Anda di halaman 1dari 8

Nama : Mareta Nur Aisyah

NIM : 18020200076
Kelas: B2 S1-Farmasi 2018

TUGAS BIOFARMASETIKA
Soal !
1. Apa Yang dimaksud In-vivo, In-vitro, dan In-situ?

Jawaban :
In Vitro
Pada prinsipnya pemeriksaan in vitro adalah jenis pemeriksaan yang dilakukan dalam
tabung reaksi, piring kultur sel atau di luar tubuh mahluk hidup. Penelitian in vitro
mensyaratkan adanya kontak antara bahan atau suatu komponen bahan dengan sel, enzim,
atau isolasi dari suatu sistem biologik. Proses kontak dapat terjadi secara langsung, dalam
arti bahan langsung berkontak dengan dengan sistem sel tanpa adanya barier atau dengan
menggunakan barier.
Pemeriksaan in vitro dapat digunakan untuk mengetahui sitotoksisitas atau pertumbuhan sel,
metabolisme set fungsi sel. Bisa pula pemeriksaan in vitro untuk me-ngetahui pengaruh
suatu bahan terhadap genetik sel.
Ada beberapa keuntungan dari
pemeriksaan in vitro dibandingkan dengan jenis pemeriksaan biokompatibilitas lainnya,
adalah sebagai berikut:
a. Membutuhkan waktu yang relatif singkat
b. Membutuhkan biaya yang relatif sedikit
c. Dapat dilakukan standarisasi
d. Bisa dilakukan kontrol
Sebaliknya, kerugian dari pemeriksaan in vitro adalah, karena tidak adanya relevansinya
dengan kegunaannya secara in vivo di kemudian hari. Selain itu, kerugian lainnya adalah
tidak adanya mekanisme inflamasi dalam kondisi in vitro. Hal yang penting diketahui adalah
bahwa dari hasil pemeriksaan in vitro saja jarang bisa untuk mengetahui biokompatibilitas
suatu bahan.
Pada pemeriksaan in vitro terdapat dua macam sel yang biasa digunakan yaitu sel primer
clan sel kontinyu. Kedua sel tersebut mempunyai peran penting dalam melakukan
pemeriksaan in vitro.
a. Sel primer : adalah sel yang langsung diambil dari organisme hidup untuk kemudian
langsung dibiakkan dalam kultur. Sel jenis primer akan tumbuh hanya untuk waktu yang
terbatas, tetapi mempunyai keuntungan bahwa masih tetap mempertahankan sifat sel pada
kondisi in vivo. Merupakan jenis sel yang sering digunakan untuk melakukan
pemeriksaan sitotoksisitas.
b. Sel kontinyu : adalah jenis sel primer yang ditransformasikan untuk dapat ditumbuhkan
dalam kultur. Karena dilakukan transformasi, maka jenis sel ini tidak lagi
mempertahankan semua sifat sel pada kondisi in vivo.
Uji in vitro jarang digunakan sendiri untuk uji BE. Namun, untuk saat ini, dengan
penerapan BCS, biowaiver atau penggantian uji in vivo dengan uji in vitro, yakni uji profil
disolusi terbanding, dapat dilakukan.
BCS (Bipharmaceutics Classification System) adalah pengelompokan bahan obat
berdasarkan sifat kelarutan dalam air dan permeabilitas usus. Jika dikombinasikan dengan
disolusi produk obat, BCS melibatkan tiga faktor yang dapat mempengaruhi BA suatu
produk oral padat lepas segera, yakni disolusi, kelarutan, dan permeabilitas usus (Amidon et
al, 1995). Berdasarkan BCS, bahan obat dapat dikelompokkan menjadi:
Kelas 1: Kelarutan tinggi – Permeabilitas tinggi
Kelas 2: Kelarutan rendah – Permeabilitas tinggi
Kelas 3: Kelarutan tinggi – Permeabilitas rendah
Kelas 4: Kelarutan rendah – Permeabilitas rendah
Definisi kelarutan tinggi dalam BCS berbeda dari definisi umum.  Penentuan kelarutan
tinggi dalam BCS didasarkan kemampuan melarut bahan obat dari produk obat dengan dosis
tertinggi dalam ≤ 250 mL media air dalam rentang pH tertentu. Estimasi volume 250 mL
tersebut diambil berdasarkan penerapan pemberian obat pada pasien puasa yang disertai
dengan segelas air (sekitar 8 oz, kurang lebih setara dengan 250 mL), yang umum diterapkan
dalam uji BE.
Pada awalnya, rentang yang digunakan adalah pH 1-8 (FDA, 1997c; EMA, 2001; ASEAN,
2004) atau 1- 7,5 (FDA, 2000). Pada 2006, WHO melakukan revisi definisi kelarutan tinggi,
yakni jika dosis tertinggi obat dalam melarut dalam 250 mL atau kurang media air, dalam
rentang pH 1,2-6,8 pada 37°C. Batas pH 6,8 ini menggambarkan bahwa obat harus terlarut
sebelum mencapai bagian tengah jejunum, untuk memastikan penyerapannya dalam saluran
cerna (WHO, 2006b). Revisi definisi ini selanjutnya diterapkan pula oleh EMA (2010) dan
FDA (2015).
Kelarutan ditentukan dengan media dengan beberapa pH dalam rentang 1-6,8 pada suhu 37
± 1°C. Kondisi pH yang digunakan dapat berdasarkan karakteristik ionisasi bahan obat,
misalnya pada pH = pKa, pH = pKa + 1, pH = pKa – 1, pH 1, dan pH 6,8. EMA
merekomendasikan sedikitnya dalam tiga media dapar, yakni pH 1,2; pH 4,5; dan pH 6,8;
serta pada pH = pKa, selama masih dalam rentang pH 1,2-6,8. Penentuan kelarutan dalam
masing-masing pH dilakukan minimal dengan 3 replikasi. Jika variabilitas saat pengujian
tinggi, direkomendasikan memperbanyak jumlah replikasi untuk mendapatkan nilai
kelarutan yang dapat dipercaya. Larutan dapar USP dapat digunakan, kecuali ada
permasalahan secara fisik atau kimia dengan komponen obat. pH larutan di akhir pengujian
perlu diukur kembali.
Suatu bahan obat dinyatakan memiliki permeabilitas tinggi jika jumlah terserap dalam
saluran cerna mencapai ≥ 85% dari obat yang diberikan, berdasarkan penetapan
keseimbangan massa (yang disertai pembuktian stabilitas dalam saluran cerna), atau
dibandingkan pada BA absolut (FDA, 2015). Penggunaan batas 85% merupakan
pelonggaran dari batas sebelumnya, 90%. Dengan adanya penyesuaian ini, beberapa obat
yang sebelumnya masuk dalam BCS Kelas 3 berpindah ke BCS Kelas 1, misalnya
parasetamol, aspirin, allopurinol, lamivudine, dan prometazin (WHO, 2006b).
Pembuktian stabilitas perlu digarisbawahi karena diperlukan untuk pembuktian bahwa
kehilangan sejumlah obat dalam saluran cerna disebabkan oleh rendahnya permeabilitas atau
karena mengalami degradasi. Uji stabilitas dalam saluran cerna dapat dilakukan dalam
media lambung dan usus buatan. Larutan obat dalam media tersebut diinkubasi pada suhu
37°C selama jangka waktu tertentu, misalnya 1 jam dalam cairan lambung dan 3 jam dalam
cairan usus. Penurunan kadar signifikan, yakni lebih dari 5%, dalam pengujian ini
merupakan indikasi obat tidak stabil (FDA, 2015).
Kelas permeabilitas dapat ditentukan berdasarkan uji PK pada subyek manusia
menggunakan metode keseimbangan massa dan BA absolut atau pendekatan perfusi usus.
Selain itu, dapat juga dengan pengujian tanpa subyek manusia, misalnya perfusi usus in vivo
atau in situ dengan model hewan, dan/atau metode permeabilitas in vitro menggunakan
potongan jaringan usus, atau lapis tunggal sel epitel yang sesuai. Dari semua metode
tersebut, yang paling diinginkan adalah data manusia. Pengujian yang lain hanya bersifat
pendukung.
Permeabilitas prodrug tergantung pada mekanisme dan lokasi perubahan prodrug tersebut
menjadi bahan obat. Jika pengubahan terjadi setelah penyerapan, maka permeabilitas
prodrug tersebut yang perlu ditentukan. Sebaliknya, jika pengubahan terjadi sebelum
penyerapan, maka yang ditentukan adalah permeabilitas dari bahan obat, sebagai hasil
pengubahan.
FDA memberikan biowaiver untuk produk sediaan solida lepas segera, dengan bahan obat
BCS kelas 1 dan kelas 3, yang menunjukkan disolusi in vitro cepat atau sangat cepat, dengan
metode uji yang direkomendasikan, dan selama tidak ada bahan tambahan yang sediaan
tersebut yang dapat mempengaruhi secara signifikan penyerapan bahan aktif (FDA, 2015).
Secara rinci, pengajuan biowaiver menurut FDA untuk produk obat BCS kelas 1 harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 Bahan obat memiliki kelarutan tinggi dan permeabilitas tinggi
 Produk obat (uji dan referensi) cepat melarut, dan
 Produk obat tidak mengandung eksipien yang dapat mempengaruhi kecepatan dan jumlah
penyerapan obat.
Untuk produk obat BCS kelas 3, FDA mempersyaratkan:
 Bahan obat memiliki kelarutan tinggi
 Produk obat (uji dan referensi) sangat cepat melarut, dan
 Formulasi produk uji sama secara jenis dan sangat mirip secara jumlah, yakni masuk
dalam kategori perubahan tingkat 1 dan 2 SUPAC-IR, dari komposisi produk referensi.
Definisi cepat melarut (rapidly dissolving) adalah jika 85% atau lebih dari bobot label bahan
aktif terlarut dalam waktu 30 menit dari produk obat lepas-segera , menggunakan metode
keranjang 100 rpm atau metode dayung 50 rpm (atau 75 rpm, dengan justifikasi), dalam 500
mL atau kurang media: (1) HCl 0,1 N atau Cairan Lambung Buatan tanpa enzim; (2) dapar
pH 4,5; dan (3) dapar pH 6,8 atau Cairan Usus Buatan tanpa enzim. Sedangkan, produk
lepas-segera dinyatakan sangat cepat melarut (very rapidly dissolving) jika dalam kondisi
disolusi yang sama, 85% atau lebih dari bobot label bahan aktif terlarut dalam waktu 15
menit.
Biowaiver berdasarkan BCS menurut EMA dapat diterapkan pada produk obat BCS kelas 1
dan kelas 3 (EMA, 2010), dengan persyaratan yang berbeda. Untuk produk obat BCS kelas
1 lepas segera dipersyaratkan:
 Bahan obat telah terbukti menunjukkan kelarutan tinggi dan penyerapan lengkap.
 Karakteristik disolusi in vitro produk uji dan produk referensi sangat cepat (>85% dalam
15 menit) atau cepat (85% dalam 30 menit), dalam metode uji yang direkomendasikan,
dan
 Eksipien yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas sama secara jenis dan jumlahnya.
Secara umum, penggunakan eksipien yang sama dan dalam jumlah yang sama lebih
diharapkan.
Sedangkan untuk produk obat BCS kelas 3 lepas segera, biowaiver berdasarkan EMA dapat
diterapkan jika:
 Bahan obat telah terbukti menunjukkan kelarutan tinggi dan penyerapan terbatas.
 Karakteristik disolusi in vitro produk uji dan produk referensi sangat cepat (>85% dalam
15 menit) dalam metode uji yang direkomendasikan, dan
 Eksipien yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas sama secara jenis dan jumlahnya,
dan eksipien lain secara jenis sama dan secara jumlah sangat mirip.
Batas perbedaan relatif jumlah eksipien dari kedua produk obat oral padat untuk dapat
disebut secara kuantitas sama diberikan dalam pedoman WHO (2015), sebagai berikut:
WHO (2006a) sempat memberikan biowaiver pada kelas BCS yang lebih luas, selain untuk
produk obat BCS kelas 1 dan kelas 3, juga mencakup sebagian produk obat BCS kelas 2,
yakni bahan aktif memiliki kelarutan tinggi pada pH 6,8 tetapi kurang melarut pada pH 1,2
dan pH 4,5 dan dengan permeabilitas tinggi. Namun, WHO (2015) kemudian
menghilangkan biowaiver untuk produk obat BCS kelas 2 tersebut.
Sebaliknya, BPOM (2015) justru menerima biowaiver produk BCS kelas 2 dengan
ketentuan zat aktif terdisolusi cepat pada pH 6,8 dan memiliki profil yang mirip dengan obat
komparator pada pH yang lain. Juga berlaku jika disolusi kurang dari 10% pada salah satu
pH.
Metode uji disolusi yang direkomendasikan EMA hampir sama dengan FDA, kecuali pada
kecepatan dayung, biasanya 50 rpm, dan volume media disolusi 900 mL atau kurang.
Sedangkan, WHO menerapkan kecepatan untuk dayung 75 rpm dan volume media disolusi
900 mL atau kurang (Tabel 1).
Tabel 1 Perbandingan Kondisi Uji Disolusi yang Direkomendasikan FDA, EMA, dan WHO

