Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DIARE PADA ANAK

Dosen pengampu:

Titik Suhartini S.Kep.,Ns M.Kep

Disusun Oleh :

Nur Halima (14401.21.22030)

(Untuk memenuhi tugas mata ajar Metodelogi Keperawatan)

PROGAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

STIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN GENGGONG

2022/2023
BAB 1
PENDAHULUAN

A. PENDAHULUAN
Diare adalah penyakit yang membuat penderitanya menjadi sering buang air besar
dengan kondisi tinja yang encer atau berair. Diare umumnya terjadi akibat mengonsumsi
makanan dan minuman yang terkontaminasi virus, bakteri, atau parasit.

Diare merupakan salah satu masalah kesehatan yang umum di Indonesia, terutama
pada bayi dan anak-anak. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2019, jumlah
kasus diare di seluruh Indonesia adalah sekitar 7,2 juta jiwa.

Diare adalah pengeluaran feses yang konsistensinya lembek sampai cair dengan
frekuensi pengeluaran feses sebanyak 3 kali atau lebih dalam sehari. Diare dapat
mengakibatkan demam, sakit perut, penurunan nafsu makan, rasa lelah dan penurunan berat
badan. Diare dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, sehingga
dapat terjadi berbagai macam komplikasi yaitu dehidrasi, renjatan hipovolemik, kerusakan
organ bahkan sampai koma. Faktor risiko diare dibagi menjadi 3 yaitu faktor karakteristik
individu, faktor perilaku pencegahan, dan faktor lingkungan. Faktor karakteristik individu
yaitu umur balita <24 bulan, status gizi balita, dan tingkat pendidikan pengasuh balita. Faktor
perilaku pencegahan diantaranya, yaitu perilaku mencuci tangan sebelum makan, mencuci
peralatan makan sebelum digunakan, mencuci bahan makanan, mencuci tangan dengan sabun
setelah buang air besar, dan merebus air minum, serta kebiasaan memberi makan anak di luar
rumah. Faktor lingkungan meliputi kepadatan perumahan, ketersediaan sarana air bersih
(SAB), pemanfaatan SAB, dan kualitas air bersih.

Diare adalah keadaan tidak normalnya pengeluaran feses yang ditandai dengan
peningkatan volume dan keenceran feses serta frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali
sehari (pada neonatus lebih dari 4 kali sehari) dengan atau tanpa lendir darah. Jenis diare ada
dua, yaitu diare akut dan diare kronik. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari
14 hari, sementaradiare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.
Mikroorganisme seperti bakteri, virus dan protozoa dapat menyebabkan diare. Eschericia coli
enterotoksigenic, Shigella sp, Campylobacterjejuni, dan Cryptosporidium sp merupakan
mikroorganisme tersering penyebab diare pada anak.

Virus atau bakteri dapat masuk ke dalam tubuh bersama makanan dan minuman.
Virus atau bakteri tersebut akan sampai ke sel–sel epitel usus halus dan akan menyebabkan
infeksi, sehingga dapat merusak sel-sel epitel tersebut. Sel–sel epitel yang rusak akan
digantikan oleh sel-sel epitel yang belum matang sehingga fungsi sel–sel ini masih belum
optimal. Selanjutnya,vili–vili usus halus mengalami atrofi yang mengakibatkan tidak
terserapnya cairan dan makanan dengan baik.
Cairan dan makanan yang tidak terserap akan terkumpul di usus halus dan tekanan
osmotik usus akan meningkat. Hal ini menyebabkan banyak cairan ditarik ke dalam lumen
usus. Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan terdorong keluar melalui anus dan
terjadilah diare
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP TEORI PENYAKIT


1. PENGERTIAN
Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan berubahnya bentuk tinja deng
an intensitas buang air besar secara berlebihan lebih dari 3 kalidalam kurun waktu sat
u hari (Prawati & Haqi, 2019).
Diare adalah kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi le
mbek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya
tigakali atau lebih) dalam satu hari (Direktorat Jenderal Pengendalian PenyakitDan Pe
nyehatan Lingkungan, 2011)

2. ETIOLOGIi
Etiologi pada diare menurut Yuliastati & Arnis (2016) ialah :
a. Infeksi enteral yaitu adanya infeksi yang terjadi di saluran pencernaa
n dimana merupakan penyebab diare pada anak, kuman meliputi infeksi bakter
i, virus, parasite, protozoa, serta jamur dan bakteri.
b. Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain diluar alat
pencernaan seperti pada otitis media, tonsilitis, broncho pneumonia sertaencep
halitis dan biasanya banyak terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun.
c. Faktor malabsorpsi, dimana malabsorpsi ini biasa terjadi terhada
p karbohidrat seperti disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan sukrosa), mo
nosakarida intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa), ma labsorpsi protein d
an lemak.
d. Faktor Risiko Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit D
an Penyehatan Lingkungan (2011).

