Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
II.1.1 Bioavaibilitas
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan presentase dan
kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia
dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk
obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari
ekskresinya dalam urin. Dua produk obat disebut bioekivalen, jika
keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif
farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan
menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan
sama, dalam hal efikasi maupun keamanan(Dirjen POM, 2020).
Bioavailabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah obat
yang aktif terapetik yang mencapai sirkulasi umum. Studi bioavailabilitas
dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun
terhadap obat dengan efek terapetik yang belum disetujui FDA (Food Drug
Administration) untuk dipasarkan. Bioavailabilitas digunakan untuk
menggambarkan fraksi dari dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik
yang merupakan salah satu bagian dari aspek farmakokinetik obat.
Definisi tersebut diartikan bahwa obat yang di berikan secara intravena
bioavalibilitasnya 100%. Namun, jika obat diberikan melalui rute
pemberian lain (seperti melalui oral) bioavalibilitasnya berkurang (karena
absorpsi yang tidak sempurna dan metabolisme lintas pertama)(Shargel
Leon, 2012).
Studi bioavailabilitas in vivo harus dilakukan bila formulasi obat
tersebut dimaksudkan untuk dipasarkan. Parameter farmakokinetik
essensial meliputi laju dan jumlah absorbs sistemik, T ½ eliminasi, Ke, dan
Km harus ditetapkan setelah pemberian dosis tunggal dan dosis ganda.
Setelah bioavailabilitas diketahui dan juga parameter farmakokinetik
diketahui maka aturan dosis dapat ditentukan untuk mendukung penulisan
label obat Bioavaibilitas dibedakan menjadi biovailabilitas absolut dan
relative. Bioavailabilitas absolut diukur dengan membandingkan AUC
produk yang diberikan secara oral dengan intravena. Sedangkan
bioavailabilitas relatif diukur dengan membandingkan AUC suatu sediaan
obat terhadap standar yang diketahui(Shargel Leon, 2012).
II.1.1.1 Bioavailabilitas absolut
Merupakan suatu angka yang menunjukkan rasio ketersediaan hayati
suatu obat yang diberikan ekstravaskular terhadap intravaskular dapat
diukur dengan membandingkan AUC produk standard & copy setelah
pemberian oral dan itravena.
Bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu
sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif tersebut
dengan pemberian intra vena.
Dari data plasma ditentukan sebagai berikut:
[ AUC ] po . Dosis iv
Fabsolut = × 100 %
[ AUC ] iv . Dosis po

II.1.1.2 Bioavailabilitas relative


Merupakan suatu ukuran yang menunjukkan perbandingan
kecepatan dan derajat suatu sediaan obat mencapai sirkulasi sistemik
terhadap sediaan lain yang digunakan sebagai pembanding atau diukur
dengan membandingkan AUC suatu sediaan obat terhadap standar yang
diketahui.
Dari data plasma ditentukan sebagaiu berikut:
[ AUC ] A . Dosis B
Frelatif = [ AUC ] B Dosis A × 100 %

II.1.1.3 Parameter Farmakokinetika


Parameter farmakokinetika yang dapat digunakan untuk mengkaji
bioavailabilitas suatu obat diantaranya adalah tetapan kecepatan absorbsi
(Ka), luas daerah dibawah kurva (AUC) dan fraksi obat yang diabsorbsi
(Fa). Sedangkan untuk mengkaji kinetika distribusi adalah volume
distribusi (Vd dan Vd ). Dan untuk kinetika eliminasi adalah klirens (Clt),
tetapan kecepatan eliminasi (Ke), dan waktu paruh eliminasi (t ½). Adapun
parameter-parameter farmakokinetik yaitu sebagai berikut (Nita, 2017) :
1. Tetapan kecepatan absorbsi (Ka)
Penetapan laju absorbsi dari data absorbsi oral dapat digunakan
beberapa cara, antara lain metode residual. Dengan menanggap
Ka>K, maka harga tidak bermakna terhadap waktu, oleh karena itu
dapat dihilangkan karena pada kadaan tersebut obat telah sempurna
terabsorbsi.
