tampak berubah seiring
waktu. Untuk kesederhanaan, adalah umum untuk mempertimbangkan satu
atau lebih kompartemen farmasokinetik yang mewakili distribusi obat di
beberapa tempat titik waktu. (Holford & Yim Dong-Seok, 2016).

Aplikasi dalam bidang farmasi yaitu agar seorang farmasis dapat mengetahui
pengaruh cara pemberian obat terhadap bioavailabilitas secara in vivo dengan
cara membandingkan luas daerah di bawah kurva dan konstanta absorpsi obat
pada berbagai cara pemberian yang dimana hal ini merupakan hal penting
dalam proses absorbsi obat ketika masuk kedalam tubuh hingga
mencapai efek terapeutik. Hal inilah yang melatar belakangi percobaan ini.
B. Tujuan Percobaan
Memahami perbandingan luas daerah di bawah kurva dan konstanta absorpsi obat
pada berbagai cara pemberian.

C. Maksud Percobaan
Mengetahui perbandingan luas daerah di bawah kurva dan konstanta absorpsi
obat pada berbagai cara pemberian.

D. Manfaat Percobaan
Memahami dan mengetahui perbandingan luas daerah di bawah kurva dan
konstanta absorpsi obat pada berbagai cara pemberian.

E. Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan ini yaitu melakukan pengamatan pengaruh cara pemberian obat
terhadap bioavailabilitas secara in vivo, dimana diambil darah kelinci 1 ml
sebagai blanko dan lalu diberikan amoxicillin dengan rute pemberian yang
berbeda-beda, yaitu rute intraperitoneal, intravena, dan subkutan. Kemudian,
diambil darah kelinci sebanyak 1 ml pada menit ke 5 dan 15, ditambahkan EDTA.
Selanjutnya, disentrifugasi dan diukur absorbansi dengan menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis
F. Dasar Teori
Bioavaibilitas adalah ketersediaan hayati (dilambangkan sebagai F dan umumnya
dinyatakan sebagai persentase, F%) mengukur proporsi obat yang diserap dan
tersedia untuk menghasilkan efek sistemik. Ketersediaan hayati adalah properti
fundamental dari produk farmasi untuk rute pemberian tertentu. Ini harus
diketahui dan terbukti dapat direproduksi untuk semua produk obat yang
dimaksudkan untuk menghasilkan efek sistemik. Penilaian ketersediaan hayati
juga dapat bermanfaat untuk zat yang diberikan secara lokal dan dimaksudkan
untuk menghasilkan hanya efek lokal, untuk menunjukkan tidak adanya paparan
sistemik dan untuk mendukung klaim mengenai tidak adanya efek sistemik, atau
kemungkinan residu dalam jaringan yang dapat dimakan dari spesies penghasil
makanan (Toutain dan A. Bosquet, 2017).

Istilah bioavailabilitas telah menjadi subyek banyak perdebatan, terutama dalam


kaitannya dengan mikronutrien. Definisi awal berkonsentrasi pada pengambilan
dari usus, khususnya pada tingkat (kelengkapan) dan kecepatan absorpsi.
Selanjutnya pentingnya proses pasca absorpsi, yaitu distribusi, metabolisme dan
ekskresi, diakui. Dikombinasikan dengan penyerapan, keempat elemen ini dapat
dianggap sebagai 'pengiriman hayati'. Oleh karena itu, untuk saat ini, penilaian
ketersediaan hayati harus didasarkan pada data dari studi absorpsi, metabolisme,
distribusi dan ekskresi (ADME) pada manusia dan hewan. Bahkan ketika
mengambil interpretasi yang lebih terbatas dari istilah 'ketersediaan hayati', jelas
bahwa ADME dari fitoplasma tidak sepenuhnya didefinisikan pada manusia
(Rowland, dkk, 2016).

Rute pemberian obat dapat diberikan dengan berbagai cara seperti berefek
Sistemik mulai dari injeksi, peroral, sublingual, implantasi subkutan dan rektal
sedangkan berefek lokal intranasal, intraokuler, intraokuler, intravaginal kulit dan
intrapulmonal. intrakardial sedangkan ekstravaskular intramuskular Intra
intraperitoneal sublingual, intravaginal, intranasal, dan inhalasi. khusus
penyampaian obat pada hewan haruslah dipertimbangkan kemudahannya, biaya
pengobatan dan keamanan Ti medisnya dalam pemberian titik berbeda pada
manusia hewan memerlukan trik tersendiri agar obat yang diberikan tersampaikan
dengan baik tanpa menyakiti hewan tersebut dan melukai tenaga medisnya.
pemilihan rute obat atau rute pemberian obat tergantung dari jenis obat yang
diberikan onset of action dan lamanya durasi suatu obat bekerja (Rinidar, dkk,
2020).

Penggunaan obat melalui oral adalah yang paling menyenangkan, murah dan
paling aman. kerugiannya beberapa obat akan mengalami perusakan oleh cairan
lambung atau usus. kecepatan absorpsi obat melalui oral tergantung ketersediaan
obat tersebut terhadap cairan biologi yang disebut ketersediaan hayati.
Ketersediaan hayati adalah persentase obat yang diabsorbsi tubuh dari suatu dosis
yang diberikan dan tersedia untuk memberikan Efek terapeutiknya urutan
berkurangnya ketersediaan obat hayati dari bentuk obat ialah larutan suspensi oral
kapsul tablet tablet bersalut. bentuk obat yang memberikan aksi onset cepat tidak
selalu menguntungkan, sebab makin cepat obat diabsorpsi akan cepat mengalami
metabolisme dan ekskresi. sedang obat yang diabsorpsi lambat akan memberikan
aktivitas obat yang lebih panjang maka itu pemilihan bentuk obat memerlukan
pertimbangan terhadap banyak faktor (Anif, 2018).

Terapi intravena adalah pemberian cairan elektrolit, obat-obatan, produk darah


dan produk nutrisi ke dalam sistem vaskular merupakan komponen esensial pada
pelayanan kesehatan. pemilihan area penusukan dan jenis kateter, serta teknik
penusukan dan pemasangan infus, sangat penting untuk mencegah kondisi yang
dapat mengancam jiwa akibat terapi infus. Terdapat banyak Jenis cairan intravena
yang saat ini tersedia beserta ratusan jenis obat-obatan yang diberikan melalui
rute jenis ini. Jenis cairan infus yang diperlukan tergantung pada tujuan utama
tindakan, nilai-nilai laboratorium, pengkajian klinis dan kondisi dari pasien. Rute
intravena memungkinkan terjadi efek obat yang cepat (Kurniati, dkk, 2018).
G. Uraian Bahan
1. Aquadest (FI Edisi III, hal. 96)

Nama resmi : AQUA DESTILLATA


Nama lain : Air Suling, Aquadest
RM/BM : H2O/18,02
Rumus struktur :

(Pubchem. 2021)
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak
berbau, tidak mempunyai rasa
Kelarutan : -
Khasiat : -
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Persyaratan kadar : -
2. Alkohol ((FI III, 1979 : 65)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol / Alkohol
RM/BM : C2H6O / 46,07
Rumus struktur :

(Pubchem. 2021)
Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah
menguap dan mudah bergerak; bau khas;
rasa panah. Mudah terbakar dengan
memberikan nyala biru yang tidak berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam
kloroform P dan dalam eter P
Khasiat : Antiseptikum ekstern.

