Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRATIKUM FARMAKOTERAPI

KASUS DIARE & BATUK

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3

Hera Sri Aniyana 1804015116

Fathiyah Rohmah 1804015149

Pramita Rindia Sari 1804015225

Awal Pradika 1804015235

Nur Azizah 1804015274

DOSEN PENGAMPU :

Apt. Septianita Hastuti, M.Farm

TANGGAL DISKUSI : 27-10-2021


TANGGAL PRESENTASI : 27-10-2021

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
JAKARTA
2021
BAB 1
KASUS

A. KASUS DIARE
1. Seorang ibu yang mempunyai anak laki-laki berumur 3 bulan dating ke
apotek untuk berkonsultasi dengan apoteker terkait kondisi anaknya yang
sering BAB berair sejak kemarin (24 jam yang lalu ).
2. Tinja pasien sangat encer dan tidak berserat . Bayi masih minum ASI,
namun saat ini bayi tidak mau minum ASI dan diapers selama beberapa
jam tetap kering .
3. Ibu belum memberikan apapun kepada bayi untuk menghentikan diarenya.
4. Tidak ada muntah, anak minum vitamin D setiap hari, tidak ada riwayat
alergi Ini adalah kali pertama anak sakit.

B. KASUS BATUK
Seorang mahasiswa pria (22th) sering menggunakan afrin nasal, namun
serkang dia memutuskan untuk tidak membelinya lagi. Semester ini dia
pindah ke apartemen yang lantainya menggunakan karpet dan dia
mengalami alergi debu. Dia berhenti minum loratadin, karena sudah tidak
mempan lagi mengatasi alerginya. Dia mengalami batuk, hidung tersumbat
dan susah bernafas. Dia bertanya kepada apoteker, mengenai penggunaan
afrin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DIARE
a. Pengertian
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair,
bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya
(tiga kali atau lebih) dalam satuh ari (Depkes RI 2011). Diare adalah
buang air besar pada balita lebih dari 3 kali sehari di sertai perubahan
konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang
berlangsung kurang dari satu minggu (Juffrie dan Soenarto, 2012).
Diare adalah perubahan konsistensi tinja yang terjadi tiba-tiba
akibat kandungan air di dalam tinja melebihi normal (10ml/kg/hari)
dengan peningkatan frekuensi defekasi lebih dari 3 kali dalam 24 jam
dan berlangsung kurang dari 14 hari (Tanto dan Liwang, 2014).
Berdasarkan ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa diare
adalah buang air besardengan bertambahnya frekuensi yang lebih dari
biasanya 3 kali sehari atau lebih dengan konsistensi cair.
Investigasi segera diperlukan untuk mengidentifikasi atau
mengecualikan setiap penyebab mendasar yang serius jika pasien
memiliki tanda bahaya gejala seperti penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan, pendarahan rectum, diare persiten, penyakit sistemik,
baru-baru ini perawatan rumah sakit atau perawatan antibiotic, atau
setelah perjalanan luar negeri (selain ke Eropa Barat, Utara Amerika,
Australia atau Selandia Baru).

b. Etiologi
Etiologi menurut Ngastiyah (2014) antara lain:
a. Faktor Infeksi
1). Infeksi enternal: infeksi saluran pencernaan makanan yang
merupakan penyebab utama diare pada anak.
2). Infeksi eksternal: Infeksi bakteri (Vibrio’ E coli, Salmonella,
Shigella, Campylobacter, Yersinia, aeromonas, dan sebagainya).
Infeksi virus (Enterovirus (virus ECHO, Coxsacki, Poliomyelitis)
Adeno-virus, Rotavirus, astrovirus). Infeksi parasite cacing
(Ascaris, Trichuris, Oxcyuris, Strongyloides) protozoa (Entamoeba
histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur
(Candida albicans).
3). Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan
seperti: otitits media akut (OMA), tonsillitis/tonsilo faringitis,
bronco pneumonia, ensefalitis, dan sebagainya. Keadaan ini
terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2 tahun.
b. Faktor Malabsobrbsi
1). Malabsorbsi karbohidrat disakarida (intoleran silaktosa, maltose
dan sukrosa), monosakarida (intoleransiglukosa, fruktosa,dan
galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering
(intoleransilaktosa).
2). Malabsornsi protein
c. Faktor makanan, makanan basi,beracun, alergi, terhadap makanan.
d. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi
pada anak yang lebih besar).

c. Pathogenesis Diare
e. Gangguan Osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserapakan
menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus.
Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga timbul diare(Ngastiyah, 2014).
f. Gangguan Seksresi
Akibat terangsang tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus
akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit kedalam rongga
usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi
rongga usus (Ngastiyah, 2014).
g. Gangguan Motilitas Usus
Hiperperistaltik akan mengkkpu akibatkan berkurangnya
kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare.
Sebaliknya bila peristaltik usus menurunakan mengakibatkan
bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare pula
(Ngastiyah, 2014).

d. Epidemiologi Diare
Diare masih menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian
terbanyak untuk anak-anak dibawah lima tahun. Diperkirakan
sebanyak 800.000 kematian dibawah lima tahun disebabkan oleh diare
pada tahun 2010, yang merupakan 11% dari total kematian dibawah
lima tahun. Dengan sekitar 80% kematian ini terjadi di Afrika dan Asia
tenggara (Christophe Faure,2013).
Survei angka kesakitan (morbiditas) yang dilakukan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2010 terlihat
adanya kecenderungan peningkatan kasus diare utamanya pada anak.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diareter
sebar di antara semua kelompok usia dengan angka terbanyak
didapatkan pada balita berusia 1-4 tahun (16,7%). Berdasarkan jenis
kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki
maupun perempuan (8,9% vs 9,1%). Berdasarkan penyebab kematian
bayi, diare (31,4%) masih menjadi momok diikuti oleh pneumonia
(23,8%) (Kemenkes,2011).
e. Klasifikasi Diare
Diare diklasifikasikan menjadi beberapa jenis menurut
karakteristiknya seperti berdasarkan waktu (akut dan kronis) dan
karakteristik fesesnya (cair, berlemak, radang, dll). Durasi diare adalah
hal penting karena bentuk akut biasanya dikarenakan beberapa agen
infeksi, keracunan, atau alergi makanan. Meskipun begitu diare akut
bisa juga menjadi gejala dari penyakit organic atau fungsional kronis.
Diare cair merupakan gejala dari beberapa kelainan dalam penyerapan
air ulang dikarenakan ketidak seimbangan antara sekresi dan absorpsi
elektrolit (diaresekretorik) atau tercernanya substansi yang usus tidak
dapat menyerapnya kembali (diareosmotik).
Diare dengan lemak yang banyak mungkin dikarenakan
rendahnya absorbsi lipid di usus yang dikarenakan buruknya
pencernaan, dan diare radang jika ada mucus dan pus. Perbedaan
antara diare sekretori dan osmotic ditegakkan melalui klinis dengan
cara mengeliminasi beberapa penyebab diare osmotik yang umumnya
sedikit. Diare osmotik dikarenakan pencernaan garam (magnesium
sulfat atau fosfat) atau polisakarida (mannitol, sorbitol) yang tidak
siap untuk dicerna atau untuk atau untuk defek beberapa enzim di
mukosa usus (contohnya kurangnya laktase). Diare osmotic berhenti
saat pasien puasa, atau saat subtansi yang tidak siap diserap tidak lagi
dicerna. Diare sekretori, berlanjut meskipun pasien telah berhenti
makan. Diare sekretor imungkin disebabkan oleh beberapafaktor,
antara endogen atau exogen, yang menentukan ketidakseimbangan
antara absorpsi dan sekresi elektrolit. Diantara penyebab diare
sekretori, terdapat juga abnormalitas motilitas usus, keduanya
merupakan penyakit primer dan sekunder terhadap penyakit metabolic
maupun neuro-endokrinsistemik.

f. Tanda dan Gejala Diare


Tanda dan gejala awal diare ditandai dengan anak menjadi cengeng,
gelisah, suhu meningkat, nafsu makan menurun, tinja cair (lendir dan
tidak menutup kemungkinan diikuti keluarnya darah, anus lecet,
dehidrasi (bila terjadi dehidrasi berat maka volume darah berkurang,
nadi cepat dan kecil, denyut jantung cepat, tekanan darah turun,
keadaan menurun diakhiri dengan syok), berat badan menurun, turgor
kulit menurun, mata dan ubun-ubun cekung, mulut dan kulit menjadi
kering (Octa dkk, 2014).

g. Manifestasi Klinis
Anamnesis dimulai dari penentuan apakah diare yang terjadi
merupakan diare primer ataukah diare sekunder. Gejala seperti batuk
maupun sesak akan mengarahkan diagnosis kepada infeksi
pernapasan.Frekuensi buang air kecil akan meningkat ditambah nyeri
saat buang air kecildapatmengarahkepadadiagnosis infeksi saluran
kencing (ISK).
Anamnesis berikutnya adalah untuk mengevaluasi berat gejala dan
komplikasi. Selanjutnya, pertanyaan lebih detail diperlukan untuk
mengukur derajat dehidrasi dan derajat kehilangan elektrolit seperti
durasi diare, volume diare, seberapa banyak cairan yang mampu
diminum selama diare, dan lain-lain.
Berdasarkan kadar Natrium dalam plasma, jenis dehidrasi dapat
dibagi menjadi tiga jenis: dehidrasi hiponatremiai (<130 mEg/L),
dehidrasi iso-natremia (130m – 150 mEg/L) dan dehidrasi
hipernatremia (> 150 mEg/L). Pada umunya dehidrasi yang terjadi
adalah tipe iso – natremia (80%) yang tanpa disertai gangguan
osmolalitas, sisanya (15%) merupakan diare hipernatremia dan 5%
merupakan jenis diare hiponatremia. Dehidrasi isonatremi ditandai
dengan onset yang sangat cepat, ekstremitasdingin dan berkeringat.
Kesadaranmenurun, dan muncul gejala lain shock hipovolemik.
Dehidrasi hipernatremik ditandai dengan terdapatnya kekurangan air
dan natrium, tetapi proporsi kekurangan airnya lebih banyak,
konsentrasi natrium serum meningkat<150 mmol/L, osmolaritas serum
meningkat (>295 mOsmol/L). Saat konsentrasi natrium > 165 mmol/L,
kejan g mungkin dapat terjadi.7 Dehidrasi hiponatremik ditandai
dengan adanya kekurangan air dan natrium tetapi kekurangan
natriumnya secara relative lebih banyak, konsentrasi natrium serum
rendah (<130 mmol/L), osmolaritas serum rendah (275 mOsmol).