2. Area dibawah kurva (AUC)
Area dibawah kurva kadar obat dalam plasma - waktu adalah suatu
ukuran dari jumlah bioavailabilitas suatu obat. AUC mencerminkan
jumlah total obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. AUC adalah
area dibawah kurva kadar obat dalam plasma – waktu dari t = 0
sampai t = ꝏ, dan sama dengan jumlah obat tidak berubah yang
mencapai sirkulasi umum dibagi klirens. Satuan AUC adalah
konsentrasi-waktu (misal: μg jam/ml). AUC dapat ditentukan dengan
suatu prosedur integrasi numerik.
3. Volume distribusi (Vd)
Volume distribusi menyatakan suatu faktor yang harus diperhitungkan
dalam memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat
yang ditemukan dalam kompartemen cuplikan. Volume distribusi juga
dapat dianggap sebagai volume (Vd) dimana obat terlarut. Jumlah obat
dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi suatu
cuplikan darah dapat diambil pada jarak waktu secara berkala dan
dianalisis konsentrasi tersebut. Vd berguna untuk mengaitkan
konsentrasi obat dalam plasma (Cp) dan jumlah obat dalam tubuh (D).
4. Klirens total (Cl)
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa
mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Klirens ditakrifkan
sebagai volume cairan (yang mengandung obat) yang dibersihkan dari
obat per satuan waktu.
5. Tetapan kecepatan eliminasi (K)
Tetapan laju eliminasi obat orde satu ditentukan berdasarkan fase
eliminasi kurva Cp vs t.
6. Cpmaks
Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum
dalam plasma setelah pemberian obat secara oral. Untuk beberapa
obat diperoleh suatu-hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan
konsentrasi obat dalam plasma. Cp.maks memberi suatu petunjuk bahwa
obat cukup diabsorpsi secara sistemik untuk memberi suatu respons
terapetik. Selain itu, Cpmaks juga memberi petunjuk dari kemungkinan
adanya kadar toksik obat. Satuan Cpmaksadalah satuan konsentrasi
(misal: μg/ml, mg/ml).
7. Tmaks
Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan
waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum
setelah pemberian obat. Pada tmaks absorpsi obat adalah terbesar, dan
laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih
berjalan setelah tmaks tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga
tmaks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk
mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi
lebih cepat. Satuan tmaks adalah satuan waktu (misal: jam, menit).
8. Waktu paru eliminasi (t ½)
Waktu paruh (t ½) menyatakan waktu yang diperlukan oleh sejumlah
obat atau konsentrasi obat untuk berkurang menjadi separuhnya.
II.1.2 Bioekivalensi
Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai
ekivalensi farmasetika atau merupakan alternatif farmasetik dan pada
pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan
bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal
efikasi maupun keamanan (BPOM, 2020).
Studi bioekivalensi (BE) adalah studi bioavailabilitas (BA) komparatif
yang dirancang untuk menunjukkan bioekivalensi antara produk uji (suatu
produk obat ”copy”) dengan produk obat innovator/pembandingnya.
Caranya dengan membandingkan profil kadar obat dalam darah atau urin
antara produk-produk obat yang dibandingkan pada subyek manusia.
Karena itu desain dan pelaksanaan studi BE harus mengikuti Pedoman
Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB), termasuk harus lolos Kaji Etik(Tjay,
2015).
II.2 Uraian Bahan
1. Natrium Sulfat Anhidrat (Dirjen POM edisi III 1979, hal 716)
Nama resmi : NATRIUM SULFAT ANHIDRAT
Nama lain : Natrium sulfat anhidrat
RM/BM : Na2SO4 /322,24
Pemerian : Serbuk hablur atau butiran; putih, higroskopik.
Kelarutan : Larut dalam 6 bagian air; praktis tidak larut
dalam etanol (95%)P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sebagai pelarut.
2. Dietel Eter (Dirjen POM edisi III 1979, hal 650)
Nama resmi : DIETIL ETER
Nama lain : Dieti eter
RM/BM : C2H5O/ 74,12
Pemerian : Cairan transparan,tidak berwarna, bau
khas,rasa manis dan membakar. Sangat
mudah menguap,sangat mudah
terbakar,campuran uapnya dengan
oksigen,udara atau dinitrogenoksida pada
kadar tertentu dapat meledak.
Kelarutan : Larut dalam 10 bagian air,dapat campur
dengan etanol (95%) P, dengan kloroform P,
dengan minyak lemak dan dengan minyak
atsiri.
Penyimpanan : Dalam wadah kering tertutup rapat,terlindungi
dari cahaya ditempat sejuk.
Kegunaan : Sebagai pelarut.
3. Besi III Sulfat (Dirjen POM edisi III 1979 hal, 254)
Nama resmi : BESI III SULFAT
Nama lain : Feri Sulfat
RM/BM : Fe2(SO4)3/ 399,88
pemerian : Cairan kental, jernih kuning pucat atau hampir
tidak berwarna, bau lemah, rasa manis,
kemudian agak pedas, umumnya memualkan.
Kelarutan : Larut dalam 2,5 etanol 90%, mudah larut
dalam etanol mtlak dan dalam asetat glacial.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sebagai sampel.
5 Asam Klorida (Dirjen POM edisi III 1979, hal 53.)
.
Nama resmi : ACIDUM HYDROCHLORIDUM
Nama lain : Asam Klorida
RM/BM : HCl/36,46
pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak berbau
Kelarutan : Larut baik dalam air.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sebagai pereaksi.
6 Aquadest (Dirjen POM edisi III 1979, hal 96)
.
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Air suling
RM/BM : H2O/18,02
pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak berwarna,
tidak berasa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sebagai pelarut.
II.3 Uraian Obat
1. Paracetamol (Dirjen POM Edisi III 1979, hal 998 )
Nama resmi : ACETAMINOPHEN
Nama lain : Paracetamol
RM/BM : C8H9NO2/151,16
Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau, rasa sedikit
pahit.
Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium
hidroksida 1 N, mudah larut dalam etanol.
Kegunaan : Sebagai sampel.
II.4 Uraian Probandus
Lama puasa pada malam sebelum pemberian obat, biasanya 12 jam.
Untuk studi keadaan tunak, puasa hanya diperlukan pada malam terakhir
sebelum pengambilan saliva keesokan harinya. Volume air yang diminum
bersama obat harus konstan (antara 150 - 200 ml). Probandus tidak boleh
makan obat lain apapun selama beberapa waktu sebelum praktikum.
Probandus tidak boleh mengkonsumsi makanan dan minuman yang
dapat berinteraksi dengan fungsi sirkulasi, saluran cerna, hati atau ginjal
(mis. merokok, minum alkohol, kopi, teh, kola, coklat atau jus buah)
selama 24 jam sebelum praktikum dan selama periode pengambilan
sampel (BPOM, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Amril, 2006. Uji BABE Jamin mutu obat. Majalah Farmasia. vol. 6 No. 7.
Jakarta.
BPOM. 2005. Pedoman Uji Bioekuivalensi. Jakarta. Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
Dirjen, POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Depkes RI.
Dirjen POM. 2020. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan
Makanan Republik Indonesia Nomor: Hk.00.05.3.1818
Tentang Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta: Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Fithrul, Mubarok. 2021. Spektrofotometer dan Cara Kerjanya. Jakarta:
Farmasi Industri.
Grosser, T; Ricciotti, E; FitzGerald, GA. 2017. The Cardiovascular
Pharmacology of Nonsteroidal Anti-Inflamatory Drugs. Trends
in Pharmacological Sciences (Review). 38 (80: 733-48.
Nita Noviani & Vitri Nurilawati. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Gigi
Farmakologi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Shargel, L & Andrew. 2012. Applied Biopharmaceutics &
Pharmacokinetics. NewYork: McGraw-Hill Companies.
Tjay, T.H & Rahardja, K., 2015. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya. PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai