Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Analisa Perencanaan


a. Suatu pabrik ingin melakukan uji BA (Bioavailabilitas) dan BE (Bioekivalensi)
yang berkaitan dengan beberapa hal berikut, yaitu :
1.

Tujuan Umum:
Untuk menjamin efikasi, keamanan, dan mutu produk obat yang beredar.

2.

Tujuan Khusus:

o Untuk menentukan bioavailabilitas absolutdan relatif suatu zat kimia baru,


serta bioekivalensi zat tersebut dalam formulasi untuk uji klinik dan dalam
produk yang akan dipasarkan.
o Untuk menjamin produk obat copy yang akan mendapatkan izin edar

bioekivalen dengan produk obat inovatornya.


Studi bioavailabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah bahan
aktif atau bagian aktif yang diabsorpsi dari suatu produk obat dan ketersediaan pada
site aksi (Shargel, 2012). Menurut PBOM 2004 studi bioavailabilitas merupakan
persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai / tersedia
dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/ aktif setelah pemberian produk obat
tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya
dalam urin. Bioavailabilitas absolut: bila dibandingkan dengan sediaa intravena
yang bioavailabilitasnya 100%. Bioavailabilitas relatif: bila dibandingkan dengan
sediaan bukan intravena. Studi bioavailabilitas berguna dalam menetapkan pengaruh
perubahan sifat fisikokimia bahan obat dan pengaruh produk obat (bentuk sediaan)
pada farmakokinetik obat.

Studi bioekivalensi menggambarkan produk ekuivalen farmasetik (dua produk


mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sediaan yang
sama ) atau alternatif farmasetik (dua produk obat mengandung zat aktif yang sama
tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester, dsb.) atau bentuk sediaan atau
kekuatan) yang menunjukkan bioavailabilitas sebanding bila diteliti dibawah kondisi
percobaan yang sama (Shargel, 2012).

Menurut PBOM 2004 dua produk obat

disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau


merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis moral yang sama
akan menghasilkan biovailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama,
dalam hal efikasi maupun keamanan. Studi bioekivalensi bertujuan untuk
membandingkan bioavailabilitas obat yang sama dari berbagai produk obat. Dalam
melakukan studi bioekivalensi dipilih satu formula obat sebagai standar pembanding
terhadap formulasi obat lain yang dibandingkan. Produk obat pembanding diberikan
rute yang sama sebagaimana formulasi pembanding, untuk studi bioekivalensi suatu
obat (Shargel, 2012).
Uji BA (Bioavailabilitas) dan BE (Bioekivalensi) ini diperlukan karena metode
pabrikasi dan formulasi dapat mempengaruhi bioavailabilitas suatu produk obat.
b. Regulasi pemerintah (BPOM atau FDA) mempersyaratkan dilakukannya uji BA
(Bioavailabilitas) dan BE (Bioekivalensi) produk obat. Menurut Peraturan Kepala
BPOM Republik Indonesia Tahun 2011 tentang obat wajib uji ekivalensi
menyatakan bahwa:

Obat Copy wajib dilakukan Uji Ekivalensi

Uji Ekivalensi terhadap Obat Copy dilakukan dengan pembanding Obat


Komparator dengan tujuan untuk pembuktian ekivalensi suatu obat Copy

Uji Ekivalensi terdiri atas uji Bioekivalensi atau Uji Disolusi Terbanding

Uji bioekivalensi wajib dilakukan untuk obat Copy sesuai dengan kelas terapi
(tertera pada lampiran Peraturan Kepala BPOM tahun 2011 tentang Obat Wajib
Uji Ekivalensi)

Selain obat Copy pada kelas terapi yang sama wajib dilakukan uji disolusi
terbanding

Terhadap Obat Copy pertama dapat dipersyaratkan untuk wajib dilakukan Uji
Bioekivalensi berdasarkan hasil pengkajian
Regulasi obat dalam Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Tahun 2011

tentang obat wajib uji ekivalensi tersebut dimaksudkan untuk menjamin efikasi,
keamanan dan mutu suatu produk obat (obat baru) sebelum dipasarkan. Uji BA-BE
ini juga digunakan untuk menjamin mutu suatu produk obat copy apakah
bioekivalen dengan produk obat inovatornya agar mendapatkan izin edar dan dapat
dipasarkan.
Daftar obat Copy yang mengandung zat aktif wajib Uji Bioekivalensi menurut
Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Tahun 2011 tentang obat wajib uji
ekivalensi yaitu :

OBAT DIABETES : Acarbose, Glibenclamide, Gliclazide, Glimepiride,


Glipizide, Gliquidone, Metformin, Nateglinide, Pioglitazone, Repaglinide

ANTITROMBOTIK : Cilostazol, Clopidogrel, Warfarin

OBAT KARDIOVASKULAR
Anti aritmia : Amiodarone, Disopyramide, Digoxin
Anti angina : Isosorbide Dinitrate
ANTIHIPERTENSI
Diuretik : Furosemide, Indapamide, Spironolakton
Beta Bloker : Atenolol, Bisoprolol, Carvedilol, Metoprolol
Antagonis Kalsium : Nifedipine dan Nimodipine
Penghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme) : Captopril, Enalapril,
Lisinopril, Perindopril, Ramipril
Antagonis Reseptor Angiotensin II : Candesartan, Irbesartan, Losartan, Valsartan
3

OBAT PENURUN KADAR LIPID : Atorvastatin, Fenofibrat, Gemfibrozil

KONTRASEPSI HORMONAL SISTEMIK : Desogestrel, Estradiol sipionat,


Ethynil estradiol, Levonorgestrel, Linestrenol

OBAT SALURAN KEMIH


Obat untuk Disfungsi Ereksi : Sildenafil dan Tadalafil
Obat untuk BPH (Benign Prostatic Hypertrophy) : Tamsulosin dan Terazosin
ANTI INFEKSI
Antibiotik Sistemik : Azithromycin, Cefixime, Cefpodoxime, Ciprofloxacin,
Doxycycline, Levofloxacin, Ofloxacin
Antimikotik Sistemik : Fluconazole, Itraconazole, Ketoconazole, Voriconazole
Obat Tuberculosis : Rifampicin
Antiviral Sistemik : Aciclovir, Didanosine, Efavirenz, Entecavir, Lamivudine,
Nevirapine, Ribavirin, Stavudine, Zidovudine
Anti Malaria : Artemether dan Artesunate

OBAT OSTEOPOROSIS : Alendronate, Clodronate, Risedronate

OBAT SISTEM SARAF PUSAT


Antiepilepsi : Carbamazepine, Gabapentin, Levetiracetam, Phenytoin, Valproic
acid
Anti Parkinson : Levodopa
Antipsikotik : Clozapine, Olanzapine, Risperidone
Antiansietas : Alprazolam
Hipnotik dan Sedatif : Zolpidem
Antidepresan : Amitriptyline dan Imipramin
Psikostimulan : Methylphenidate
Lain-lain : Naltrexone
c. Sebelum dilakukan uji BA (Bioavailabilitas) dan BE (Bioekivalensi) ada beberapa

uji yang harus dilakukan untuk menyatakan suatu produk tersebut layak edar atau
tidak. Menurut PBOM 2004 protokol uji harus lolos kaji etik terlebih dahulu
sebelum uji dapat dimulai. Sebelum dilakukan uji bioekivalensi in vivo terlebih

dahulu dilakukan uji ekivalensi in vitro. Uji ekivalensi in vitro dilakukan dengan
uji

disolusi

terbanding,

sebagai

uji

pendahuluan

untuk

memprediksi

bioavailabilitas dan bioekivalensi produk obat. Sebelum dilakukan uji disolusi


terbanding, terlebih dahulu dilakukan uji fisika dan kimia terhadap produk obat
inovator maupun produk uji. Yang termasuk dalam uji fisika yaitu keseragaman
bobot, kekerasan, ketebalan, panjang, lebar, kerapuhan, disintegrasi dan Uji
kimia obat dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri UV yang
telah divalidasi. Kemudian dilakukan uji keseragaman kadar produk uji dan
produk pembanding. Perbedaan kadar produk uji dan produk pembanding tidak
boleh lebih dari 5%.
Persyaratn obat-obat yang hanya perlu dilakukan uji bioekivalens in vitro (biowaiver)
menurut BPOM 2004 yaitu :
Produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo yaitu apabila produk obat ada
dalam sediaan yang sama tetapi dalam kekuatan yang berbeda, dan perbandingan
bahan inaktif dan aktif sama.
Produk obat copy yang hanya berbeda kekuatan uji disolusi terbanding dapat
diterima untuk kekuatan yang lebih rendah berdasarkan perbandingan profil
disolusi.
1) Tablet lepas cepat produk obat copy dengan kekuatan berbeda, yang dibuat
oleh pabrik obat yang sama di tempat produksi yang sama, jika:
- semua kekuatan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama
atau untuk zat aktif yang sangat poten (sampai 10 mg persatuan dosis), zat
inaktifnya sama banyak untuk semua kekuatan;)
- studi ekivalensi telah dilakukan sedikitnya pada salah satu kekuatan ( biasanya
kekuatan yang tertinggi, kecuali untuk alasan keamanan dipilih kekuatan yang
lebih rendah)

2) Kapsul berisi butir-butir lepas lambat jika kekuatannya berbeda hanya dalam
jumlah butir yang mengandung zat aktif, maka perbandingan profil disolusi (f 2
5) dengan satu kondisi uji yang direkomendasi sudah cukup.
3) Tablet lepas lambat. Jika produk uji dalam bentuk sediaan yang sama tetapi
berbeda hanya dalam jumlah butir yang mengandung zat aktif dan inaktif yang
persis sama atau untuk zat aktif yang sangat poten (sampai 10 mg persatuan
doses) zat inaktifnya sama banyak, dan mempunyai mekanisme pelepasan obat
yang sama, kekuatan yang lebih rendah tidak memerlukan studi in vivo jika
menunjukkan profil disolusi yang mirip, f2 50 dalam 3 pH yang berbeda (antara
pH 1.2 dan 7.5) dengan metode uji yang direkomendasi.
Berdasarkan sistem klasifikasi biofarmaseutik (Biopharmaceutic Classification
System = BCS) dari zat aktif serta karakteristik disolusi dan profil disolusi dari
produk obat. Berlaku untuk produk obat oral lepas cepat, tetapi tidak berlaku untuk
produk obat lepas cepat yang bekerja secara sistemik
1) Zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi dan permeabilitas dalam usus
yang tinggi (BCS kelas 1), serta:
-

Produk obat memiliki disolusi yang sangat cepat, atau;

- Produk obat memiliki disolusi yang cepat dan profil disolusinya mirip dengan
produk pembanding.
2) Zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi tetapi permeabilitas dalam
usus yang rendah (BCS kelas 3) serta:
- produk obat memiliki profil disolusi yang cepat pada pH 6.8, dan;
- Produk obat memiliki profil disolusi yang mirip dengan produk pembanding
(juga berlaku jika disolusi < 10 % pada salah satu pH).
Catatan :
BCS dari zat aktif
- kelas 2: kelarutan dalam air tinggi, permeabilitas dalam usus tinggi;
- kelas 2: kelarutan dalam air rendah, permeabilitas dalam usus tinggi;

- kelas 3 : kelarutan dalam air tinggi, permeabilitas dalam usus rendah);


- kelas 4 : kelarutan dalam air rendah, permeabilitas dalam usus rendah.
Kelarutan dalam air tinggi (dari zat aktif): Jika dosis tertinggi yang
direkomendasi WHO (jika terdapat dalam Daftar Obat Esensial WHO) atau
kekuatan dosis tertinggi (yang ada di pasar) dari produk obat larut dalam 250ml
media air pada kisaran pH 1,2 s/d 6,8 pada suhu 37 1oC. Penentuan kelarutan
pada setiap pH harus dilakukan minimal triplo.
Kelarutan dalam usus tinggi (dari zat aktif): Jika absorpsi pada manusia > 85%
dibandingkan dosis intravena dari pembandingnya.

1.2 Perencanaan Riset


Perancangan dosis suatu sediaan obat di Bagian Riset dan Pengembangan Industri
Obat dan akan melakukan uji Bioavailibilitas dan Bioekivalensi (BA/BE).
a.

Berkaitan dengan apa suatu pabrik ingin melakukan uji BA-BE ?

b.

Apakah regulasi pemerintah (BPOM atau FDA) mempersyaratkan? Jelaskan


dasarnya!

c.

Uji BA-BE dilakukan untuk menjamin mutu produk, maka sebelum uji BA-BE
harus dilakukan uji apa saja hingga suatu produk dinyatakan layak edar atau
tidak? Jelaskan secara bertahap!

d.

Carilah dan buatlah analisis data uji disolusi terbanding dari produk me too
berikut ini:
i.

Amlodipin

ii.

Clopidogrel

iii.

Fenitoin

- Susunlah metode untuk melakukan uji disolusi terbanding obat tersebut


berdasarkan

persyaratan

BPOM,

FDA,

penelitian

terdahulu

yang

dipublikasikan di jurnal terkini (minimal 10 tahun terakhir) dan pustaka.


Pustaka yang digunakan harus dicantumkan.
- Jelaskan persyaratn obat-obat yang hanya perlu dilakukan uji bioekivalens in

vitro (biowaiver)
e.

Buatlah analisis dan susunlah protokol uji BE obat tersebut berdasarkan


persyaratan BPOM, FDA, penelitian terdahulu yang dipublikasikan di jurnal
terkini (minimal 10 tahun terakhir) dan pustaka. Pustaka yang digunakan harus
dicantumkan

BAB II
8

UJI DISOLUSI TERBANDING


DAN STUDI BIOAVAILABILITAS-BIOEKIVALENSI

2.1

Uji Disolusi Terbanding

2.1.1

Amlodipin
Amlodipin merupakan obat antihipertensi dan antiangina yang tergolong dalam

obat antagonis kalsium golongan dihidropiridi.Amlodipin bekerja dengan selektif


menghambat influks ion kalsium melalui membran ke dalam otot polos vaskular dan
otot jantung sehingga mempengaruhi kerja kontraksi otot polos vaskular dan otot
jantung. Efek antihipertensi amlodipine, bekerja langsung sebagai vasodilator arteri
perifer yang dapat menyebabkan terjadinya

penurunan resistensi vaskular serta

penurunan tekanan darah. Sedangkan untuk efek antiangina amlodipine, melalui


dilatasi arteriol perifer sehingga dapat menurunkan resistensi perifer total. Disamping
itu Amlodipin juga tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, pengurangan
beban dari jantung yang menyebabkan penurunan kebutuhan akan asupan oksigen
miokardial serta kebutuhan energy (Goodman dan Gilman, 2011)

A. Alat dan bahan

Bahan: amlodipine 5 mg generik dan innovator, baku amlodipine, methanol,


asetonitril, asam klorida 0,1 N, trietanolamin (Merck), asam fosfat (Merck),
aquadem.
Alat:

alat disolusi (Hanson), KCKT (Waters), kolom C18, detektor UV pada


panjang gelombang 237 nm.

B. Ketentuan Uji Disolusi Terbanding Sediaan Tablet Amlodipin 5 mg

Media disolusi
500 ml asam klorida 0,1 N (PH 1,2) (FDA, 2015; Shohin et al., 2010), PH 4,5

(buffer asetat) dan buffer fosfat (6,8)

Alat
USP apparatus II at 75 rpm (paddle-type) (Anumolu et al., 2014), seperangkat

alat disolusi (Hanson), KCKT (Waters), kolom C18, detektor UV pada panjang
gelombang 237 nm (Alegantina dan Isnawati, 2015).

Suhu Pengujian
37 0,5C(Anumolu et al., 2014).

Lama Uji
60 menit (Anumolu et al., 2014)

Prosedur penetapan kadar


Konsentrasi amlodipin diukur dengan HPLC pada detektor 237 nm menggunakan

fase gerak campuran buffer fosfat pH 3,0; metanol HPLC grade; asetonitril pro HPLC

10

(50:35:15), pelarut metanol HPLC grade, laju alir 1 mL/menit, dan run time 30 menit
(Alegantina dan Isnawati, 2015).

Toleransi
Dalam waktu 30 menit pada semua pH jumlah obat yang terlarut tidak kurang

dari 85% (Shohin et al., 2010; Alegantina dan Isnawati, 2015).

C. Cara Kerja
1. Penyiapan media pada suhu 37 C
2. Preparasi Baku (Alegantina dan Isnawati, 2015) untuk penetapan kadar tablet
amlodipin.
a. 5 tablet amlodipin (5 mg) dihaluskan
b. larutkan dalam campuran methanol : asetonitril : buffer (35:15:50).
c. masukkan dalam labu ukur secara kuantitatif ad 100 ml (0,25 mg/ml)
d. lakukan pengukuran kadar dengan cara menyuntikkan secara terpisah larutan
baku amlodipin yang mengandung amlodipin besilat dengan menggunakan
HPLC.
e. buat pengenceran 0 ppm, 2,5 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm.
3. Pembuatan kurva baku
Baku induk: amlodipine 25 mg/100 ml = 250 ppm
Baku kerja:
1 ml/100 ml x 250 = 2,5 ppm
1 ml/50 ml x 250 = 5 ppm
2 ml/50 ml x 250 = 10 ppm
3 ml/50 ml x 250 = 15 ppm
4 ml/50 ml x 250 = 20 ppm
kurva baku

11

No.
Konsentrasi (ppm)
Serapan
1
2,5
2
5
3
10
4
15
5
20
4. Penentuan kecepatan disolusi tablet amlodipin 5 mg (Alegantina dan Isnawati,
2015)
a. Isi labu dengan media disolusi sebanyak 500ml
b. nyalakan alat uji, panaskan sampai suhu 37 0,5o C
c. input data meliputi suhu, waktu (10, 20, 30, 45, dan 60 menit) dan rpm (75rpm)
d. pasang alat pengaduk dengan ketinggian tertentu
e. setelah suhu mencapai 37 oC, masukkan amlodipin pada wadah dan segera
nyalakan alat
f. ambil 5ml larutan media setiap interval waktu (10, 20, 30, 40, 50, dan 60 menit),
tiap pengambilan larutan media, perlu melakukan penggantian media disolusi
sebanyak yang diambil. Pengambilan cuplikan pada daerah pertengahan antara
permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang, tidak kurang 1cm dari
dinding wadah.
g. ukur kadar tablet yang terlarut dengan Spektrofotometer UV pada panjang
gelombang maksimum 237 nm (Penetapan baku pembanding amlodipin dilakukan
dengan menimbang lebih kurang 25 mg amlodipin dan dimasukkan ke dalam labu
100 mL kemudian ditambahkan 10 mL metanol, diencerkan sampai tanda.
Sebanyak 2 mL larutan dimasukkan dalam labu 50 mL dan diencerkan sampai
tanda (10 ppm)
h. buat kurva % Q vs t
mg yang terlarut
%Q =

x 100%
Dosis

12

2.1.2

Clopidogrel
Clopidogrel adalah salah satu agen antiplatelet yang paling sering diresepkan.

kegunaan klinis dalam pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular ( CVD )


telah didirikan oleh beberapa uji klinis skala besar. Bentuk dasar clopidogrel tidak
stabil, karena proton yang labil di pusat kiral dan rentan hidrolisis metil ester.
Selanjutnya, basis clopidogrel memiliki kelarutan air rendah dan sulit untuk
dimurnikan karena tidak membentuk fase kristal padat. karena sifat-sifat fisik dasar
clopidogrel, formulasi garam yang berbeda telah disusun, termasuk hidrogen sulfat,
besylate, hidroklorida, resinate dan napadisilate garam. Formulasi garam spesifik
clopidogrel dapat mempengaruhi sejauh mana itu diserap, didistribusikan, dan
dieliminasi oleh tubuh. Akibatnya, menentukan sifat farmakokinetik obat dan karena
itu potensi farmakodinamiknya. Dengan demikian, memodifikasi formulasi garam
clopidogrel bisa berpotensi dan memiliki efikasi dan keamanan klinis .
Produk inovator clopidogrel (Plavix / Iscover) adalah garam hidrogen sulfat. Hal
ini dalam bentuk crystaline dapat meningkatkan kelarutan dibandingkan dengan basis
clopidogrel. Menyusul berakhirnya hak paten atas nama-merek, sejumlah generik
formulasi garam clopidogrel dikembangkan dan disetujui untuk pengobatan pasien
CVD. Penggunaan rutin formulasi clopidogrel generik ini meningkat di seluruh
dunia, terutama karena biaya secara signifikan lebih rendah daripada produk inovator.
Namun, harus dinyatakan bahwa bahkan perbedaan kecil dalam sifat farmakokinetik /
farmakodinamik dari berbagai garam clopidogrel generik dapat memiliki konsekuensi
klinis yang serius, terutama dalam situasi di mana keberhasilan terapeutic sangat
13

penting, seperti intervensi koroner perkutan pasca-awal (PCI). Meskipun ini


kemungkinan konsekuensi, ada upaya terus-menerus di seluruh dunia untuk
meningkatkan penggunaan rutin garam clopidogrel generik, terutama untuk alasan
biaya, meskipun ada data yang terbatas dalam CVD pasien untuk mendukung
keberhasilan klinis mereka dan keselamatan. Beberapa studi telah menyuarakan
keprihatinan penting tentang potensi farmakodinamik atau kemanjuran klinis dari
formulasi generik clopidogrel dibandingkan dengan garam inovator.

Gambar 2.1 : Struktur Kimia Clopidogrel Bisulfat


A. Alat dan Bahan

Bahan: Clopidogrel inovator brand, dan generic brand


B. Ketentuan Uji Disolusi Terbanding Sediaan Tablet clopidogrel 75 mg

Media disolusi
Asam klorida 0,1 N (PH 1,2) (FDA, 2015; Shohin et al., 2010), PH 4,5 (buffer
asetat) dan buffer fosfat (6,8)
Volume
1000 ml
14

Alat
Apparatus tipe 2 (paddle) 50 rpm

Suhu Pengujian
37 0,5 C

Waktu
30 menit (FI V, 2014)

Prosedur penetapan kadar


Lakukan penetapan jumlah C16H16ClNO2S yang terlarut dengan mengukur

serapan alikuot dan jika perlu diencerkan dengan media disolusi dan serapan larutan
baku pada panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang 240 nm (FI V, 2014)

Toleransi
Dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80% C16H16ClNO2S dari

jumlah yang tertera pada etiket (FI V, 2014)

C. Cara kerja uji disolusi


1. Penyiapan media pada suhu 37 C
2. Preparasi Baku untuk penetapan kadar tablet clopidogrel.
a. 6 tablet clopidogrel (75 mg) dihaluskan
b. larutkan dalam larutan HCl 100 ml.
c. masukkan dalam labu ukur secara kuantitatif ad 100 ml (4,5 mg/ml)
d. lakukan pengukuran kadar dengan cara menyuntikkan secara terpisah larutan
baku clopidogrel yang mengandung clopidogrel bisulfat dengan menggunakan
HPLC.
15

e.

buat pengenceran 0 ppm, 0,9 ppm, 1,8 ppm, 2,7 ppm, 3,6 ppm, 4,5 ppm dan

5,4 ppm.
3. Pembuatan kurva baku
Baku induk: 1. Clopidogrel 450 mg/100 ml = 4500 ppm
Baku kerja:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

1 ml/100 ml x 4500 = 45 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 0,9 ppm


2 ml/100 ml x 4500 = 90 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 1,8 ppm
3 ml/100 ml x 4500 = 135 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 2,7 ppm
4 ml/100 ml x 4500 = 180 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 3,6 ppm
5 ml/100 ml x 4500 = 225 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 4.5 ppm
6 ml/100ml x 4500 = 270 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 5,4 ppm

Kurva Baku
No.
1
2
3
4
5
6
7

Konsentrasi (ppm)
0
0,9
1,8
2,7
3,6
4,5
5,4

Serapan

4. Uji disolusi
a. Isi labu dengan media disolusi sebanyak 1000 ml
b. Nyalakan alat uji, panaskan sampai suhu 37 0,5o C
c. Input data meliputi suhu, waktu (60 menit) dan rpm (50rpm)
d. Pasang alat pengaduk dengan ketinggian tertentu
e. Setelah suhu mencapai 37 o C, masukkan Clopidogrel pada wadah dan segera
f.

nyalakan alat
ambil 5ml larutan media setiap interval waktu (10, 20, 30, 40, 50, dan 60
menit), tiap pengambilan larutan media, perlu melakukan penggantian media
disolusi sebanyak yang diambil. Pengambilan cuplikan pada daerah

16

pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang,
g.
h.

2.1.3

tidak kurang 1cm dari dinding wadah


Ukur kadarnya dengan Spektrofotometer UV pada panjang gelombang 249
nm
Buat kurva % Q vs t
mg yang terlarut
%Q =
x 100%
Dosis

Fenitoin
Fenitoin (5,5-difenilhidantoin) mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak

lebih dari 100,5% C15H11N2O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Fenitoin
merupakan serbuk putih, tidak berbau, dan melebur pada suhu lebih kurang 295.
Kelarutannya praktis tidak larut dalam air; larut dalam etanol panas; sukar larut dalam
etanol dingin, dalam kloroform dan dalam eter (Farmakope Indonesia IV, 1995).

A. Alat dan bahan


Alat yang digunakan dalam melaksanakan uji disolusi terbanding, yaitu:
apparatus tipe II pengaduk bentuk paddle, labu ukur, kuvet, pengaduk, corong, beaker
glass, pipet. Bahan yang digunakan dalam melaksanakan uji disolusi terbanding,
yaitu: Kapsul fenitoin 100 mg, Aquadest

B. Ketentuan uji pelarutan sediaan kapsul fenitoin 100 mg menurut USP 2010
17

Media disolusi
Asam klorida 0,1 N (PH 1,2) (FDA, 2015; Shohin et al., 2010), PH 4,5 (buffer
asetat) dan buffer fosfat (6,8)
Alat
Tipe II: 50 rpm
Suhu pengujian
370,5C
Lama uji
60 menit
Prosedur penetapan kadar
Dilakukan penetapan jumlah C15H11N2NaO2 yang terlarut secara HPLC. Fase

gerak yang digunakan adalah metanol : air (7 : 3), dengan penambahan jika
diperlukan. Standar yang digunakan adalah fenitoin dalam metanol, dan encerkan
dengan air agar tercapai konsentrasi yang mirip dengan larutan uji. Suntikkan larutan
standar dan uji secara terpisah (masing-masing 10 L) ke dalam kromatograf, rekam
hasilnya. Hitung kadarnya dalam mg.

Toleransi (untuk produk dengan label kapsul 100 mg)


Dalam waktu 30 menit harus larut tidak lebih dari 40%, 60% dalam 60 menit,

dan tidak kurang dari 70% dalam 120 menit (Q) C 16H19N3O4S dari jumlah yang tertera
pada etiket.

C. Cara kerja
1. Penyiapan media pada suhu 37 C
2. Preparasi Baku untuk penetapan kadar kapsul fenitoin.

18

a. 5 kapsul fenitoin (100 mg)


b. larutkan dalam air
c. masukkan dalam labu ukur secara kuantitatif ad 100 ml (5 mg/ml)
d. lakukan pengukuran kadar dengan cara menyuntikkan secara terpisah larutan
baku fenitoin dengan menggunakan HPLC.
e. buat pengenceran 0 ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,8 ppm, 1,2 ppm, dan 1,6 ppm.
3. Pembuatan kurva baku
Baku induk: fenitoin 100 mg/100 ml = 1000 ppm
Baku kerja:
0,5 ml/50 ml x 1000 = 10 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 0,2 ppm
1 ml/50 ml x 1000 = 20 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 0,4 ppm
2 ml/50 ml x 1000 = 40 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 0,8 ppm
3 ml/50 ml x 1000 = 60 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 1,2 ppm
4 ml/50 ml x 1000 = 80 ppm dipipet 2 ml/100 ml = 1,6 ppm

kurva baku
No.
1
2
3
4
5

Konsentrasi (ppm)
0,2
0,4
0,8
1,2
1,6

Serapan

4. Uji disolusi
a. Isi labu dengan media disolusi sebanyak 1000 ml
b. Nyalakan alat uji, panaskan sampai suhu 37 0,5o C
c. Input data meliputi suhu, waktu (60 menit) dan rpm (50rpm)
d. Pasang alat pengaduk (paddle) dengan ketinggian tertentu
19

e. Setelah suhu mencapai 37

C, masukkan Fenitoin pada wadah dan segera

nyalakan alat
f. Ambil 5 ml larutan media setiap interval waktu (10, 20, 30, 40, 50, dan 60
menit). Tiap pengambilan larutan media, perlu dilakukan penggantian media
disolusi sebanyak yang diambil. Pengambilan cuplikan pada daerah
pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang,
tidak kurang 1cm dari dinding wadah
g. Ukur kadarnya dengan Spektrofotometer UV pada panjang gelombang 310320 nm
h. Buat kurva % Q vs t
mg yang terlarut
%Q =
x 100%
Dosis

2.2

Study Bioavailabilitas-Bioekivalensi

2.2.1 Protokol Bioavailabilitas dan Bioekivalensi Amlodipin


Latar belakang
Amlodipine merupakan obat antihipertensi golongan CCBs yang bekerja
sebagai vasodilator dengan menghambat masuknya ion kalsium pada sel otot polos
vaskuler dan miokard sehingga tahanan perifer turun dan otot relaksasi.

20

Gambar 2.2 Struktur Amlodipin


Bioavailabilitas amlodipine relatif tinggi dibanding CCBs yang lain. Absorpsi
amlodipine terjadi secara pelan-pelan sehingga dapat mencegah penurunan tekanan
darah yang mendadak. Kadar amlodipine pada jam ke 24 masih 2/3 dari kadar
puncak. Waktu paruhnya panjang sehingga cukup diberikan sekali sehari. Obat ini
tidak perlu penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal karena dimetabolisme di
hati dan hanya sedikit sekali yang diekskresi dalam bentuk utuh lewat ginjal.
Tujuan penelitian
- Menjamin efikasi, keamanan dan mutu produk obat yang telah dirancang.
- Menentukan bioavailabilitas absolut dan relatif suatu zat kimia, serta bioekivalensi
zat tersebut dalam formulasi untuk uji klinik dan dalam produk yang akan
dipasarkan (BPOM, 2004).
Rancangan Penelitian
1. Desain studi yang digunakan untuk obat Amlodipin merupakan rancangan
penelitian single blind crossover (masing-masing subjek diberi masing-masing
obat yang disajikan secara acak dengan adanya waktu eliminasi obat sebelum
pemberian obat selanjutnya, variasi subjek dapat dikontrol dan dikurangi, subjek
dapat menjadi kontrol bagi dirinya, 1 subjek menerima produk yang diuji dan

21

standar pembanding, subjek/peneliti/tenaga medis tidak tahu obat apa yang


diterima apakah produk uji atau standar pembanding).
Studi dilakukan pada subyek yang sama (dengan desain menyilang) untuk

2.

menghilangkan variasi biologik antar subyek (karena tiap subyek menjadi


kontrolnya sendiri). Hal ini akan memperkecil jumlah subyek yang diperlukan.
Jadi untuk membandingkan 2 produk obat dilakukan study menyilang two way (2
3.

periode untuk pemberian 2 produk obat pada setiap subyek).


Pemberian obat yang pertama harus dilakukan secara acak agar efek urutan

4.

(order effect), maupun efek waktu (period effect), bila ada dibuat seimbang.
Kedua perlakuan dipisahkan oleh periode wash out yang cukup untuk eliminasi
produk obat yang pertama diberikan (biasanya >5 x t eliminasi) dari obat, atau
lebih lama jika mempunyai metabolit aktif dengan t lebih panjang. Jika obat
mempunyai kecepatan eliminasi yang sangat bervariasi antar subjek, maka
periode wash out yang diperlukan lebih lama untuk meperhitungkan kecepatan
eliminasi yang lebih rendah pada beberapa subjek. Karena itu untuk obat dengan
waktu paruh eliminasi yang panjang (>24 jam) dapat dipertimbangkan

5.

penggunaan desain 2 kelompok parallel.


Semua efek samping yang tidak diharapkan dilaporkan, diperiksa, atau

6.

didapatkan dari wawancara langsung maupun tidak langsung harus dicatat.


Dalam penelitian ini digunakan periode wash out selama 3 minggu:
Subjek
1
2
3
4
5

Waktu I
A
B
A
B
A

Produk obat
Wash out Waktu II
B
period
A
(21 hari)
B
A
B
22

6
7
8
9
10
11
12

B
A
B
A
B
A
B

A
B
A
B
A
B
A

Pemilihan Subjek
a.

Jumlah subjek: minimal 12 orang, kecuali dalam kondisi khusus yang perlu
penjelasan. Pada umumnya dibutuhkan 18-24 subyek.

b.

Kriteria:
Relawan sehat dewasa laki-laki atau perempuan berusia 18-55 tahun; subjek

bukan perokok atau perokok sedang (kurang dari 10 batang sehari) selama minimal 3
bulan; tidak mengkonsumsi alcohol; beratnya setidaknya 60 kg untuk laki-laki
dan 52 kg untuk wanita dan dalam 15% dari bobot ideal mereka (BMI 17.526.4
kg/m2); sukarelawan bersedia mengisi persetujuan tertulis untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini; kadar hemoglobin 13 gm/dL
c. Kriteria ekslusi sampel
Riwayat adanya penyakit kardiovaskular yang signifikan, paru, hati, ginjal,
hematologi, gastrointestinal, endokrin, kekebalan, kulit, neurologis, atau penyakit
kejiwaan; pasien hipersensitif dengan amlodipin; selain itu, Riwayat:
-

alkoholisme atau penyalahgunaan obat dalam satu tahun terakhir;


hipersensitivitas atau reaksi idiosinkratik untuk amlodipine atau kalsium channel
blocker lainnya.

23

Subyek perempuan yang sedang hamil atau menyusui; subjek yang diuji positif HIV,
HbsAg atau HEV; subyek yang mempunyai tekanan darah kurang dari 110/60 adalah
mmHg pada screening atau 100/55 mmHg sebelum dosis; subyek yang mempunyai
denyut nadi lebih rendah dari 55 b.p.m. di screening atau 50 b.p.m. sebelum dosis;
subyek yang telah menggunakan obat-obatan atau zat yang dikenal sebagai inhibitor
kuat dari enzim CYP (sebelumnya dikenal sebagai enzim sitokrom P450) dalam
waktu 10 hari sebelum dosis pertama; subyek yang telah menggunakan obat-obatan
atau zat yang dikenal sebagai pemicu kuat enzim CYP (sebelumnya dikenal sebagai
enzim sitokrom P450) dalam waktu 28 hari sebelum dosis pertama; subyek yang telah
di diet khusus (untuk alasan apapun) selama 28 hari sebelum dosis pertama dan
selama penelitian; subyek yang, melalui penyelesaian studi, akan menyumbangkan
lebih dari: 500 mL darah Dalam 14 hari; 1500 mL darah di 160 hari; 2500 mL darah
Dalam 1 tahun; subyek yang telah berpartisipasi dalam uji klinis lain dalam 28 hari
sebelum dosis pertama.

Prosedur
A. Perlakuan terhadap subjek
a)

Subjek dikumpulkan jam 6 pagi untuk menghadiri unit pagi, sebelumnya subjek
berpuasa dari makanan dan minuman (kecuali air mineral) dari jam 9 malam,
diambil darahnya sebelum diberikan dosis pertama (pre-dosis)

b)

Pada pukul 7 pagi diberikan dosis pertama 1 tablet amlodipin 10 mg dosis


tunggal dengan 200 mL air
24

c)

Makan siang dan malam diberikan 4 jam dan 10 jam setelah pemberian obat.
Pada hari-2 dan 3, sarapan diberikan pada titik waktu 24 dan 48 jam. Pada hari
kedua makan siang dan makan malam diberikan pada waktu yang sama seperti
pada hari 1. Semua makanan dan cairan yang diambil oleh subyek harus
distandardisasi berkaitan dengan jenis, jumlah dan waktu pemberian selama
sampling periode.

d) 3 minggu setelah pemberian obat pertama (periode washout), prosedur yang


sama diulang dengan obat alternatif.
e)

Satu dokter dan dua perawat dengan kualifikasi yang memadai dan pelatihan
yang hadir pada saat dosis dan tinggal di situs sampai relawan terakhir
meninggalkan unit studi; setelah itu mereka dapat dimonitoring melalui telepon
seluler

f)

Tanggal dan waktu pengambilan dicatat dalam Laporan Kasus Form (CRF).

g) Subjek diambil darahnya 10 ml sebelum diberi obat (kontrol) dan 10 ml pada


waktu:
Waktu Pengambilan Sample
t0
0,00
t1
3 jam
t2
5 jam
t3
6 jam
t4
7 jam
t5
8 jam
t6
9 jam
t7
10 jam
t8
11 jam
t9
12 jam
t10
15 jam

Pengambilan Sample
1 titik saat C0
2 titik sampel sebelum Cmax
4 titik sampel sekitar Cmax
8 titik sampel setelah Cmax (3 x t =
48 jam

25

t11
t12
t13
t14

24 jam
48 jam
96 jam
144 jam

Sampel darah harus diambil, pada waktu-waktu tertentu, sehingga dapat


menggambarkan fase-fase absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat. Menurut BPOM,
untuk kebanyakan obat diperlukan minimal 12 sampel darah, yakni:
1 sampel sebelum obat: pada waktu nol (to)
2-3 sampel sebelum kadar maksimal (C max)
4-6 sampel sekitar Cmax
5-8 sampel setelah C max,

sampai sedikitnya 3 atau lebih aktu paruh eliminasi

obat dalam plasma, (> 3xt ).


Dengan demikian akan diperoleh AUC (luas area dibawah kurva kadar obat
terhadap waktu) sedikitnya 80% dari AUC yang diekstrapolasi ke tidak terhingga ()

B. Perlakuan terhadap sampel darah


Plasma dipisahkan dari sampel darah dengan sentrifugasi pada 3000 rpm selama
25 menit, dan disimpan dalam freezer pada -20 C sampai dianalisis. Konsentrasi
amlodipin diukur menggunakan HPLC.
C. Kriteria Pengeluaran Sampel

26

Jika pada t0 ditemukan obat dengan kadar 5% Cmax, maka data dari subjek ini
dapat dimasukkan dalam analisis tanpa penyesuaian. Namun jika C 0 > 5% Cmax,

maka subjek harus dikeluarkan dari analisis.


Jika subjek muntah atau sebelum 2x median tmax pada studi ini, maka data
subjek ini harus dikeluarkan dari analisis.

D. Parameter
- Cmax = kadar puncak maksimal obat yang teramati.
- tmax

= waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai Cmax

- t1/2

= waktu paruh obat dalam plasma ( serum atau darah )

- AUC

= Area di bawah kurva kadar obat dalam plasma (atau serum atau darah)
terhadap waktu

- AUCoo = AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga.

2.2.2

Clopidogrel

Protokol Bioavailabilitas dan Bioekivalensi Clopidogrel


27

Latar belakang
Clopidogrel merupakan suatu antiplatelet, yang menurunkan resiko pembentukan
gumpalan darah. Normalnya saat terjadi kerusakan pada pembuluh darah kecil,
gumpalan darah akan terbentuk dan menutup aliran pada pembulh darah. Sel-sel kecil
pada darah yang disebut platelet
Tujuan penelitian
- Menjamin efikasi, keamanan dan mutu produk obat yang telah dirancang.
- Menentukan bioavailabilitas absolut dan relatif suatu zat kimia, serta bioekivalensi
zat tersebut dalam formulasi untuk uji klinik dan dalam produk yang akan
dipasarkan (BPOM, 2004).
Rancangan Penelitian
Desain studi yang digunakan untuk obat Clopidogrel digunakan rancangan
penelitian Latin Square Crossover/ Random Crossover (masing-masing subjek diberi
masing-masing obat yang disajikan secara acak dengan adanya waktu eliminasi obat
sebelum pemberian obat selanjutnya variasi subjek dapat dikontrol & dikurangi,
subjek dapat menjadi kontrol bagi dirinya, 1 subjek menerima produk yang diuji &
standar pembanding). Penelitian dengan desain Latin Square (LS) memungkinkan
peneliti untuk mengontrol variasi yang terjadi pada dua arah. Biasanya ukuran kolom
LS yang digunakan adalah 5x5 sampai 8x8.
Studi dilakukan pada subyek yang sama (dengan desain menyilang) untuk
menghilangkan variasi biologik antar subyek (karena tiap subyek menjadi kontrolnya
sendiri). Hal ini akan memperkecil jumlah subyek yang diperlukan. Jadi untuk
28

membandingkan 2 produk obat dilakukan study menyilang two way (2 periode untuk
pemberian 2 produk obat pada setiap subyek).
Pemberian obat yang pertama harus dilakukan secara acak agar efek urutan
(order effect), maupun efek waktu (period effect), bila ada dibuat seimbang.
Kedua perlakuan dipisahkan oleh periode wash out yang cukup untuk eliminasi
produk obat yang pertama diberikan (biasanya >5 x t eliminasi) dari obat, atau lebih
lama jika mempunyai metabolit aktif dengan t lebih panjang. Jika obat mempunyai
kecepatan eliminasi yang sangat bervariasi antar subjek, maka periode wash out yang
diperlukan lebih lama untuk meperhitungkan kecepatan eliminasi yang lebih rendah
pada beberapa subjek. Karena itu untuk obat dengan waktu paruh eliminasi yang
panjang (>24 jam) dapat dipertimbangkan penggunaan desain 2 kelompok parallel.
Dalam penelitian ini digunakan periode wash out selama 1 minggu
Subjek
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Produk obat
Waktu I
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B

Wash out
period
(7 hari)

29

Waktu II
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A

Pemilihan Subjek
Jumlah subjek: 24 subjek
Kriteria:
Sukarelawan pria dan wanita dewasa yang sehat; usia 18-40 tahun; body Mass
Index antara 19-26; mampu berpartisipasi, berkomunikasi dengan baik dengan para
peneliti dan bersedia untuk memberikan informed consent;
Kriteria ekslusi sampel:
Tidak mempunyai catatan gangguan gastrointestinal, hepar, ginjal, atau hematologi;
tidak memiliki Alergi clopidogrel; kontraindikasi atau hipersensitif terhadap obat;
Pada saat penelitian mengalami efek samping dari obat; menderita penyakit akut
tertentu, sehingga harus meminum obat lain (c/: diare, demam berdarah)

Prosedur
A. Perlakuan terhadap subjek
Subyek tidak boleh minum obat (obat bebas dan obat tradisional) selama 1 bulan

terakhir dan jika memang ada menggunakan obat, maka disebutkan obatnya.
Subjek dalam penelitian ini akan diberikan 2 macam obat yaitu copy generik
Clopidogrel dosis tunggal 75 mg sebagai produk uji dan inovator Plavix dosis
tunggal 75 mg sebagai produk pembanding. Obat diminum bersama dengan air

200 ml.
Pada pagi hari periode pertama uji (jam 7 pagi) sebelum diberi Clopidogrel
diambil dan diukur terlebih dahulu sebagai sampel pada t0.

30

Makan pagi dan makan siang subyek diberikan 4 dan 6 jam setelah pemberian

obat.
Subjek diambil darahnya sebelum diberi obat (kontrol) dan pada waktu:
Sampel darah harus diambil, pada waktu-waktu tertentu, sehingga dapat

menggambarkan fase-fase absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat. Menurut BPOM,


untuk kebanyakan obat diperlukan minimal 12 sampel darah, yakni:
1 sampel sebelum obat: pada waktu nol (to)
2-3 sampel sebelum kadar maksimal (C max)
4-6 sampel sekitar Cmax
5-8 sampel setelah C max, sampai sedikitnya 3 atau lebih waktu paruh eliminasi
obat dalam plasma, (> 3xt ).
Dengan demikian akan diperoleh AUC (luas area dibawah kurva kadar obat
terhadap waktu) sedikitnya 80% dari AUC yang diekstrapolasi ke tidak terhingga ()
Waktu Pengambilan Sample
t0
0,00
t1
0,25 jam
t2
0,5 jam
t3
0,75 jam
t4
1 jam
t5
1,25 jam
t6
1,5 jam
t7
2 jam
t8
2,5 jam
t9
3 jam
t10
4 jam
t11
6 jam
t12
8 jam
t13
12 jam

Pengambilan Sample
1 titik saat C0
2 titik sampel sebelum Cmax
4 titik sampel sekitar Cmax

7 titik sampel setelah Cmax (3 x t =


24 jam

31

Perlakuan terhadap sampel darah


Plasma dipisahkan dari sampel darah dengan sentrifugasi pada 3000 rpm
selama 25 menit, dan disimpan dalam freezer pada -20 C sampai dianalisis.
Konsentrasi clopidogrel diukur menggunakan LC-MS.

C. Kriteria Pengeluaran Sampel

Jika pada t0 ditemukan obat dengan kadar 5% Cmax, maka data dari subjek ini
dapat dimasukkan dalam analisis tanpa penyesuaian. Namun jika C 0 > 5% Cmax,

maka subjek harus dikeluarkan dari analisis.


Jika subjek muntah atau sebelum 2x median tmax pada studi ini, maka data
subjek ini harus dikeluarkan dari analisis.

D. Parameter
- Cmax = kadar puncak maksimal obat yang teramati.
- tmax

= waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai Cmax

- t1/2

= waktu paruh obat dalam plasma ( serum atau darah )

- AUC

= Area di bawah kurva kadar obat dalam plasma (atau serum atau darah)
terhadap waktu

- AUCoo = AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga.

2.2.3

Fenitoin

Protokol Bioavailabilitas dan Bioekivalensi Fenitoin


32

Latar belakang
Fenitoin merupakan obat antiepilepsi golongan hidantoin yang berefek
antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Sifat antikonvulsi fenitoin
didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.
Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran
sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung.
Fenitoin mempengaruhi berbagai sistem fisiologik; dalam hal ini, khususnya
konduktans Na+, K+, Ca2+ neuron, potensial membran dan neurotransmitor
norepinefrin, asetilkolin, dan GABA.

Gambar 2.3 Rumus struktur fenitoin


Absorpsi fenitoin yang diberikan secara per oral berlangsung lambat, sesekali
tidak lengkap; 10% dari dosis oral diekskresi bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar
puncak dalam plasma dicapai dalam 3-12 jam. Bila loading dose perlu diberikan,
600-800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai
dalam waktu 24 jam.
Kadar fenitoin dalam plasma akan meningkat bila diberikan bersama
kloramfenikol, disulfiram, INH, simetidin, dikumarol, dan beberapa sulfonamide
33

tertentu, karena obat-obat tersebut menghambat biotransformasi fenitoin. Sedangkan


sulfisoksazol, fenilbutazon, salisilat dan asam valproat akan mempengaruhi ikatan
protein plasma fenitoin sehingga meninggikan kadar obat bebas dalam plasma.
Fenitoin diindikasikan terutama untuk bangkitan tonik-klonik dan bangkitan
parsial atau fokal. Fenitoin juga bermanfaat terhadap bangkitan parsial kompleks.
Indikasi lain fenitoin ialah untuk neuralgia trigeminal, dan aritmia jantung. Pasien
yang pertama kali mendapat fenitoin, tidak segera memperoleh efek, karena adanya
tenggang waktu (time lag). Oleh karena itu, terapi secara periodic umpamanya pada
bangkitan yang berkaitan dengan haid, seyogyanya tidak menunggu sampai
datangnya aura. Untuk mengganti terapi epilepsy dari fenobarbital menjadi fenitoin,
penghentian fenobarbital juga harus berangsur-angsur, sebab penghentian secara tibatiba dapat menyebabkan bangkitan berupa status epileptikus yang berbahaya.

Tujuan penelitian
- Menjamin efikasi, keamanan dan mutu produk obat yang telah dirancang.
- Menentukan bioavailabilitas absolut dan relatif suatu zat kimia, serta bioekivalensi
zat tersebut dalam formulasi untuk uji klinik dan dalam produk yang akan
dipasarkan (BPOM, 2004).
Rancangan Penelitian
Desain studi yang digunakan untuk obat Fenitoin merupakan rancangan
penelitian double blind crossover (masing-masing subjek diberi masing-masing obat
yang disajikan secara acak dengan adanya waktu eliminasi obat sebelum pemberian
34

obat selanjutnya, variasi subjek dapat dikontrol dan dikurangi, subjek dapat menjadi
kontrol bagi dirinya, 1 subjek menerima produk yang diuji dan standar pembanding,
subjek/peneliti/tenaga medis tidak tahu obat apa yang diterima apakah produk uji atau
standar pembanding). Desain studi kali ini menggunakan Latin Square, tiga terapi
dengan tiga periode. Analisis statistik yang digunakan adalah ANOVA dengan SAS
untuk mengobservasi efek dari formulasi, periode, dan urutan pemberian obat.
Dosis fenitoin yang digunakan adalah 300 mg (3 tablet, masing-masing 100
mg). Fenitoin innovator digunakan sebagai pembanding, dan dua merek generic
Fenitoin lainnya diuji dalam studi ini. Semua formulasi memiliki shelf life lebih dari 6
bulan. Pemberian obat yang pertama harus dilakukan secara acak agar efek urutan
(order effect), maupun efek waktu (period effect), bila ada dibuat seimbang.
Kedua perlakuan dipisahkan oleh periode wash out yang cukup untuk
eliminasi produk obat yang pertama diberikan (biasanya >5 x t eliminasi) dari obat,
atau lebih lama jika mempunyai metabolit aktif dengan t lebih panjang. Jika obat
mempunyai kecepatan eliminasi yang sangat bervariasi antar subjek, maka periode
wash out yang diperlukan lebih lama untuk meperhitungkan kecepatan eliminasi yang
lebih rendah pada beberapa subjek. Karena itu untuk obat dengan waktu paruh
eliminasi yang panjang (>24 jam) dapat dipertimbangkan penggunaan desain 2
kelompok parallel.
Dalam penelitian ini digunakan periode wash out selama 1 minggu
Subjek
Waktu I

Produk obat
Wash out Waktu II
35

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B

period
(7 hari)

B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A
B
A

Pemilihan Subjek
a. Jumlah subjek: 22 orang

b. Kriteria inklusi sampel:


Pasien laki-laki; sehat; usia 18-45 tahun; berat badan 20% dari berat badan
ideal; hasil pemeriksaan fisik normal (dalam 2 minggu selama studi); hasil tes
biokimia, hematologis, urin, dan ECG semua berada dalam nilai normal; HBsAg
dan HIV negatif; bersedia untuk tidak mengkonsumsi kafein pada saat studi
dilakukan; tidak menggunakan obat lain selama 1 minggu sebelum studi dan
selama studi; tidak mengkonsumsi Alkohol; tidak mempunyai penyakit tertentu;
tidak sedang menjalani pengobatan tertentu
36

c. Kriteria ekslusi sampel


Kontraindikasi atau hipersensitif terhadap obat; memiliki riwayat konsumsi
alkohol atau ketergantungan obat; merokok; pada saat penelitian mengalami efek
samping dari obat; menderita penyakit akut tertentu, sehingga harus meminum
obat lain (contoh: diare, demam berdarah); pada saat penelitian sedang mengalami
kehamilan, menyusui, atau memakai kontrasepsi; memiliki catatan gangguan
gastrointestinal, hepar, ginjal, atau hematologi; mendonorkan darahnya selama 3
bulan terakhir; sedang mengikuti studi tentang obat baru dalam 6 bulan terakhir
dan studi bioavailabilitas dalam 3 bulan terakhir; mengkonsumsi agen induser
enzim dalam 30 hari terakhir.

Prosedur
A.

Perlakuan terhadap subjek

1. Setiap subjek diharuskan berpuasa pada malam harinya.

2.

Tiga tablet fenitoin 100 mg (300 mg dosis tunggal) diberikan pada subjek oleh
farmasis dalam pengawasan peneliti.

3.

Subjek mendapat makan yang telah diatur pada 1, 4, dan 12 jam setelah
pemberian obat.

4.

Sampel darah diambil pada waktu-waktu tertentu yakni 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10,


12, 24, 36, 48, 60, dan 72 jam.

37

5.

Plasma kemudian dipisahkan (disentrifugasi) dan disimpan pada suhu -70C


sampai analisis dilakukan.

Sampel darah harus diambil, pada waktu-waktu tertentu, sehingga dapat


menggambarkan fase-fase absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat. Menurut BPOM,
untuk kebanyakan obat diperlukan minimal 12 sampel darah, yakni:

1 sampel sebelum obat: pada waktu nol (to)

2-3 sampel sebelum kadar maksimal (C max)

4-6 sampel sekitar Cmax

5-8 sampel setelah C max,

sampai sedikitnya 3 atau lebih

waktu paruh

eliminasi obat dalam plasma, (> 3xt ).


Dengan demikian akan diperoleh AUC (luas area dibawah kurva kadar obat
terhadap waktu) sedikitnya 80% dari AUC yang diekstrapolasi ke tidak terhingga ()
Waktu Pengambilan Sample
t0
0,00
t1
1 jam
t2
2 jam
t3
3 jam
t4
4 jam
t5
5 jam
t6
6 jam
t7
8jam
t8
10 jam
t9
12 jam
t10
24 jam
t11
36 jam
t12
48 jam
t13
60
t14
72

Pengambilan Sample
1 titik saat C0
2 titik sampel sebelum Cmax

5 titik sampel sekitar Cmax

7 titik sampel setelah Cmax (3 x t =


66 jam)

38

B. Perlakuan terhadap sampel darah


Sampel darah yang telah didapat dalam setiap satuan waktunya, kemudian akan
disentrifugasi dan dibekukan pada suhu -70C sampai analisis dilakukan. Konsentrasi
fenitoin selanjutnya diukur menggunakan HPLC. Fase gerak yang digunakan adalah
air dengan penambahan pH sampai pH 5,0 dengan 50 mM KH 2PO4 : metanol (45:55),
laju alir 1 ml/min dengan total run time untuk tiap sampel 12 menit. Sampel
kemudian dianalisis pada panjang gelombang 220 nm menggunakan karbamasepin
sebagai standar.

C. Kriteria Pengeluaran Sampel

Jika pada t0 ditemukan obat dengan kadar 5% Cmax, maka data dari subjek ini
dapat dimasukkan dalam analisis tanpa penyesuaian. Namun jika C 0 > 5% Cmax,

maka subjek harus dikeluarkan dari analisis.


Jika subjek muntah atau sebelum 2x median tmax pada studi ini, maka data subjek
ini harus dikeluarkan dari analisis.

D. Parameter
- Cmax
- tmax

= kadar puncak maksimal obat yang teramati (mg/l)


= waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai Cmax (h)

39

- AUC t

= Area di bawah kurva kadar obat dalam plasma (atau serum atau
darah) terhadap waktu (mg.h/l)

- AUCoo = AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga.

BAB III
ANALISIS HASIL
a. Uji Disolusi
Profil disolusi antara produk uji dan produk pembanding dibandingkan dengan
menggunakan faktor kemiripan (f2), jika nilai f2 > 50 maka hasil kedua profil
disolusi sebanding. Adapun rumus f2 adalah sebagai berikut:

Keterangan:
Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk
pembanding (R = reference), dan Tt = persentase kumulatif obat yang larut pada
setiap waktu sampling dari produk uji (T = test). Nilai f2 sama dengan 50 atau lebih
besar (50-100) menunjukkan kesamaan atau ekivalensi kedua kurva yang berarti
kemiripan profil disolusi kedua produk

40

b. Uji BA-BE
Parameter bioavailabilitas yang dibandingkan untuk penilaian bioekivalensi adalah
AUC, Cmax, dan tmax. Data yang bergantung pada kadar yakni AUC dan C max, harus
ditransformasi logaritmik (ln) terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis statistik
karena kinetik obat mengikuti kinetik first order sehingga dalam skala logaritmik
akan diperoleh distribusi yang normal dan varians yang homogen. Selanjutnya nilainilai ln AUC ke-2 produk dibandingkan menggunakan analisis varians (ANOVA)
untuk desain menyilang 2-way yang memperhitungkan sumber-sumber variasi
berikut: produk obat yang dibandingkan (test dan reference), periode pemberian obat
(I dan II). Demikian juga nilai-nilai ln Cmax ke-2 produk dibandingkan dengan cara
yang sama.
Untuk tmax biasanya hanya dilakukan statistik deskriptif. Jika perlu dibandingkan,
digunakan statistik non-parametrik pada data yang asli (tidak ditransformasi), dengan
= 5%. Untuk ketiga parameter tersebut di atas, selain dihitung 90% CI untuk
perbandingan kedua produk, juga dihitung statistik ringkasan seperti nilai rata-rata
aritmetik dan geometric, (untuk AUC dan Cmax) atau median (untuk tmax), serta nilainilai minimum dan maksimum. Untuk parameter-parameter lainnya seperti C min,
fluktuasi, t1/2 dsb, berlaku pertimbangan-pertimbangan yang sama untuk
menggunakan

data

yang

ditransformasi

ditransformasi.

41

logaritmik

(ln)

atau

yang

tidak

BAB IV
PEMBAHASAN

Parameter penting untuk menentukan mutu kimia obat adalah penetapan kadar
dan uji disolusi (Siregar dan WikarsA, 2010). Setelat obat berada dalam bentuk
terdisolusi, berulah mencapai sirkulasi sistemik dan menghasilkan efek. Absorpsi zat
aktif dari suatu sediaan erat kaitannya dengan terdisolusinya zat tersebut dari
sediaannya. Oleh karena itu semakin cepat zat aktif terdisolusi, maka semakin cepat
pula terjadi absorpsi, sehingga obat akan cepat memberikan efek. Untuk maksud
tersebut diperlukan suatu usaha agar zat aktif dapat terlepas dan melarut dalam cairan
saluran cerna secepat mungkin (Siregar dan WikarsA, 2010).
Efektifitas pengobatan merupakan salah satu dari persyaratan mutu sediaan
obat. Keberhasilan pencapaian efek terapeutik tergantung paa kadar obat yang
mencapai reseptor yang dinyatakan dalam laju dan jumlah zat obat aktif yang
mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian besar sirkulasi sistemik terdiri cairan yang

42

bersifak aqueous sehingga bagi obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air,
disolusi adalah tahap penentu dari proses absorpsi obat itu sendiri (Shargel etal.,
2015).
Pengujian ini menggunakan tablet generik amlodipin, Clopidogrel, dan
Fenitoin yang diketahui banyak beredar diindonesia, sehingga melalui pengujian ini
diharapkan dapat membandingkan profil disolusi dari produk copy dan produk
pembanding. Setiap produk obat copy yang beredar di indonesia, harus memenuhi
standar mutu dan bioekivalen dengan produk pembanding yang telah diketahui dan
dijamin efikasi serta keamanannya. Sebelum dilakukan uji bioekivalensi, terlebih
dahulu dilakukan uji disulusi terbanding.
Uji ekivalensi in vitro yakni uji disolusi terbanding dilakukan dalam media
HCL pH 1,2 yang merupakan simulasi kondisi fisiologis lambung manusia; pH 4,5
yang merupakan simulasi dari pH cairan lambung (buffer asetat) dan pH 6,8 yang
merupakan simulasi dari kondisi fiologis usus halus (buffer fosfat), menurut BPOM,
suatu produk copy yang akan dilakukan pengujian disolusi invitro, kandungan zat
aktif suatu produk uji terhadap produk pembanding tidak boleh berbeda selisih 5%,
hal ini dikarenakan perbedaan kadar lebih dari 5% dapat mempengaruhi profil
disolusi yang dapat menyebabkan hasilnya tidak ekivalen dengan pembanding.
Kemudian bandingkan profil disolusinya, berdasarkan faktor kemiripan.

43

BAB V
LAMPIRAN
Lampiran
Hasil Penentuan Laju Disolusi Produk Uji pada Larutan dapar pH 1,2
Waktu
(menit)
5
10
15
20
25
30

Jumlah Obat yang terdisolusi (%)


Produk Uji
Batch I
Batch II
61
63
85
80
96
90
99
98
100
99
101
99

Produk Pembanding
Batch I
Batch II
55
60
67
70
86
89
99
96
100
100
100
99

Hasil Penentuan Laju Disolusi Produk Uji pada Larutan dapar pH 4,5
Waktu
(menit)
5
10
15
20

Jumlah Obat yang terdisolusi (%)


Produk Uji
Batch I
Batch II
35
40
50
52
75
77
88
90
44

Produk Pembanding
Batch I
Batch II
33
34
49
47
70
68
86
82

25
30

99
101

99
99

95
100

93
99

Hasil Penentuan Laju Disolusi Produk Uji pada Larutan dapar pH 6,8
Waktu
(menit)
5
10
15
20
25
30

Jumlah Obat yang terdisolusi (%)


Produk Uji
Batch I
Batch II
70
73
90
92
98
99
99
98
102
99
101
100

Produk Pembanding
Batch I
Batch II
55
61
81
83
89
90
99
100
100
101
100
99

Profil disolusi antara produk uji dan produk pembanding dibandingkan dengan
menggunakan faktor kemiripan (f2) yang dihitung dengan persamaan berikut:

Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk
pembanding
Tt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk uji
Nilai f2 50 (50-100) menunjukkan kesamaan atau ekivalensi ke 2 kurva, yang
berarti kemiripan profil disolusi kedua produk. Jika produk Copy dan produk
pembanding memiliki disolusi yang sangat cepat (> 85 % melarut dalam waktu < 15

45

menit dalam ke-3 media dengan metode uji yang dianjurkan), perbandingan profil
disolusi tidak diperlukan (BPOM, 2004). Menurut FDA 2003 salah satu persyaratan
untuk melakukan perbandingan profil disolusi menggunakan faktor kemiripan (f 2)
adalah perhitungan dilakukan dengan memperhatikan tidak lebih satu titik yang
persen zat terdisolusinya lebih besar dari 85%.
Profil disolusi Produk uji pada larutan dapar pH 1,2
Waktu
(menit)
5
10
15
20
25
30

Rata-rata
Produk
Produk Uji
Pembanding
(Tt)
(Rt)
62
57,5
82,5
68,5
93
87,5
98,5
97,5
99,5
100
100
99,5

Rt - Tt

(Rt Tt)2

-4,5
-14
-5.5
-1
0,5
-0,5

20,25
196
30,25
1
0,25
0,25
xx = 41,33
SD = 76,80
Profil laju disolusi antara produk uji dan produk pembanding dibandingkan dengan
menggunakan nilai f2 melalui persamaan diatas yaitu 59,33.
Profil disolusi Produk uji pada larutan dapar pH 4,5
Waktu
(menit)
5
10
15
20
25
30

Rata-rata
Produk
Produk Uji
Pembanding
(Tt)
(Rt)
37,5
33,5
51
48
76
69
89
84
99
94
100
99,5
46

Rt - Tt

(Rt Tt)2

-4
-3
-7
-5
-5
-0,5

16
9
49
25
25
0,25

xx = 20,71
SD = 16,82
Profil laju disolusi antara produk uji dan produk pembanding dibandingkan
dengan menggunakan nilai f2 melalui persamaan diatas yaitu 66,58.
Profil disolusi Produk uji pada larutan dapar pH 6,8
Waktu
(menit)
5
10
15
20
25
30

Rata-rata
Produk
Produk Uji
Pembanding
(Tt)
(Rt)
71,5
58
91
82
98,5
89,5
98,5
99,5
100,5
100,5
100,5
99,5

Rt - Tt
-13,5
-9
-9
1
0
-1

(Rt Tt)2
182,25
81
81
1
0
1
xx = 57,71
SD = 72,61

Profil laju disolusi antara produk uji dan produk pembanding dibandingkan dengan
menggunakan nilai f2 melalui persamaan diatas yaitu 55,78.

47

Gambar Profil laju disolusi Produk uji pada larutan dapar pH 1,2; pH 4,5; pH
6,8
Hasil uji disolusi terbanding produk obat uji dalam larutan dapar pH 1,2; pH 4,5;
pH 6,8 sampai dengan 30 menit lebih dari 85 %, sehingga uji disolusi terbanding
dalam larutan tersebut cukup adekuat untuk melakukan perbandingan profil disolusi
produk obat. Uji disolusi terbanding produk obat uji dalam larutan dapar pH 1,2
menghasilkan nilai f2 59,33, produk obat uji dalam larutan dapar pH 4,5
menghasilkan nilai f2 66,58, produk obat uji dalam larutan dapar pH 6,8
menghasilkan nilai f2 55,78 sehingga pada data nilai f 2 dari ketiga media tersebut
menunjukkan bahwa adanya kesamaan atau ekivalensi antara produk uji dan produk
pembanding. Hal ini dikarenakan metode pabrikasi dan formulasi dapat
mempengaruhi laju disolusi suatu produk obat.

48

DAFTAR RUJUKAN

Alegantina S dan Isnawati A, 2015, Profile Amlodipine Tablet and Comparison


of Two Generic Prodcts With Innovator Product, Jurnal Kefarmasian Indonesia, Vol.
5 (1): 11-18

49

Anumolu PD, Nelli S, Anugati H et al., 2014,Development of Dissolution Test


Method for a Telmisartan/ Amlodipine Besylate Combination Using Synchronous
Derivative Spectroflorometry, Brazillan Jounal of Pharmaceutical Sciences. Vol 50
(2):330-336
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) (2004),
Pedoman Uji Bioekivalensi. cetakan I, Badan pengawas obat dan makan RI. Jl.
Percetakan Negara No. 23. Jakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) (2004),
Pedoman Uji Bioekivalensi. cetakan I, Badan pengawas obat dan makan RI. Jl.
Percetakan Negara No. 23. Jakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) (2004),
Pedoman Uji Bioekivalensi. cetakan I, Badan pengawas obat dan makan RI. Jl.
Percetakan Negara No. 23. Jakarta.
Badan POM Republik Indonesia, Pedoman Uji bioekivalensI, 2004.
BPOM Nomor: HK.00.05.3.1818 tentang Pedoman Uji Bioekivalensi.
Departemen Farmakologi FKUI, 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi V, Jakarta,
FKUI.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 1995, Farmakope
Indonesia Edisi IV, Jakarta, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Doshi MS, Naik AA, Mehta MR, et al., 2013, Three-way, three period, crossover
bioequivalence study of single oral dose of three brands of 300 mg ohenytoin sodium

50

tablets marketed in India, on healthy Indian human volunteers, Journal of


Pharmacology and Pharmacotherapeutics, 4(4): 243-246.
FDA-Center for Drug Evaluation and Research (CDER), Guidance for Industry
Bioavailability and Bioequivalence Studies for Orally Administered Drug Products
General Considerations, http://www.fda.gov/cder/guidance/index.htm, 2003.
Mascoli et al., 2013, Pharmacokinetics of a Novel Orodispersible Tablet of
Amlodipine in Healthy Subjects, J Bioequiv Availab Volume 5 (2). P. 76-79
http://dx.doi.org/10.4172/jbb.1000138
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2004,
Pedoman Uji Bioekivalensi, Jakarta
Setiawati et al., 2009, Bioequivalence Study of Two Amlodipine Tablet
Formulations, Majalah Kedokteran Indonesia Volume 58 ( 2). P. 41-46
Shohin I E, Ramenskaya G V, Vasilenko G F et al., 2010, In Vitro
DissoltionKinetics of Amlodipine Tablets Marketed in Russia Under Biowaiver
Conditions, Dissoltion Technologies.
Soryal I dan Richens A, 1992, Bioavailability and dissolution of proprietary and
generic formulations of phenytoin, Journal of Neurology, Neurosurgery, and
Psychiatry, 55:688-691.
Sweetman SC, 2009, Martindale The Complete Drug Reference 37th edition,
Pharmaceutical Press. P.1214
Uji Bioekivalensi, 2005, Jakarta: Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

51

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17803060. Comparative bioavailability of two


amlodipine formulation in healthy volunteers. Diakses tahun 2007.

52

Anda mungkin juga menyukai