h. Pemeriksaan Penunjang atau Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang intensif perlu dilakukan untuk
mengetahui adanya diare yang disertai kompikasi dan dehidrasi.
Menurut William (2005), pemeriksaan darah perlu dilakukan untuk
mengetahui Analisa Gas Darah (AGD) yang menunjukan asi dosis
metabolic. Pemeriksaan feses juga dilakukan untuk mengetahui :
a. Leukosit polimorfonuklear, yang membedakan antara infeksi
bakteri dan infeksi virus.
b. Kultur feses positif terhadap organisme yang merugikan.
c. Enzyme-linked immune sorbent assay (ELISA) dapat menegaskan
keberatan rotavirus dalam feses.
d. Nilai pH fesesdibaah 6 dan adanya substansi yang berkurang dapat
diketahui adanya malaborbsi karbohidrat.
Menurut Cahyono (2014),terdapat beberapa pemeriksaan
laboratorium untuk penyakit diare, diantaranya :
a. Pemeriksaan darah rutin, LED (laju endap darah), atau CPR (C-
reactive protein). Memberikan informasi mengenai tanda infeksi atau
inflamasi.
b. Pemeriksaan fungsi ginjal dan elektrolituntuk menilai gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
c. Pemeriksaan kolonoskopi untuk mengetahui penyebab diare.
d. Pemeriksaan CT scan bagi pasien yang mengalami nyeri perut
hebat, untuk mengetahui adanya perforasi usus.
i. Pencegahan Diare
Penyakit diare virus akut sering terjadi di pusat penitipan anak
dan panti jompo. Karena kontak orang-ke-orang adalah mekanisme
penyakit virus menyebar, teknik isolasi harus dimulai. Untuk bakteri,
parasit, dan infeksi protozoa, penanganan makanan yang ketat,
sanitasi, air, dan lain-lain praktik kebersihan lingkungan dapat
mencegah penularan. Jika diare adalah sekunder untuk penyakit lain,
mengendalikan kondisi primer diperlukan. Antibiotik dan bismut
subsalisilat dianjurkan untuk mencegah traveller's diare, dalam
hubungannya dengan pengobatan air minum dan hati-hati dengan
konsumsi sayuran segar.
Jika pencegahan tidak berhasil dan diare terjadi, tujuan
terapeutik adalah untuk (a) mengatur pola makan; (b) mencegah
kelebihan air, elektrolit, dan asam basa gangguan; (c) memberikan
bantuan gejala; (d) mengobati penyebab yang dapat disembuhkan; dan
(e) mengelola gangguan sekunder yang menyebabkan diare.
(Pharmacotherapy hal.1612).

j. Algoritma Terapi Diare


B. BATUK
a. Pengertian
Batuk adalah gejala paling umum yang dilaporkan pasien sebagai
alasan untuk mencari perawatan kesehatan di pengaturan perawatan
rawat jalan. Batuk didefinisikan secara klinis sebagai: ekspirasi yang
berhubungan dengan suara yang khas. Batuk diklasifikasikan sebagai
akut, subakut, atau kronis berdasarkan durasi. Sebagai mekanisme
pertahanan, batuk melindungi saluran udara dari aspirasi dan
membersihkan sekresi seperti lendir, zat asing, dan organisme
menular.
Namun, ketika batuk berlebihan atau berlanjut, itu bisa
merugikan pasien melalui konsekuensi yang merugikan seperti
sinkop, inkontinensia urin, muntah, nyeri dada, patah tulang rusuk,
gangguan tidur, kesulitan hubungan, social malu, dan depresi.
Peningkatan frekuensi batuk juga mempengaruhi kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan (Pharmacotherapy hal 166).
Batuk akut dapat menjadi indikator kondisi mendasar yang
serius, seperti: pneumonia, emboli paru, edema paru, atau kanker
paru-paru, sedangkan batuk kronis terutama disebabkan oleh kondisi
rinosinus, asma, PPOK, dan penyakit gastroesofageal refluks
(GERD). Oleh karena itu, pola batuk dikenal sebagai biomarker
utama untuk penilaian dan pemantauan kondisi paru. Sementara ini
analisis kuantitatif batuk telah diselidiki dan dimanfaatkan oleh
beberapa kelompok penelitian, sangat sedikit mencoba untuk
menganalisis batuk secara kualitatif (Nemati et al., 2020).

b. Etiologi Batuk
Batuk dapat dipicu oleh berbagai iritan yang memasuki cabang
trakeobronkial melalui inhalasi (asap, debu, asap rokok) atau melalui
aspirasi (sekresi jalan nafas, benda asing, isi lambung). Jika batuk
disebabkan karena iritasi oleh adanya sekresi jalan nafas atau (seperti
postnasal drip) atau isi lambung, faktor pemicu nya mungkin tidak
dikenal dan batuknya bersifat persisten. Paparan terhadap iritan
semacam itu yang berkepanjangan dapat menimbulkan inflamasi jalan
nafas, yang dapat juga memacu batuk dan menyebabkan jalan nafas
menjadi lebih sensitive.
Berbagai gangguan yang menyebabkan inflamasi, kontriksi,
kompresi jalan nafas juga dapat menyebabkan batuk. Inflamasi
biasanya disebabkan oleh infeksi pernapasan, baik karena virus
maupun bakteri. Pada bronkitis karena virus, inflamasi pernapasan
biasanya menyebabkan batuk yang lama, bisa sampai berminggu-
minggu. Infeksi pertussis, kanker paru, adanya infiltrasi granuloma
dijalan nafas juga merupakan penyebab batuk pertusis. Penyakit paru
parenkimal juga dapat memicu batuk, antara lain : penyakit paru
interstisial. Pneumonia dan abses paru. Gangguan lain yang dapat
menyebabkan batuk adalah gagal jantung kongestif, diduga karena
adanya edema di daerah peribronkial dan interstisial.
Penggunaan obat golongan inhibitor ACE ( anginotensin coverting
enzyme) sering dihubungkan dengan kejadian batuk non produktif dan
terjadi pada 5-20% pasien yang menggunakan obat ini. Onsetnya
biasanya terjadi pada waktu 1 minggu sejak dimulainya pengobatan,
namun bisa saja tertunda sampai 6 bulan setelah pengobatan.
Meskipun mekanismenya tidak diketahui secara pasti, diduga ada
kaitannya dengan akumulasi bradikinin atau substance P yang juga
didegradasi oleh enzim ACE.

c. Faktor Penyebab Batuk


Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab dari batuk
diantaranya :
1) Rangsangan mekanis, misalnya asap rokok, debu, dan tumor
2) Adanya perubahan suhu yang secara cepat dan mendadak
3) Rangsangan kimiawi, misalnya gas dan bau – bauan
4) Adanya peradangan atau infeksi karena bakteri atau jamur
5) Reaksi Alergi

d. Mekanisme Batuk
1) Fase Iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus d laring, trakea,
bronkus besar, atau serat aferen cabang faring dari nervus
glosofaringeus dapat menimbulkan batuk.Batuk juga timbul bila
reseptor batuk dilapisan faring dan esophagus, rongga pleura dan
saluran telinga luar dirangsang.
2) Fase Inspirasi
Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga dengan cepat dan
dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru-paru.
3) Fase Kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis dan batuk dapat terjadi
tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intrathoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4) Fase Ekspirasi Pada fase ini glottis terbuka secara tiba-tiba akibat
konst\raksi aktif otot-otot ekspirasi, sehingga terjadilah
pengeluarana udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang
tinggi disertai dengan pengeluaran benda – benda asing dan bahan
–bahan lain. Gerakan glotis, otot – otot pernafasan, dan bronkus
sangat penting dalam mekanisme batuk karena merupakan fase
batuk yang sesungguhnya. Suara batuk bervariasi akibat getaran
secret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara
(Guyton, 2008).

e. Algoritma Terapi Batuk


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kasus 1 (Diare)
Pada praktikum kali ini, terdapat 2 kasus. Untuk kasus yang
pertama, bayi yang berusia 3 bulan mengalami buang air besar
dengan tinja yang sangat encer dan tidak berserat, namun tidak
terjadi muntah. Bayi masih minum ASI, namun saat ini bayi
tidak mau minum ASI dan diapers selama beberapa jam tetap
kering. Dari gejala yang dialami, bayi tersebut mengalami diare
dan dehidrasi yang ditandai dengan tinja yang sangat encer dan
tidak berserat serta diapers yang tetap kering dikarenakan tidak
adanya nutrisi yang masuk kedalam tubuh bayi (ASI). Ibu dari
bayi tersebut berkonsultasi dengan apoteker terkait obat apa yang
harus diberikan untuk menghentikan diare anaknya. Ada
beberapa pilihan terapi obat yang dapat digunakan untuk
mengatasi diare tersebut yaitu dengan memberikan obat untuk
mengatasi dehidrasi atau mencegah kekurangan cairan pada bayi
tersebut yang disebabkan oleh diare. Obat tersebut diantaraya,
oralit, lacto-b, zink, dan lainnya. Sebelumnya, bayi tersebut biasa
mengonsumsi vitamin D setiap harinya. Menurut Bucak, tidak
ada perbedaan antara kelompok dalam hal jenis kelamin dan usia,
tetapi kadar serum 25(OH)D3 (vitamin D3) berbeda secara
signifikan: 14,6 ± 8,7 ng/mL pada pasien diare rotavirus dengan
29,06 ± 6,51 ng/mL pada pasien diare rotavirus. Kontrol
kesehatan (P <0,001), dan serum 25(OH)D3 <20 ng/mL (OR,
6,3; 95% CI: 3,638–10,909; P <0,001) dikaitkan dengan diare
rotavirus. Rendahnya vitamin D berhubungan dengan diare
rotavirus. Tetapi, ini adalah studi pertama dalam literatur yang
menunjukkan hal ini, dan hasil ini perlu diulang dalam studi
klinis terkontrol yang lebih besar (Bucak et al., 2016).
Diperkuat dari penelitian yang lain, menurut Abed dan Aly, ada penurunan
kadar vitamin D yang sangat signifikan pada kelompok pasien
dibandingkan kelompok kontrol. Pada pasien dengan diare akut berulang,
defisiensi vitamin D ditemukan pada 58%, tidak mencukupi pada 20% dan
cukup dalam 22%. Defisiensi vitamin D dikaitkan dengan peningkatan
kadar serangan diare, muntah dan nyeri perut. semua parasit terdeteksi pada
anak-anak yang kekurangan vitamin D, kecuali E. histolytica terdeteksi juga
pada vitamin D anak yang cukup. Diare akut berulang dikaitkan dengan
penurunan tingkat serum vitamin D pada anak- anak prasekolah dan usia
sekolah. Kekurangan vitamin D dikaitkan dengan peningkatan jumlah
serangan diare dan infeksi parasit Giardia lamblia (Abed & Aly, 2017).