Biowaiver berdasarkan BCS tidak dapat diterapkan untuk obat dengan indeks terapi sempit
(contohnya, digoxin, fenitoin, teofilin, dan warfarin) atau obat yang ditujukan untuk diserap
di rongga mulut (tablet sublingual, bukal) (FDA, 2015). BPOM (2015) menambahkan
biowaiver tidak berlaku untuk produk obat dengan eksipien yang dapat mempengaruhi
penyerapan zat aktif, seperti sorbitol, manitol, natrium lauril sulfat, dan surfaktan lainnya.
Pustaka: (FDA, 1997c; EMA, 2001; ASEAN, 2004) atau 1- 7,5 (FDA, 2000).
In Vivo
Pemeriksaan in vivo untuk uji biokompatibilitas biasanya menggunakan binatang mamalia
seperti tikus, kelinci, marmot atau kera. Pemeriksaan in vivo dengan menggunakan binatang
cobs menimbulkan banyak interaksi yang sifatnya kompleks dalam menimbulkan terjadinya
respon biologik. Sebagai contoh, suatu respon imun akan terjadi pada sistem tubuh hewan,
hal mana pasti akan sukar terlihat pada sistem biakan sel. Oleh karena itu, respon biologik
pada pemeriksaan in vivo secara umum lebih relevan dibandingkan dengan pemeriksaan in
vitro.
Beberapa pemeriksaan in vivo yang biasa dilakukan, yaitu :
a. Pemeriksaan iritasi.
Untuk mengetahui apakah suatu material dapat menimbulkan inflamasi pada mukosa atau
pada kulit. Metode yang dilakukan biasanya dengan menggunakan kelompok kontrol dan
perlakuan, bahan dikontakkan pada mukosa mulut hamster atau marmot.Selang beberapa
minggu, baik kontrol maupun perlakuan diperiksa. Hewan coba dibunuh untuk dibuat
sediaan histologis, untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan
terjadinya inflamasi.
b. Pemeriksaan implan
Untuk mengevaluasi bahan yang dikontakkan dengan tulang atau jaringan subkutan.
Biasanya bahan dikontakkan antara satu sampai sebelas minggu. Pada waktu yang telah
ditentukan, respon jaringan dapat dievaluasi dengan pemeriksaan histologik, biokimiawi
atau imunohistokimiawi.
Pemeriksaan implan juga dapat dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
inflamasi kronis atau pembentukan tumor. Pada pemeriksaan ini material dikontakkan
untuk waktu yang lebih lama, yaitu antara satu sampai dengan dua tahun.
Pustaka : Alam et al. Saudi Pharmaceutical Journal 2012

