Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biopharmaceutical Classification System (BCS)

Biopharmaceutical Classification System (BCS) adalah kerangka ilmiah


untuk mengklasifikasikan senyawa obat berdasarkan kelarutannya dalam air dam
permeabilitas dalam usus (Amidon et al., 1995). Ketika dikombinasikan dengan
karakteristik disolusi secara in vitro dari produk obat, ada tiga faktor yang
mempenngaruhi BCS yaitu : kelarutan, permeabilitas, dan kecepatan disolusi,
dimana ketiga hal tersebut menentukan kecepatan dan luas absorpsi obat oral dari
bentuk sediaan lepas cepat dosis oral.

Kelarutan adalah suatu senyawa obat diklasifikasikan sebagai senyawa


obat yang mudah larut jika kekuatan dengan dosis tertinggi dapat larut dalam 250
mL air atau kurang pada rentang pH dari 1-7,5 pada suhu 37C (Voight, 1994).

Permeabilitas adalah suatu senyawa obat diklasifikasikan dengan tingkat


permeabilitas yang tinggi jika tingkat absorbsi dalam tubuh manusia lebih besar
dari 90% dari dosis yang diminum, bedasarkan pada kesetimbangan masa atau
dibandingkan dengan referensi dosis intravena (USP, 1994).

Untuk mengerti pembatasan permeabilitas gastrointestinal secara alami,


terdapat metode dan teknik untuk mengetahui dan memberi nilai pada
karakteristik tersebut. Metode yang sering dipakai dalam penentuan permeabilitas
adalah sebagai berikut (Gothoskar, 2005):

- Studi pada Manusia


Studi kesetimbangan massa farmakokinetik
Studi bioavaibilitas absolut, metode perfusi intestinal
- Metode permeabilitas intestinal
Studi perfusi in vivo intestinal pada manusia
Studi perfusi in vivo intestinal pada binatang
Eksperimen permeasi in vitro dari potongan jaringan intestinal manusia atau
binatang
- Eksperimen permeasi in vitro melalui sel epitel monolayer (sepertisel Caco-2
atausel TC-7)
Disolusi adalah suatu produk obat diklasifikasikan cepat terdisolusi jika
85% atau lebih dari jumlah yang terlabel dari suatu senyawa obat dalam waktu 30
menit menggunakan alat uji disolusi tipe 1 atau 2 dalam volume 900 mL atau
kurang dari larutan dapar (USP, 1994).

Komposisi formulasi dan proses manufaktur secara umum mempengaruhi


disolusi obat secara in vitro. BCS mengklasifikasikan produk obat dapat
terdisolusi secara cepat jika tidak kurang dari 85% dari jumlah senyawa obat yang
tertera terlarut dalam 30 menit menggunakan (Polli, et al., 2004):
- Alat uji disolusi tipe 1 (basket) pada 100 rpm atau alat uji disolusi tipe 2
(gayung) pada 50 rpm
- Medium disolusi pada volume 900 mL atau kurang masing-masing
menggunakan
1. 0,1 N HClataucairanlambungbuatantanpaenzim
2. Dapar pH 4,5
3. Dapar pH 6,8 ataucairanususbuatantanpaenzim
- Profil faktor kemiripan (f2) untuk perbandingan sampel versus standar
sebaiknya lebih besar dari 50 (nilai f2 diantara 50 dan 100 menunjukkan
bahwa kedua profil disolusi adalah mirip.

Dimana Rt dan Tt adalah persentase kumulatif terlarut para waktu t untuk


standar dan sampel, dan n adalah jumlah pengambilan sampel.

BCS diklasifikasikan berdasarkan parameter-parameter seperti kelarutan,


permeabilitas dan disolusi untuk menentukan identifikasi dan determinasi kelas
BCS (Sacham, et al., 2009). Berikut adalah klasifikasi BCS :

Kelas 1 : Obat pada kelas ini memiliki permeabilitas yang bagus kecuali
mereka tidak stabil pada saluran pencernaan atau jika obat melewati
metabolisme pertama. Karena obat tersebut juga memiliki daya larut yang
baik, faktor keterbatasan untuk absorpsinya adalah waktu pengosongan
gastric. Bentuk pelepasan segera dosis padat yang mengandung obat dengan
karakteristik ini berpotensi menjadi biowaiver untuk studi bioekivalensi.
Contoh obat: Ketoprofen, naproxen, Carbamazepine, propanolol, Metoprolol,
Diltiazem, Verapamil

Kelas 2 : Meskipun memiliki permeabilitas yang baik, klasifikasi obat pada


grup ini menunjukkan masalah daya larut, sehingga daya larut menjadi faktor
keterbatasan pada absorpsi. Penggunaan formulasi yang bagus atau teknik
farmasetika, seperti kompleksasi dengan cyclodextrins atau pengurangan
ukuran partikel diantara yang lain, dapat mendukung daya kelarutan dan
meningkatkan bioavaibilitas oral. Tetapi, daya kelarutan in vitro harus
mencerminkan daya kelarutan in vivo yang sempurna.
Contoh obat: Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedinpine,
felodipin, nicardipine, Nisoldipine

Metode meningkatkan kelarutan

Penggunaan surfaktan
Kompleksasi
Pembuatan produk tersebut
Pemilihan polimer yang digunakan
Penggunaan garam dari asam lemah dan basa lemah
Menggunakan Buffeirng pH lingkungan
Kelas 3 : Obat yang memiliki daya kelarutan yang baik dan mengurangi
permeabilitas; yang terakhir dipertimbangkan faktor keterbatasan untuk
absorpsi. Penting bahwa bentuk dosis yang mengandung obat jenis ini
melepas secara cepat untuk memaksimalkan waktu kontak dengan epitelium
intestinal; namun, absorpsi dapat dipengaruhi oleh variabel fisik seperti waktu
tinggal intestinal dan konten luminal.
Contohnya obat: Acyclovir, Alendronate, Captopril, Enalaprilat Neomycin B
Kelas 4 : Kelas ini adalah yang para peneliti temukan paling menantang,
karena obat-obatnya menunjukkan masalah biovaibilas oral karena
berkurangnya daya kelarutan dan permeabilitas.
Contoh termasuk : Chlothaizude, Furosemide, Tobramycine, Sefuroksim dll

2.2 Aplikasi Sistem Klasifikasi Biofarmasetik

Aspek Pengaturan
BCS terutama digunakan dalam identifikasi obat secara tepat untuk
menggantikan uji in vivonya dengan uji disolusi secara in vitro. Saat ini telah
diketahui bahwa obat BCS kelas I dilepaskan dari bentuk sediaannya dengan
sangat cepat secara in vivo dan pengosongan lambung akan menjadi batasan
pada proses absorbsi. Dengan demikian, bioavailabilitas tidak tergantung
pada sifat biofarmasetik dan oleh karena itu pemeriksaan secara in vivo dapat
diabaikan (bio-waiver). Kriteria untuk persyaratan bio-waiver adalah obat
harus stabil pada cairan GI dan tidak termasuk dalam golongan obat dengan
indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, siklosporin). Obat-obat dengan
permeabilitas tinggi namun kelarutannya rendah (kelarutan dalam air tinggi
hanya pada pH 6,8; BCS kelas II asam lemah) dapat juga dibebaskan dari uji
BE secara in vivo. Namun dalam beberapa kasus obat BCS kelas II penerapan
bio-waiver tidak dianjurkan (Amidon et al., 1995).