Menurut penelitian Kurniawan dan Darmawan, vitamin D efektif dalam


mempercepat penurunan frekuensi defekasi pada anak diare (Kurniawan et
al., 2021).
Berdasarkan beberapa artikel penelitian diatas, dapat
disimpulkan bahwa kekurangan vitamin D dapat mempengaruhi
kondisi diare yang terjadi pada anak, sehingga mengonsumsi
vitamin D setiap hari tidak berpengaruh buruk terhadap diare
yang terjadi pada bayi tersebut. Bahkan vitamin D dapat
membantu dalam penurunan frekuensi BAB pada diare.
Untuk penggunaan oralit biasanya digunakan bersamaan
dengan suplemen zink. Selama diare, usus kecil
mempertahankan kemampuannya untuk secara aktif mengangkut
monosakarida seperti glukosa. Glukosa secara aktif membawa
natrium dengan air dan elektrolit lainnya. WHO sekarang
merekomendasikan oralit dengan kadar osmolaritas yang lebih
rendah, kandungan natrium, dan beban glukosa. Penggunaan oral
secara terpisah dengan suplemen zink 20 mg setiap hari selama 10
hari selain oralit secara signifikan dapat mengurangi keparahan
dan durasi diare akut di negara berkembang (Dipiro et al., 2020).

Pengobatan diare dapat juga diberikan Lacto-B. Probiotik


adalah mikroorganisme yang diberikan untuk membangun
kembali mikroflora kolon normal. Probiotik ini seharusnya dapat
mengembalikan fungsi usus normal dan menekan pertumbuhan
mikroorganisme patogen. Saccharomyces boulardii,
Lactobacillus GG, dan Lactobacillus acidophilus dapat
mengurangi durasi diare yang disebabkan oleh infeksi dan
antibiotik pada orang dewasa dan anak-anak (Dipiro et al., 2020).
Lactobacillus GG mengurangi durasi diare, terutama pada pasien
dengan diare positif rotavirus menerima dosis tidak kurang dari
1010 CFU per hari dan pada pasien yang dirawat sejak awal.
Selain itu, penelitian yang dilakukan di Asia dan Eropa
menunjukkan pengobatan dengan efikasi yang lebih bai. Efek
terapeutik suplementasi Lactobacillus GG pada jumlah tinja per
hari dan durasi tinggal di rumah sakit yang terkait dengan diare
yang diinduksi rotavirus adalah tinggi (Li et al., 2019)
Pada kasus ini apoteker memutuskan untuk tidak memberikan
obat kepada pasien tetapi menyarankan untuk pasien segera
dibawa ke rumah sakit, untuk mendapatkan cairan pengganti
secara intravena untuk mencegah kekurangan cairan, karena
diketahui bayi hanya mendapatkan asupan dari ASI dan sedang
tidak mau minum ASI. Hal ini sesuai dengan literatur yang
menyarankan bahwa pada pasien dengan dehidrasi berat dan
pada mereka tidak bisa minum, segera masuk rumah sakit dan
mendesak pengobatan pengganti dengan rehidrasi intravena
cairan dianjurkan (The British National Formulary 2019, hal 65).

SKENARIO PERCAKAPAN
Pasien : Assalamualaikum mbak
Apoteker : Waalaikumsalam bu, selamat siang, selamat datang di
apotek uhamka perkenalkan saya Fathiyah selaku apoteker yang
bertugas pada siang hari ini.
Pasien : Iya mba, selamat siang mbak
Apoteker : Maaf bu sebelumnya saya berbicara
dengan ibu siapa?
Pasien : Saya pramita mbak
Apoteker : Baik bu, ada yang bisa saya bantu bu?
Pasien : Ini mbak, saya mau membeli obat untuk anak saya,
dari kemarin sering BAB berair, kira-kira obat untuk anak saya
apa ya mbak?
Apoteker : Umur anak ibu
berapa tahun ya bu?
Pasien : Masih 3 bulan
mbak
Apoteker : Sudah sejak
kapan bu BAB nya?
Pasien : Sejak kemarin
mbak
Apoteker : Gejala apa saja yang dialami anak ibu?
Pasien : Anak saya mengalami BAB dengan tinja yang
sangat encer dan tidak berserat
Apoteker : Apakah ada gejala lain seperti muntah?
Pasien : Kalau muntah sih tidak mbak, tetapi anak saya masih
minum ASI Cuma untuk saat ini tidak mau minum ASI dan
diapers nya juga selama beberapa jam masih kering.
Apoteker : Baik bu, sebelumnya Tindakan apa yang sudah ibu
berikan kepada anak ibu?
Pasien : Belum ada si mbak, saya langsung datang kemari untuk
membeli obat untuk anak saya.
Apoteker : Apakah anak ibu sedang
mengkonsumsi obat-obatan?
Pasien : Ada mbak, anak saya minum vitamin
D setiap hari
Apoteker : Apakah anak ibu ada Riwayat alergi?
Pasien : Tidak ada mbak
Apoteker : Oke baik bu, berdasarkan gejala yang sudah ibu
sampaikan, sepertinya anak ibu mengalami diare, dan sepertinya
kondisinya tidak memungkinkan kalau dikasih obat minum. disini
kami merekomendasikan anak ibu untuk segera dibawa kerumah
sakit untuk mendapatkan penanganan yang cepat untuk mendapat
cairan tubuh pengganti.
Pasien : Oh gitu mbak, yaudah mbak gapapa kalo harus dibawa
kerumah sakit
Apoteker : Baik ibu, saya buat rujukannya terlebih dahulu ya bu
Beberapa saat…
Apoteker : Ibu ini saya buatkan rujukannya, setelah ini segera
kerumah sakit ya bu biar ditangani dengan segera sama dokter.
apakah ada yang ingin ditanyakan bu?
Pasien : Baik mbak. tidak ada mba sepertinya
Apoteker : Baik bu, kalau begitu ibu. Semoga anaknya
segera sembuh.
Pasien : Terimakasih mbak

FORM DOKUMENTASI PELAYANAN SWAMEDIKASI DI APOTEK


Nama pasien : An. Razi
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 3 bulan
Alamat : jl. Delima 1 gang 3 no 08, malaka sari, Jakarta timur.
No. telp : 085397482625

No Tanggal Keluhan pasien Nama Catatan pelayanan


obat/dosis/cara apoteker
pemberian
1 27/10/2021 - BAB berair sejak - Secepatnya pasien
kemarin(24 jam yang Dibawa kerumah
lalu) sakit, jika pihak dari
- Tinja pasien sangat Pasien menolak/
encer dan tidak beserat tidak segera kerumah
- Bayi sudah tidak mau sakit. Maka apotek
minum ASI tidak bertanggung
- Diapers selama akan hal apapun.
beberapa jam tetap
kering.
- Tidak ada muntah
- Anak minum vitamin D
setiap hari
- Belum diberikan
Apapun

Jakarta, 27 Oktober 2021


Pasien Apoteker

(Razi) (Apt, Fathiyah Rohmah, S. Farm)


B. Kasus 2 (Batuk)

Untuk kasus yang kedua, seorang mahasiswa pria berusia 22 tahun baru
saja pindah ke apartemen barunya dan mengalami batuk, hidung tersumbat
dan susah napas akibat karpet yang digunakan. Sebelumnya ia pernah
menggunakan afrin nasal namun memutuskan untuk berhenti dan ia
mengonsumsi loratadine untuk mengatasi alerginya. Tetapi ternyata
loratadine sudah tidak mempan lagi untuk alerginya. Dari gejala yang
dialami, pria tersebut mengalami alergi debu. Pria ini berniat untuk
konsultasidengan apoteker tentang penggunaan afrin nasal dan obat untuk
mengatasi alerginya. Ada beberapa pilihan terapi obat untuk mengatasi alergi
tersebut diantaranya afrin nasal, loratadine, cetirizine, chlorpeniramine
maleat (CTM), dan lainnya.
Dalam penggunaannya, afrin nasal yang memiliki kandungan obat yaitu
oxymetazoline, dapat mengatasi hidung tersumbat yang dikarenakan oleh
alergi. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang menyebutkan bahwa sebuah
analisis studi yang dikumpulkan menunjukkan perubahan yang signifikan
secara statistik dari awal dalam hidung tersumbat subjektif sebesar 0,05%.
Oxymetazoline dan kendaraan pada setiap titik waktu per jam dari Jam 1
hingga Jam 12 (sedikit signifikan pada Jam 11). Ukuran objektif aliran
hidung secara statistik signifikan pada setiap titik waktu hingga 12 jam. Efek
samping pada kedua pengobatan jarang terjadi. Penelitian ini menunjukkan
untuk pertama kalinya, bahwa oxymetazoline memberikan pengurangan
hidung tersumbat yang signifikan secara statistik dan bermakna secara klinis
dan meningkatkan aliran udara hidung hingga 12 jam setelah dosis tunggal

(Druce et al., 2018).


Untuk pengobatan alerginya, digunakan antihistamin. Antihistamin efektif
untuk menghilangkan rasa gatal yang disebabkan oleh pelepasan histamin.
Mereka memiliki peran dalam mengobati rinitis alergi, konjungtivitis alergi
dan urtikaria. Antihistamin yang lebih tua menyebabkan sedasi sehingga
sekarang telah digantikan oleh obat-obatan yang lebih baru dan kurang
penenang (Randall & Hawkins, 2018).

Antihistamin oral generasi kedua (mis.,desloratadine [Aerius],


fexofenadine [Allegra], loratadine [Claritin], cetirizine [Reactine]) adalah
pengobatan farmakologis pertama yang direkomendasikan untuk semua
pasien dengan rinitis alergi (Small et al., 2018).
Dalam kasus ini, pasien sudah tidak mempan dengan penggunaan loratadine.
Maka apoteker memberikan pengganti dari loratadine yaitu fexofenadine
untuk mengobati alergi yang diderita pasien. Diketahui bahwa penggunaan
fexofenadine memiliki efikasi yang lebih tinggi dibanding loratadine.
Berdasarkan penelitian Van Cauwenberge & Juniper, dilakukan studi
kelompok paralel membandingkan kemanjuran, keamanan dan dampak pada
kualitas hidup (QoL) pada pasien rinitis alergi musiman (SAR) dari
fexofenadine dan loratadine (dengan plasebo), bila diberikan sekali sehari.
Fexofenadine HCl dan loratadine yang diberikan sekali sehari efektif dan
ditoleransi dengan baik pada pasien rinitis alergi. Dalam penelitian ini,
fexofenadine HCl secara signifikan lebih efektif daripada loratadine dalam
meredakan gejala mata dan hidung tersumbat. Selanjutnya, fexofenadine
secara signifikan lebih baik daripada loratadine dalam meningkatkan kualitas
hidup (Van Cauwenberge & Juniper, 2000).

Jadi, apoteker menyarankan pemberian afrin nasal spray untuk mengatasi


hidung tersumbat pada pasien. Oxymethazoline untuk hidung tersumbat(nasal
congestion) Intranasal (terapi tidak boleh lebih dari 3 hari) berisi larutan
0,05%: semprotkan 2-3 semprotan ke setiap lubang hidung dua kali sehari.
Penggunaan pada hidung dapat terjadi penyumbatan yang mengganjal dengan
penggunaan yang diperpanjang (>3 hari). Sebelum pengobatan sendiri
(penggunaan OTC), hubungi penyedia layanan kesehatan jika ada hipertensi,
diabetes, hipertiroidisme, penyakit jantung, penyakit arteri koroner,
arteriosklerosis serebral, atau asma bronkial yang sudah berlangsung lama.
Dan untuk alerginya, diberikan fexofenadine sebagai pengganti dari loratadine
dengan dosis Oral: 60 mg 2 x sehari atau 180 mg 1 x sehari (DIH, 2009)
FORM DOKUMENTASI PELAYANAN SWAMEDIKASI DI APOTEK

Nama Pasien : Fiki


Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 23 th
Alamat : jl Delima no 150 perumnas klender-jakarta timur
No. Telephon : 081461168680

No Tanggal Keluhan Pasien Nama Obat/Dosis/Cara Catatan Pelayanan


pemberian Apoteker
1. 27/10/2021 Alergi debu Afrin nasal : Pasien mengalami batuk,
Mengalami batuk, hidung(Drug Information hidung tersumbat dan
tersumbat, dan sulit HandBook) susah bernafas dan
bernapas sudah tidak mempan lagi
Kebal loratadin dengan loratadine
Sering menggunakan afrin larutan 0,05%: sehingga apoteker
Nasal Semprotkan 2-3 merekomendasikan
Semprotan ke setiap fexofenadine sebagai
lubang hidung dua kali pengganti loratadine
Sehari
untuk mengobati alergi
yang dirasa, dan pasien
Fexofenadine : meminta apoteker untuk
(Drug Information memberitahukan
HandBook) penggunaan dari afrin
Oral: 60 mg 2 x sehari nasal. Afrin nasal ini
atau 180 mg 1 x sehari. untuk hidung tersumbat
(nasal congestion)
. Intranasal (terapi tidak
boleh lebih dari 3
hari):larutan 0,05%:
semprotkan 2-3
semprotan ke setiap
lubang hidung dua kali
sehari.

Jakarta, 27 Oktober 2021


Pasien Apoteker

( Fiki ) ( Pramita Rindia Sari.S.Farm,Apt)


SKENARIO PERCAKAPAN

Pasien : Assalamualaikum mba


Apoteker : Waalaikumsalam, selamat siang, selamat datang di apotek uhamka
perkenalkan saya Pramita Rindia selaku apoteker yang bertugas pada siang hari
ini.
Pasien : iya , selamat siang mba
Apoteker : Maaf sebelumnya saya berbicara dengan
siapa?
Pasien : saya Fiki mba
Apoteker : baik mas, ada yang bisa saya bantu ?
Pasien : ini mba, saya mengalami batuk, hidung tersumbat dan susah
bernafas.
Apoteker : kalau boleh tau apakah aktivtas sehari-harinya?
Pasien : saya mahasiswa, baru-baru ini saya baru pindah ke Kosan yang
lantainya menggunakan karpet, karena debu dari karpet tersebut sehingga saya
mengalami gejala tersebut. Sepertinya saya punya alergi debu mba
Apoteker : sebelumnya apakah sudah pernah mengkonsumsi obat?
Pasien : saya sudah pernah menggunakan afrin nasal namun sudah lama
berhenti, dan saya juga pernah konsumsi loratadine namun sudah tidak mempan
lagi mengatasi alergi saya. Saya juga ingin menanyakan kembali terkait
penggunaan afrin nasal ini mba.
Apoteker : baik mohon ditunggu sebentar, akan saya ambilkan obatnya
terlebih dahulu
Pasien : oke mba
Apoteker : berdasarkan keluhan yang telah mas sampaikan, disini saya
merekomendasikan obat fexofenadine sebagai pengganti loratadinenya dan afrin
nasal. Untuk yang fexofenadine ini digunakan untuk mengobati alergi yang mas
rasakan, ini diminum 60 mg 180 mg( 1 tablet ) 1 x sehari.
Pasien : baik mba, untuk penggunaan afrin nasalnya bagaimana mba?
Apoteker : penggunaan dari afrin nasal ini semprotkan 2-3 semprotan ke setiap
lubang hidung dua kali sehari. Untuk penggunaan afrin nasal ini jika lebih dari 3
hari justru akan menyebabkan hidung tersumbat, untuk itu jika dalam waktu 3
hari belum membaik maka sebaiknya segera hubungi dokter.
Pasien : oh begitu ya mba, baik mba
Apoteker : untuk obat-obat ini sebaiknya disimpan di dalam kotak obat ya
mas dan terhindar dari cahaya matahari.
Pasien : baik mba
Apoteker : apakah ada yang ingin ditanyakan lagi
mas?
Pasien : tidak ada mba, sudah cukup
Apoteker : oke baik mas, untuk pembayarannya bisa langsung ke
kasir ya
Pasien : baik mba, terimakasih
Apoteker : sama-sama mas semoga lekas sembuh
DAFTAR PUSTAKA

Abed, N., & Aly, N. (2017). Vitamin D status in children with recurrent acute diarrhea
Original Research Article Vitamin D status in children with recurrent acute
diarrhea Introduction The immunoregulatory functions of Vitamin. January 2014.
https://www.researchgate.net/publication/273832089_Vitamin_D_status_in_chil
dren_with_recurrent_acute_diarrhea
Ayta, S., & Sofuo, S. C. (2012). Dry and Wet. 150202001, 1–8.
https://www.researchgate.net/publication/344540882_Dry_and_wet_coughs_ar
ti cle
BNF. 2018. British National Formulary 76th Edition. London : BMJ Group.
Bucak, I. H., Ozturk, A. B., Almis, H., Cevik, M. Ö., Tekin, M., Konca, Ç.,
Turgut, M., & Bulbul, M. (2016). Is there a relationship between low
Vitamin D and rotaviral diarrhea? Pediatrics International, 58(4), 270–273.
https://doi.org/10.1111/ped.12809
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26287796/
DIH. (2009). Drug Information Handbook, 17th Edition. In American Pharmacists
Association.
DiPiro J.T., Yee G.C., Posey L.M., Haines S.T., Nolin T.D., Ellingrod V. 2020.
Pharmacotherapy Handbook, Eleventh Edition. Inggris : McGraw-Hill
Education Companies.
Dipiro, J. T., Yee, G. C., Posey, L. M., Haines, S. T., Nolin, T. D., & Ellingrod, V.
(2020). Past Editors of Pharmacotherapy.
Druce, H. M., Ramsey, D. L., Karnati, S., & Carr, A. N. (2018). Topical nasal
decongestant oxymetazoline (0.05%) provides relief of nasal symptoms for
12 hours. Rhinology, 56(4), 343–350. https://doi.org/10.4193/Rhin17.150
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29785414/
Kurniawan, N. U., R, S. U., & Darmawan, E. (2021). Kaplan Meier ’ s Analysis of
Clinical Improvement of Defecation Frequency in Pediatrics Patient with
Diarrhea that Given Vitamin D as Adjuvant Therapy. 2(1), 34–38.
http://journal2.uad.ac.id/index.php/admj/article/view/3460
Li, Y. T., Xu, H., Ye, J. Z., Wu, W. R., Shi, D., Fang, D. Q., Liu, Y., & Li, L. J. (2019).
Efficacy of Lactobacillus rhamnosus GG in treatment of acute pediatric
diarrhea: A systematic review with meta-analysis. World Journal of
Gastroenterology, 25(33), 4999–5016.
https://doi.org/10.3748/wjg.v25.i33.4999
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6737314/
Nemati, E., Rahman, M. M., Nathan, V., Vatanparvar, K., & Kuang, J. (2020). A
Comprehensive Approach for Classification of the Cough Type. Proceedings of
the Annual International Conference of the IEEE Engineering in Medicine and
Biology Society, EMBS, 2020-July, 208–212.
https://doi.org/10.1109/EMBC44109.2020.9175345
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33017966/
Randall, K. L., & Hawkins, C. A. (2018). Antihistamines and allergy. Australian
Prescriber, 41(2), 42–45. https://doi.org/10.18773/austprescr.2018.01
https://www.nps.org.au/australian-prescriber/articles/antihistamines-and-allergy
Small, P., Keith, P. K., & Kim, H. (2018). Allergic rhinitis. Allergy, Asthma and
Clinical Immunology, 14(s2), 1–11. https://doi.org/10.1186/s13223-018-0280-
7 https://aacijournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13223-018-0280-
7
Van Cauwenberge, P., & Juniper, E. F. (2000). Comparison of the efficacy, safety
and quality of life provided by fexofenadine hydrochloride 120 mg, loratadine
10 mg and placebo administered once daily for the treatment of seasonal allergic
rhinitis. Clinical and Experimental Allergy, 30(6),
891–899. https://doi.org/10.1046/j.1365-2222.2000.00914.x
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10848909/
DRUG
INLORHATION
HANDBOOK
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai