Anda di halaman 1dari 97

PEMBUATAN DAN EVALUASI SECARA IN VITRO

EMULSI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) MENGGUNAKAN


EMULGATOR TWEEN 80 DAN GOM ARAB

SKRIPSI

OLEH:
Rutlin Valentina Silaban
NIM 121524148

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
PEMBUATAN DAN EVALUASI SECARA IN VITRO
EMULSI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) MENGGUNAKAN
EMULGATOR TWEEN 80 DAN GOM ARAB

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara

OLEH:
RUTLIN VALENTINA SILABAN
NIM 121524148
PENGESAHAN SKRIPSI

PEMBUATAN DAN EVALUASI SECARA IN VITRO


EMULSI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) MENGGUNAKAN
EMULGATOR TWEEN 80 DAN GOM ARAB

OLEH:
RUTLIN VALENTINA SILABAN
NIM 121524148

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi


Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 13 Mei 2015

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. Prof. Dr. Karsono, Apt.


NIP 195201171980031002 NIP 195409091982011001

Pembimbing II, Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt.


NIP 195201171980031002

Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt. Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt.
NIP 195006071979031001 NIP 195504241983031003

Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt.


NIP 195503121983032001

Medan, Juni 2015


Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt.


NIP 195807101986012001
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan

anugerah dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi yang

berjudul “Pembuatan dan Evaluasi Secara In Vitro Emulsi Virgin Coconut

Oil (VCO) menggunakan Emulgator Tween 80 dan Gom arab”. Skripsi ini

diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.,

selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan fasilitas dan masukan selama masa pendidikan dan penelitian,

kepada Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., dan Prof. Dr. Jansen Silalahi, M. App.Sc.,

Apt, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,

arahan, dan bantuan selama masa penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Karsono, Apt.,

Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Dra. Azizah Nasution, M.Sc.,

Ph.D., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam

penyusunan skripsi ini serta kepada Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt.

selaku dosen pembimbing akademik yang selalu membimbing selama masa

pendidikan. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang

telah mendidik selama perkuliahan. Bapak kepala Laboratorium Farmasi Fisik

yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama penulis melakukan

penelitian.

iv
Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus dan

tak terhingga kepada Ayahanda J. Silaban dan Ibunda M. Munte (Alm) yang tiada

hentinya mendoakan, memberikan semangat, dukungan dan berkorban dengan

tulus ikhlas bagi kesuksesan penulis, kepada kakak dan adik-adikku tersayang,

teman-teman di Laboratorium Farmasi Fisik, dan sahabat-sahabatku yang selalu

memberikan dorongan dan motivasi selama penulis melakukan penelitian.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna,

sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk

penyempurnaannya. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi dan berguna bagi alam semesta.

Medan, Mei 2015


Penulis,

Rutlin Valentina Silaban


121524148
PEMBUATAN DAN EVALUASI SECARA IN VITRO
EMULSI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) MENGGUNAKAN
EMULGATOR TWEEN 80 DAN GOM ARAB

ABSTRAK

Latar belakang: Saat ini virgin coconut oil (VCO) dikonsumsi sebagai makanan
fungsional ataupun suplemen yang diminum secara langsung, tetapi VCO
memiliki rasa yang tidak enak sehingga kurang dapat diterima oleh konsumen.
Oleh karena itu, VCO perlu diformulasi menjadi bentuk emulsi supaya lebih dapat
diterima konsumen.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membuat VCO dan membuat emulsi
VCO.

Metode: Pembuatan VCO dilakukan secara fermentasi dengan menggunakan


mikroba ragi tempe (Rhizopus oryzae). VCO yang diperoleh diuji kadar air,
bilangan asam dan bobot jenisnya kemudian dibuat sediaan emulsi dengan
menggunakan gom arab 20% dan variasi konsentrasi Tween 80 yaitu 0.25, 0.5,
0.75 dan 1%. Pengujian sediaan meliputi pengamatan organoleptis, pH, tipe
emulsi, creaming, viskositas, redispersibilitas dan ukuran partikel selama
penyimpanan 8 minggu. Pengukuran dilakukan setiap 1 minggu dalam suhu
kamar.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik VCO yang diperoleh


yaitu kadar air 0.0333%, bilangan asam 0.1389%, bobot jenis 0.9072 dan kadar
minyak 40.82%. Hasil pengamatan stabilitas emulsi VCO menggunakan Tween
80 dengan konsentrasi 1% menunjukkan emulsi yang paling stabil karena tidak
mengalami perubahan organoleptis, creaming yang paling kecil, viskositas paling
besar, paling mudah didispersikan kembali, dan memiliki ukuran rata-rata partikel
paling kecil. Sediaan emulsi VCO yang dibuat memiliki pH 3,4 – 3,7 dan
memiliki tipe emulsi m/a.

Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi Tween 80


maka emulsi semakin stabil.

Kata kunci: VCO, Emulsi, Tween 80, Gom arab, Stabilitas fisik
PREPARATION AND IN VITRO EVALUATION
OF VIRGIN COCONUT OIL EMULSION USING
TWEEN 80 AND ACACIA GUMS AS EMULSIFYING AGENTS

ABSTRACT

Background: Currently virgin coconut oil (VCO) is consumed orally as a


functional food or a supplement but the VCO has a bad taste so that less
acceptable by consumers. Therefore, it is necessary to formulate VCO into an
emulsion that is more acceptable by consumers.

Objective: The objective of this study was to prepared VCO and VCO emulsion.

Methods: Preparation of VCO was conducted by fermentation using microbial


yeast tempe (Rhizopus oryzae). The VCO produced was tested for water content,
acid number and density. Then emulsions were prepare using 20% acacia gums
and various concentration of Tween 80, it was 0.25, 0.5, 0.75 and 1%. Evaluation
of the formulation included the organoleptic, pH, type of emulsion, creaming,
viscosity, redispers and particle size during storage for 8 weeks. Measurement
were performed every 1 weeks at room temperature.

Results: The result showed that VCO characteristics obtained i.e, the water
content was 0.0333%, acid number was 0.1389, density was 0.9072, and oil
content was 40.82%. The observation of VCO emulsion stability use Tween 80
with 1% consentration showed the most stable emulsion because the organoleptic
of the emulsion was unchanged, has a less creaming, highest viscosity, more
easily to redispers, and has the smallest particle size. The pH of emulsions 3.4 –
3.7 and type of emulsion was o/w.

Conclusion: This study suggests that the higher the concentration of Tween 80
the more stable of emulsion.

Keywords: VCO, Emulsion, Tween 80, Acacia Gums, Physical stability


DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL .............................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................. ii

KATA PENGANTAR ....................................................................... iii

ABSTRAK ........................................................................................ v

ABSTRACT ...................................................................................... vi

DAFTAR ISI ..................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ............................................................................. xi

DAFATAR LAMPIRAN .................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................ 1

1.2 Perumusan Masalah ......................................................... 4

1.3 Hipotesis .......................................................................... 4

1.4 Tujuan Penelitian ............................................................. 4

1.5 Manfaat Penelitian ........................................................... 4

1.6 Kerangka Pikir ................................................................. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 6

2.1 Minyak Kelapa ................................................................ 6

2.2 Virgin Coconut Oil .......................................................... 7

2.3 Komposisi Asam Lemak VCO ........................................ 7

2.4 Teknologi Pengolahan VCO ........................................... 8

2.5 Mutu VCO ....................................................................... 10

2.5.1 Kadar air ................................................................ 10


2.5.2 Angka asam ........................................................... 11

2.5.3 Berat jenis .............................................................. 12

2.6 Manfaat VCO .................................................................. 12

2.7 Sediaan VCO ................................................................... 14

2.7.1 VCO dalam bentuk kapsul lunak .......................... 14

2.7.2 VCO dalam bentuk larutan .................................... 15

2.8 Emulsi .............................................................................. 16

2.8.1 Pengertian emulsi .................................................. 16

2.8.2 Jenis emulsi ........................................................... 16

2.8.3 Tujuan emulsi ........................................................ 18

2.8.4 Teori emulsifikasi .................................................. 18

2.8.5 Penggunaan emulsi ................................................ 22

2.8.6 Pembuatan emulsi ................................................. 22

2.8.7 Zat pengemulsi ...................................................... 24

2.8.7.1 Tween 80 .................................................. 25

2.8.7.2 Gom arab .................................................. 26

2.8.8 Sistem HLB ........................................................... 26

2.8.9 Ketidakstabilan sediaan emulsi ............................. 27

2.9 Emulsi Minyak ................................................................ 29

2.9.1 Emulsi minyak kelapa murni ................................ 29

2.9.2 Emulsi minyak buah merah ................................... 29

BAB III METODE PENELITIAN ................................................... 31

3.1 Metode Penelitian ............................................................ 31

3.2 Alat .................................................................................. 31


3.3 Bahan ............................................................................... 31

3.4 Prosedur Kerja ................................................................. 32

3.4.1 Pembuatan VCO ................................................. 32

3.4.2 Kadar minyak ...................................................... 32

3.4.3 Uji mutu VCO ..................................................... 33

3.4.3.1 Kadar air ................................................. 33

3.4.3.2 Bilangan asam ........................................ 33

3.4.3.3 Berat jenis ............................................... 33

3.5 Penentuan Emulgator dan Formulasi Emulsi VCO ..... 34

3.5.1. Penentuan emulgator .......................................... 34

3.5.2. Formulasi emulsi VCO ...................................... 36

3.6 Cara Pembuatan Emulsi VCO ..................................... 36

3.7 Evaluasi Terhadap Sediaan .......................................... 37

3.7.1 Pengamatan organoleptis .................................... 37

3.7.2 Pengukuran pH .................................................. 37

3.7.3 Penentuan tipe emulsi ......................................... 37

3.7.4 Pengamatan creaming ........................................ 37

3.7.5 Penentuan viskositas ........................................... 38

3.7.6 Uji redispersibilitas ............................................. 38

3.7.7 Ukuran partikel dan distribusi partikel ............... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................... 39

4.1 Uji Mutu VCO .............................................................. 39

4.1.1 Karakteristik organoleptis VCO ......................... 39

4.1.2 Kadar air, bilangan asam, berat jenis VCO ........ 39


4.2 Penentuan Emulgator dan Formulasi Emulsi VCO ...... 40

4.2.1 Penentuan emulgator ........................................... 40

4.2.2 Formulasi emulsi VCO ....................................... 42

4.3 Hasil Evaluasi Emulsi VCO .......................................... 44

4.3.1 Pengamatan organoleptis .................................... 44

4.3.2 Pengukuran pH ................................................... 45

4.3.3 Penetuan tipe emulsi ........................................... 46

4.3.4 Pengamatan creaming ......................................... 47

4.3.5 Penentuan viskositas ........................................... 50

4.3.6 Redispersibilitas .................................................. 52

4.3.7 Pengukuran partikel ............................................ 53

4.3.7.1 Ukuran partikel terdispersi ...................... 53

4.3.7.2 Distribusi partikel terdispersi ................. 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 63

5.1 Kesimpulan ................................................................... 63

5.2 Saran ............................................................................. 63

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 64

LAMPIRAN ...................................................................................... 68
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Komposisi daging buah kelapa ..................................................... 6

2.2 Komposisi asam lemak VCO ....................................................... 8

2.3 Aktivitas dan harga HLB surfaktan .............................................. 27

2.4 Stabilitas fisik emulsi minyak ....................................................... 30

3.1 Formula basis emulsi VCO ........................................................... 34

3.2 Formula emulsi VCO .................................................................... 36

4.1 Kadar air, bilangan asam dan bobot jenis VCO ........................... 39

4.2 Pengamatan basis emulsi VCO ..................................................... 41

4.3 Pengamatan organoleptis emulsi VCO ......................................... 44

4.4 pH emulsi VCO ............................................................................ 45

4.5 Tipe emulsi VCO .......................................................................... 47

4.6 Creaming pada emulsi VCO ......................................................... 49

4.7 Viskositas emulsi VCO ................................................................ 50

4.8 Redispersibilitas emulsi VCO ...................................................... 53

4.9 Ukuran rata-rata partikel terdispersi ............................................. 57

4.10 Distribusi partikel terdispersi ........................................................ 59


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Flowsheet pembuatan VCO .......................................................... 68

2. Gambar proses pembuatan VCO .................................................. 69

3. Flowsheet uji kualitas VCO .......................................................... 70

4. Perhitungan rendemen minyak, berat jenis VCO ......................... 72

5. Perhitungan angka asam, kadar air VCO ...................................... 73

6. Flowsheet pembuatan sediaan emulsi VCO ................................. 74

7. Perhitungan creaming ................................................................... 75

8. Perhitungan ukuran partikel terdispersi ........................................ 76

9. Gambar buah kelapa, ragi tempe, alat peras kelapa ...................... 79

10. Gambar alat uji emulsi VCO ........................................................ 80

11. Gambar sediaan uji ....................................................................... 81


PEMBUATAN DAN EVALUASI SECARA IN VITRO
EMULSI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) MENGGUNAKAN
EMULGATOR TWEEN 80 DAN GOM ARAB

ABSTRAK

Latar belakang: Saat ini virgin coconut oil (VCO) dikonsumsi sebagai makanan
fungsional ataupun suplemen yang diminum secara langsung, tetapi VCO
memiliki rasa yang tidak enak sehingga kurang dapat diterima oleh konsumen.
Oleh karena itu, VCO perlu diformulasi menjadi bentuk emulsi supaya lebih dapat
diterima konsumen.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membuat VCO dan membuat emulsi
VCO.

Metode: Pembuatan VCO dilakukan secara fermentasi dengan menggunakan


mikroba ragi tempe (Rhizopus oryzae). VCO yang diperoleh diuji kadar air,
bilangan asam dan bobot jenisnya kemudian dibuat sediaan emulsi dengan
menggunakan gom arab 20% dan variasi konsentrasi Tween 80 yaitu 0.25, 0.5,
0.75 dan 1%. Pengujian sediaan meliputi pengamatan organoleptis, pH, tipe
emulsi, creaming, viskositas, redispersibilitas dan ukuran partikel selama
penyimpanan 8 minggu. Pengukuran dilakukan setiap 1 minggu dalam suhu
kamar.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik VCO yang diperoleh


yaitu kadar air 0.0333%, bilangan asam 0.1389%, bobot jenis 0.9072 dan kadar
minyak 40.82%. Hasil pengamatan stabilitas emulsi VCO menggunakan Tween
80 dengan konsentrasi 1% menunjukkan emulsi yang paling stabil karena tidak
mengalami perubahan organoleptis, creaming yang paling kecil, viskositas paling
besar, paling mudah didispersikan kembali, dan memiliki ukuran rata-rata partikel
paling kecil. Sediaan emulsi VCO yang dibuat memiliki pH 3,4 – 3,7 dan
memiliki tipe emulsi m/a.

Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi Tween 80


maka emulsi semakin stabil.

Kata kunci: VCO, Emulsi, Tween 80, Gom arab, Stabilitas fisik

vi
PREPARATION AND IN VITRO EVALUATION
OF VIRGIN COCONUT OIL EMULSION USING
TWEEN 80 AND ACACIA GUMS AS EMULSIFYING AGENTS

ABSTRACT

Background: Currently virgin coconut oil (VCO) is consumed orally as a


functional food or a supplement but the VCO has a bad taste so that less
acceptable by consumers. Therefore, it is necessary to formulate VCO into an
emulsion that is more acceptable by consumers.

Objective: The objective of this study was to prepared VCO and VCO emulsion.

Methods: Preparation of VCO was conducted by fermentation using microbial


yeast tempe (Rhizopus oryzae). The VCO produced was tested for water content,
acid number and density. Then emulsions were prepare using 20% acacia gums
and various concentration of Tween 80, it was 0.25, 0.5, 0.75 and 1%. Evaluation
of the formulation included the organoleptic, pH, type of emulsion, creaming,
viscosity, redispers and particle size during storage for 8 weeks. Measurement
were performed every 1 weeks at room temperature.

Results: The result showed that VCO characteristics obtained i.e, the water
content was 0.0333%, acid number was 0.1389, density was 0.9072, and oil
content was 40.82%. The observation of VCO emulsion stability use Tween 80
with 1% consentration showed the most stable emulsion because the organoleptic
of the emulsion was unchanged, has a less creaming, highest viscosity, more
easily to redispers, and has the smallest particle size. The pH of emulsions 3.4 –
3.7 and type of emulsion was o/w.

Conclusion: This study suggests that the higher the concentration of Tween 80
the more stable of emulsion.

Keywords: VCO, Emulsion, Tween 80, Acacia Gums, Physical stability


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu produk yang dapat dihasilkan dari daging buah kelapa yang

sudah tua tetapi masih segar adalah Virgin Coconut Oil (VCO) atau minyak

kelapa murni. VCO merupakan salah satu minyak yang memiliki banyak manfaat

dalam bidang industri farmasi maupun kesehatan. Dalam dunia industri farmasi

VCO digunakan sebagai bahan dasar kosmetik sedangkan di dunia kesehatan

sebagai makanan fungsional. Itulah sebabnya saat ini permintaan VCO terus

meningkat baik di dalam maupun di luar negeri (Mentawai, 2005; Nevin dan

Rajamohan, 2004).

Pada dasarnya cara pembuatan VCO yang banyak dilakukan Indonesia

dibedakan menjadi fermentasi, pemanasan bertahap, pemancingan, sentrifugasi.

Proses ekstraksi minyak secara fermentasi melibatkan enzim-enzim pemecah

emulsi santan. Aktifitas enzim dipengaruhi oleh konsentrasi substrat, enzim, suhu,

dan lamanya reaksi enzimatik. Biakan mikroba yang digunakan diharapakan

memiliki aktifitas proteolitik, amilolitik yang berperan dalam menghidrolisis

protein, karbohidrat (Iswanto, 2001; Darmoyuono, 2006).

Pemanfaatan mikroorganisme pada proses fermentasi dimaksudkan agar

terjadi koagulasi protein penstabil emulsi santan. Proses koagulasi fermentasi

protein ini mengakibatkan membran tipis pelapis emulsi pecah dan minyak dapat

diperoleh. Disamping itu mikroba juga menghasilkan enzim yang dapat

menghidrolisis makromolekul protein (Iswanto, 2001).

1
VCO termasuk lemak jenuh, tetapi asam lemak jenuh di dalamnya adalah

asam lemak jenuh rantai sedang (MCT) lebih dari 80%, asam lemak rantai pendek

sekitar 10%, dan hanya sedikit asam lemak jenuh rantai panjang seperti asam

palmitat (5%). VCO yang termasuk asam lemak jenuh rantai sedang, di dalam

mulut dan lambung akan mudah dihidrolisis menjadi asam lemak rantai pendek

dan sedang, tidak bersifat aterogenik, karena dengan cepat dicerna dan diserap

melalui vena porta ke hati dan segera dioksidasi menjadi energi. Oleh karena itu

metabolisme VCO berbeda dengan minyak lainnya. Berdasarkan metabolisme

yang demikian ini VCO tidak memicu aterosklerosis (tidak bersifat aterogenik)

dan bersifat protektif terhadap resiko penyakit jantung koroner (PJK), mencegah

diabetes, infeksi dan bersifat menghambat virus HIV/AIDS (Gopala, et al., 2010;

Silalahi dan Nurbaya, 2011; Silalahi, 2012).

Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik yang

terdiri atas sedikitnya dua fase cair taktercampurkan, salah satunya terdispersi

sebagai globul (fase terdispersi) dalam fase cair lainnya (fase kontinu); emulsi

distabilkan dengan adanya bahan pengemulsi. Untuk emulsi yang diberikan secara

oral, tipe emulsi minyak dalam air memungkinkan pemberian obat yang harus

dimakan tersebut mempunyai rasa yang lebih enak walaupun yang diberikan

sebenarnya minyak yang tidak enak rasanya, dengan menambahkan pemanis dan

pemberi rasa pada pembawa airnya, sehingga mudah dimakan dan ditelan sampai

ke lambung (Florence dan Attwood, 2006; Martin, et al., 2011).

Emulsi yang stabil dapat dicapai dengan menggunakan emulgator tunggal

atau kombinasi. Tween 80 dan gom arab merupakan emulgator yang memiliki

keseimbangan lipofilik dan hidrofilik bersifat tidak toksik, tidak iritatif dan
memiliki potensi yang rendah untuk menyebabkan reaksi hipersensitivitas.

Kombinasi emulgator Tween 80 dan gom arab mampu membentuk emulsi minyak

dalam air (Rowe, et al., 2009; Yaghmur, et al., 2002; Campo, et al., 2004).

Pembuatan emulsi minyak kelapa murni dengan menggunakan emulgator

Span 80 dan Tween 40 yang telah dilakukan oleh Syukri (2008) memberikan

emulsi yang kurang stabil. Volume pemisahan fase pada suhu kamar, suhu 40 0C

dan sentrifugasi selama 4 minggu penyimpanan semakin tinggi sedangkan

viskositas menurun perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya umur sediaan.

Seiring dengan berkembangnya penelitian yang membahas VCO dan

manfaatnya bagi kesehatan, maka semakin banyak pula masyarakat yang tertarik

untuk mencoba mengkonsumsi VCO baik sebagai makanan fungsional maupun

sebagai suplemen untuk menjaga ketahanan tubuh. Rasa minyak dan sedikit asam

dari VCO menyebabkan rasa VCO kurang dapat diterima konsumen (Villarino

dan Lizada, 2007). Oleh karena itu perlu pengolahan VCO menjadi produk olahan

yang dapat meningkatkan cita rasa, tanpa mengurangi peran fungsionalnya. Salah

satu upaya tersebut adalah pengolahan VCO dalam bentuk emulsi supaya lebih

dapat diterima konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk membuat VCO dan

membuat emulsi VCO.


1.2 Perumusan Masalah

a. Apakah pembuatan VCO dengan metode fermentasi menghasilkan minyak

yang baik?

b. Apakah Tween 80 dan gom arab dapat digunakan sebagai emulgator untuk

membuat sediaan emulsi VCO?

1.3 Hipotesis

a. Penggunaan ragi tempe pada metode fermentasi menghasilkan VCO yang

memenuhi standart.

b. Tween 80 dan gom arab dapat digunakan sebagai emulgator untuk

membuat sediaan emulsi VCO.

1.4 Tujuan Penelitian

a. Mengetahui kualitas VCO yang diperoleh dengan metode fermentasi

menggunakan ragi tempe.

b. Mengetahui stabilitas fisik sediaan emulsi VCO dengan menggunakan

emulgator Tween 80 dan gom arab selama penyimpanan dalam jangka

waktu tertentu.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian akan diperoleh informasi tentang cara pengolahan

VCO menggunakan ragi tempe dan cara membuat emulsi VCO.


1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir atau road map penelitian ini adalah tertera pada Gambar

1.1.

Latar Tujuan Variabel Variabel Parameter


Belakang Bebas Terikat

VCO
bermanfaat Membuat 1. pH
sebagai sediaan 2. Tipe emulsi
makanan emulsi Konsentrasi Stabilitas 3. Viskositas
fungsional VCO yang Tween 80 4. Pengamatan
tetapi VCO lebih (0,25%, sediaan
acceptable creaming
mempunyai 0,5%,
rasa menggunak 0,75%, 1%) emulsi 5. Redispersibilitas
an 6. Ukuran partikel
tidak enak emulgator dan distribusi
sehingga gom partikel
kurang
acceptable

Gambar 1.1 Diagram kerangka pikir penelitian


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Kelapa

Minyak kelapa yang dikenal dengan minyak kalentik dan dulu banyak

digunakan oleh masyarakat dipedesaan, sekarang jarang sekali ditemukan

dipasaran. Minyak kelapa pada umumnya dibagi menjadi dua kategori yaitu

minyak kelapa komersial yang telah di Refined, Deodorized, Bleached (RBD) dan

minyak kelapa murni. Minyak kelapa komersial terbuat dari kopra (daging kelapa

yang dijemur dibawah sinar matahari). Sesuai kondisinya, bahan ini relatif kotor

dan mengandung bahan asing yang mempengaruhi hasil akhirnya. Bahan asing ini

biasa berupa jamur, tanah, sampah dan kotoran lainnya. Minyak kelapa murni

dibuat dari buah kelapa segar diproses dengan pemanasan sekitar 60-700C

sehingga menghasilkan minyak yang jernih. Kualitas minyak kelapa sangat

dipengaruhi oleh asal dan kualitas bahan baku serta proses pembuatan (Gani, et

al., 2005). Komposisi kimia daging buah kelapa pada berbagai tingkat

kematangan dapat dilihat dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi kimia daging buah kelapa pada berbagai tingkat kematangan

Analisis (dalam 100 g) Buah muda Buah setengah muda Buah tua
Kalori (kal) 68,0 180,0 359,0
Protein (g) 1,0 4,0 3,4
Lemak (g) 0,9 13,09 34,7
Karbohidart (g) 14,0 10,0 14,0
Kalsium (mg) 17,0 8,0 21,0
Fosfor (mg) 30,0 35,0 21,0
Besi (mg) 1,0 1,3 2,0
Vitamin A (IU) 0,0 10,0 0,0
Thiamin (mg) 0,0 0,5 0,1
Asam askorbat (mg) 4,0 4,0 2,0
Air (g) 83,3 70,0 46,9
(Sutarmi dan Rozaline, 2005).
2.2 Virgin Coconut Oil

Virgin coconut oil (VCO) atau minyak kelapa murni adalah minyak kelapa

yang diperoleh dari kelapa yang sudah tua tanpa pemanasan tinggi, tanpa bahan

kimia apapun, diproses dengan cara sederhana sehingga diperoleh minyak kelapa

murni yang berkulitas tinggi. Keunggulan dari minyak ini menurut SNI adalah

bau kelapa segar, tidak tengik, rasa normal, khas kelapa dan tidak berwarna.

Minyak kelapa murni merupakan bentuk olahan daging kelapa yang baru-baru ini

banyak diproduksi orang. Di beberapa daerah, VCO lebih terkenal dengan nama

minyak perawan, minyak sara, atau minyak kelapa murni (Setiaji dan Prayugo,

2006).

2.3 Komposisi Asam Lemak VCO

VCO mengandung asam lemak rantai sedang yang mudah dicerna dan

dioksidasi oleh tubuh sehingga mencegah penimbunan di dalam tubuh. Di

samping itu ternyata kandungan antioksidan di dalam VCO pun sangat tinggi

seperti tokoferol dan betakaroten. Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah

penuaan dini dan menjaga vitalitas tubuh (Setiaji dan Prayugo, 2006).

Komponen utama VCO adalah asam lemak jenuh sekitar 90% dan asam

lemak tak jenuh sekitar 10%. Asam lemak jenuh VCO didominasi oleh asam

laurat. VCO mengandung ± 53% asam laurat dan sekitar 7% asam kaprilat.

Keduanya merupakan asam lemak rantai sedang yang biasa disebut Medium

Chain Fatty Acid (MCFA). Komposisi kandungan asam lemak VCO dapat dilihat

dalam Tabel 2.2.


Tabel 2.2 Komposisi asam lemak VCO

Asam Lemak Jenuh Asam Lemak Tidak Jenuh


Asam Lemak Jumlah ( % ) Asam Lemak Jumlah (%)
Asam Kaproat 0,0 – 0,8 Asam Palmitoleat 0,0 – 1,3
Asam Kaprilat 5,5 – 9,5 Asam Oleat 5,8 – 8,0
Asam Kaprat 4,5 – 9,5 Asam Linoleat 1,5 – 2,5
Asam Laurat 44,0 – 52,0
Asam Miristat 13,0 – 19,0
Asam Palmitat 7,5 – 10,5
Asam Stearat 1,0 – 3,0
Asam Arachidat 0,0 – 0,4
(Gani, et al., 2005)

2.4 Teknologi Pengolahan VCO

VCO dapat dibuat dengan banyak metode. Beberapa metode tersebut

adalah metode fermentasi, pemanasan bertahap, sentrifuse dan pancingan.

a. Fermentasi

Fermentasi merupakan kegiatan mikroba pada bahan pangan sehingga

dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikroba yang umumnya terlibat dalam

fermentasi adalah bakteri, khamir dan kapang. Contoh bakteri yang digunakan

dalam fermentasi adalah Acetobacter aceti pada pembuatan nata decoco. Contoh

khamir dalam fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae dalam pembuatan

alkohol sedangkan contoh kapang adalah Rhizopus oryzae pada pembuatan

tempe. Kapang ini mempunyai kemampuan menghasilkan enzim protease dan

lipase yang dapat menghidrolisis minyak dengan didukung oleh kadar air yang

tinggi (Bawalan, 2011).

Ekstraksi secara fermentasi dilakukan dengan cara kelapa parut dicampur

dengan air lalu diperas. Santan yang diperoleh dimasukkan ke dalam wadah dan

didiamkan selama 1 jam sehingga terbentuk dua lapisan, yaitu krim santan pada

bagian atas dan air pada bagian bawah. Kemudian krim santan difermentasi
dengan menambah ragi tempe dengan perbandingan 5:1 (5 bagian krim santan dan

1 bagian ragi tempe). Fermentasi selesai ditandai dengan terbentuknya 3 lapisan

yaitu lapisan minyak paling atas, lapisan tengah berupa protein dan lapisan paling

bawah berupa air. Pemisahan dilakukan dengan menggunakan kertas saring

(Cahyono dan Untari, 2009; Setiaji dan Prayugo, 2006).

Proses fermentasi dalam pembuatan minyak kelapa murni atau virgin

coconut oil (VCO) yaitu mikroba dari ragi tempe dalam emulsi menghasilkan

enzim, antara lain enzim protease. Enzim protease ini memutus rantai-rantai

peptida dari protein berat molekul tinggi menjadi molekul-molekul sederhana dan

akhirnya menjadi peptida-peptida dan asam amino yang tidak berperan lagi

sebagai emulgator dalam santan kelapa sehingga antara minyak dan air memisah.

Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa dengan adanya aktivitas mikroba

tersebut dihasilkan asam sehingga akan menurunkan pH. Pada pH tertentu akan

dicapai titik isoeletrik dari protein. Protein akan menggumpal sehingga mudah

dipisahkan dari minyak (Cahyono dan Untari, 2009).

b. Pemanasan Bertahap

Cara pembuatan dengan metode ini sama dengan cara pembuatan dengan

cara tradisional, yang berbeda terletak pada suhu pemanasan. Dimana, pada

pemanasan bertahap suhu yang digunakan sekitar 60 - 75⁰ C. Bila suhu mendekati

angka 75⁰ C matikan api dan bila suhu mendekati angka 60⁰C nyalakan lagi api.

Pada tahap awal, kelapa diparut, lalu dibuat santan. Krim yang diperoleh

dipisahkan dari air, kemudian dipanaskan sampai terbentuk minyak dan blondo.

Kemudian lakukan penyaringan (Sutarmi dan Rozaline, 2005).


c. Sentrifugasi

Sentrifugasi merupakan cara pembuatan VCO dengan cara mekanik. Cara

pembuatan santan sama dengan yang di atas. Masukkan krim santan kedalam alat

sentrifuse. Kemudian nyalakan alat sentrifuse lalu atur pada kecepatan putaran

20.000 rpm dan waktu pada angka 15 menit. Ambil tabung dimana di dalam

tabung terbentuk 3 lapisan. Ambil bagian VCO dengan menggunakan pipet tetes

(Darmoyuwono, 2006; Setiaji dan Prayugo, 2006).

e. Pancingan

Cara pembuatan santan sama dengan cara diatas. Diamkan santan sampai

terbentuk krim dan air. Krim tersebut dicampur dengan minyak pancingan dengan

perbandingan 1:3 sambil terus diaduk hingga rata, lalu diamkan 7 – 8 jam sampai

terbentuk minyak, blondo dan air. Ambil VCO dengan sendok. (Darmoyuwono,

2006; Sutarmi dan Rozaline, 2005).

2.5 Mutu VCO

VCO mutunya ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: kadar air,

angka asam, berat jenis.

2.5.1 Kadar air

Kadar air adalah jumlah (dalam %) bahan yang menguap pada pemanasan

dengan suhu dan waktu tertentu. Jika dalam minyak terdapat air maka akan

mengakibatkan reaksi hidrolisis yang dapat menyebabkan kerusakan minyak.

Reaksi hidrolisis akan menyebabkan ketengikan hidrolisis yang menghasilkan

rasa dan bau tengik pada minyak. Penentuan kadar air dengan cara memanaskan
sampel dalam oven T=1050C selama 2 jam lalu didinginkan dalam desikator

kemudian ditimbang. Standar kadar air menurut SNI maksimal 0,2%.

Kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Berat awal − berat akhir


Kadar air = Berat sampel x 100%

2.5.2 Bilangan asam

Bilangan asam adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk

menetralkan asam-asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak atau

lemak. Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas

yang terdapat dalam minyak atau lemak. Untuk penetapan bilangan asam dapat

dilakukan dengan cara ditimbang 5 gram minyak atau lemak ke dalam erlenmeyer

250 ml. Selanjutnya ditambahkan 50 ml alkohol 95%, kemudian dipanaskan

dalam penangas air. Larutan ini kemudian dititrasi dengan KOH 0,1 N dengan

menggunakan indikator fenolftalein sampai tepat terlihat warna merah muda

(Ketaren, 2005).

Bilangan asam dihitung dengan rumus:

ml KOH x N KOH x MR KOH


Angka Asam = Berat Sampel

Keterangan:

ml = jumlah ml KOH untuk titrasi

N = normalitas larutan KOH

BM KOH = 56,1
2.5.3 Berat jenis

Berat jenis adalah suatu besaran yang menyatakan perbandingan antara

massa (g) dengan volume (ml) (Bangun, 2013). Cara ini dapat digunakan untuk

semua minyak dan lemak yang dicairkan. Alat yang digunakan untuk penentuan

ini adalah piknometer. Standar APCC (Asian Pacific Coconut Community) berat

jenis yaitu sebesar 0,915 - 0,920. Berat jenis dapat dihitung dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

(Berat piknometer + minyak) − (berat piknometer)


Berat Jenis = Volume piknometer

2.6 Manfaat VCO

VCO memiliki metabolisme yang berbeda dengan minyak lain. Oleh

karena itu minyak kelapa murni bersifat protektif terhadap resiko penyakit jantung

koroner (PJK), bersifat menghambat virus, mencegah diabetes dan meningkatkan

kualitas air susu ibu.

a. Melindungi Jantung

Minyak kelapa yang termasuk MCT, di dalam mulut dan lambung akan

mudah terhidrolisis menjadi asam lemak rantai pendek dan sedang, tidak bersifat

atherogenik, karena dengan cepat dicerna dan diserap melalui vena porta ke hati

dan segera dioksidasi menjadi energi. Minyak kelapa sangat mudah dicerna dan

diserap dan cepat dimetabolisir dihati, tidak berada dalam sirkulasi darah. Jadi

minyak kelapa hampir tidak ada diubah menjadi lemak didalam tubuh dan tidak

menaikkan trigliserida darah, tidak menyebabkan endapan jaringan lemak pada

arteri. Sebaliknya minyak kelapa akan meningkatkan kolesterol yang baik yakni

high density lipoprotein (HDL), tidak menaikkan kolesterol jahat LDL, sehingga
rasio LDL/HDL menurun, mengarah kepada yang menguntungkan dan berarti

dapat mengurangi resiko penyakit jantung koroner (Gopala, et al., 2010; Silalahi

dan Nurbaya, 2011).

b. Antimikroba dan Antivirus

Sifat antimikroba dari minyak kelapa terutama tergantung pada adanya

monogliserida, dan asam lemak bebas. Monogliserida aktif sebagai antimikroba

tetapi digliserida dan trigliserida tidak. Asam lemak yang paling aktif adalah asam

laurat dibandingkan dengan asam lemak miristat dan kaprilat. Monolaurin

mencairkan dan merusak struktur lapisan selaput lipida pada virus dan lipida pada

dinding sel bakteri. Monolaurin memperlihatkan efek membunuh virus dengan

merusak DNA dan RNA virus yang dilapisi oleh lipida. Monolaurin mampu

menghambat virus herpes, influenza (Lieberman, et al., 2006; Wang dan Johnson,

1992).

c. Mencegah Diabetes

Diabetes adalah penyakit yang berhubungan dengan kadar glukosa atau

gula darah melebihi kadar normal. Hormon insulin diproduksi oleh kelenjar

pankreas untuk memasukkan glukosa ke dalam sel untuk dioksidasi menjadi

energi atau bahan bakar. Asam lemak rantai sedang (MCT) dari minyak kelapa

cepat sampai dihati dan masuk kedalam sel tanpa bantuan insulin, kemudian

diproses menjadi energi. Asam lemak dari minyak kelapa juga mengikutkan

sebagian lemak dari tubuh untuk dioksidasi menjadi energi sehingga laju

metabolisme dipercepat dan mengurangi deposit lemak tubuh, mengurangi berat

badan akhirnya menurunkan resiko diabetes. Dengan demikian minyak kelapa


dapat mencegah diabetes tipe 1 (merangsang produksi insulin) (Gupta, et al.,

2010).

d. Meningkatkan Kualitas Air Susu Ibu

Air susu ibu (ASI) biasanya mengandung asam laurat yang rendah sekitar

6%. Ibu yang menyusui mengonsumsi minyak kelapa dapat menaikkan asam

laurat sampai tiga kali lipat dan kaprat dua kali lipat di dalam ASI. Asam lemak

rantai sedang di dalam ASI lebih mudah dicerna dan diserap walaupun sistem

pencernaan bayi yang belum sempurna. Asam lemak rantai sedang di dalam

minyak kelapa mudah digunakan sebagai sumber energi yang diperlukan untuk

pertumbuhan yang baik, meningkatkan berat bayi yang dilahirkan dengan berat

badan yang rendah. Pertambahan berat badan yang lebih cepat bukan karena

penimbunan lemak tetapi pertumbuhan fisik (Hegde, 2006).

2.7 Sediaan VCO

2.7.1 VCO dalam bentuk kapsul lunak

Beberapa produsen VCO memang sudah ada yang menjual produknya

dalam bentuk kapsul lunak (softcapsule). Secara teknis VCO memang bisa

dikemas dalam bentuk softcapsule. Sebenarnya tujuan utama mengemas suatu

produk dengan softcapsule supaya bahan aktifnya lebih mudah diserap ke dalam

tubuh karena berbentuk larutan, suspensi, atau emulsi jika dibandingkan dengan

sediaan lain dalam bentuk puyer, tablet, kaplet maupun kapsul. Namun, untuk

produk yang sudah dalam bentuk cairan seperti VCO, tujuan utama ini tidak

tercapai karena mengemasnya dalam bentuk softcapsule justru akan

memperlambat penyerapannya didalam tubuh karena tubuh memerlukan waktu


ekstra untuk menghancurkan kemasan softcapsule sebelum cairan VCO diserap ke

dalam tubuh. Kelemahan lainnya adalah harganya yang relatif lebih mahal

dibandingkan dengan bentuk cairannya karena produsen harus mengeluarkan

investasi tambahan untuk pembelian bahan, peralatan, serta pembayaran royalti

dan lisensi paten teknologi pembuatan softcapsule. Meskipun demikian, kemasan

VCO dalam bentuk softcapsule juga masih memiliki beberapa kelebihan

dibandingkan dengan bentuk cairan, yaitu sebagai berikut:

 Lebih praktis, mudah dibawa ke mana-mana terutama bagi mereka yang

sangat aktif beraktivitas dan bepergian.

 Lebih tahan lama dalam penyimpanan karena terbungkus rapat dalam

kapsul sehingga terhindar dari cahaya dan oksidasi.

 Lebih cocok bagi mereka yang tidak menyukai rasa dan bau minyak

kelapa.

 Tidak mudah dipasulkan.

Sediaan yang ada di pasaran yaitu: Cosvoil (PT. Cocos Coconut), Laurico (PT.

Palmanaturasanatco) (Subroto, 2006).

2.7.2 VCO dalam bentuk larutan

Virgin Coconut Oil (VCO) telah banyak diproduksi dan beredar dipasaran

dalam bentuk sediaan sirup, namun sediaan yang ada memberikan aroma yang

tidak baik dan rasa yang tidak enak. Sediaan yang ada dipasaran yaitu: camBIL

(PT. Olah Ragam kokonat), VCO SM (CV. Rumah Obat Alami), AVCOL (PT.

Ikot Alfisalam VCO), Naturecon (PT. Kasendra), Extravo 234 (UD. Taman Tirta

Sehat) (Subroto, 2006).


2.8 Emulsi

2.8.1 Pengertian emulsi

Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik yang

terdiri atas sedikitnya dua fase cair taktercampurkan, salah satunya terdispersi

sebagai globul (fase terdispersi) dalam fase cair lainnya (fase kontinu); emulsi

distabilkan dengan adanya bahan pengemulsi (Friberg, 1997; Martin, et al., 2011;

Rohman, et al., 2012).

2.8.2 Jenis emulsi

Berdasarkan jenisnya, emulsi dibagi dalam 4 golongan, yaitu emulsi m/a,

emulsi a/m, emulsi m/a/m dan emulsi a/m/a (Florence dan Attwood, 2006;

Kulshreshtha, et al., 2010; Martin, 2011; Mootoosingh dan Rousseau, 2006).

a. Emulsi jenis m/a

Jika fase minyak didispersikan sebagai globul dalam fase kontinu berair,

sistem tersebut dikatatan sebagai emulsi minyak dalam (m/a).

b. Emulsi jenis a/m

Jika fase minyak sebagai fase kontinu, emulsi tersebut dikatakan sebagai

emulsi air dalam minyak (a/m).

c. Emulsi jenis m/a/m

d.Emulsi jenis a/m/a


a m m a a ma m a m

(a) (b) (c) (d)

Gambar 2.1 Tipe emulsi (a) m/a; (b) a/m; (c) a/m/a; (d) m/a/m
(Florence dan Attwood, 2006; Kulshreshtha, et al., 2010;
Mootoosingh dan Rousseau, 2006).

Menentukan jenis emulsi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu

metode pewarnaan, pengenceran, konduktivitas listrik dan fluoresensi.

a. Metode pewarnaan

Jenis emulsi ditentukan dengan penambahan zat warna yang larut dalam

air, seperti metilen biru dapat diteteskan pada permukaan emulsi. Jika air

merupakan fase eksternal (m/a), bahan pewarna akan terlarut dan berdifusi merata

dalam air. Jika emulsi bertipe a/m, partikel-partikel bahan pewarna akan

menggumpal pada permukaan (Martin, et al., 2011).

b. Metode pengenceran fase

Jika emulsi tercampur bebas dengan air, emulsi bertipe m/a, sedangkan

bila tidak, jenis emulsi adalah emulsi a/m (Martin, et al., 2011).

c. Metode konduktivitas listrik

Uji ini menggunakan sepasang elektroda yang dihubungkan ke sumber

listrik eksternal dan dicelupkan dalam emulsi. Jika fase eksternalnya air, arus

listrik akan mengalir dalam emulsi dan dapat menggerakkan jarum voltmeter atau

menyebabkan lampu dalam sirkuit menyala. Jika fase kontinunya minyak, emulsi

tersebut tidak akan membawa arus (Martin, et al., 2011).


d. Metode fluoresensi

Minyak dapat berfluoresensi di bawah sinar UV, emulsi m/a menunjukkan

pola titik-titik, sedangkan emulsi a/m berfluoresensi seluruhnya (Lachman et al.,

1994).

2.8.3 Tujuan emulsi

Tujuan emulsi adalah untuk membuat suatu sediaan yang stabil dan rata

dari dua cairan yang tidak dapat bercampur, untuk pemberian obat yang

mempunyai rasa lebih enak, serta memudahkan absorpsi obat (Ansel, 1989).

2.8.4 Teori emulsifikasi

Beberapa teori emulsifikasi berikut menjelaskan bagaimana zat

pengemulsi bekerja dalam menjaga stabilitas dari dua zat yang tidak saling

bercampur:

a. Adsorpsi Monomolekuler

Surfaktan, atau amfifil, mengurangi tegangan antarmuka karena

adsorpsinya pada antarmuka minyak-air membentuk selaput monomolekuler.

Tetesan terdispersi dilapisi oleh suatu lapisan tunggal koheren yang membantu

mencegah penggabungan antara dua tetesan ketika satu sama lain mendekat.

Idealnya, lapisan selaput tersebut bersifat fleksibel sehingga mampu membentuk

kembali dengan cepat jika pecah atau terganggu (Martin, et al., 2011;

Mootoosingh dan Rousseau, 2006).

Pada praktiknya, sekarang ini kombinasi bahan pengemulsi lebih sering

digunakan daripada pengemulsi zat tunggal dalam pembuatan emulsi. Pada tahun

1940, Schulman dan Cockbain untuk pertama kalinya mengetahui perlunya

pengemulsi hidrofilik terutama dalam fase air dan bahan hidrofobik dalam fase
minyak untuk membentuk suatu selaput kompleks pada antarmuka. Tiga

campuran bahan pengemulsi pada antarmuka minyak-air digambarkan pada

Gambar 2.2. Kombinasi natrium setil sulfat dan kolesterol menyebabkan

terbentuknya suatu selaput kompleks Gambar 2.2a, yang menghasilkan emulsi

yang sangat baik. Natrium setil sulfat dan oleil alkohol tidak membentuk selaput

yang terkondensasi atau tersusun rapat Gambar 2.2b, dan karenanya, kombinasi

keduanya menghasilkan emulsi yang tidak baik. Pada Gambar 2.2c, setil alkohol

dan natrium oleat menghasilkan selaput yang tersusun rapat, tetapi

kompleksasinya terabaikan sehingga juga menghasilkan suatu emulsi yang buruk

(Martin, et al., 2011).

Gambar 2.2 Gambaran kombinasi bahan pengemulsi pada antarmuka minyak-air


suatu emulsi
Atlas – ICI menganjurkan untuk mengkombinasi Tween yang hidrofilik

dengan Span yang lipofilik, dengan memvariasikan perbandingannya untuk

menghasilkan emulsi m/a atau a/m yang diinginkan. Boyd dkk membahas

penggabungan molekular Tween 40 dan Span 80 dalam menstabilkan emulsi.

Pada Gambar 2.3, bagian hidrokarbon molekul Span 80 (Sorbitan monoleat)

berada dalam globul minyak dan radikal sorbitan berada dalam fase air. Kepala

sorbitan yang besar pada molekul Span mencegah ekor-ekor hidrokarbon

bergabung rapat dalam fase minyak. Ketika Tween 40 (polioksietilen sorbitan

monopalmitat) ditambahkan, senyawa ini mengarah pada antarmuka dengan ekor

hidrokarbonnya berada dalam fase minyak, sedangkan sisa rantainya, bersama

dengan cincin sorbitan dan rantai polioksietilen, berada dalam fase air. Rantai

hidrokarbon molekul Tween 40 teramati berada dalam globul minyak diantara

rantai-rantai Span 80, dan orientasi ini menghasilkan tarik-menarik van der Waals

yang efektif. Dengan cara ini , selaput antarmuka diperkuat dan stabilitas emulsi

m/a ditingkatkan terhadap penggabungan partikel (Martin, et al., 2011;

Mootoosingh dan Rousseau, 2006).

Gambar 2.3 Skema tetesan minyak dalam emulsi minyak-air, menunjukkan


orientasi molekul Tween dan Span pada antarmukanya.
Tipe emulsi yang dihasilkan, m/a atau a/m, terutama bergantung pada sifat

bahan pengemulsi. Karakteristik ini disebut sebagai kesimbangan hidrofil-lipofil

(hydrophile-lipophile balance, HLB). Pada kenyataannya, apakah suatu surfaktan

merupakan suatu pengemulsi, bahan pembasah, detergen, atau bahan pelarut dapat

diperkirakan dari harga HLB (Martin, et al., 2011).

b. Adsorpsi Multimolekuler

Koloid ini dapat dianggap sebagai aktif permukaan karena tampak pada

antarmuka minyak-air. Namun, koloid ini berbeda dari bahan aktif permukaan

sintetis, yaitu tidak menyebabkan penurunan tegangan antarmuka yang berarti dan

zat ini membentuk suatu lapisan multimolekuler dan bukan lapisan

monomolekuler pada antarmuka. Kerja koloid ini sebagai bahan pengemulsi

terutama disebabkan oleh efek yang kedua karena selaput yang terbentuk kuat dan

mencegah penggabungan. Suatu efek pembantu yang meningkatkan stabilitas

adalah peningkatkan viskositas medium dispersi yang signifikan. Karena bahan

pengemulsi yang membentuk multilapisan di sekitar tetesan selalu hidrofilik,

bahan pengemulsi tersebut cenderung menyebakan pembentukan emulsi m/a

(Martin, et al., 2011; Mootoosingh dan Rousseau, 2006).

c. Adsorpsi Partikel Padat

Partikel padat yang terbagi halus yang dibasahi hingga derajat tertentu oleh

minyak dan air dapat bekerja sebagai bahan pengemulsi. Hal ini disebabkan

partikel padat tersebut menghasilkan suatu selaput partikulat di sekitar tetesan

terdispersi sehingga mencegah penggabungan. Serbuk yang lebih mudah dibasahi

dengan air membentuk emulsi m/a, sedangkan yang lebih mudah dibasahi dengan

minyak membentuk emulsi a/m (Martin, et al., 2011).


2.8.5 Penggunaan emulsi

Berdasarkan penggunaannya, emulsi dibagi dalam 2 golongan, yaitu

emulsi untuk pemakaian dalam dan emulsi untuk pemakaian luar.

a. Emulsi untuk pemakaian dalam

Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi per oral dan injeksi intravena.

Suatu emulsi o/w merupakan suatu cara pemberian oral yang baik untuk cairan-

cairan yang tidak larut dalam air, terutama jika fase terdispers mempunyai fase

yang tidak enak. Senyawa yang larut dalam lemak, seperti vitamin, diabsorpsi

lebih sempurna jika diemulsikan daripada jika diberikan per oral dalam suatu

larutan berminyak. Penggunaan emulsi intravena telah diteliti sebagai suatu cara

untuk merawat pasien lemah yang tidak bisa menerima obat-obat yang diberikan

secara oral (Florence dan Attwood, 2006; Kulshreshtha, et al., 2010; Martin, et al.,

2011; Mootoosingh dan Rousseau, 2006).

b. Emulsi untuk pemakaian luar

Emulsifikasi banyak digunakan dalam pembuatan produk obat dan

kosmetik untuk penggunaan luar, khususnya pada losion dan krim dermatologi

dan kosmetik karena produk yang diinginkan adalah produk yang mudah

menyebar dan benar-benar menutupi area yang dioleskan. Produk tersebut kini

dapat diformulasi menjadi produk yang dapat dibersihkan dengan air dan tidak

menimbulkan noda (Florence dan Attwood, 2006; Kulshreshtha, et al., 2010;

Martin, et al., 2011; Mootoosingh dan Rousseau, 2006).

2.8.6 Pembuatan emulsi

Emulsi dapat dibuat dengan beberapa metode, yaitu metode gom kering,

gom basah dan metode botol.


a. Metode Gom Kering

Metode ini juga dikenal sebagai metode 4:2:1 karena untuk tiap 4 bagian

minyak, 2 bagian air dan 1 bagian gom ditambahkan untuk membuat emulsi

utama atau emulsi awal. Dalam metode ini gom atau zat pengemulsi m/a lainnya

dihaluskan dengan minyak dalam mortir porselen dengan sempurna sampai

seluruhnya bercampur. Sesudah minyak dan gom dicampur, dua bagian air

kemudian ditambahkan sekaligus, dan campuran tersebut digerus dengan segera

dan dengan cepat serta terus-menerus sampai emulsi utama terbentuk berwarna

putih krim. Umumnya dibutuhkan waktu 3 menit pencampuran untuk

menghasilkan emulsi utama seperti itu. Bahan formulatif cair lainnya yang larut

dalam fase luar kemudian bisa ditambahkan ke emulsi utama tersebut dengan

pengadukan. Zat padat seperti pengawet, penstabil, zat warna, dan bahan pemberi

rasa biasanya dilarutkan dalam air dengan volume yang sesuai dan ditambahkan

sebagai larutan ke emulsi utama tersebut. Ketimbang menggunakan mortir dan

stamper, ahli farmasi umumnya dapat membuat emulsi yang baik sekali dengan

menggunakan metode gom kering dan mikser atau blender listrik (Ansel, 1989).

b. Metode Gom Basah

Mucilago gom dibuat dengan menghaluskan gom arab dengan air dua kali

beratnya dalam suatu mortir. Minyaknya kemudian ditambahkan sebagian dengan

perlahan-lahan dan campuran tersebut diaduk sampai minyaknya teremulsi.

Campuran tersebut haruslah kental selama proses itu, penambahan air bisa

ditambahkan dan diaduk ke dalam campuran tersebut sebelum bagian minyak

berikutnya ditambahkan. Sesudah semua minyak ditambahkan, campuran diaduk

selama beberapa menit untuk memastikan kerataannya. Bahan formulatif lainnya


ditambahkan dan emulsi tersebut dipindahkan ke gelas ukur untuk mencukupkan

volumenya dengan air (Ansel, 1989).

c. Metode Botol

Metode ini digunakan untuk membuat emulsi dari minyak-minyak

menguap dan mempunyai viskositas rendah. Caranya, serbuk gom arab

dimasukkan ke dalam suatu botol kering, ditambahkan dua bagian air kemudian

campuran tersebut dikocok dengan kuat dalam wadah tertutup. Suatu volume air

yang sama dengan minyak kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit sambil

terus mengocok campuran tersebut setiap kali ditambahkan air. Jika semua air

telah ditambahkan, emulsi utama yang terbentuk bisa diencerkan sampai

mencapai volume yang tepat dengan air atau larutan zat formulatif lain dalam air

(Ansel, 1989).

2.8.7 Zat Pengemulsi

Pemilihan zat pengemulsi sangat penting dalam menentukan keberhasilan

pembuatan suatu emulsi yang stabil. Agar berguna dalam preparat farmasi, zat

pengemulsi harus mempunyai kualitas tertentu, diantaranya harus dapat

dicampurkan dengan bahan formulatif lainnya, tidak mengganggu stabilitas dari

zat terapeutik, tidak toksik dalam jumlah yang digunakan, serta mempunyai bau,

rasa, dan warna yang lemah (Ansel, 1989; Gennaro, 1990).

Zat pengemulsi dapat digolongkan berdasarkan sumber sebagai berikut:

a. Golongan karbohidrat, seperti gom, tragakan, agar, dan pektin. Bahan-bahan ini

koloid hidrofilik yang membentuk selaput multimolekul di sekeliling tetesan-

tetesan minyak yang terdispersi dalam emulsi m/a.


b. Golongan protein, seperti gelatin, kuning telur, dan kasein. Zat-zat ini

menghasilkan emulsi m/a.

c. Golongan alkohol, seperti stearil alkohol, setil alkohol, gliseril monostearat,

kolesterol, dan turunan kolesterol. Bahan-bahan ini digunakan terutama sebagai

zat pengental dan penstabil untuk emulsi m/a dari lotio dan salep tertentu yang

digunakan sebagai obat luar.

d. Golongan surfaktan (sintetik), bisa yang bersifat anionik, kationik, dan

nonionik yang diadsorpsi pada antarmuka minyak-air untuk membentuk

selaput monomolekul dan mengurangi tegangan antarmuka.

e. Golongan zat padat terbagi halus, seperti bentonit, magnesium hidroksida, dan

alumunium hidroksid yang diadsorpsi pada antarmuka antara dua fase cair

taktercampurkan dan membentuk suatu selaput partikel disekitar globul

terdispersi (Ansel, 1989; Martin, et al., 2011).

2.8.7.1 Tween 80

Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama

kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26

dan rumus strukturnya pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Rumus bangun Tween 80 (Rowe, et al., 2009)


Pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan

berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan

etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Tween 80 secara luas digunakan dalam

produk kosmetik dan makanan. Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai: zat

pendispersi, emulgator, dan peningkat kelarutan, pensuspensi dan pembasah

(Rowe, et al., 2009).

2.8.7.2 Gom arab

Gum arab dihasilkan dari getah bermacam-macam pohon Acasia sp. di

Sudan dan Senegal. Gum arab jauh lebih mudah larut dalam air dibanding

hidrokoloid lainnya. Pada olahan pangan yang banyak mengandung gula, gum

arab digunakan untuk mendorong pembentukan emulsi lemak yang mantap dan

mencegah kristalisasi gula. Gum arab stabil dalam larutan asam. pH alami gum

berkisar 4,5 – 5,0. Gum arab dapat meningkatkan stabilitas dengan peningkatan

viskositas. Jenis pengental ini juga tahan panas pada proses yang menggunakan

panas namun lebih baik jika panasnya dikontrol untuk mempersingkat waktu

pemanasan, mengingat gum arab dapat terdegradasi secara perlahan-lahan dan

kekurangan efisiensi emulsifikasi dan viskositas. Viskositas akan meningkat

sebanding dengan peningkatan konsentrasi (Rowe, et al., 2009).

2.8.8 Sistem HLB

Umumnya masing-masing zat pengemulsi mempunyai suatu bagian

hidrofilik dan suatu bagian lipofilik dengan salah satu diantaranya lebih atau

kurang dominan dalam mempengaruhi dengan cara yang telah diuraikan untuk

membentuk tipe emulsi. Suatu metode telah dipikirkan di mana zat pengemulsi
dan zat aktif permukaan dapat digolongkan susunan kimianya sebagai

keseimbangan hidrofil-lipofil atau HLBnya. Dengan metode ini tiap zat

mempunyai harga HLB atau angka yang menunjukkan polaritas dari zat tersebut.

Walaupun angka tersebut telah ditentukan sampai kira-kira 40, kisaran lazimnya

antara 1 dan 20. Bahan-bahan yang sangat polar atau hidrofilik angkanya lebih

besar daripada bahan-bahan yang kurang polar dan lebih lipofilik. Umumnya zat

aktif permukaan itu mempunyai harga HLB yang ditetapkan antara 3 sampai 6

dan menghasilkan emulsi air dalam minyak. Sedangkan zat-zat yang mempunyai

harga HLB antara 8 sampai 18 menghasilkan emulsi minyak dalam air

(Kulshreshtha, et al., 2010). Contoh-contoh dari beberapa harga HLB yang

ditetapkan untuk beberapa surfaktan pilihan terlihat dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Aktivitas dan harga HLB surfaktan

Aktivitas HLB
Antibusa 1 sampai 3
Pengemulsi (a/m) 3 sampai 6
Zat pembasah 7 sampai 9
Pengemulsi (m/a) 8 sampai 18
Pelarut 15 sampai 20
Detergen 13 sampai 15
(Kulshreshtha, et al., 2010).

2.8.9 Ketidakstabilan emulsi

Beberapa hal yang dapat menyebabkan ketidakstabilan emulsi secara

fisika diantaranya, pengkriman (creaming), pemecahan (breaking) dan inversi.

a. Pengkriman

Pengkriman (creaming) adalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan,

dimana lapisan yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase terdispersi) lebih

banyak daripada lapisan yang lain dibandingkan keadaan emulsi awal. Faktor-
faktor yang penting dalam pengkriman suatu emulsi dihubungkan oleh hukum

stokes (Martin, et al., 2011).

Analisa terhadap persamaan tersebut menunjukkan bahwa jika densitas

fase terdispersi lebih kecil dari fase kontinu, yang umumnya terjadi pada emulsi

m/a, kecepatan sedimentasi menjadi negatif, yaitu terjadi pengkriman ke atas. Jika

fase internal lebih berat daripada fase eksternal, globul akan mengendap. Ini

merupakan suatu fenomena yang biasa terjadi pada emulsi a/m, yaitu fase internal

cair, memiliki densitas lebih besar daripada fase kontinu (minyak). Efek ini dapat

disebut sebagai pengkriman ke arah bawah. Semakin besar perbedaan densitas

kedua fase, semakin besar globul minyak, dan semakin berkurang kekentalan fase

eksternal, semakin tinggi kecepatan pengkriman (Martin, et al., 2011).

b. Pemecahan

Pengkriman harus dianggap berbeda dengan pemecahan (breaking) karena

pengkriman merupakan suatu proses reversible, sedangkan pemecahan adalah

proses irreversible. Jika emulsi pecah, pencampuran sederhana tidak dapat

mensuspensikan globul kembali dalam bentuk emulsi yang stabil karena selaput

yang melapisi partikel telah rusak dan minyak cenderung menyatu (Martin, et al.,

2011).

c. Inversi

Inversi adalah peristiwa berubahnya jenis emulsi dari m/a menjadi a/m

atau sebaliknya. Suatu emulsi o/w yang distabilkan dengan natrium stearat dapat

diubah menjadi w/o dengan menambahkan kalsium klorida untuk membentuk

kalsium stearat. Inversi bisa juga dihasilkan dengan mengubah perbandingan

volume fase (Martin, et al., 2011).


2.9 Emulsi Minyak

2.9.1 Emulsi minyak kelapa murni

Penelitian yang dilakukan oleh Syukri, et. al., (2008), menggunakan

emulgator Span 80 (20%, 15%, 10%) dan Tween 40 0,1% diperoleh emulsi yang

kurang stabil. Volume pemisahan fase pada suhu kamar, suhu 400C dan

sentrifugasi selama 4 minggu penyimpanan semakin tinggi sedangkan viskositas

menurun perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya umur sediaan. Perbedaan

konsentrasi Span 80 (20%, 15%, 10%) pada Tween 40 0,1% sebagai emulgator

berpengaruh pada stabilitas fisik emulsi minyak kelapa murni.

2.9.2 Emulsi minyak buah merah

Penelitian yang dilakukan oleh Murtiningrum, et. al., (2013),

menggunakan CMC, gum arabic, Tween 20 dan Tween 80 dalam pembuatan

emulsi minyak buah merah. Penggunaan Tween 20 (0,45%), Tween 80 (0,45%),

dan CMC (0,25%) dapat membentuk emulsi minyak buah merah yang stabil

selama lima hari. Konsentrasi pengemulsi berpengaruh terhadap rasio minyak dan

air untuk menghasilkan kekentalan dan daya alir emulsi minyak buah merah yang

baik. CMC menghasilkan kestabilan emulsi minyak buah merah terbaik dengan

nilai viskositas tertingi, persentase pemisahan emulsi terendah dan stabil selama

penyimpanan.

Penelitian yang dilakukan oleh Febrina, et al., (2007), menggunakan gom

arab (10%, 12,5% dan 15%) dalam sediaan emulsi minyak buah merah. Ketiga

formula emulsi minyak buah merah dengan variasi jumlah gom arab masing-

masing 10, 12,5 dan 15% relatif stabil selama penyimpanan. Formula dengan gom
arab 15% merupakan formula yang paling stabil berdasarkan uji stabilitas.

Stabilitas fisik yang diuji terhadap beberapa minyak dapat dilihat dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Stabilitas fisik emulsi Minyak

Bahan (%) Stabilitas Fisik Hasil Literatur


Tween 40 0,1% dalam Pemisahan fase pada Volume pemisahan
Span 60 20%, 15%, suhu kamar semakin tinggi selama
10% 4 minggu
(emulsi minyak kelapa penyimpanan
murni) Pemisahan fase Volume pemisahan
dengan sentrifuse semakin tinggi selama (a)
4 minggu
penyimpanan
Viskositas Viskositas menurun
selama 4 minggu
penyimpanan
CMC 0,25% Pemisahan fase Volume pemisahan
Tween 20 0,45% CMC lebih kecil
Tween 80 0,45% dibanding Tween 20
(emulsi minyak buah dan Tween 80 selama
merah) 5 hari penyimpanan
(b)
Viskositas Viskositas CMC lebih
tingggi dibanding
Tween 20 dan Tween
80 selama 5 hari
penyimpanan
Gom arab 10% Pemisahan fase Volume pemisahan
Gom arab 12,5% fase semakin kecil
Gom arab 15% dengan penambahan
(emulsi minyak buah konsentrasi gom arab
merah) pada penyimpanan 56
hari
Viskositas Viskositas semakin
besar dengan
penambahan (c)
konsentrasi gom arab
pada penyimpanan 56
hari
Pengamatan Ukuran partikel
mikroskopik semakin kecil dengan
penambahan gom arab
pada penyimpanan 56
hari

Keterangan:
a : (Syukri, et al., 2008)
b : (Murtiningrum, et al., 2013)
c : (Febrina, et al., 2007)
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian ini dilakukan secara eksperimental yaitu melihat

pengaruh variasi konsentrasi Tween 80 yang dikombinasi dengan gom arab dalam

stabilitas sediaan emulsi VCO. Penelitian ini meliputi pemeriksaan organoleptis,

berat jenis, kadar air, bilangan asam, rendemen minyak dari VCO, uji pH, uji tipe

emulsi, pengamatan creaming, uji viskositas, uji redispersibilitas (pengocokan),

ukuran partikel dan distribusi partikel emulsi VCO. Penelitian ini dilaksanakan di

laboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.2 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah stoples transparan, botol timbang, oven

(Fisher Isotem 500 Series), desikator, labu ukur (Pyrex), erlenmeyer (Pyrex),

buret (Pyrex), klaim, statif, gelas ukur (Pyrex), pipet tetes, piknometer (Pyrex),

corong pisah (Interkey), batang pengaduk, spatel, lumpang, stamfer, objek gelas

(Pyrex), neraca analitik (Boeco), pH meter (Hanna), mikroskop, dan viskometer

brookfield.

3.3 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah kelapa tua berumur 11 - 12 bulan

yang ditandai oleh sabut yang berwarna kecoklatan, ragi tempe (PT. Aneka

Fermentasi Industri), KOH (Merck), fenoftalein (Merck), etanol 95%, gom arab
(Merck), Tween 80 (Merck), sukrosa, nipagin (Merck), butil hidroksi toluen

(Merck), aquadest.

3.4 Prosedur Kerja


3.4.1. Pembuatan VCO

Empat buah kelapa diparut dan diperoleh berat 2 kg kelapa parut lalu

ditambahkan air dengan perbandingan 1:1 artinya 2 kg kelapa parut dicampur

dengan 2 liter air, kemudian diperas dan disaring untuk memperoleh santan.

Santan dimasukkan kedalam stoples transparan kemudian didiamkan selama 1

jam hingga terbentuk 2 lapisan, lapisan atas yaitu krim santan dan lapisan bawah

yaitu air. Krim santan diambil dan diperolah sebanyak 1 liter. Selanjutnya

ditambahkan ragi tempe dengan perbandingan 5:1 artinya 1000 ml krim santan

dan 200 g ragi tempe. Kemudian diaduk, dimasukkan kedalam corong pisah,

didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar, sesudah pendiaman terbentuk tiga

lapisan yaitu lapisan atas (minyak), lapisan tengah (protein) dan lapisan bawah

(air). Selanjutnya dilakukan pemisahan terhadap lapisan-lapisan yang terbentuk

yaitu lapisan minyak, protein, air dengan cara membuka krannya dan menampung

masing-masing lapisan. Lapisan minyak yang diperoleh di sentrifuge selama 20

menit dengan kecepatan 2000 rpm untuk mendapat minyak yang baik (Cahyono

dan Untari, 2009).

3.4.2.4 Kadar minyak

Penentuan rendemen atau kadar minyak dilakukan berdasarkan cara

berikut:
Berat Minyak
Kadar minyak = x 100%
Berat Sampel

3.4.2 Uji mutu VCO


3.4.2.1 Kadar air

Ditimbang VCO sebanyak 5 g dalam botol timbang, kemudian dimasukkan

kedalam oven pada suhu 1050C selama 2 jam lalu didinginkan dalam desikator

selama 30 menit. Ditimbang kembali botol timbang untuk memperoleh berat

konstan (Standarisasi Nasional Indonesia, 2008).

Berat awal − Berat akhir


Kadar air = Berat sampel x 100%

3.4.2.2 Bilangan Asam


Ditimbang VCO sebanyak 5 g kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer

250 ml. Ditambahkan alkohol 95% sebanyak 50 ml lalu dipanaskan dan diaduk

dengan hot plate. Setelah dingin dititrasi dengan KOH 0,1 N menggunakan

indikator fenolftalein sampai berwarna merah jambu (Standarisasi Nasional

Indonesia, 2008).

ml KOH x N KOH x Mr KOH


Bilangan asam = Berat Sampel

3.4.2.3 Berat jenis


Ditimbang berat piknometer kosong lalu masukkan VCO kedalam

piknometer dan ditimbang kembali. Setelah itu direndam dalam waterbath pada

suhu 25 ± 0,20C selama 30 menit dan ditimbang berat piknometer tersebut

(Ketaren, 1986).

(Berat piknometer + minyak) − (berat piknometer)


Berat Jenis = Volume piknometer
3.5 Penentuan Emulgator dan Formulasi Emulsi VCO
3.5.1 Penentuan emulgator

Untuk menentukan emulgator yang cocok dalam pembuatan sediaan

emulsi VCO, dibuat suatu basis emulsi dengan menggunakan beberapa emulgator

yang biasa digunakan diantaranya gom arab, CMC Na, Span 60, Tween 80 dan

diamati kestabilannya seperti terlihat pada Tabel 3.1. Emulgator yang

menghasilkan basis emulsi paling baik digunakan untuk membuat formula

selanjutnya.

Tabel 3.1 Formula basis emulsi VCO

Bahan (%) F1 F2 F3 F4 F5
VCO 25 25 25 25 25
Gom arab 20 - 20 - 20
Tween 80 - 1 1 1 -
Span 60 - - - 20 -
CMC Na - - - - 2
Akuades sampai 100 100 100 100 100

Cara Pembuatan:

Formula 1

Dibuat dengan menggunakan metode gom kering. Di dalam mortir minyak

bersama gom diaduk sampai homogen, kemudian ditambahkan air sekaligus

sambil diaduk cepat sampai terbentuk inti emulsi lalu ditambahkan air sampai

jumlah yang ditentukan (Ansel, 1989).


Formula 2

Dibuat dengan menggunakan metode gom kering. Di dalam mortir minyak

bersama Tween 80 yang telah dilarutkan dengan sedikit air diaduk sampai

homogen, kemudian ditambahkan air sekaligus sambil diaduk cepat sampai

terbentuk inti emulsi lalu ditambahkan air sampai jumlah yang ditentukan (Ansel,

1989).

Formula 3

Dibuat dengan menggunakan metode gom kering. Di dalam mortir minyak

bersama gom diaduk sampai homogen, kemudian ditambahkan air sekaligus

sambil diaduk cepat sampai terbentuk inti emulsi lalu ditambahkan Tween 80

sedikit demi sedikit kemudian ditambahkan air sampai jumlah yang ditentukan

(Ansel, 1989).

Formula 4

Dibuat dengan menggunakan metode gom kering. Di dalam mortir minyak

bersama Span 60 diaduk sampai homogen, kemudian ditambahkan air sekaligus

sambil diaduk cepat sampai terbentuk inti emulsi lalu ditambahkan Tween 80

sedikit demi sedikit kemudian ditambahkan air sampai jumlah yang ditentukan

(Ansel, 1989).

Formula 5

Gom digerus dengan air sebanyak 1,5 dari jumlah gom (massa 1). CMC

Na dikembangkan dalam air panas yang banyaknya 20 kali jumlah CMC Na

selama 20 menit kemudian gerus sampai terbentuk warna transparan (massa 2).

Didalam lumpang masukkan massa 1 dan massa 2 lalu gerus homogen kemudian

ditambahkan air sampai jumlah yang ditentukan (Ansel, 1989).


Masing-masing formula diamati meliputi warna, bau dan pemisahan fase.

3.5.2 Formulasi emulsi VCO


Hasil pengamatan dari penentuan emulgator menunjukkan bahwa formula

basis emulsi dengan menggunakan emulgator Tween 80 dan gom arab merupakan

basis emulsi kombinasi terbaik di antara keempat basis emulsi yang lain. Oleh

karena itu dibuat variasi konsentrasi Tween 80 0,25, 0,5, 0,75 dan 1% yang

dikombinasi dengan gom arab 20%, nipagin 0,1%, sukrosa 20%, butil hidroksi

toluen 0,1% (Rowe, et al., 2009). Formula emulsi VCO dapat dilihat pada Tabel

3.2.

Tabel 3.2 Formula emulsi VCO

Bahan (%) F1 F2 F3 F4 F5
VCO 25 25 25 25 25
Gom arab 20 20 20 20 20
Tween 80 - 0,25 0,5 0,75 1
Nipagin 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1
Sukrosa 20 20 20 20 20
Butil hidroksi toluen 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1
Akuades sampai 100 100 100 100 100

3.6 Cara Pembuatan Emulsi VCO

Dibuat dengan menggunakan metode gom kering yaitu mula-mula VCO

dituangkan ke dalam mortir, kemudian gom arab didispersikan hingga merata ke

dalam minyak, diaduk hingga homogen, lalu ditambahkan air gerus cepat ringan

sampai terbentuk inti emulsi. Sukrosa, nipagin, Tween 80 masing-masing

dilarutkan dalam air secukupnya, dimasukkan ke dalam emulsi yang telah

terbentuk, terakhir ditambahkan air sampai jumlah yang ditentukan (Ansel, 1989).
3.7 Evaluasi terhadap Sediaan

3.7.1 Pengamatan organoleptis

Pengamatan organoleptis yang diamati meliputi pengamatan bentuk,

konsistensi, warna, rasa serta bau dari emulsi VCO secara visual (Ditjen POM,

1995).

3.7.2 Pengukuran pH

Penentuan pH sediaan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Alat

terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standar netral (pH

7,01) dan larutan dapar pH asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan harga pH

tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan aquadest, lalu dikeringkan dengan

tissue. Sampel dibuat dalam konsentrasi 1% yaitu ditimbang 1 g sediaan dan

dilarutkan dalam 100 ml aquadest. Kemudian elektroda dicelupkan dalam larutan

tersebut. Dibiarkan alat menunjukkan nilai pH sampai konstan. Angka yang

ditunjukkan pH meter merupakan pH sediaan (Rawlins, 2003).

3.7.3 Penentuan tipe emulsi

Penentuan tipe emulsi sediaan dilakukan dengan penambahan sedikit

metilen biru pada permukaan emulsi. Jika air merupakan fase eksternal m/a, bahan

pewarna akan terlarut dan berdifusi merata dalam air. Jika emulsi bertipe a/m,

partikel-partikel bahan pewarna akan menggumpal pada permukaan (Martin, et

al., 2011).

3.7.4 Pengamatan creaming

Pengukuran dilakukan dengan membandingkan tinggi fase yang memisah

dengan tinggi emulsi mula-mula yang ditunjukkan dengan nilai R.


3.7.5 Penentuan viskositas

Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer

Brookfield. Viskometer disiapkan, dipasang spindle no.61, diukur viskositas

sediaan pada kecepatan putar spindle 12 rpm, kemudian hasil pembacaan

dikalikan dengan faktor koreksi yang ada pada alat tersebut.

3.7.6 Uji redispersibilitas

Uji redispersibilitas dilakukan dengan cara mengocok masing-masing

sediaan uji, kemudian dihitung jumlah pengocokan yang diperlukan sampai

sediaan emulsi terdispersi kembali.

3.7.7 Ukuran partikel dan distribusi partikel terdispersi

Pemeriksaan stabilitas sediaan meliputi ukuran partikel dan distribusi

partikel terdispersi menggunakan mikroskop. Ukuran partikel terdispersi

ditentukan dengan pengamatan dibawah mikroskop yang diproyeksikan ke sebuah

layar dan dilakukan pemotretan dari slide yang sudah disiapkkan. Pada sistem ini

akan muncul ukuran partikel dalam bentuk pixel selanjutnya diubah kedalam

bentuk µm (1 pixel= 264, 58334 µm). Dari hasil pengamatan kemudian di plot

grafik waktu versus ukuran partikel terdispersi sehingga diamati perubahan

ukuran partikel terdispersi. Ukuran rata-rata partikel terdispersi yang semakin

kecil menandakan produk emulsi semakin stabil.

Distribusi partikel terdispersi ditentukan dengan memplot ukuran partikel

versus jumlah partikel sehingga diperoleh kurva distribusi partikel terdispersi.

Distribusi normal akan ditandai dengan bentuk kurva yang simetris.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Uji Mutu VCO

4.1.1 Karakteristik organoleptis VCO

VCO berbentuk cairan encer berwarna bening, mempunyai rasa tawar

serta bau yang khas. Saat diminum VCO mempunyai rasa khas minyak nabati

serta rasa yang tidak enak sebab cairan berbentuk minyak ini tidak larut air

sehingga tetap meninggalkan bekas minyak di lidah yang menimbulkan rasa tidak

nyaman bagi penggunanya.

4.1.2 Kadar air, bilangan asam dan bobot jenis VCO

Data perhitungan hasil penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.

Hasil penelitian tentang pembuatan VCO dengan ragi tempe secara fermentasi

secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Data kadar air, bilangan asam dan bobot jenis VCO

No Parameter Hasil
1 Kadar air 0,03%
2 Bilangan asam 0,1389%
3 Bobot Jenis 0,915
4 Rendemen Minyak 40,82%

Pada tabel diatas dapat dilihat hasil kadar air VCO dalam penelitian ini

memenuhi standar SNI yaitu maksimal 0,2%. Semakin besar kadar air dalam

minyak, maka minyak makin rentan mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan

dihasilkannya asam lemak bebas dalam reaksi hidrolisis. Penentuan kadar air

dalam minyak sangat penting dilakukan, karena adanya air dalam minyak

menyebabkan reaksi hidrolisis yang mengakibatkan kerusakan minyak (Ketaren,


1986). Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2012), menggunakan ragi tempe dan

ragi roti untuk uji kualitas kadar air diperoleh sebesar 0,1193%.

Bilangan asam VCO yang diperoleh dalam penelitian ini memenuhi

standar SNI yaitu 0,2%. Semakin tinggi bilangan asam maka semakin rendah

kualitasnya. Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2012), menggunakan ragi

tempe dan ragi roti untuk uji bilangan asam diperoleh sebesar 0,1373%.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Cahyono dan Untari (2009),

menggunakan ragi tempe diperoleh bilangan asam 0,483%.

Berat jenis VCO yang diperoleh dalam penelitian ini memenuhi standart

APCC (Asian Pacific Coconut Community) yaitu sebesar 0,915 - 0,920. Penelitian

yang dilakukan oleh Cahyono dan Untari (2009), untuk uji kualitas berat jenis

menggunakan ragi tempe diperoleh berat jenis 0,914.

4.2 Penentuan Emulgator dan Formulasi Emulsi VCO

4.2.1 Penentuan emulgator (basis emulsi)

Sebelum dipilih emulgator yang cocok untuk pembuatan emulsi VCO,

maka terlebih dahulu dilakukan pengamatan terhadap beberapa basis emulsi

seperti yang terlihat pada Gambar 4.1. Hasil pengamatan basis emulsi dapat

dilihat pada Tabel 4.2.

F1 F2 F3 F4 F5

Gambar 4.1. Basis emulsi VCO


Tabel 4.2. Pengamatan basis emulsi VCO

Pengamatan
Formula Warna Bau Sifat fisik
F1 Putih Kekuningan Khas Creaming, mudah didispersikan
kembali
F2 Putih Khas Creaming, agak sukar didispersikan
kembali
F3 Putih Khas Tidak memisah
F4 Putih Khas Creaming, sukar didispersikan
kembali
F5 Putih Khas Creaming, mudah dididpersikan
kembali

Keterangan:
F1 : Gom arab 20%
F2 : Tween 80 1%
F3 : Gom arab 20% dan Tween 80 1%
F4 : Span 60 20% dan Tween 80 1%
F5 : Gom arab 20% dan CMC Na 5%

Basis emulsi dengan emulgator Span 60 dan Tween 80 mempunyai

konsistensi yang buruk karena pemisahannya sangat cepat (sejak hari pertama

pembuatan sudah terjadi pemisahan) dan membutuhkan pengocokan yang lama

agar terdispersi kembali. Basis emulsi F1 (gom arab), F2 (Tween 80), F5 (gom

arab dan CMC Na) menghasilkan emulsi yang lebih baik walaupun memisah

namun masih lebih mudah didispersikan kembali. Basis emulsi F3 (gom arab dan

Tween 80) merupakan basis yang terbaik di antara basis yang lain dengan warna

dan konsistensi yang lebih homogen serta mudah didispersikan kembali

membentuk massa yang homogen. Dalam pembuatan emulsi oral masih

diperbolehkan pembentukan cream karena sifatnya yang reversible dan mudah

didispersikan kembali (Ansel, 1989).

Tween 80 merupakan zat yang aktif permukaan, mengurangi tegangan

antarmuka karena adsorpsinya pada batas minyak/air membentuk lapisan-lapisan


monomolekular. Tween 80 bersifat hidrofilik karena keberadaan gugus hidroksil

dan oksietilen. Gugus tersebut mengakibatkan pengemulsi mampu membentuk

ikatan hidrogen dengan molekul air (Marchaban, 2005; Joshi, et al., 2012).

Gom arab bekerjanya sebagai zat pengemulsi terutama karena dapat

membentuk suatu lapisan multimolekuler pada antarmuka dan lapisan yang

terbentuk tersebut kuat dan menghambat terjadinya penggabungan. Efek

tambahan yang mendorong emulsinya menjadi stabil adalah kenaikan viskositas

yang bermakna dari medium dispers. Karena zat pengemulsi itu membentuk

lapisan-lapisan multilayer sekeliling tetesan yang bersifat hidrofilik, maka zat ini

cenderung untuk membentuk emulsi m/a (Martin, et al., 1993).

Tween 80 dan gom arab banyak digunakan secara luas dalam pembuatan

emulsi minyak-minyak lemak serta mempunyai sifat lebih mudah larut dalam air.

Oleh karena itu, berdasarkan sifat-sifat di atas serta hasil orientasi basis emulsi

maka emulgator kombinasi Tween 80 dengan gom arab dipilih untuk membuat

formula selanjutnya. Pada penelitian ini dipilih jenis emulsi minyak dalam air

(m/a) untuk memudahkan penggunaan serta untuk kenyamanan pada waktu

digunakan (Martin, et al., 2011).

4.2.2 Formulasi emulsi VCO

Formula emulsi VCO yang dibuat dapat dilihat pada Tabel 3.2. Jumlah

gom arab yang biasa digunakan dalam pembuatan emulsi adalah sebanyak 10 -

20% (Rowe, et al., 2009). Berdasarkan Rowe gom arab yang digunakan dalam

formula di bawah adalah 20% (b/b).

Penambahan sukrosa 20 g dalam larutan oral untuk menghasilkan rasa

manis yang cukup pada sediaan emulsi. Bahan pengawet digunakan untuk
mencegah kerusakan pada sediaan emulsi yang dapat disebabkan oleh mikroba

ataupun oksidasi oleh udara. Pengawet yang digunakan untuk fase air yang

bekerja sebagai antimikroba yaitu nipagin, sedangkan untuk fase minyak biasanya

digunakan antioksidan untuk mencegah ketengikan. Nipagin sebagai antimikroba

untuk fase air sebanyak 0,015% - 0,2%. BHT sebagai antioksidan untuk fase

minyak sebanyak 0,01% - 0,1%. (Rowe, et al., 2009). Nipagin dan BHT yang

digunakan dalam formula di atas adalah masing-masing 0,1%. Hasil emulsi VCO

dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Emulsi VCO

Keterangan:
F1 : Tween 80 0% dan gom arab 20%
F2 : Tween 80 0,25% dan gom arab 20%
F3 : Tween 80 0,5% dan gom arab 20%
F4 : Tween 80 0,75% dan gom arab 20%
F5 : Tween 80 1% dan gom arab 20%
4.3 Hasil Evaluasi Emulsi VCO

4.3.1 Pengamatan organoleptis

Hasil data pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Data pengamatan organoleptis selama 8 minggu penyimpanan

Formula Pengamatan organoleptis (minggu)


/Pengamatan awal 1 2 3 4 5 6 7 8
Bentuk ck ck ck ck ck ck ck ck ck
Rasa mns mns mns mns mns mns mns mns mns
F1 Bau kh kh kh kh kh kh kh kh kh
Warna p p p p p p p p p
Konsistensi hm ms ms ms ms ms ms ms ms
bentuk ck ck ck ck ck ck ck ck ck
Rasa mns mns mns mns mns mns mns mns mns
F2 Bau kh kh kh kh kh kh kh kh kh
Warna p p p p p p p p p
Konsistensi hm hm hm hm hm hm ms ms ms
bentuk ck ck ck ck ck ck ck ck ck
Rasa mns mns mns mns mns mns mns mns mns
F3 Bau kh kh kh kh kh kh kh kh kh
Warna p p p p p p p p p
Konsistensi hm hm hm hm hm hm ms ms ms
bentuk ck ck ck ck ck ck ck ck ck
Rasa mns mns mns mns mns mns mns mns mns
F4 Bau kh kh kh kh kh kh kh kh kh
Warna p p p p p p p p p
Konsistensi hm hm hm hm hm hm hm ms ms
Bentuk ck ck ck ck ck ck ck ck ck
Rasa mns mns mns mns mns mns mns mns mns
F5 Bau kh kh kh kh kh kh kh kh kh
Warna p p p p p p p p p
Konsistensi hm hm hm hm hm hm hm hm ms

Keterangan:
F1 : Tween 80 0% dan gom arab 20%
F2 : Tween 80 0,25% dan gom arab 20%
F3 : Tween 80 0,5% dan gom arab 20%
F4 : Tween 80 0,75% dan gom arab 20%
F5 : Tween 80 1% dan gom arab 20%
ck : cairan kental
mns : manis
kh : khas
p : putih
hm : homogen
ms : memisah (creaming)
Hasil pengamatan organoleptis menunjukkan bahwa sediaan emulsi tidak

mengalami perubahan selama 8 minggu penyimpanan, baik dari segi bentuk, rasa,

bau, warna, tetapi dari segi konsistensinya sediaan formula 5 memisah pada 7

minggu penyimpanan dan formula yang lain lebih awal memisah. Hasil

pengamatan ini juga membuktikan bahwa zat - zat lain yang ditambahkan ke

dalam sediaan emulsi seperti pemanis, pengawet, antioksidan tercampurkan secara

baik satu sama lain. Warna sediaan emulsi antara formula yang satu dengan yang

lain sedikit berbeda sesuai dengan banyaknya penambahan Tween 80. Semakin

banyak penambahan Tween 80 maka sediaan emulsi akan menghasilkan warna

yang lebih cerah.

4.3.2 Pengukuran pH

Hasil pengukuran pH emulsi VCO yang disimpan pada suhu kamar

ditunjukkan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Data pengukuran pH selama 8 minggu penyimpanan

Waktu pH
(minggu) F1 F2 F3 F4 F5
0 (Awal) 3,6 3,5 3,5 3,6 3,7
1 3,6 3,5 3,5 3,5 3,6
2 3,6 3,5 3,4 3,5 3,6
3 3,5 3,5 3,5 3,6 3,5
4 3,5 3,5 3,4 3,5 3,5
5 3,5 3,4 3,4 3,5 3,5
6 3,5 3,4 3,4 3,5 3,6
7 3,5 3,4 3,4 3,5 3,6
8 3,5 3,4 3,4 3,5 3,6

Keterangan:
F1 : Tween 80 0% dan gom arab 20%
F2 : Tween 80 0,25% dan gom arab 20%
F3 : Tween 80 0,5% dan gom arab 20%
F4 : Tween 80 0,75% dan gom arab 20%
F5 : Tween 80 1% dan gom arab 20%
Pada Tabel 4.4 terlihat bahwa masing-masing formula emulsi memiliki pH

asam yaitu 3,4 – 3,7 selama 8 minggu penyimpanan. Ini dapat disebabkan karena

banyaknya kandungan asam pada VCO yang menyebabkan pH dari sediaan

menjadi asam. Komponen utama VCO adalah asam lemak jenuh yang terdiri dari

± 53% asam laurat dan sekitar 7% asam kaprilat serta asam lemak tidak jenuh

sehingga VCO memiliki pH asam (Wardani, 2007)

Dari data diatas dapat dilihat bahwa pH masing–masing formula sediaan

emulsi selama 8 minggu penyimpanan mengalami sedikit penurunan. Penurunan

pH ini dapat terjadi karena VCO dalam masing–masing formula terhidrolisis. Ini

terjadi karena dalam sediaan emulsi mengandung air yang dapat menyebabkan

VCO terhidrolisis sehingga mengeluarkan ion H+ yang lebih banyak dan membuat

pH sediaan semakin menurun. Meskipun terjadi penurunan pH dari masing–

masing formula, tetapi sediaan tersebut masih aman digunakan.

4.3.3 Penentuan tipe emulsi

Hasil untuk uji tipe emulsi dengan menambahkan metilen biru pada emulsi

dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan Tabel 4.5.

Gambar 4.3. Hasil penentuan tipe emulsi


Tabel 4.5. Data penentuan tipe emulsi

Waktu Tipe emulsi


(minggu) F1 F2 F3 F4 F5
0 (Awal) m/a m/a m/a m/a m/a
1 m/a m/a m/a m/a m/a
2 m/a m/a m/a m/a m/a
3 m/a m/a m/a m/a m/a
4 m/a m/a m/a m/a m/a
5 m/a m/a m/a m/a m/a
6 m/a m/a m/a m/a m/a
7 m/a m/a m/a m/a m/a
8 m/a m/a m/a m/a m/a

Keterangan:
F1 : Tween 80 0% dan gom arab 20%
F2 : Tween 80 0,25% dan gom arab 20%
F3 : Tween 80 0,5% dan gom arab 20%
F4 : Tween 80 0,75% dan gom arab 20%
F5 : Tween 80 1% dan gom arab 20%

Sediaan emulsi VCO yang dibuat mempunyai tipe emulsi m/a karena

metilen biru yang ditambahkan pada masing - masing formula terlarut dan

berdifusi merata dalam air. Tipe emulsi m/a yang diberikan secara oral memiliki

keuntungan mudah dimakan dan ditelan sampai ke lambung (Ansel, 1989). Data

diatas menunjukkan bahwa masing-masing formula selama 8 minggu

penyimpanan tidak mengalami perubahan tipe emulsi (inversi) dari sediaan yang

dibuat yang artinya emulsi stabil.

4.3.4 Pengamatan creaming

Data perhitungan creaming dapat dilihat pada Lampiran 7. Cara untuk

mengamati creaming masing-masing formula selama 8 minggu dapat dilihat pada

Gambar 4.3 dan hasil pengukuran pada Tabel 4.6. yang menunjukkan bahwa

masing – masing formula mengalami pemisahan fase selama penyimpanan.


0 (Awal) 1 minggu

2 minggu

3 minggu 4 minggu 5 minggu

6 minggu 7 minggu 8 minggu

Setelah diredispersi
Gambar 4.3. Pembentukan creaming pada emulsi selama 8 minggu penyimpanan
Tabel 4.6. Pembentukan creaming pada emulsi selama 8 minggu penyimpanan

Waktu R
(minggu) F1 F2 F3 F4 F5
0 (Awal) - - - - -
1 0,46 - - - -
2 0,46 - - - -
3 0,46 - - - -
4 0,46 - - - -
5 0,46 - - - -
6 0,46 0,3 0,26 0.2 -
7 0,5 0,34 0,3 0,26 0,1
8 0,5 0,34 0,3 0,26 0,1

Keterangan:
F1 : Tween 80 0% dan gom arab 20%
F2 : Tween 80 0,25% dan gom arab 20%
F3 : Tween 80 0,5% dan gom arab 20%
F4 : Tween 80 0,75% dan gom arab 20%
F5 : Tween 80 1% dan gom arab 20%
(-) : Tidak terjadi pemisahan fase
R : Perbandingan volume fase air terhadap volume total emulsi

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa formula 1 pada 1 minggu sampai 8

minggu penyimpanan menunjukkan terjadinya pembentukan creaming yang terus

mengalami peningkatan seiring bertambahnya umur sediaan sedangkan pada

formula 2, 3, 4 dan 5 pembentukan creaming terjadi pada penyimpanan 7 minggu

sampai 8 minggu. Perbedaan penggunaan konsentrasi Tween 80 pada gom arab

20% berpengaruh pada peningkatan terjadinya creaming emulsi selama

penyimpanan. Apabila semakin kecil konsentrasi Tween 80 yang digunakan maka

kemampuannya untuk membentuk lapisan monomelekuler pada fase minyak

semakin berkurang, sehingga mengakibatkan mudahnya bergabung antara

molekul minyak dengan minyak sehingga terjadi creaming.

Kecepatan pembentukan creaming berbanding terbalik dengan viskositas.

Semakin tinggi kadar Tween 80, maka viskositas emulsi akan semakin tinggi
sehingga kecepatan pembentukan creaming semakin lambat dan emulsi semakin

stabil. Formula 5 dengan konsentrasi Tween 80 1% merupakan formula dengan

creaming terkecil. Ini berarti formula 5 merupakan formula yang paling stabil

karena kecepatan pembentukan creamnya paling kecil. Menurut persamaan Stokes

laju pemisahan fase terdispersi dari emulsi dapat dihubungkan dengan faktor-

faktor seperti ukuran partikel dari fase terdispersi, perbedaan dalam kerapatan

antar fase dan viskositas fase luar.

Penelitian yang dilakukan oleh Syukri (2008), mengunakan emulgator

Span 80 dan Tween 40 pada pembuatan emulsi VCO, diperoleh creaming yang

semakin tinggi selama 4 minggu penyimpanan.

4.3.5 Pengukuran viskositas

Hasil pengukuran viskositas selama 8 minggu dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Gambar 4.4, menunjukkan bahwa masing-masing formula mengalami penurunan

viskositas selama penyimpanan.

Tabel 4.7. Data pengukuran viskositas selama 8 minggu penyimpanan

Waktu Viskositas (cps)


(minggu) F1 F2 F3 F4 F5
0 (Awal) 109 120 138 154 186
1 106,6 118,6 134,6 152 184,6
2 104,1 117,1 131,1 150 183,1
3 101,7 115,7 127,7 148 181,7
4 99,3 114,3 124,3 146 180,3
5 96,9 112,9 120,9 144 178,9
6 94,5 111,5 117,5 142 177,5
7 92 110 114 140 176
8 90 108 112 138 174

Keterangan:
F1 : Tween 80 0% dan gom arab 20%
F2 : Tween 80 0,25% dan gom arab 20%
F3 : Tween 80 0,5% dan gom arab 20%
F4 : Tween 80 0,75% dan gom arab 20%
F5 : Tween 80 1% dan gom arab 20%
240

Viskositas (Cps)
160
Formula 1
Formula 2
80 Formula 3
Formula 4
Formula 5
0
0 1 2 2 4 5 6 7
8

Waktu (minggu)

Gambar 4.4 Grafik pengukuran viskositas selama 8 minggu penyimpanan

Viskositas merupakan nilai yang menunjukkan satuan kekentalan medium

pendispersi dari suatu sistem emulsi. Semakin tinggi viskositas suatu emulsi,

semakin baik penghambatan agregasi atau penggabungan kembali droplet (Kim,

et al., 2003).

Pada sistem emulsi tipe m/a, penambahan Tween 80 akan meningkatkan

viskositas sehingga dapat membentuk sistem emulsi yang lebih stabil. Viskositas

yang paling besar dimiliki oleh emulsi formula 5 yaitu Tween 80 1%. Pada awal

pembuatan emulsi tanpa penambahan Tween 80 memiliki viskositas sebesar 109

cps, sedangkan setelah penambahan Tween 80 viskositas meningkat hingga 120 –

186 cps.

Selama 8 minggu penyimpanan viskositas masing-masing formula emulsi

cenderung mengalami penurunan. Penurunan viskositas tersebut diikuti oleh

penurunan stabilitas emulsi VCO. Hal ini karena pada viskositas yang rendah,

fase terdispersi (droplet) akan mudah bergerak dalam medium pendispersi

sehingga peluang terjadinya tabrakan antara sesama droplet semakin tinggi dan
droplet akan cenderung bergabung menjadi partikel yang lebih besar dan

menggumpal.

Terjadinya penurunan viskositas selama penyimpanan diduga terkait

dengan penurunan kemampuan Tween 80 dalam menstabilkan sistem emulsi.

Menurut Nawansih dan Nurainy (2007), kestabilan Tween 80 pada penyimpanan

sari buah semakin menurun yang disebabkan oleh terputusnya molekul Tween 80

dengan ikatan hidrogen yang mengikat air. Efektivitas Tween 80 dan gom arab

dalam proses pengentalan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi dan derajat

polimerisasi. Dalam kondisi tertentu ikatan glikosida dan hidrokoloid peka

terhadap reaksi hidrolisis yang menyebabkan degradasi Tween 80 dan gom arab.

Selain itu beberapa mikroba dapat menghasilkan eksoenzim yang juga dapat

menyebabkan terjadinya degradasi Tween 80 dan gom arab.

Penelitian yang dilakukan oleh Syukri, et al., (2008), mengunakan

emulgator Span 80 dan Tween 40 pada pembuatan emulsi VCO diperoleh

viskositas yang menurun perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya umur

sediaan.

4.3.6 Redispersibilitas

Hasil uji redispersibilitas dapat dilihat pada Tabel 4.8. Pada Tabel dibawah

ini tampak bahwa sediaan selama 8 minggu penyimpanan semua sediaan emulsi

mengalami pembentukan creaming. Hal ini menyebabkan suatu sediaan emulsi

memerlukan pengocokan untuk menjadi homogen kembali karena sebagian fase

minyak mengalami penggabungan membentuk lapisan yang lebih pekat di

permukaan. Namun demikian, semua sediaan tetap mudah didispersikan kembali

dengan 5 - 15 kali pengocokan.


Tabel 4.8. Redispersibilitas emulsi selama 8 minggu penyimpanan

Waktu Jumlah redispersibilitas/pengocokan (n)


(minggu) F1 F2 F3 F4 F5
0 (Awal) - - - - -
1 5 - - - -
2 8 - - - -
3 8 - - - -
4 10 - - - -
5 10 - - - -
6 13 8 6 5 -
7 15 10 7 6 5
8 15 10 7 6 5

Keterangan:
F1 : Tween 80 0% dan gom arab 20%
F2 : Tween 80 0,25% dan gom arab 20%
F3 : Tween 80 0,5% dan gom arab 20%
F4 : Tween 80 0,75% dan gom arab 20%
F5 : Tween 80 1% dan gom arab 20%
(-) : Tanpa pengocokan

Pembentukan creaming masih diperbolehkan dalam suatu sediaan emulsi

oral karena terjadinya creaming bersifat reversibel, artinya dengan pengocokan

yang cukup emulsi tersebut dapat kembali homogen. Berbeda dengan

koalesensi/breaking (pecahnya sediaan emulsi) yang bersifat irreversibel (Ansel,

1989).

4.3.7 Ukuran partikel dan distribusi partikel terdispersi

4.3.7.1 Ukuran partikel terdispersi

Hasil pengamatan mikroskopik dari emulsi VCO yang dibuat pada variasi

konsentrasi Tween 80 dalam 20% gom arab ada pada Gambar 4.5 berikut.
0 (awal) 2 minggu 4 minggu

50 µm 100 µm 50 µm

6 minggu 8 minggu

50 µm 100 µm

Gambar 4.5a. Ukuran partikel F1 (tanpa Tween 80) perbesaran 40x10 selama 8
minggu

0 (awal) 2 minggu 4 minggu

50 µm 100 µm 50 µm

6 minggu 8 minggu

50 µm 100 µm
Gambar 4.5b. Ukuran partikel F2 (Tween 80 0,25%) perbesaran 40x10 selama 8
minggu

0 (awal) 2 minggu 4 minggu

50 µm 100 µm 50 µm

6 minggu 8 minggu

100 µm 50 µm

Gambar 4.5c. Ukuran partikel F3 (Tween 80 0,5%) perbesaran 40x10 selama 8


minggu

0 (awal) 2 minggu 4 minggu

25 µm 50 µm 25 µm

6 minggu 8 minggu

50 µm
25 µm
Gambar 4.5d Ukuran partikel F4 (Tween 80 0,75%) perbesaran 40x10 selama 8
minggu

0 (awal) 2 minggu 4 minggu

25 µm 50 µm 25 µm

6 minggu 8 minggu

50 µm 25 µm

Gambar 4.5e. Ukuran partikel F5 (Tween 80 1%) perbesaran 40x10 selama 8


minggu

Dari keseluruhan Gambar 4.4 dapat kita lihat bahwa ukuran partikel

terdispersi semakin kecil dengan bertambahnya konsentrasi Tween 80.

Pengukuran partikel emulsi bertujuan untuk mengevaluasi adanya koalesensi atau

penggabungan globul-globul minyak menjadi lebih besar pada sediaan emulsi

selama 8 minggu penyimpanan.

Pengukuran partikel emulsi dapat dilihat pada Tabel 4.9 dan Gambar 4.6

bahwa perbedaan ukuran partikel antara emulsi yang satu dengan yang lainnya

serta perbedaan ukuran partikel tiap formula selama 8 minggu penyimpanan jauh

berbeda. Data hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 8.


Tabel 4.9. Data ukuran rata-rata partikel terdispersi

Waktu Ukuran rata-rata partikel terdispersi (µm)


(minggu) F1 F2 F3 F4 F5
0 (Awal) 36,5 22,8 19,8 17,1 16,5
2 39,2 23,2 20,4 20,5 16,7
4 45 28,4 24,9 22,5 17,8
6 49,3 31,5 25,8 23,9 18,5
8 57,9 40,6 28,6 28,8 22,6

Keterangan:
F1 : Tween 80 0% dan gom arab 20%
F2 : Tween 80 0,25% dan gom arab 20%
F3 : Tween 80 0,5% dan gom arab 20%
F4 : Tween 80 0,75% dan gom arab 20%
F5 : Tween 80 1% dan gom arab 20%

60
Ukuran rata-rata partikel (µm)

50
40
Formula 1
30
Formula 2
20
Formula 3
10
Formula 4
0

02 4 6 8 Formula 5
Waktu (minggu)

Gambar 4.6. Grafik ukuran rata-rata partikel terdispersi

Sediaan F1, F2, F3, F4 dan F5 berturut-turut mempunyai ukuran rata-rata

yang semakin kecil. Hal ini dikarenakan semakin besar penambahan Tween 80,

maka akan semakin banyak globul minyak yang terbungkus oleh film

monomolekuler yang dibentuk Tween 80. Faktor internal yang mempengaruhi

stabilitas emulsi tergantung pada ukuran partikel terdispersi. Ukuran partikel

terdispersi yang semakin kecil menandakan produk emulsi yang semakin stabil

(Martin, et al., 1993).


4.3.7.2 Distribusi partikel terdispersi

Hasil distribusi partikel terdispersi selama 8 minggu dapat dilihat pada

Tabel 4.10 dan Gambar 4.7 dibawah ini. Distribusi partikel terdispersi masing–

masing formula semakin meningkat sesuai dengan penambahan konsentrasi

Tween 80.

Cara yang tepat untuk menentukan stabilitas emulsi dengan melihat

analisis ukuran-jumlah partikel terdispersi selama penyimpanan (Martin, et al.,

1993). Untuk emulsi yang memecah, pengamatan mikroskopik dapat dihentikan.

Pengamatan yang dilakukan hanya 8 minggu, ini dikarenakan emulsi telah

memisah.
Tabel 4.10. Data distribusi partikel terdispersi

Formula 0 (Awal) 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu


F1 ɸ n ɸ n ɸ n ɸ n ɸ n
13,2 80 13,2 100 13,2 120 13,2 80 13,2 60
26,4 40 19,8 20 19,8 80 26,4 40 26,4 50
39,6 30 26,4 28 26,4 40 39,6 30 52,8 30
66 20 39,6 24 39,6 24 66 30 66 25
105,6 5 52,8 8 52,8 16 105,6 25 105,6 20
145,2 3 66 8 66 3 145,2 16 145,2 18
158,4 3 105,6 2 79,2 4 158,4 6 158,4 10
158,4 1 105,6 8 171,6 6
118,8 3
145,2 2

F2 13,2 68 13,2 120 13,2 140 13,2 125 13,2 100


19,8 60 19,8 60 19,8 80 19,8 55 19,8 35
26,4 20 26,4 20 26,4 24 26,4 16 26,4 16
39,6 8 39,6 24 39,6 24 39,6 28 39,6 30
52,8 2 66 20 52,8 8 66 25 66 25
105,6 2 79,2 4 66 3 79,2 3 79,2 5
118,8 3 105,6 8 79,2 4 105,6 10 105,6 10
145,2 1 118,8 2 92,4 3 118,8 4 118,8 10
145,2 2 118,8 2 145,2 4 145,2 8
158,4 1 132 1 158,4 2 158,4 8
145,2 1

F3 13,2 200 13,2 160 13,2 100 13,2 140 13,2 120
19,8 120 19,8 100 19,8 160 19,8 110 19,8 100
26,4 80 26,4 40 26,4 80 26,4 30 26,4 50
39,6 28 39,6 36 39,6 12 39,6 25 39,6 30
52,8 8 52,8 64 52,8 3 52,8 70 52,8 50
66 4 66 10
79,2 8
92,4 8

F4 13,2 100 13,2 80 13,2 160 13,2 80 13,2 80


19,8 120 19,8 140 19,8 200 19,8 130 19,8 100
26,4 100 26,4 80 26,4 10 26,4 80 26,4 80
39,6 52 39,6 8 39,6 60 39,6 80
52,8 2 52,8 8 52,8 15
66 30

F5 2 400 13,2 480 13,2 320 13,2 300 13,2 200


3 320 19,8 388 19,8 400 19,8 400 19,8 200
4 40 26,4 32 26,4 90 26,4 200
39,6 16 39,6 100
Keterangan : ɸ : diameter partikel n : Jumlah partikel

140
Jumlah partikel per lapangan pandang

120
100
80 0 (Awal)

60 2 minggu

40 4 minggu

20 6 minggu
8 minggu
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Ukuran rata-rata partikel (µm)

Gambar 4.7a. Grafik distribusi partikel terdispersi (F1)

160
Jumlah Partikel per lapangan pandang

140
120
100 0 (Awal)
80
2 minggu
60
4 minggu
40
20 6 minggu
0 8 minggu
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Ukuran rata-rata partikel (µm)

Gambar 4.7b. Grafik distribusi partikel terdispersi (F2)


220

Jumlah Partikel per lapangan pandang


200
180
160
140
0 (Awal)
120
100 2 minggu
80 4 minggu
60
6 minggu
40
20 8 minggu
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Ukuran rata-rata partikel (µm)

Gambar 4.8c. Grafik distribusi partikel terdispersi (F3)

220
200
Jumlah Partikel per lapangan pandang

180
160
140 0 (Awal)
120
100 2 minggu
80
4 minggu
60
40 6 minggu
20
0 8 minggu

0 10 20 30 40 50 60 70
Ukuran rata-rata partikel (µm)

Gambar 4.7d. Grafik distribusi partikel terdispersi


(F4)
550
500
Jumlah Partikel per lapangan pandang

450
400
350 0 (Awal)
300
250 2 minggu
200
150 4 minggu
100 6 minggu
50
0 8 minggu

0 10 20 30 40 50
Ukuran rata-rata partikel (µm)

Gambar 4.7e. Grafik distribusi partikel terdispersi (F5)

450
Jumlah partikel per lapangan pandang

400
Formula 1
350
300 Formula 2
250
Formula 3
200
150 Formula 4
100 Formula 5
50
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
Ukuran rata-rata partikel terdispersi (µm)

Gambar 4.7f. Grafik distribusi partikel terdispersi semua formula

Pada keseluruhan Gambar 4.7 dapat dilihat bahwa Formula 5 (Tween 80

1%) lebih stabil dimana jumlah partikel terdispersi paling banyak (400 per

lapangan pandang) dan ukuran partikel terdispersi paling kecil (40 µm).

Distribusi partikel terdispersi masing–masing formula selama

penyimpanan 8 minggu semakin menurun dimana jumlah partikel terdispersi

mengalami penurunan dan ukuran partikel terdispersi semakin besar sehingga

menyebabkan emulsi kurang stabil.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. VCO yang dihasilkan dengan menggunakan ragi tempe memiliki kualitas

yang memenuhi standart mutu yaitu kadar air 0,03%, bilangan asam

0,1389, bobot jenis 0,9072 dan redemen minyak 40,82%.

2. Gom arab dan Tween 80 dapat digunakan sebagai emulgator untuk

membuat formula sediaan emulsi VCO. Keempat formula emulsi VCO

dengan variasi jumlah Tween 80 masing-masing 0,25, 0,5, 0,75%, 1%

relatif stabil selama penyimpanan. Semakin tinggi konsentrasi Tween 80

emulsi VCO semakin stabil. Formula dengan Tween 80 1% merupakan

formula yang paling stabil berdasarkan uji stabilitas.

4.2 Saran

Dari penelitian ini, disarankan bahwa:

1. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis emulgator lainnya untuk

membuat sediaan emulsi VCO.

2. Dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan pemakaian alat untuk

membuat emulsi misal dengan ultrasonic atau mixer sehingga ukuran

partikelnya lebih seragam.

3. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan absorpsi emulsi

VCO dengan VCO cairan.


DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta:
UI-Press. Halaman 326 - 342.
APCC. (2008). APCC Standards for Virgin Coconut Oil. http://
www.apccsec.org/document/VCNO.PDF. (3 Oktober 2013).
Bawalan, D.D. (2011). Processing Manual for Virgin Coconot Oil, its Products
and By-Products for Pacific Island Countries and Territories. Secretariat
of the Pacific Community Noumea, New Caledonia. Halaman 32 - 34.
Cahyono., dan Untari, L. (2009). Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil dengan
fermentasi Menggunakan Starter Ragi Tempe. Semarang: Jurusan Teknik
Kimia, Universitas Diponegoro.

Campo, I., Yagmur, A., Garti, N., leser, M.E., Folmer, B dan Glatter, O. (2004).
Five componenr food-grade microemulsions: structural characterization by
SANS. Journal of Colloid Interface Science. 274(4): 251 - 267.

Darmoyuono, W. (2006). Gaya Hidup Sehat Dengan Virgin Coconut Oil. Jakarta:
Gramedia. Halaman 61.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Ke IV. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Halaman 749.

Febrina, E., Gozalih, D., dan Rusdiana, T. (2007). Formulasi Sediaan Emulsi
Buah Merah sebagai Produk Antioksidan Alami. Bandung: Fakultas
Farmasi, Universitas Padjadjaran. Halaman 39 – 50.

Florence, A.T., dan Attwood, D. (2006). Physicochemical Principles of


Pharmacy. Fourth Edition. United Kingdom: Pharmaceutical Press.
Halaman 229 – 239.

Friberg, S.E. (1997). Emulsion Stability. Dalam: Food Emulsion, Friberg, S.E.
and K. Larrson (Eds). Marcel Dekker, New York. Halaman 1 - 4.

Gani, Z., Yuni., dan Dede. (2005). Bebas Segala Penyakit dengan VCO (Virgin
Coconut Oil). Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 1, 4.

Gennaro, R.A. (1990). Remington’s Pharmaceutical Sciences. 18 th Edition.


USA: Marck Printing Company Easton. Halaman 712.

Gopala, K.A.G., Raj. G., Bhatnagar, A.S., Prasanth, K.P.K., dan Chandrashekar,
P. (2010). Coconut Oil: Chemistry, Production and Its Applications. A
Review. Indian Coconut Journal. 7(2): 15 – 27.
Gupta, A., Malav, A., Singh, A., Gupta, M.K., Khinchi, M.P., Sharma, N., dan
Agrawal, D. (2010). Coconut Oil: The Healthiest Oil on Earth.
International Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. 1(6): 19-
26.

Hedge, B.M. (2006). Coconut Oil-Ideal fat next only to Mother’s Milk. J. Indian
Academy of Clinical Medicine. 7(1):16-19.

Ishwanto, T.I.L.G. (2001). Bioproses Enzimatik dan Purifikasi Minyak Kelapa


Fermentasi (femikel). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Djuanda. Halaman 91.

Joshi, H.C., Pandey, I.P., Kumar, A., Garg, N. (2012). A Study of Various Factors
Determining The Stability of Molecules. Advances in Pure and Appl
Chem. 1(1): 7 - 11.

Ketaren, S. (1986). Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-
Press. Halaman 113.

Ketaren, S. (2005). Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia.


Halaman 49 - 65.

Kim, H.J., Decker, E.A., dan Mcclements, D.J. (2003). Influence of Sucrose on
Droplet Flocculation in Hexadecane oil-in-water Emulsions Stablilized by
β-Lactoglobulin. Agriculture and Food Chemistry. 51(3): 766 – 772.

Kulshreshtha, A.K., Singh, O.N., dan Wall, G.M. (2010). Pharmaceutical


Suspensions. London: AAPS Press. Halaman 4 – 10.

Lachman, L., Lieberman, H.A., dan Kanig, J.L. ( 1994). Teori dan Praktek
Farmasi Industri. Edisi ke III. Jakarta: Universitas Indonesia. Halaman
760.

Lieberman, S., Enig, M.G., dan Preuss, H.G. (2006). A Review of Monolaurin and
Lauric Acid. Alternative and Complementary Therapies. 12(5): 310 – 312.

Marchaban. (2005). Kemampuan Solubilisasi Surfaktan karena Perbedaan


Panjang Rantai Lifofil dan Hidrofil. Majalah Farmasi Indonesia.
16(2):105 - 109

Martin, A., Swarbrik, J., Cammarata, A. (1993). Dasar-dasar Farmasi Fisik


dalam Ilmu Farmasetik. Alih Bahasa Yoshita. Edisi Ketiga. Jakarta: UI
Press. Halaman 924 - 950, 1255.

Martin, A., Sinko, P.J., dan Singh, Y. (2011). Martin’s Physical Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. Edisi Keenam. London: Lippicott Williams dan
Wilkins. Halaman 600 – 609.
Mentawai, I. (2005). Ringkasan Manfaat Kesehatan Virgin Coconut Oil. http://
indo-coco.com/ (9 Februari 2005).

Murtiningrum., Sarungallo, Z.L., Cepeda, G.N., dan Olong, N. (2013). Stabilitas


Emulsi Minyak Buah Merah pada berbagai Nilai HLB Pengemulsi. Jurnal
Teknik Industri Pertanian. 23(1): 30 - 37.

Nawansih, O., dan Nurainy, F. (2007). Efek Pateurisasi terhadap Karakteristik


Santan yang Distabilkann dengan CMC Selama Penyimpanan Dingin.
Prosiding Seeminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Universitas Lampung.

Nevin, K.G., dan Rajamohan, T. (2006). Virgin Coconut Oil Supplemented Diet
Increase the Antioxidant Status in Rats. Food Chem. 99: 260 – 266.

Purba, E.M. (2012). Pembuatan Minyak Kelapa Murni Dengan Metode


Fermentasi. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi.

Rawlins, E.A. (2003). Bentley’s textbook of Pharmaceutics. Edisi ke-18. London:


Bailierre Tindall. Halaman 22, 355.

Rohman, A., Che Man, Y.B., dan Norviana, E. (2012). Analysis of Emulsifier in
Food Using Chromatograpic Techniques. J. Food Pharm Sci. 1(20): 1-6.

Rowe, R. C., Paul, J.S., dan Marian, E.Q. (2009). Handbook of Pharmaceuutical
Expients. Six edition. Pharmaceutical Press. London. Hal. 1, 75, 442, 550,
704.

Setiaji, B., dan Prayugo., S. (2006). Membuat VCO Berkualitas Tinggi. Seri
Agriteknologi. Cetakan Kedua. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 43,
50, 55.

Silalahi, J. (2012). Manfaat Minyak Kelapa untuk Meningkatkan Kesehatan.


Dalam: Pemikiran Guru Besar Universitas Sumatera Utara dalam
Pembangunan nasional. Medan: USU Press. Halaman 30 – 35.

Silalahi, J., dan Nurbaya, S. (2011). Komposisi, Distribusi dan Sifat aterogenik
Asam Lemak di dalam Minyak Kelapa dan Kelapa Sawit. Majalah
Kedokteran Indonesia. 61(11): 456.

Standarisasi Nasional Indonesia. (2008). Minyak Kelapa Murni. SNI 7381:2008


Jakarta: Departemen Perindustrian RI. Halaman 2.

S.T. Mootoosingh, K., dan Rousseau, D. (2006). Emulsions for the Delivery of
Nutraceutical Lipids. Dalam: Nutraceutical and Specialty Lipids and their
Co-Product. USA: CRC Press. Halaman 50 – 56.
Subroto, A. (2006). VCO Dosis Tepat Taklukkan Penyakit. Cetakan Pertama.
Jakarta: Penebara Swadaya. Halaman 7.

Sukmadi, B., dan Nugroho, N.B. (2002). Kajian Penggunaan Inokulum Pada
Produksi Minyak Kelapa Secara Fermentasi. J Biosains Bioteknol Indones.
10(2): 12 - 17

Surtami., dan Rozaline, H. (2005). Takulukan Penyakit Denagn VCO. Seri


Agrisehat. Cetakan Ketiga. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 5, 9, 22,
28.

Syukri, Y., Sari, F., dan Zahliyatul, S. (2009). Stabilitas Fisik Emulsi Ganda
Virgin Coconot Oil Menggunakan Emulgator Span 80 dan Tween 40.
Skripsi. Jakarta: Jurusan Farmasi FMIPA, Universitas Islam Indonesia.
Halaman 33 – 41.

Villarino, B.J., dan Lizada, M.A.C.C. (2007). Descriptive Sensory Evaluation of


Virgin Coconut Oil and Refined, Bleached dan Deodorized Coconut Oil.
Food Science and Technology. 40(5): 193 – 199.

Viyoch J, Klinthong N., dan Siripaisal W. (2003). Development of Oil-in Water


Emulsion Containing Tamarind Fruit Pulp Extract. Naresuan University J.
21(4): Halaman 29 - 49.

Wang, L.L., dan Johnson, E.A. (1992). Inhibition of Listeria Monocytogenes by


Fatty Acids and Monoglycerides. Applied and Environmental
Microbiologi. 19(3): Halaman 58.

Wardani, I.E. (2007). Uji Kualitas VCO Berdasarkan Cara Pembuatan dan Proses
Pengadukan Tanpa Pemancingan dan Proses Pengadukan dengan
Pemancingan. Skripsi. Fakultas MIPA UNS. Halaman 2.

Wathoni, N., Soebagio, B., Rusdiana, T. (2007). Efektivitas Lecithin sebagai


Emulgator dalam Sediaan Emulsi Minyak Ikan. Jatinangor: Fakultas
Farmasi, Universitas Padjadjaran. Halaman 22 – 31.

Yagmur, A., Aserin, A., dan Garti, N. (2002). Phase behaviour of microemulsions
based on food-grade nonionic surfactants: effect of polyols and short chain
alcohols. Colloids and Surfaces A: Physicochemical Engineering Aspects.
209(7): 71 - 81
Lampiran 1. Flowsheet pembuatan VCO

Daging buah kelapa

Diparut

Ditimbang

Ditambahkan air, diperas

Didiamkan selama 1 jam

Krim santan dan air

Ditampung krim santan

Ditambahkan dengan ragi tempe

Diaduk sampai homogen

Dimasukkan dalam corong pisah

Didiamkan 24 jam sampai terbentuk

3 lapisan
Minyak, protein dan air

Ditampung bagian atas (minyak)

disentrifuse selama 20 menit dengan kecepatan 2000 rpm

VCO
Lampiran 2. Gambar proses pembuatan VCO sampai jadi emulsi VCO

Krim
Santan

Air

Santan dan

Ragi tempe

Minyak

Protein

Air

Minyak

Protein

Air
Lampiran 3. Flowsheet uji kualitas VCO

a. Kadar air

VCO

Ditimbang 5 g dalam b otol timbang

Dipanaskan dalam ovenT=105℃ selama 2 jam

Didinginkan dalam desi kator, selama 30 menit

Ditimbang

Berat konstan

b. Berat Jenis

Piknometer

Ditimbang

Dimasukkan VCO dalam piknometer

Ditimbang kembali

Direndam dalam waterbath T= 25±0,2℃,30 menit

Ditimbang

Berat piknometer dan sampel


c. Bilangan asam

VCO

Ditimbang s ebanyak 5 g

Dimasukkandalam erlenm eyer 250 ml

Ditambahka n alkohol 95% 50 ml, dipanaskan dan diaduk dengan hot plate

Dititrasi den gan KOH 0,1 N menggunaka n indikator fenolftalein sampai warna

merah jamb u

Hasil akhir
Lampiran 4. Perhitungan rendemen minyak, berat jenis VCO

Kelapa = 4 buah

Berat Kelapa Parut = 2 Kg

Berat Jenis = 0,9072 g/ml

𝜌 = 𝑚⁄𝑣

0,9072= 𝑚�
900 𝑚𝑙

= 816, 48 g
(Berat Minyak)
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑀𝑛𝑦𝑎𝑘 = x 100%
(Berat Sampel)
816, 48 g
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑀𝑛𝑦𝑎𝑘 = x 100%
2000 g

= 40, 824%

Perhitungan berat jenis VCO

Berat piknometer = 11,731 g

Sampel+ piknometer = 16,267

(Berat piknometer + minyak) − (berat piknometer)


𝐵𝑟𝑎𝑡 𝐽𝑛𝑠 = Volume air pada piknometer 5 (ml)

16,267 g − 11,731 g
𝐵𝑟𝑎𝑡 𝐽𝑛𝑠 = 5 ml

= 0,9072 g / ml
Lampiran 5. Perhitungan kadar air dan bilangan asam VCO

Berat Awal =5g

Berat Akhir = 4,999 g

Berat awal − berat akhir


Kadar air = Berat sampel x 100%

5 g − 4,999 g
Kadar air = x 100%
5g

= 0,0333%

Perhitungan bilangan asam

NKOH = 0,0946N

BM KOH = 56,1

Massa Sampel (g) :M1 = 5,029

M2 = 5,030

M3 = 5,027

Volume KOH (ml) : V1 = 0,13

V2 = 0,13

V3 = 0,13

ml KOH x NKOH x MrKOH


Bilangan Asam = Berat sampel

0,13 𝑥 0,0946𝑁 𝑥 56,1


Bilangan Asam = 5, 029

= 0,1372
Lampiran 6. Flowsheet pembuatan sediaan emulsi VCO

VCO

Diformulasi dengan dasar emulsi

Sediaan uji (emulsi VCO) konsentrasi

Tween 80 0,25%, 0,5%, 0,75%, 1%

Diuji mutu fisik

pH, tipe emulsi, viskositas, pemisahan

fase, redispersibilitas,ukuran partikel dan

distribusi partikel.
Lampiran 7. Perhitungan creaming

Waktu Pemisahan fase (creaming)


(minggu) F1 F2 F3 F4 F5
V0 VU R V0 VU R V0 VU R V0 VU R V0 VU R
0 - - - - - - - - - - - - - - -
1 5 2,3 0,46 - - - - - - - - - - - -
2 5 2,3 0,46 - - - - - - - - - - - -
3 5 2,3 0,46 - - - - - - - - - - - -
4 5 2,3 0,46 - - - - - - - - - - - -
5 5 2,3 0,46 - - - - - - - - - - - -
6 5 2,3 0,46 5 1,5 0,3 5 1,3 0,26 5 1 0,2 - - -
7 5 2,5 0,5 5 2,3 0,34 5 1,5 0,3 5 1,3 0,26 5 0,5 0,1
8 5 2,5 0,5 5 2,3 0,34 5 1,5 0,3 5 1,3 0,26 5 0,5 0,1

R = Vu / V0

Keterangan:
R : Perbandingan volume fase air terhadap volume total emulsi
Vu : Volume fase air (ml)
V0 : Volume total emulsi (ml)
Lampiran 8. Perhitungan ukuran partikel terdispersi

a. Formula 1 (0 atau awal – 8 Minggu)


0 (awal) 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu
ɸ n Rata-rata ɸ n Rata-rata ɸ n Rata- ɸ n Rata- ɸ n Rata-
(pxl) (pxl) (pxl) rata (pxl) rata (pxl) rata
2 100 1320 2 80 1056 2 90 1188 2 80 1056 2 60 792
3 80 1584 3 100 1980 4 100 2640 4 40 1056 4 50 1320
4 40 1056 4 60 1584 6 30 1188 6 30 1188 8 30 1584
6 24 950,4 6 26 1029,6 8 20 1056 10 30 1980 10 25 1650
8 16 844,8 8 25 1320 16 25 2640 16 25 2640 16 20 2112
12 20 1584 12 10 792 18 30 3564 22 16 2323,2 22 18 2613,6
16 15 1584 14 30 2772 22 10 1452 24 6 950,4 24 10 1584
18 12 1425,6 18 20 2376 n=305 n=13728 n227 n=11193 26 6 1029,6
22 8 1161,6 22 8 1161,6 X=45 X=49,31 219 12685,2
n=315 n=11510,4 n=359 n=14071,2 57,92
X=36,54 X=39,19

b. Formula 2 (0 atau awal – 8 Minggu)


0 (awal) 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu
ɸ n Rata-rata ɸ N Rata- ɸ n Rata- ɸ N Rata- ɸ n Rata-
(pxl) (pxl) rata (pxl) rata (pxl) rata (pxl) rata
2 68 897,6 2 140 1848 2 120 1584 2 125 1650 2 100 1320
3 60 1188 3 80 1584 3 60 1188 3 55 1089 3 35 693
4 20 528 4 24 633,6 4 20 528 4 16 422,4 4 16 422,4
6 8 316,8 6 24 950, 4 6 24 950,4 6 28 1108,8 6 30 1188
8 2 105,6 8 8 422,4 10 20 1320 10 25 1650 10 25 1650
16 2 211,2 10 3 198 12 4 316,8 12 3 237,6 12 5 396
18 3 356,4 12 4 316,8 16 8 844,8 16 10 1056 16 10 1056
22 1 145,2 14 3 277,2 18 2 237,6 18 4 475,2 18 10 1188
n=164 n=3748,8 18 2 237,6 22 2 290,4 22 4 580,8 22 8 1161,6
X=22,85 20 1 132 24 1 158,4 24 2 316,8 24 8 1267,2
22 1 145,2 n=261 n7418 272 8586,6 262 10639,2
n=290 n6745 x28,42 31,5 40,60
X23,25

c. Formula 3 (0 atau awal – 8 Minggu)


0 (awal) 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu
ɸ n Rata-rata ɸ n Rata-rata ɸ n Rata-rata ɸ n Rata- ɸ n Rata-
(pxl) (pxl) (pxl) (pxl) rata (pxl) rata
2 200 2640 2 100 1320 2 160 2112 2 140 1848 2 120 1584
3 120 2376 3 160 3168 3 100 1980 3 110 2178 3 100 1980
4 80 2112 4 80 2112 4 40 1056 4 30 792 4 50 1320
6 28 1108,8 6 12 475,2 6 36 1425,6 6 25 990 6 30 1188
8 8 422,4 8 3 158,4 8 64 3379,2 8 70 3696 8 50 2640
n=436 n=8659,2 n=355 n=7233,6 n=400 n=9952,8 10 4 264 10 10 660
X=19,8 X=20,4 X=24,9 n=379 n=9768 12 8 633,6
X=25,8 14 8 739,2
376 10744,8
28,57
Lampiran 8. (Lanjutan)

d. Formula 4 (0 atau awal – 8 Minggu)


0 (awal) 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu
ɸ n Rata- ɸ n Rata- ɸ n Rata- ɸ (pxl) N Rata- ɸ (pxl) n Rata-
(pxl) rata (pxl) rata (pxl) rata rata rata
2 160 2112 2 80 1056 2 100 1320 2 80 1056 2 80 1050
3 200 3960 3 140 2772 3 120 2376 3 130 2574 3 100 1980
4 10 264 4 80 2112 4 100 2640 4 80 2112 4 80 2112
n=370 n=6336 6 8 316,8 6 52 2059,2 6 60 2376 6 80 3168
X=17,1 8 2 105,6 n=37 n=8395 8 8 422,4 8 15 792
2 ,2
n=310 n=63 X=22,5 n=35 n=8540 10 30 1988
62,4 8 ,4
X=20 X=23,9 385 1108,2
,5
28,78

e. Formula 5 (0 atau awal – 8 Minggu)


0 (awal) 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu
ɸ N Rata-rata ɸ ɸ n Rata- n Rata- ɸ n Rata- ɸ n Rata-
(pxl) (pxl) (pxl) rata rata (pxl) rata (pxl) rata
2 400 6336 2 400 5280 2 320 4224 2 300 3960 2 200 2640
3 320 7682,4 3 320 6336 3 400 7920 3 400 7910 3 200 3960
4 40 844,8 4 40 1056 4 80 2112 4 90 2376 4 200 5280
n=900 n=14863,2 n=760 n=12672 n=800 n=14256 6 16 633,6 6 100 3960
X=16,5 X=16,7 X=17,8 n=806 14889,6 700 15840
18,5 22,62

Keterangan :
ɸ : Ukuran Partikel
n : Jumlah Partikel
Lampiran 8. (Lanjutan)

Cara perhitungan ukuran partikel

1 pixel = 0,026458334 cm = 264,58334 µm

Perbesaran Mikroskop = 10 x 40

2 pixel = 2 x 264, 58334 µm

= 528 µm/ 40

= 13,2 µm

Jumlah partikel 2 pixel = 100

= 100 x 13,2 µm

=1320 µm per lapangan pandang

Jumlah partikel total = 315 per lapangan pandang

Jumlah total ukuran pertikel = 11510,4 µm per lapangan pandang

Rata-rata = 11510,4 µm per lapangan pandang / 315 /

per lapangan pandang

= 36,54 µm
Lampiran 9. Gambar buah kelapa, ragi tempe, alat peras kelapa

a.Buah kelapa b. Ragi tempe

c.Alat peras kelapa


Lampiran 10. Gambar pH meter , viskometer brookfield, neraca analitik dan
mikroskop digital

a.pH meter Hanna b. Viskometer Brookfield

c.Neraca analitic d. Mikroskop digital


Lampiran 11. Gambar uji tipe emulsi, pengukuran pH, dan uji viskositas

a.Uji tipe emulsi b.Pengukuran pH emulsi

c. penentuan viskositas emulsi

Anda mungkin juga menyukai