Bio-waiver juga dapat diterapkan pada obat BCS kelas III karena obat
golongan ini memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dan juga karena
bioavailabilitas kurang dipengaruhi oleh sifat pelepasan formulasi obat
terhadap permeabilitas secara in vivo. Alasan yang mendasari penerapan bio-
waiver pada obat BCS kelas III ditunjukkan bahwa jika dua produk
mengandung bahan obat yang sama, memiliki profil konsentrasi-waktu yang
sama pada permukaan membran usus tentu akan memiliki kecepatan dan
tingkat bioavailabilitas yang sama. Akan tetapi hal ini tidak selamanya benar
karena ternyata untuk bahan obat kelas III, eksipien dari formulasi obat dapat
mempengaruhi pengambilannya. Hal ini akan mengubah bioavailabilitas.
Kesimpulan yang sama juga dapat ditarik terhadap obat BCS kelas I bahwa
jika laju disolusinya cepat maka akan menunjukkan reaksi yang sama dengan
larutan obat oral secara in vivo. Konsekuensinya adalah selama belum
ditetapkannya suatu metode validasi yang memperkirakan efek eksipien
dalam formulasi terhadap sitem transpor obat, bio-waiver tidak dapat
diterapkan (Amidon et al., 1995).

Karakterisasi Obat Berdasarkan Proses Eliminasi Dalam Tubuh


Molekul obat dengan permeabilitas dan/atau kelarutan yang rendah
biasanya memiliki bioavailabilitas yang rendah dan tidak tetap. Telah
ditunjukkan bahwa bahan obat BCS kelas I dan II dieliminasi terutama
melalui jalur metabolisme, sedangkan BCS kelas III dan IV dieliminasi secara
utuh terutama ke dalam urin dan empedu. Tingginya permeabilitas bahan obat
kelas I dan II menunjukkan bahwa obat tersebut akan memiliki akses yang
cepat ke enzim metabolisme dalam hati. Bahan obat secara umum mengalami
biotransformasi menjadi senyawa yang lebih polar sehingga menjadi lebih
mudah untuk diekskresi (Shargel dan Yu, 1999).

Gambar 2.1. Kemungkinan Teknik Formulasi Berdasarkan BCS

Interaksi Obat dan Makanan


Telah diketahui bahwa makanan mempengaruhi bioavailabiltas
obat. Efek makanan terhadap bioavailabilitas obat dapat ditentukan
berdasarkan BCS. Hasil observasi bahwa paparan obat BCS kelas II
(kelarutan rendah, permeabilitas tinggi) dengan makanan tinggi lemak dapat
meningkatkan kelarutan karena pemberian tambahan makanan dapat
menstimulasi peningkatan volume cairan GI dan/atau karena sifat pelarutan
oleh empedu sehingga meningkatkan laju disolusi. Obat BCS kelas III
menunjukkan penurunan drastis pada absorbsi ketika pemberian makanan
tambahan. Hal ini dikarenakan makanan dapat membentuk suatu barier fisik
tambahan pada membran usus sehingga dapat mempengaruhi
permeabilitasnya (Shargel dan Yu, 1999).

Korelasi in vitro -in vivo (IVIVC)


Uji disolusi secara in vitro penting sekali dalam pengembangan
sediaan obat padat, demikian pula pada kontrol kualitas bets. Tujuan uji
disolusi adalah untuk melihat bahwa obat larut baik dalam saluran GI dan
tersedia untuk proses absorbsi. Oleh karena itu sebaiknya uji in vitro
menyediakan data yang memiliki korelasi baik dengan keadaan in vivo.
Disolusi obat dan permeabilitas usus adalah parameter dasar yang mengatur
laju dan tingkat absorbsi. Akan tetapi, pencapaian IVIVC seringkali gagal
karena IVIVC dapat tercapai hanya pada batas-batas tertentu (Abdou, 1989).

Pada kasus obat BCS kelas I, waktu pengosongan lambung


menjadi batasan karena faktor ini tidak termasuk dalam uji disolusi secara in
vitro. Dengan demikian IVIVC seharusnya tidak dapat dicapai selama
pelepasan obat lebih cepat dari waktu pengosongan lambung (Chan, 2001).

Obat kelas II memiliki disolusi yang terbatas. Dengan demikian


jenis obat ini IVIVCnya dapat tercapai dengan menggunakan uji disolusi
yang tepat. Tetapi terdapat dua kasus di mana IVIVC obat kelas II tidak
dapat ditentukan dengan mudah. Pertama, terdapat sejumlah formulasi yang
mempertinggi laju disolusi. Dalam kasus ini, persyaratan seperti pada kelas
I harus dipenuhi. Kedua, ketika absorbsi dibatasi oleh terjadinya kejenuhan
dalam saluran GI yang lebih cepat dari laju disolusi. Pada kondisi ini
konsentarsi obat dalam saluran GI mendekati titik jenuh dan mengubah laju
disolusi sehingga tidak akan mempengaruhi konsentrasi plasma dan
biovailabilitas in vivo (Chan, 2001).