In Situ
Metode uji In Situ merupakan suatu metode uji yang dilakukan dalam organ target tertentu
yang masih berada dalam sistem organisme hidup. Bedanya dengan uji in vivo adalah karena
pada uji in situ organ target tersebut diusahakan tidak dipengaruhi oleh organ lain sehingga
profil obat yang diamati hanya berdasarkan pada proses yang terjadi pada organ tersebut
tanpa dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada organ lainnya. Sedangkan bedanya dengan
uji in vitro adalah organ pada uji insitu masih menyatu dengan sistem organisme
hidup,masih mendapat supply darah,dan supply oksigen.
Percobaan absorbsi obat secara in situ melalui usus halus didasarkan atas penentuan
kecepatan hilangnya obat dari lumen usus halus setelah larutan obat dengan kadar tertentu
dilewatkan melalui lumen usus halus secara perfusi dengan kecepatan tertentu. Cara ini
dikenal pula dengan nama teknik perfusi, karena usus dilubangi untuk masuknya ujung
kanul, satu kanul di bagian ujung atas usus untuk masuknya sampel cairan percobaan dan
satu lagi bagian bawah untuk keluarnya cairan tersebut. Cara ini didasarkan atas asumsi
bahwa obat yang dicobakan stabil, tidak mengalami metbolisme dalam lumen usus, sehingga
hilangnya obat dari lumen usus akan muncul dalam darah atau plasma darah, atau dengan
perkataan lain hilangnya obat dari lumen usus tersebut adalah karena proses absorbsi. Bagi
obat-obat yang berupa asam lemah atau basa lemah, pengaruh PH terhadap kecepatan
absorbsi sangat besar, karena PH akan menentukan besarnya fraksi obat dalam bentuk tak
terionkan. Bentuk ini yang dapat terabsorbsi secara baik melalui mekanisme difusi pasif.
Metode ini dapat digunakan untuk mempelajari berbagai factor yang dapat berpengaruh
pada permeabilitas dinding usus dari berebagai macam obat. Pengembangan lebih lanjut
dapat digunakan untuk merancang obat dalam upaya mengoptimalkan kecepatan
absorbsinya melalui pembentukan prodrug, khususnya untuk obat-obat yang sangat sulit
atau praktis tidak dapat terabsorbsi. Melalui metode ini akan dapat diungkapkan pula
besarnya permeabilitas membran usus terhadap obat melalui lipoid pathway, pori, dan
aqueous boundary layer. Metode Trough and Trough merupakan salah satu cara pengobatan
in situ. Cara ini dilakukan dengan menentukan fraksi obat yang terabsorbsi, setelah larutan
obat dialirkan melalui lumen intestine yang panjangnya tertentu dan kecepatan alirnya
tertentu pula.
(Pustaka: https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/23281)

Anda mungkin juga menyukai