Kegunaan : Sebagai pereaksi


Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung
dari cahaya; di tempat sejuk, jauh dari
nyala api.
Persyaratan kadar : Etanol adalah campuran etilalkohol dan
air. Mengandung tidak kurang dari 94,7
v/v atau 92,0% dan tidak lebih dari
95,2 v/v atau 92,7% C2H6O.
3. Kalium oksalat (FI Edisi III, 1979 : 169)
Nama resmi : KALLI OKSALAT
Nama lain : Kalium oksalat
RM/BM : C2K2O4/166.22
Rumus struktur :

(Pubchem.2021)
Pemerian : -
Kelarutan : -
Khasiat : Murni pereaksi
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
4. NaNO2 (Natrium nitrit) (FI Edisi III, hal. 714)
Nama resmi : NATRII NITRIIT
Nama lain : Natrium nitrit
RM/BM : NaNO2/69,00
Rumus struktur :

(Pubchem.2021)
Pemerian : Hablur atau granul, tidak berwarna atau

Kelarutan : Larut dalam 1,5 bagian air, agak sukar

Khasiat : Zat tambahan


Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Persyaratan kadar : Natrium nitrit mengandung tidak kurang

dari 95% NaNO2.


5. Kalium oksalat (FI Edisi III, 1979 : 169)
Nama resmi : KALLI OKSALAT
Nama lain : Kalium oksalat
RM/BM : C2K2O4/166.22
Rumus struktur :

(Pubchem.2021)
Pemerian : -
Kelarutan : -
Khasiat : Murni pereaksi
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
6. Asam triklorasetat (FI Edisi III, Hal. 654)

Nama resmi : ACIDUM TRICLOROASETAT


Nama lain : Asam triklorasetat
RM/BM : C2HCl3O2/163.38 g/mol
Rumus struktur :

(Pubchem.2021)
Pemerian : Hablur atau massa hablur
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air,
dalam
etanol 95% P dan dalam eter p
Khasiat : Zat tambahan
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Persyaratan kadar : CCI3.CO2H mengandung tidak kurang
dari 98,0% C2 HCI3O2.
7. Amonium sulfamat (FI Edisi III, Hal. 645)
Nama resmi : AMONIUM SULFAMATE
Nama lain : Amonium sulfamat
RM/BM : H6N2O3S / 114.13 g/mol
Rumus struktur :

(Pubchem.2021)

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur, warna


putih

Kelarutan : Mudah larut dalam air


Khasiat : Zat tambahan
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Persyaratan kadar : NH4O2SO2 mengandung tidak
kurang dari 98,0% H6N2O3S.
H. Uraian Sampel
1. Sulfadiazine (FI Edisi III, hal. 579)
Nama resmi : SULFADIAZINUM
Nama lain : Sulfadiazine
RM/BM : C10H10N4O2S/250,27
Rumus struktur :

(Pubchem.2021)
Pemerian : Serbuk; putih, putih kekuningan atau
putih agak merah jambu; hampir tidak
berbau;
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar
larut dalam etanol (95%) P; mudah larut
dalam asam mineral ecer dan dalam
larutan
Khasiat : Zat tambahan
Kegunaan : Sebagai antibakteri
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung
dari
cahaya.
Persyaratan kadar : Sulfadiazine mengandung tidak
kurang dari 99,0% C10H10N4O2S,
dihitung terhadap zat yang telah
dikeringkan.
I. Uraian Obat
1. Sulfadiazine (MIMS & MEDSCAPE, 2021)
Indikasi : Antibiotik
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap sulfonamid. Porfiria
akut, kelainan darah, penyakit kuning.
Gangguan hati atau ginjal berat. Bayi < 2
bln (kecuali dalam
Dosis : Dewasa: 2-4 g/hari dibagi PO 3-6x/hari.
Anak- anak: 150 mg/kg/hari dibagi setiap 4-
6 jam PO, atau 4 g/persegi. meter/hari dibagi
q4 -6 jam PO.
Efek Samping : Superinfeksi bakteri atau jamur (penggunaan
lama), Sakit kepala, kejang, halusinasi, depresi
mental, ataksia, insomnia, vertigo, neuritis
perifer, Diare, mual, muntah, anoreksia, sakit
perut, pankreatitis, stomatitis, Hepatitis,
ikterus neonatal, dan kernikterus.

Farmakokinetik : Absorpsi: Mudah diserap dari saluran Gl.


Waktu untuk konsentrasi plasma puncak: 3-6
jam. Distribusi: Kejaringan dan cairan tubuh,
termasuk CSF. Melintasi plasenta dan
memasuki ASI. Pengikatan protein
plasma: 20-55%. Metabolisme:
Dimetabolisme melalui asetilasi-N. Ekskresi:
Melalui urin (43-60% sebagai obat tidak
berubah, 15-40% sebagai metabolit).
Mekanisme Kerja : Sulfadiazin adalah turunan sulfonamida kerja
pendek dengan aksi bakteriostatik melalui
penghambatan kompetitif sintesis asam folat
oleh bakteri.
Golongan Obat : Obat Keras (Antibiotik sulfonamida)
J. Hewan Uji
J.1 Klasifikasi
1. Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
Kingdom : Animal
Fillum : Chordata
Sub Fillum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Lagomorpha
Family : Leporidae
Genus : Oryctolagus
Spesies : Oryctolagus cuniculus

J.2 Spesifikasi
1. Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
Umur : 5-6 bulan
Berat badan : 1,5-2 kg

K. Prosedur Kerja
1. Hewan dibagi dalam beberapa kelompok, tiap kelompok untuk satu macam
cara pemberian, antara lain intravena, per oral, intramuskular,
intraperitoneal, dan subkutan.
2. Dosis yang diberikan sama untuk setiap cara pemberian yaitu 150 mg/kg
BB
3. Tetapkan kadar sulfadiazin dalam darah sebelum pemberian dan 10, 20, 30,
45, 60, 90, 120, 150, 180,240 menit setelah pemberian obat.
4. Hitung AUC dan tetapan kecepatan Absorbsi (Ka) untuk masing-masing
cara pemberian.

Penetapan kadar sulfadiazin dengan cara Bratton Marshall:


1. Sebanyak 0,5 ml darah ditambah 15,5 ml air, campur dengan baik.
2. Tambahkan 4 ml larutan asam triklorasetat 15 %, campur baik-baik dan
putar dalam sentrifus selama 15menit.
3. Ke dalam 10 ml supernatan yang bebas protein ditambahkan 0,5 ml HCl 4
N, panaskan pada penangas air selama 1 jam, kemudian dinginkan.
4. Ambil 5 ml cairan yang jernih, tambah 0,5 ml larutan NaNO2 0,1 %,
campur baik-baik, dan tambah larutan amonium sulfat 0,5 %.
5. Tambahkan 2,5 ml larutan N-(1-naftil) etilen diamonium klorida 0,1 %
dalam alkohol. Campur baik-baik dan diamkan selama 10 menit.
6. Ukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm

L. Alat Dan Bahan


L.1 Alat
1. Timbangan 9. Pengaduk
2. Stopwatch 10. Pipet volume
3. Dispo 5 ml 11. Spektrofotometer
4. Kertas 12. Sentrifus
5. Pulpen 13. Kateter dan mouth block
6. Stopwatch 14. Erlenmeyer
7. Kandang 15. Lap kasar
8. Sonde

L.2 Bahan
1. Koran
2. Kertas grafik
3. Masker
4. Handscoon
5. Kaos tangan
6. Aquadest
7. Kapas
8. Asam Klorida
9. Amonium Sulfamat 0,5 %
10. Natrium Nitrit 0,1 %
11. Larutan N-(1-naftil) etilen diamonium klorida 0,1 %
12. Asam trikloroasetat 15 %
13. Alkohol
14. Larutan injeksi natrium sulfadiazine 5 %
15. Tissue

L.2 Sampel
1. Sulfadiazine

L.3 Hewan Uji


1.Kelinci jantan (Oryctolagus cuniculus)

M. Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Ditimbang kelinci yang digunakan.
3. Dihitung KD, Stok dan Vp.
4. Dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok hewan uji.
5. Diambil darah hewan uji sebanyak 1 ml pada menit ke 0.
6. Diberikan Amoxicillin secara IP, IV, dan SC pada masing-masing hewan
uji.
7. Dilanjutkan pengambilan darah hewan uji sebanyak 1 ml pada menit ke 5
dan 15.
8. Dimasukkan darah yang telah diambil ke dalam tabung.
9. Ditambahkan larutan edta ke dalam tabung.
10. Disentrifugasi.
11. Diukur absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
12. Diamati dan dicatat hasilnya.

N. Skema Kerja
Alat dan Bahan
Hewan Uji
- diambil 1 ml sebagai blanko

Amoxicillin Amoxicillin Amoxicillin


IP IV SC

Menit ke 5 dan 15
- diambil darah 1 mL
- di add edta 4 mL
Tabung EDTA

Sentrifuge

Spektrofotometer UV-Vis

Diamati
O. Hasil Pengamatan
1. KD, Stok, Vp

BB Kelinci (kg)
Kelinci IP 1,26 kg
Kelinci IV 1,24 kg
Kelinci SC 1,58 kg

- Pemberian Amoxicilin secara SC


KD = Dosis × fk
= 500 mg × 0,07
= 35 mg/1,5 kg BB
= 23,3 mg/kg BB
KD × BB max
Stok = 1
Vmax
2
23,3 mg/kg BB ×1,58 kg
= 1
10 mL
2
=7,36 mg/ml
KD × BB kelinci
Vp =
stok
23,3 mg/kg BB ×1,58 kg
=
7,36 mL
= 5 mL

- Pemberian Amoxicilin secara IP


KD = Dosis × fk
= 500 mg × 0,07
= 35 mg/1,5 kg BB
= 23,3 mg/kg BB
KD × BB max
Stok = 1
Vmax
2
23,3 mg/kg BB ×1,26 kg
= 1
20 mL
2
=2,9 mg/ml
KD × BB kelinci
Vp =
stok
23,3 mg/kg BB ×1,26 kg
=
2,9mL
= 10 mL

2. Persamaan Linear
a. Kurva Baku Amoxicillin

Konsentrasi (x) Absorbansi (y)


2 ppm 0,003
4 ppm 0,004
6 ppm 0,013
8 ppm 0,023
10 ppm 0,026

b. Data Plasma Darah Pemberian Amoxicillin


Intravena (IV)
Waktu (menit) Absorbansi (y)
5 -
15 -

Intraperitoneal (IP)
Waktu (menit) Absorbansi (y)
Blanko = 0 295,5
5 0,101
15 0,119

Subkutan (SC)
Waktu (menit) Absorbansi (y)
Blanko = 0 311,0
5 1,580
15 1,564
c. Analisis Data

No. X Y X2 Y2 XY
1. 2 ppm 0,003 4 0,000009 0,006
2. 4 ppm 0,004 16 0,000016 0,016
3. 6 ppm 0,013 36 0,000169 0,078
4. 8 ppm 0,023 64 0,000529 0,184
5. 10 ppm 0,026 100 0,000676 0,26
∑ rata-rata 6 2,265 44 0,0002798 0,1088

b = ¿¿
( 5× 0,1088 )−( 6 × 2,265 )
=
5 ( 44 )−6²
( 0,544 ) −( 13,59 )
=
220−36
−13,046
=
184
= -0,071

a = ¿¿

( 2,265× 44 )−( 6 × 0,1088 )


=
5 ( 44 )−6²
( 99,66 )− ( 0,6528 )
=
220−36
99,0072
=
184
= 0,538
y = bx + a
= -0,071x + 0,538

3. Data Farmakokinetik
a. Pemberian Secara IP
D2−D1
-K=
t 2−t 1
0,119−0,101
=
15−5
0,018
=
10
= 0,0018 /menit
- Kadar Awal
D = K (t) + D0
0,101 = 0,0018 (5) + D0
D0 = 0,101 - 0,009
= 0,092
- Tetapan Eliminasi (Ke)
De = Ke (t) + D0
0,119 = Ke (15) + 0,092
0,119−0,092
Ke =
15
0,027
=
15
= 0,0018 /menit
- Tetapan Absorpsi (Ka)
Da = Ka (t) + D0
0,101 = Ka (5) + 0,092
0,101−0,092
Ka =
5
0,009
=
5
= 0,0018 /menit

- AUC = ( Ke1 − Ka1 ) D0

1 1
=(
0,0018 0,0018 )
− (0,092)

= (555,56 – 555,56) (0,092)


= (0) (0,092)
=0

b. Pemberian Secara SC
D2−D1
-K=
t 2−t 1
1,564−1,580
=
15−5
−0,016
=
10
= -0,0016 /menit
- Kadar Awal
D = K(t) + D0
1,580 = -0,0016 (5) + D0
D0 = 1,580 + 0,008
= 1,588
- Tetapan Eliminasi (Ke)
De = Ke (t) + D0
1,564 = Ke (15) + (1,588)
1,564−1,588
Ke =
15
−0,024
=
15
= -0,0016 /menit
- Tetapan Absorpsi (Ka)
Da = Ka (t) + D0
1,580 = Ka (5) + (1,588)
1,580−1,588
Ka =
5
−0,008
=
5
= -0,0016 /menit

- AUC = ( Ke1 − Ka1 ) D


0

1 1
=(
−0,0016 −0,0016 )
− (1588)

= ((-625) – (-625)) (1588)


= (0) (1588)
=0
P. Pembahasan
Bioavaibilitas adalah ketersediaan hayati (dilambangkan sebagai F dan
umumnya dinyatakan sebagai persentase, F%) mengukur proporsi obat yang
diserap dan tersedia untuk menghasilkan efek sistemik (Toutain dan A.
Bosquet, 2017).

Tujuan dari percobaan ini yaitu mengetahui perbandingan luas daerah di


bawah kurva dan konstanta absorbsi obat pada berbagai cara pemberian.

Prinsip percobaan ini yaitu melakukan pengamatan pengaruh cara pemberian


obat terhadap bioavailabilitas secara in vivo, dimana diambil darah kelinci 1
ml sebagai blanko dan lalu diberikan amoxicillin dengan rute pemberian yang
berbeda-beda, yaitu rute intraperitoneal, intravena, dan subkutan. Kemudian,
diambil darah kelinci sebanyak 1 ml pada menit ke 5 dan 15, ditambahkan
EDTA. Selanjutnya, disentrifugasi dan diukur absorbansi dengan
menggunakan Spektrofotometer UV-Vis.

Cara kerja, disiapkan alat dan bahan serta hewan uji terlebih dahulu.
Ditimbang yang akan digunakan. Dihitung KD, Stok dan Vp sampel uji, yaitu
Amoxicillin. Lalu, diambil darah hewan uji sebanyak 1 ml pada menit ke 0
sebagai blanko. Kemudian, diberikan amoxicillin secara intraperitoneal dan
subkutan pada masing-masing hewan uji. Lalu, dilanjutkan pengambilan darah
hewan uji sebanyak 1 ml pada menit ke 5 dan 15. Dimasukkan darah ke dalam
tabung dan ditambahkan EDTA. Disentrifugasi dan diukur absorbansi dengan
menggunakan spektrofotometer. Lalu, diamati dan dicatat hasil pengamatan.
Alasan perlakuan penimbang kelinci sebelum dilakukan pengujian adalah agar
dapat diketahui berat setiap kelinci. Alasan penggunaan kelinci adalah sebagai
hewan uji. Alasan penggunaan amoxicillin yaitu larutan sampel obat yang
akan diamati. Alasan penggunaan alkohol sebelum pengambilan darah yaitu
sebagai antiseptik. Obat dibuat suspensi terlebih dahulu agar dapat
memudahkan obat masuk kedalam tubuh hewan uji. diambil terlebih dahulu
darah melalui telinga hewan uji hal ini dilakukan untuk membandingkan kadar
obat setelah dan sebelum pemberian obat. Pengambilan darah dilakukan
ditelinga hewan uji hal ini dikarena kan area telinga pada hewan uji terdapat
pembuluh darah vena yang jelas terlihat sehingga memudahkan praktikan
dalam mengambil darah tanpa harus melukai hewan uji lebih parah. Diberikan
obat Amoxicilin secara subkutan pada kelinci 1 dan asam Amoxicilin secara ip
pada kelinci 2 hal dilakukan untuk melihat dan membandingkan parameter
farmakokinetik dari pemberian yang berbeda. Darah diambil pada menit ke5
dan ke-15 hal dilakukan untuk melihat dan membandingkan kadar obat pada
kedua waktu tersebut. Alasan penggunaan EDTA yaitu sebagai pereaksi.
Alasan penggunaan sentrifuge yaitu untuk memisahkan komponen darah.
Alasan penggunaan spektrofotometer UV-Vis yaitu sebagai alat untuk
mengetahui nilai absorbansi sampel. Alasan tidak melakukan pemberian rute
intravena karena berat badan kelinci tidak cukup, dan juga pada waktu
pembuatan suspensi obatnya tidak semua larut (masih ada partikel-partikel
obatnya) sehingga beresiko menyumbat pembuluh darah pada kelinci.

Sentrifuge bekerja menggunakan prinsip sedimentasi, dimana percepatan


sentripental digunakan untuk memisahkan substansi dengan kepadatan lebih
besar dan lebih kecil (Hawa, dkk., 2019).

Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis yaitu apabila cahaya monokromatik


melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap (I),
sebagian dipantulkan (Ir), dan sebagian lagi dipancarkan (It) (Yanlinastuti dan
Syamsul, 2016).
Hasil pengamatan absorbansi kurva baku amoxicillin yang diperoleh yaitu
pada konsentrasi 2; 4; 6; 8; dan 10 ppm berturut-turut memiliki nilai
absorbansi 0,003; 0,004; 0,013; 0,023; dan 0,026.

Hasil pengamatan absorbansi dari pengambilan darah kelinci pada menit ke 5


dan 15 yang diperoleh yaitu pada rute intravena tidak dilakukan; pada rute
intraperitoneal berturut-turut nilai absorbansi 0,101 dan 0,119; serta pada rute
subkutan berturut-turut nilai absorbansi 1,580 dan 1,564.

Berdasarkan hukum Lambert-Beer, hubungan antara absorbansi terhadap


konsentrasi akan linier (A≈C) apabila nilai absorbansi larutan antara 0,2-0,8
(0,2 ≤ A < 0,8) (Suhartati, 2017).

Berdasarkan literatur diatas, maka nilai absorbansi yang baik yaitu dengan
rentang antara 0,2-0,8 yang dimana absorbansi memiliki hubungan linier
dengan konsentrasi. Dari hasil pengamatan yang diperoleh tidak sesuai,
pengambilan darah kelinci pada menit ke 5 dan 15 yang diperoleh yaitu pada
rute intravena tidak dilakukan; pada rute intraperitoneal berturut-turut nilai
absorbansi 0,101 dan 0,119; serta pada rute subkutan berturut-turut nilai
absorbansi 1,580 dan 1,564. Sehingga absorbansi tidak berada dalam rentang
nilai yang baik.

Hasil pengamatan parameter farmakokinetik yang diperoleh yaitu pada rute


intravena tidak dilakukan; dan pada rute intraperitoneal adalah Ka =
0,0018/menit, Ke = 0,0018/menit, dan AUC = 0; serta pada rute subkutan
adalah Ka = -0,0016/menit, Ke = -0,0016/menit, dan AUC = 0.

Parameter-parameter farmakokinetika yang menentukan besarnya jumlah obat


di dalam tubuh dan kecepatan eliminasi serta berperan penting dalam
menentukan regimen dosis perlu dipahami terlebih dahulu (Nasution, 2015).
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat serta tempat
kerja yang diinginkan. Pemberian obat ikut juga dalam menentukan cepat
lambatnya dan lengkap tidaknya resorpsi suatu obat. Tergantung dari efek
yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau efek lokal
(setempat) dapat dipilih di antara berbagai cara untuk memberikan obat
(Nuryati, 2017).

Aplikasi dalam bidang farmasi adalah seorang farmasis dapat mengetahui dan
menentukan serta membandingkan luas daerah dibawah kurva dan konstanta
absorbsi obat pada berbagai cara pemberian. Hal inilah yang melatarbelakangi
dilakukannya percobaan ini.
Q. Kesimpulan
1. Hasil pengamatan absorbansi dari pengambilan darah kelinci pada menit
ke 5 dan 15 yang diperoleh yaitu pada rute intravena tidak dilakukan; pada
rute intraperitoneal berturut-turut nilai absorbansi 0,101 dan 0,119; serta
pada rute subkutan berturut-turut nilai absorbansi 1,580 dan 1,564. Hal ini
tidak sesuai dengan literatur, dimana nilai absorbansi melebihi rentang
yang sesuai 0,2-0,8. Jadi, ada kesalahan data dalam pengamatan tersebut.
Hasil pengamatan parameter farmakokinetik yang diperoleh yaitu pada
rute intravena tidak dilakukan; dan pada rute intraperitoneal adalah Ka =
0,0018/menit, Ke = 0,0018/menit, dan AUC = 0; serta pada rute subkutan
adalah Ka = -0,0016/menit, Ke = -0,0016/menit, dan AUC = 0.

S. Saran
Diharapkan di percobaan selanjutnya, praktikan dapat lebih memperhatikan
lagi dalam melakukan pengamatan agar terhindar dari kesalahan data, serta
dapat lebih tenang.
DAFTAR PUSTAKA

Anif, M. (2018). Prinsip Umum Dan Dasar Farmakologi. Gajah Mada


University: Yogyakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi


III:Jakarta.

Holford, N., & Yim, D. S. (2016). Volume of distribution. Translational and


Clinical Pharmacology, 24(2), 74–77.

Kurniati, dkk,. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana. Elsivier:


Singapore

Medscape. 2021. Diakses pada tanggal 01 April pukul 08:42 Wita

MIMS. 2021. Diakses pada tanggal 01 April pukul 08:42 Wita

Rinidar., Isa M., Armansyah.(2020). Pengantar Farmakologi Analgesik-


Antipiretik- Anti Inflamasi. Syah Kuala University Press: Banda Aceh

Rowland, dkk,. (2016). Bioavaibiliyt Of Phyto-Oestrogens. University Of Ulster:


UK

Pubchem.com. Diakses Pada Tanggal 01 April 2021, Pukul: 22.15 WITA.

Shargel, dkk,. (2012). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi


Kelima. Alberthy College Of Pharmacy

Toutain dan A. Bosquet,. (2017). Bioavaibility and Its Assessment. INRA/EVNT:


France
LAMPIRAN

Gambar Keterangan

Pemberian obat amoxicillin


secara sc (subcutan)

Pemberian Obat amoxicillin


secara IP (Intraperitoneal)

Pengambilan darah kelinci


sebanyak 1 ml pada menit ke 5
dan 15.

Darah kelinci yang telah


ditambahkan EDTA yang
kemudian akan disentrifugasi,
lalu diukur absorbansinya.

LAMPIRAN LATAR BELAKANG


LAMPIRAN DASAR TEORI

Anda mungkin juga menyukai