Pada obat kelas III absorbsinya dibatasi oleh permeabilitas usus.


Dengan demikian, ketika proses ini tidak dikondisikan pada uji disolusi
secara in vitro, IVIVC tidak akan tercapai. Untuk obat kelas IV dengan
kelarutan dan permeabilitas rendah kemungkinan tercapainya IVIVC sangat
rendah (Chan, 2001).

Secara keseluruhan IVIVC hanya dapat diperoleh setelah


memahami dengan tepat sifat fisika kimia, demikian pula mekanisme
pengambilan dan eliminasi dari senyawa obat (Chan, 2001).

2.4 Karakteristik Paracetamol

2.4.1 Struktur Paracetamol

Gambar 2.2. Struktur paracetamol

Menurut Ditjen POM. (1995), sifat-sifat Parasetamol adalah


sebagai berikut:
Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
Berat Molekul : 151.16
Rumus Empiris : C8H9NO2.

2.4.2 Sifat Fisika


Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.
Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut
dalam etanol.
Jarak lebur : Antara 168 dan 172 (Ditjen POM, 1995).

2.4.3 Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan
kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam.
Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah
melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam
sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan
berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan
gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar
akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.(Darsono, 2002)

2.4.4 Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat
yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan
efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena
itu Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua
obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa
(Mardjono, 2008). Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui
penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap
obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan
Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan
efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi
demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi,
demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik
(Gunawan, 2009).

2.4.5 Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan
demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan
bagi nyeri yang ringan sampai sedang (Ditjen POM, 1995).

2.4.6 Kontraindikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita
hipersensitif terhadap obat ini (Ditjen POM, 1995).

DAFTAR PUSTAKA

Abdou, H. M. 1989. Dissolution, Bioavailability and Bioequivalence. Easton,


Pennsylvania: Mack Printing.

Amidon GL, Lennernas H, Shah VP, and Crison JR, A theoretical basis for a
biopharmaceutics drug classification: The correlation of in vitro drug
product dissolution and in vivo bioavailability, Pharm. Res., 1995, 12,
413420.
Chan, H.O. 2001. Biopharmaceutics Classification System: An Industrial
Experience. Capsugel Library. 1-10.

Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI.

Gothoskar, A. V. 2005. Biopharmaceutical classification of drugs. Pharm. Rev.. 3


(1). Available online at
http://www.pharmainfo.net/reviews/biopharmaceutical-classification-drugs
(accessed 07 Desember 2017).

Gunawan, Aris. Perbandingan Efek Analgesik antara Parasetamol dengan


Kombinasi Parasetamol dan Kafein pada Mencit. Jurnal Biomedika. 2009:
1(1).

Lusiana Darsono. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan


Parasetamol. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8. Surabaya:
Salemba Medika.

Mardjono, Mahar dan Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi klinis dasar. Jakarta:
Dian Rakyat

Polli, J. E., Yu, L. X., Cook, J. A., Amidon, G. L., et al. Summary workshop
report: Biopharmaceutics classification system-implementation challenges
and extension opportunities. J. Pharm. Sci. 2004: 93 (6), 13751381.

Sacham, N. K.; Bhattacharya, A.; Pushkar, S.; Mishra, A. Biopharmaceutical


classification system: A strategic tool for oral drug delivery technology.
Asian J. Pharm. 2009: 3 (2). 7681.

Shargel, L., & Yu, A.B.C. 1999. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics
4th edition. New York: Appleton & Lange.

United States Pharmacopeia and National Formulary USP. 1994. The United
States: Pharmacopeial Convention, Inc..
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V. Yogyakarta:
Gajahmada University Press

Anda mungkin juga menyukai