TINJAUAN PUSTAKA
Kelas 1 : Obat pada kelas ini memiliki permeabilitas yang bagus kecuali
mereka tidak stabil pada saluran pencernaan atau jika obat melewati
metabolisme pertama. Karena obat tersebut juga memiliki daya larut yang
baik, faktor keterbatasan untuk absorpsinya adalah waktu pengosongan
gastric. Bentuk pelepasan segera dosis padat yang mengandung obat dengan
karakteristik ini berpotensi menjadi biowaiver untuk studi bioekivalensi.
Contoh obat: Ketoprofen, naproxen, Carbamazepine, propanolol, Metoprolol,
Diltiazem, Verapamil
Penggunaan surfaktan
Kompleksasi
Pembuatan produk tersebut
Pemilihan polimer yang digunakan
Penggunaan garam dari asam lemah dan basa lemah
Menggunakan Buffeirng pH lingkungan
Kelas 3 : Obat yang memiliki daya kelarutan yang baik dan mengurangi
permeabilitas; yang terakhir dipertimbangkan faktor keterbatasan untuk
absorpsi. Penting bahwa bentuk dosis yang mengandung obat jenis ini
melepas secara cepat untuk memaksimalkan waktu kontak dengan epitelium
intestinal; namun, absorpsi dapat dipengaruhi oleh variabel fisik seperti waktu
tinggal intestinal dan konten luminal.
Contohnya obat: Acyclovir, Alendronate, Captopril, Enalaprilat Neomycin B
Kelas 4 : Kelas ini adalah yang para peneliti temukan paling menantang,
karena obat-obatnya menunjukkan masalah biovaibilas oral karena
berkurangnya daya kelarutan dan permeabilitas.
Contoh termasuk : Chlothaizude, Furosemide, Tobramycine, Sefuroksim dll
Aspek Pengaturan
BCS terutama digunakan dalam identifikasi obat secara tepat untuk
menggantikan uji in vivonya dengan uji disolusi secara in vitro. Saat ini telah
diketahui bahwa obat BCS kelas I dilepaskan dari bentuk sediaannya dengan
sangat cepat secara in vivo dan pengosongan lambung akan menjadi batasan
pada proses absorbsi. Dengan demikian, bioavailabilitas tidak tergantung
pada sifat biofarmasetik dan oleh karena itu pemeriksaan secara in vivo dapat
diabaikan (bio-waiver). Kriteria untuk persyaratan bio-waiver adalah obat
harus stabil pada cairan GI dan tidak termasuk dalam golongan obat dengan
indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, siklosporin). Obat-obat dengan
permeabilitas tinggi namun kelarutannya rendah (kelarutan dalam air tinggi
hanya pada pH 6,8; BCS kelas II asam lemah) dapat juga dibebaskan dari uji
BE secara in vivo. Namun dalam beberapa kasus obat BCS kelas II penerapan
bio-waiver tidak dianjurkan (Amidon et al., 1995).
Bio-waiver juga dapat diterapkan pada obat BCS kelas III karena obat
golongan ini memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dan juga karena
bioavailabilitas kurang dipengaruhi oleh sifat pelepasan formulasi obat
terhadap permeabilitas secara in vivo. Alasan yang mendasari penerapan bio-
waiver pada obat BCS kelas III ditunjukkan bahwa jika dua produk
mengandung bahan obat yang sama, memiliki profil konsentrasi-waktu yang
sama pada permukaan membran usus tentu akan memiliki kecepatan dan
tingkat bioavailabilitas yang sama. Akan tetapi hal ini tidak selamanya benar
karena ternyata untuk bahan obat kelas III, eksipien dari formulasi obat dapat
mempengaruhi pengambilannya. Hal ini akan mengubah bioavailabilitas.
Kesimpulan yang sama juga dapat ditarik terhadap obat BCS kelas I bahwa
jika laju disolusinya cepat maka akan menunjukkan reaksi yang sama dengan
larutan obat oral secara in vivo. Konsekuensinya adalah selama belum
ditetapkannya suatu metode validasi yang memperkirakan efek eksipien
dalam formulasi terhadap sitem transpor obat, bio-waiver tidak dapat
diterapkan (Amidon et al., 1995).
2.4.3 Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan
kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam.
Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah
melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam
sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan
berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan
gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar
akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.(Darsono, 2002)
2.4.4 Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat
yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan
efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena
itu Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua
obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa
(Mardjono, 2008). Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui
penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap
obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan
Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan
efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi
demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi,
demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik
(Gunawan, 2009).
2.4.5 Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan
demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan
bagi nyeri yang ringan sampai sedang (Ditjen POM, 1995).
2.4.6 Kontraindikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita
hipersensitif terhadap obat ini (Ditjen POM, 1995).
DAFTAR PUSTAKA
Amidon GL, Lennernas H, Shah VP, and Crison JR, A theoretical basis for a
biopharmaceutics drug classification: The correlation of in vitro drug
product dissolution and in vivo bioavailability, Pharm. Res., 1995, 12,
413420.
Chan, H.O. 2001. Biopharmaceutics Classification System: An Industrial
Experience. Capsugel Library. 1-10.
Mardjono, Mahar dan Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi klinis dasar. Jakarta:
Dian Rakyat
Polli, J. E., Yu, L. X., Cook, J. A., Amidon, G. L., et al. Summary workshop
report: Biopharmaceutics classification system-implementation challenges
and extension opportunities. J. Pharm. Sci. 2004: 93 (6), 13751381.
Shargel, L., & Yu, A.B.C. 1999. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics
4th edition. New York: Appleton & Lange.
United States Pharmacopeia and National Formulary USP. 1994. The United
States: Pharmacopeial Convention, Inc..
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V. Yogyakarta:
Gajahmada University Press