Anda di halaman 1dari 12

A.

DEFINISI
1. Ketersediaan hayati (bioavailabilitas) adalah presentase dan kecepatan zat aktif dalam
suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah
terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urine
 Bioavailabilitas absolute : bila dibandingkan dengan sediaan intravena yang
bioavailabilitasnya 100%
 Bioavailabilitas relative : bila dibandingkan dengan sediaan bukan intravena.
2. Ekivalensi farmaseutik adalah dua produk obat yang mempunyai ekivalensi jika
keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk
sediaan yang sama.
3. Alternatif farmaseutik adalah dua produk obat yang merupakan alternative
farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama teteapi berbeda dalam
bentuk kimia (garam,ester,dsb) atau bentuk sediaan atau kekuatan
4. Bioekivalensi adalah dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai
ekivalensi farmasetik atau merupakan alternative farmaseutik dan pada pemberian
dengan dosis moral yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding
sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan.
5. Ekivalensi terapeutik adalah dua produk obat mempunyai ekivalensi terapetik jika
keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik
dan pada pemberian dengan dosis moral yang sama akan menghasilkan efikasi klinik
dan keamanan yang sebanding. Dengan demikian,ekivalensi/inekivalensi terapeutik
seharusnya ditunjukkan dengan uji klinik.
Akan tetapi, produk obat yang bekerja sistemik, uji klinik mempunyai kendala
berikut:
 pada penyakit ringan tidak terlihat, pada penyakit berat tidak etis;
 endpoint yang diukur sering kali tidak akurat sehingga variabilitasnya besar
sekali, dengan akibat dibutuhkan sampel yang besar sekali.
Oleh karena itu, sebagai alternatif dilakukan uji bioekivalensi yang endpointnya
sangat akurat (yakni kadarobat dalam plasma) sehingga variabilitasnya rendah, dan
dengan demikian sampel yang dibutuhkan jauh lebih kecil.Jika terdapat perbedaan
yang bermakna secara klinik dengan bioavailabilitasnya, maka kedua produk obat
tersebut dinyatakan inekivalen secara terapeutik (inekivalensi terapeutik).
6. Produk obat pembanding (referensi product) adalah produk obat inovator yang telah
diberi izin pemasaran di Indonesia berdasarkan penilaian dossier lengkap dengan
yang membuktikan efikasi, keamanan dan mutu. Hanya jika produk obat inovator
yang tidak dipasarkan di Indonesia atau tidak lagi dikenali yang mana karena sudah
terlalu lama beredar di pasar, maka dapat di gunakan produk obat inovator dari
primary market (negara dimana produsennya menganggap bahwa efikasi, keamanan
dan kualitas produknya terdokumentasi paling baik) atau produk yang merupakan
market leader yang telah diberiizin pemasaran di Indonesia dan telah lolos penilaian
efikasi, keamanan dan mutu. Produk obat pembanding yang akan digunakan harus
disetujui oleh Badan POM.
7. Produk obat “copy” adalah produk obat yang mempunyai ekivalensi farmaseutik atau
merupakan alternatif farmaseutik dengan produk obat inovator/pembandingnya, dapat
dipasarkan dengan nama generik atau nama dagang.
B. TUJUAN
Tujuan dilakukannya uji bioekivalensi adalah untuk membandingkan bioavailabilitas obat
copy terhadap produk komparator. Tujuannya adalah untuk memberikan jaminan kepada
masyarakat bahwa produk obat copy yang beredar memenuhi standar efikasi, keamanan
dan mutu yang dipersyaratkan.
C. KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI
1. Produk obat yang memerlukan uji ekivalensi in vivo
Uji ekivalensi in vivo dapat berupa studi bioekivalensi farmakokinetik, studi
farmakodinamik komparatif, atau uji klinik komparatif. Dokumentasi ekivalensi in
vivo diperlukan jika ada resiko bahwa peredaran bioavailabilitas dapat menyebarkan
inekivalensi terapi.
1.1. Produk obat oral lepas cepat yang bekerja sistemik,jika memenuhi satu atau
lebih kriteria berikut ini :
a. obat-obat untuk kondisi yang serius yang memerlukan respon terapi yang pasti
(criticaluse drugs), misal: antituberkulosis, antiretroviral, antibakteri,
antihipertensi, antiangina, obat gagal jantung, antiepilepsi, antiasma.
b. Batas keamanan/indeks terapi yang sempit kurva doses-respons yang curam,
misal: digoksin, antiaritmia, antikoagulan, obat-obat sitostatik, litium, feniton,
siklosporin,sulfonilurea, teofilin.
c. Terbukti ada masalah bioavailabilitas atau bioinekivalensi dengan obat yang
bersangkutan atau obat-obat dengan struktur kimia atau formulasi yang mirip
(tidak berhubungan dengan masalah disolusi,) misal:
 absorpsi bervariasi atau tidak lengkap;
 eliminasi presistemik yang tinggi;
 farmakokinetik nonlinear;
 sifat-sifat fisiokimia yang tidak menguntungkan (misal: kelarutan
rendah,permeabilitas rendah, tidak stabil, dsb.)
d. eksipien dan proses pembuatannya diketahui mempengaruhi bioekivalensi.
1.2. Produk obat non-oral dan non–parenteral yang didesain untuk bekerja
sistemik, misal : sediaan transdermal, supositoria, permen nikotin, gel testosteron
dan kontraseptif bawah kulit,
1.3. Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik.
1.4. Produk kombinasi tetap untuk bekerja sistemik yang paling sedikit salah satu
zat aktifnya memerlukan studi in vivo.
1.5. Produk obat bukan larutan bukan untuk penggunaan non sistemik (oral nasal,
ocular, dermal, rektal, vaginal, dsb), dan dimaksudkan untuk bekerja lokal (tidak
untuk diabsorpsi sistemik). Untuk produk demikian, bioekivalensi harus
ditunjukkan dengan studi klinik atau farmakodinamik, dermatofarmakokinetik
komparatif dan/atau studi in vitro. Pada kasus-kasus tertentu, pengukuran kadar
obat dalam darah masih diperlukan dengan alasan keamanan untukmelihat adanya
absorpsi yang tidak diinginkan.
Dalam hal 1.1. s/d 1.4, pengukuran kadar obat dalam plasma versus waktu biasanya
cukup untuk membuktikan efikasi dan keamanan. Jika tidak, studi klinik atau
farmakodinamik dapat digunakan untuk membuktikan ekivalensi.
2. Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro ( uji disolusi terbanding)
2.1. Produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo (tidak termasuk butir 1).
2.2. Produk obat “copy” yang hanya berbeda kekuatan uji disolusi terbanding
dapat diterima untuk kekuatan yang lebih rendah berdasarkan perbandingan profil
disolusi.
a. Tablet lepas cepat
Produk obat “copy” dengan kekuatam berbeda, yang dibuat oleh pabrik obat
yang sama di tempat produksi yang sama, jika:
 semua kekuatan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama
atau untuk zat aktif yang sangat poten (sampai 10 mg persatuan dosis), zat
inaktifnya sama banyak untuk semua kekuatan;)
 ekivalensi telah dilakukan sedikitnya pada salah satu kekuatan (biasanya
kekuatan yang tertinggi, kecuali untuk alasan keamanan dipilih kekuatan
yang lebih rendah);
b. Kapsul berisi butir-butir lepas lambat jika kekuatannya berbeda hanya dalam
jumlah butir yang mengandung zat aktif, maka perbandingan profil disolusi
(f2>5) dengan satu kondisi uji yang direkomendasi sudah cukup.
c. Tablet lepas lambat, jika produk uji dalam bentuk sediaan yang sama tetapi
berbeda hanya dalam jumlah butir yang mengandung zat aktif dan inaktif yang
d. persis sama atau untuk zat aktif yang sangat poten (sampai 10 mg persatuan
doses) zat inaktifnya sama banyak, dan mempunyai mekanisme pelepasan obat
yang sama,kekuatan yang lebih rendah tidak memerlukan studi in vivo jika
menunjukkan profil disolusi yang mirip, f2>50 dalam 3 pH yang berbeda
(antara pH 1.2 dan 7.5) dengan metode uji yang direkomendasi.
2.3. Berdasarkan sistem klasifikasi biofarmaseutik (Biopharmaceutic
Classification System = BCS)dari zat aktif serta karakteristik disolusi dan profil
disolusi dari produk obat.
Berlaku untuk produk obat oral lepas cepat, tetapi tidak berlaku untuk produk obat
lepas cepat yang disebutkan dalam butir 1.1.
a. zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi dan permeabilitas dalam
usus yang tinggi (BCS kelas 1), serta:
 Produk obat memiliki disolusi yang sangat cepat, atau;
 Produk obat memiliki disolusi yang cepat dan profil disolusinya mirip
dengan produk pembanding.
b. Zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi tetapi permeabilitas dalam
usus yang rendah (BCS kelas 3) serta:
 produk obat memiliki profil disolusi yang cepat pada pH 6.8, dan; Produk
obat memiliki profil disolusi yang mirip dengan produk pembanding (juga
berlaku jika disolusi < 10 % pada salah satu pH).
Catatan :
 BCS dari zat aktif
- kelas 1: kelarutan dalam air tinggi,permeabilitas dalam usus tinggi;
- kelas 2 : kelarutan dalam air rendah,permeabilitas dalam usus tinggi;
- kelas 3 : kelarutan dalam air tinggi,permeabilitas dalam usus rendah;
- kelas 4 : kelarutan dalam air rendah,permeabilitas dalam usus rendah.
 Kelarutan dalam air tinggi (dari zat aktif):Jika dosis tertinggi yang
direkomendasi WHO (jika terdapat dalam Daftar Obat Esensial WHO) atau
kekuatan dosis tertinggi ( yang ada di pasar) dari produk obat larut dalam <
250 ml media air pada kisaran pH 1.2 s/d 6.8 pada suhu 37 + 1 0C. penentuan
kelarutan pada setiap pH harus dilakukan minimal triplo.
 Kelarutan dalam usus tinggi (dari zat aktif):Jika absorpsi pada manusia > 85%
dibandingkan dosis intravena dari pembandingnya.
Di samping itu harus ditunjukkan bahwa eksipien dalam komposisi produk
obat sudah dikenal, bahwa tidak ada efek terhadap motilitas saluran cerna atau
proses lain yang mempengaruhi absorpsi, juga diperkirakan tidak ada interaksi
antara eksipien dan zat aktif yang dapat mengubah farmakokinetik zat aktif.
Jika digunakan tetapi dalam jumlah yang luar biasa besar, diperlukan
tambahan informasi yang menunjukkan tidak adanya dampak terhadap
bioavailabilitas.
Uji disolusi terbanding juga dapat digunakan untuk memastikan kemiripan
kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan monitor dalam
formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran obat.
3. Produk obat yang tidak memerlukan uji ekivalensi
3.1. Produk obat “ copy” untuk penggunaan intravena sebagai larutan dalam air
yang mengandung zat aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dengan
produk pembanding.
3.2. Produk obat “copy” untuk penggunaan parenteral yang lain (misal:
intramuskular, subkutan) sebagai larutan dalam air dan mengandung zat aktif yang
sama dalam kadar molar yang sama dan eksipien yang sama atau mirip (similar)
dalam kadar yang sebanding seperti dalam produk pembanding. Eksipien tertentu
(misal: bufer, pengawet, antioksidan) boleh berbeda asalkan perubahan eksipien
ini diperkirakan tidak mempengaruhi keamanan dan/ atau efikasi produk obat
tersebut.
3.3. Produk obat” copy” berupa larutan untuk penggunaan oral (termasuk sirup),
eliksir, tingtur atau bentuk larutan lain tetapi bukan suspensi),yang mengandung
zat aktif dalam kadar molar yang sama dengan produk pembanding, dan hanya
mengandung eksipien yang diketahui tidak mempunyai efek terhadap transit atau
permeabilitas dalam saluran cerna dan dengan demikian terhadap absorpsi atau
stabilitas zat aktif dalam saluran cerna.
3.4. Produk obat “copy” berupa bubuk untuk dilarutkan dan larutannya memenuhi
kriteria 3.1., 3.2, atau 3.3, tersebut diatas
3.5. Produk obat “ copy” berupa gas
3.6. Produk obat “copy” berupa sediaan obat mata atau telinga sebagai larutan
dalam air dan mengandung zat (-zat) aktif yang sama dalam kadar molar yang
sama dan eksipien yang praktis sama dalam kadar yang sebanding. Eksipien
tertentu (misal : pengawet , bufer, zat untuk menyesuaikan tonisitas atau zat
pengental) boleh berbeda asalkan penggunaan eksipien ini diperlukan tidak
mempengaruhi keamanan dan/ atau efikasi produk obat tersebut.
3.7. produk obat “copy” berupa sediaan obat topical sebagai larutan dalam air dan
mengandung zat (-zat) aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dan eksipien
yang praktis sama dalam kadar yang sebanding.
3.8. Produk obat “copy” berupa larutan untuk aerosol atau produk inhalasi
nebulizer atau semprot hidung, yang digunakan dengan atau tanpa alat yang
praktis sama, sebagai larutan dalam air dan mengandung zat( zat) aktif yang sama
dalam kadar yang sama dan eksipien yang praktis sama dalam kadar yang
sebanding. Produk obat tersebut boleh memasukkan eksipien lain asalkan
penggunaannya diperkirakan tidak akan mempengaruhi keamanan dan/ atau
efikasi produk obat tersebut.
Untuk ketentuan 3.6, 3.7 atau 3.8 tersebut diatas, pemohonan harus menunjukkan
bahwa eksipien dalam produk “ copy” nya praktis sama dan dalam kadar yang
sebanding dengan produk pembandingnya. Jika informasi mengenal produk
pembanding ini tidak dapat diberikan oleh pemohon dan Badan POM tidak memiliki
data ini, pemohon harus melakukan studi in vivo atau in vitro untuk menunjukkan
bahwa perbedaan dalam eksipien ini tidak mempengaruhi keamanan dan/ atau efikasi
produk obat tersebut.
4. Persyaratan untuk produk yang mengandung zat kimia baru
4.1. Bioavailabilitas
Suatu zat kimia baru yang ditujukan untuk bekerja sistemik, availabilitas
sistemiknya harus ditentukan dengan membandingkannya terhadap sediaan
intravena (bioavailabilitas absolute).
Jika tidak memungkinkan (karena alaan teknis atau keamanan), maka
bioavailabilitas relative terhadap larutan atau suspensi oral harus ditentukan.
Dalam hal prodrug, larutan intravena pembanding harus terbuat dari zat aktifnya.
4.2. Bioekivalensi
Selama perkembangannya, studi bioekivalensi diperlukan sebagai studi yang
menjembatani antara formulasi untuk uji klinik dan produk obat yang akan
dipasarkan.
D. DESAIN DAN ANALISIS PENETAPAN HAYATI
Potensi beberapa obat farmakope harus ditetapkan dengan uji hayati. Faktor kendali
dalam desain pengujian dan analisis adalah variabilitas sistem uji hayati, yang respons
rata-ratanya dapat bervariasi antar laboratorium dan dari waktu ke waktu dalam
laboratorium yang sama. Untuk mengendalikan jenis variasi ini, respons obat
farmakope dibandingkan terhadap Baku Pembanding Farmakope Indonesia atau baku
pembanding lain yang sesuai. Untuk mudahnya, setiap baku pembanding tersebut
disebut “Baku” dan setiap sediaan yang diuji atau contoh disebut “Uji” dan masing-
masing akan dinyatakan dengan simbol S dan U.
Setelah variabel terusut dari pembandingan Baku dan Uji ditiadakan, variansi
kesalahan dihitung dari variasi yang masih ada, yang meskipun tidak terkendali
namun dapat diukur. Variansi kesalahan diperlukan dalam menghitung interval
keyakinan dari potensi yang diuji. interval keyakinan juga disebut interval fidusial,
dihitung sedemikian sehingga batas tertinggi dan batas terendah dari 20 pengujian,
diharapkan 19 mendekati potensi sebenarnya sediaan uji. Banyak prosedur pengujian
menetapkan rentang interval keyakinan yang dapat diterima, dan mungkin diperlukan
dua atau lebih pengujian independen untuk memenuhi batas yang disyaratkan. Batas
keyakinan dari masing-masing pengujian komponen umumnya tumpang tindih.
E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIOAVAILABILITAS
1. Sifat fisika kimia obat
Faktor yang sangat mempengaruhi disolusi seperti bentuk kristal, amorf,
polimorfi, solvate memiliki kelarutan yang berbeda-beda. Sifat asam bebas, basa
bebas, atau bentuk garam dalam mempengaruhi kelarutan dari sifat produk yang
diuji.
2. Faktor formulasi
Dalam merancang suatu produk obat akan melepaskan obat aktif pada sediaan
yang dibuat secara sistemik harus mempertimbangkan:
2.1. Jenis produk obat
2.2. Sifat bahan tambahan dalam produk obat
2.3. Sifat fisiko kimia obat itu sendiri.

Sediaan obat uang diberikan dengan rute oral , kemungkinan bioavailabilitasnya


kurang dari 100% karena :
 Obat yang tidak diabsorpsi secara sempurna
 First Pass Elimination atau eliminasi lintas pertama obat dalam proses
absorpsi mrnrmbus dinding usus, darah vena porta mengirimkan obat ke hati
sebelum masuk kedalam sistem sirkulasi sistemik dan dimetabolisme
didalam darah vena porta atau bahkan didalam dinding usus kemudian hati
bertugas mengekskresikan obat ke dalam empedu.
Pada sediaan suppositoria untuk bahan dasar yang digunakan sangat berpengaruh
pada pelepasan zat terapetik. Lemak cokelat yang cepat meleleh pada suhu tubuh
dan tidak tercampurkan oleh cairan tubuh sehingga dapat menghambat difusi
obat yang larut dalam lemak pada tempat yang diobati. Polietilen glikol adalah
bahan dasar yang sesuai untuk beberapa antiseptik. Jika diharapkan bekerja
secara sistemik, lebih baik menggunakan bentuk ionik dari pada nonionik, agar
diperoleh ketersediaan hayati yang maksimum
3. Laju absorpsi
Bioekivalensi merupakan perbandingan bioavailabilitas dari dua atau lebih produk
obat dan dua produk atau formulasi yang mengandung zat aktif sama dikatakan
bioekivalen jika kecepatan dan jumlah yang diabsorpsi sama.
F. LAJU ABSORBSI OBAT
Obat yang digunakan secara oral akan melalui tiga fase, yaitu fase farmasetik
(disolusi), fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik.
1. Fase farmasetik
Sekitar 80% obat diberikan melalui mulut, oleh karena itu farmasetik (disolusi)
adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat
perlu dilarutkan agar dapat diabsorpsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil)
harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam
cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi.
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan pelembam
yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran
tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam obat
seperti ion kalium (K) dan natrium (Na) dalam kalium penisilin dan natrium
penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk di
absorpsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan
penambahan kalium atau natrium kedalam penisilin, maka obat lebih banyak
diabsorpsi. Sekresi gaster bayi mempunyai pH yang lebih tinggi (basa) daripada
orang dewasa, sehingga bayi menyerap lebih banyak penisilin.
Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih
kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam
cairan gastrointestinal untuk diabsorpsi. Rate limiting adalah waktu yang
dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk
diabsorpsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh
saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya, obat-
obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam yang
mempunyai pH1 atau 2 daripada basa.
Obat-obat dengan enteric-coated, EC (selaput enteric) tidak dapat didisintegrasi
oleh asam lambung, sehingga didisintegrasinya baru terjadi jika berada dalam
suasana basa didalam usus halus. Tablet enteric coated dapat bertahan di dalam
lambung untuk jangka waktu lama, sehingga oleh karenanya obat-obat yang
demikian kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat.
2. Fase farmakokinetik
Fase farmakokinetik merupakan proses pergerakan obat agar mencapai kerja obat,
terdapat empat proses, yaitu:
2.1.Absorbsi
Pergerakan partikel –partikel obat dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan
tubuh melalui absorpsi pasif, absorbsi aktif atau pinositosis.
a. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat tidak
memerlukan energy untuk menembus membrane.
b. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan
perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-
obat menembus membrane.
c. Pinositiosis berarti membawa obat menembus membrane dengan proses
menelan.

Beberapa obat tidak langsung masuk kedalam sirkulasi sistemik setelah


absorpsi tetapi melewati lumen usus masuk ke dalam hati, melalui vena porta.
Di dalam hati, kebanyakan obat dimetabolisasi menjadi bentuk yang tidak aktif
untuk diekskresikan, sehingga mengurangi jumlah obat yang aktif. Proses ini
dimana obat melewati hati terlebih dahulu disebut sebagai efek first-pass, atau
first-pass hepatic. Contoh-contoh obat-obat dengan metabolism first pass
adalah warfarin (Coumadin) dan morfin. Lidokain dan nitro-gliserin tidak
diberikan secara oral, karena kedua obat ini mengalami metabolism first pass
yang luas, sehingga sebagian besar dari dosis yang diberikan akan
dihancurkan.
2.2.Distribusi
Proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh.
Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan
penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein.
Ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan protein
(terutama albumin) dalam derajat yang berbeda-beda. Obat-obat yang lebih
besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat yang
berikatan dengan tinggi protein. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi
dengan protein adalah diazepam (valium): yaitu 98% berikatan dengan protein.
Aspirin 49% berikatan dengan protein dan termasuk obat yang berikatan
sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian
obat selebihnya yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat
yang bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan
dapat menimbulkan respons farmakologik. Dengan menurunnya kadar obat
bebas dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan
dibebaskan dari ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari
obat yang dalam bentuk bebas.
Abses, eksudat, kelenjar dan tumor juga mengganggu distribusi obat.
Antibiotik tidak dapat dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan
eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu,
seperti lemak, tulang, hati, mata dan otot.
2.3.Metabolisme atau Biotransformasi
Hati adalah tempat utama untuk proses metabolisme. Obat diinaktifkan oleh
enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh enzim-
enzim hati ,menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk
diekskresikan, namun ada beberapa obat yang ditransformasikan menjadi
metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respon farmakologi. Untuk kondisi
penyakit seperti sirosis dan hepatis berpengaruh pada proses metabolisme
obat.
Metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya pada
kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan
lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan
secara terus menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat
2.4.Ekskresi atau Eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi
empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat dan air susu ibu. Obat bebas yang
tidak berikatan yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi
oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh
ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannnya dengan protein, maka obat menjadi
bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urine. pH urine mempengaruhi
ekskresi obat. pH urine bervariasi dri 4,5 sampai 8. Urine yang asam
meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin, suatu
asam lemah diekskresikan dengan cepat dalam urine yang basa. Jika seseorang
meminum aspirin dalam dosis berlebihan, natrium bikarbonat dapat diberikan
untuk mengubah pH urine menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang
banyak dapat menurunkan pH urine, sehingga terbentuk urine yang asam.
3. Fase farmakodinamik
Efek obat terhadap fisiologis dan biokimia seluler dan mekanisme kerja obat.
Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-
duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa
diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek primer
dan sekunder adalah difenhidramin (Benadryl), suatu antihistamin. Efek primer
dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi dan efek
sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa
kantuk.
3.1.Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai
mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC=minimum effective
concentration).
3.2.Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah
atau plasma.
3.3.Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.

Daftar Pustaka

Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Pedoman Uji Bioekivalensi.
(Jakarta, BPOM).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Farmakope Indonesia Ed VI. (Jakarta:


KEMENKES RI).

https://www.rijalhabibulloh.com/2014/06/tugas-farmakologi.html

Anda mungkin juga menyukai