Faktor risiko terjadinya diare adalah:


1) Faktor perilaku yang meliputi :
a) Tidak memberikan air susu ibu/ASI (ASI eksklusif), memberikan m
akanan pendamping/MP, ASI terlalu dini akan mempercepat bayi
kontak terhadap kuman.
b) Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena p
enyakit diare karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu.
c) Tidak menerapkan kebiasaan cuci tangan pakai sabun sebelum
memberi ASI/makan, setelah buang air besar (BAB), dan setelah me
mbersihkan BAB anak.
d) Penyimpanan makanan yang tidak higienis.

2) Faktor lingkungan antara lain:


a) Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ket
ersediaan mandi cuci kakus (MCK)

3. PATOFIOLOGIS
Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya diare di antaranya karena fakto
r infeksi dimana proses ini diawali dengan masuknya mikroorganisme ke dalam
saluran pencernaan kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usu
s yang dapat menurunkan usus. Berikutnya terjadi perubahan dalam kapasitas usus
sehingga menyebabkan gangguan fungsi usus dalam mengabsorpsi (penyerapan) c
airan dan elektrolit. Dengan adanya toksis bakteri maka akan menyebabkan gang
guan sistem transpor aktif dalam usus akibatnya sel mukosa mengalami iritasi y
ang kemudian sekresi cairan dan elektrolit meningkat.
Faktor malaborpsi merupakan kegagalan dalam melakukan absorpsi yang
mengakibatkan tekanan osmotic meningkat sehingga terjadi pergeseran cairan
dan elektrolit ke dalam usus yang dapat meningkatkan rongga usus sehingga
terjadi diare. Pada factor makanan dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak diserap
dengan baik sehingga terjadi peningkatan dan penurunan peristaltic yang
mengakibatkan penurunan penyerapan makanan yang kemudian terjadi diare.

4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anak diare menurut Wijayaningsih (2013) adalahsebagai
berikut :
1. Mula-mula anak cengeng, gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat,
nafsu makan berkurang.
2. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer, kadang
disertai wial dan wiata.
3. Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur
dengan empedu.
4. Anus dan sekitarnya lecet karena seringnya difekasi dan tinja menjadi
lebih asam akibat banyaknya asam laktat.
5. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elastisitas kulit
menurun), ubun-ubun dan mata cekung membrane mukosa kering dan
disertai penurunan berat badan.
6. Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat, tekanan darah
menurun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas, kesadaran
menurun (apatis, samnolen, spoor, komatus) sebagai akibat
hipovokanik.
7. Diueresis berkurang (oliguria sampai anuria).
8. Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat dan pernafasan
cepat dan dalam.

Sedangkan manifestasi klinis menurut Elin (2009) dalam Nuraarif & Kusuma
(2015) yaitu :
a. Diare Akut
1. Akan hilang dalam waktu 72 jam dari onset
2. Onset yang tak terduga dari buang air besar encer, gas-gas
dalam perut, rasa tidak enak, nyeri perut.
3. Nyeri pada kuadran kanan bawah disertai kram dan bunyi pada
perut
4. Demam
b. Diare Kronik
1. Serangan lebih sering selama 2-3 periode yang lebih panjang.
2. Penurunan BB dan nafsu makan.
3. Demam indikasi terjadi infeksi.
4. Dehidrasi tanda-tandanya hipotensi takikardia, denyut lemah.

5. PENATALAKSANAAN

Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan


Lingkungan (2011) program lima langkah tuntaskan diare yaitu:

a. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah.Oralit merupakan


campuran garam elektrolit, seperti natriumklorida (NaCl), kalium klorida (KCl),
dan trisodium sitrat hidrat, serta glukosa anhidrat. Oralit diberikan untuk mengganti
cairan dan elektrolit dalam tubuh yang terbuang saat diare. Walaupun air sangat
penting untuk mencegah dehidrasi, air minum tidak mengandung garam elektrolit
yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam tubuh
sehingga lebih diutamakan oralit. Campuran glukosa dan garam yang terkandung
dalam oralit dapat diserap dengan baik oleh usus penderita diare.
Aturan pemberian oralit menurut banyaknya cairan yang hilang,derajat
dehidrasi dapat dibagi berdasarkan :

1) Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan 2,5%

○ Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret

○ Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret

○ Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak mencret

2) Dehidrasi ringan bia terjadi penurunan berat badan 2,5%-5%

Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kgbb dan
selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP)

A. Kasus

Pasien atas nama An. R usia 10 tahun dengan jenis kelamin laki-laki, beragama
islam dan status sebagai pelajar dengan alamat Kota Kulon. No Reg: R19783004, tgl
masuk RS 03 Agustus 2022 jam 07.00, tanggal pengkajian 03 Agustus 2022 jam 10.30
dengan diagnosa medis Dispepsia Syndrom

Sumber informasi Klien dan keluarga serta data rekam medis pasien. Keluhan
utama pasien mengatakan nyeri ulu hati. Pasien tampak meringis, gelisah. Riwayat
penyakit sekarang dijelaskan bahwa pasien dirawat di Tulip sejak 3 Agustus 2022 jam
10.30. Pasien dipindah dari ruang IGD. Pasien mengeluh nyeri ulu hati disertai mual dan
muntah sejak hari 3 hari yang lalu, sudah berobat ke dokter praktik tetapi keluhan
menetap dan pasien tambah mengalami BAB Cair 5x sehari dan pasien tidak nafsu
makan.

Riwayat Kesehatan masa lalu, penyakit yang pernah dialami pasien mengatakan
bahwa pasien pernah mempunyai penyakit amandel dan asma, pasien mengatakan bahwa
pasien tidak memiliki alergi terhadap apapun. Riwayat Kesehatan keluarga tidak ada yang
mempunyai Riwayat hipertensi dan DM.

Pemeriksaan diperoleh suhu 38,5 derajat celcius, nadi 78x/menit, tensi 125/83
mmHg, TB 140 cm, GCS 456 BB 32,5 kg. Kesadaran komposmentis. Pemeriksaan kepala
tidak ada masalah, Mata tidak ada kelainan, Wajah tampak pucat, telinga dalam batas
normal. Hidung dalam batas normal. Mulit tampak bibir kering, tenggorokan dalam batas
normal. Leher dalam batas normal, thorak dalam batas normal. Pemeriksaan jantung
dalam batas normal. Hasil pemeriksaan abdomen diperoleh Inspeksi normal, Auskultasi :
pemeriksaan peristaltic usus 30x/menit. Palpasi diperoleh hasil nyeri tekan pada kuadran
kanan atas, tidak ada massa. Skala nyeri 7. Pemeriksaan genetalia, anus dan ekstremitas
dalam batas normal.

Pola Fungsi Kesehatan diperoleh data Makan selama dirumah pasien mengatakan
dirumah pasien makan dengan nasi, lauk, sayur dan ayam goreng sebanyak 3 -4 x sehari
tetapi kadang telat makan. Makan selama di RS pasien mengatakan makan hanya 3
sendok saja 3x sehari sesuai dengan pemberian dari RS, menu yang disajikan nasi, ayam
dan sayur sesuai diet RS

Pola Minum di rumah pasien mengatakan minum air putih sebanyak kurang lebih
4 botol tanggung setiap hari. Dan kadang-kadang minum susu. Sedangkan selama di RS
pasien mengatakan minum air putih hanya setengah botol tanggung sehari. Pasien
terpasang infus dengan cairan WFD KaEn 3B 1700 cc/24 jam. Pola eliminasi. Pola
eliminasi di rumah pasien mengatakan BAB 1x sehari dengan konsistensi padat. Selama
di RS pasien mengatakan BAB 5x sehari dengan konsistensi cair dan bau khas feses. Pada
saat pengkajian tampak pasien sedang BAB. Data BAK selama dirumah diperoleh data
pasien mengatakan BAK rata-rata 3-4 kali sehari, sedangkan selama di RS klien BAK 4-5
kali sehari. Pola Istirahat tidur selama dirumah, pasien mengatakan bahwa pasien tidur
siang sebanyak 2 jam dan tidur malam sebanyak 7 jam. Sedangkan selama di RS pasien
mengatakan tidak bisa tur karena sakit yang di rasakan dan juga sering BAB sehingga
tidak bisa tidur dan kalau tidur sering terbangun.

Hasil pemeriksaan penunjang diperoleh: Glukosa sewaktu: 104 mg/dL (normal: <
200), Hb : 14,9 g/dL (norma 10,8 – 15,6), Leukosit: 7,89 103 /ul (normal 4,50 – 13,50),
Eritrosit: 5,3 106 /ul (normal 3,70 – 5,70), Trombosit: 302.000 10 3 /ul (normal 181 – 521),
PCV: 44,0 % (normal 34,0 – 50,0), MCV: 83,0 FL (normal 69,0 – 100,0), MCH: 28,1 pg
(Normal 26,0 – 37,0).

Terapi : Ranitidine 2 x 50 mg, Ondan 2 x 4 mg, WFD KaEn 3B 1700 cc/24 jam,
Zinksyrup 1 x cth I, L-Bio 1 x 1, Susalfat Syr 3 x 1
DAFTAR PUSTAKA

o Arsyad, A., & Sulfemi, WB (2018). Metode Role Playing Berbantu Media Audio Visual
Pendidikan Dalam Meningkatkan Belajar Ips. Jurnal Pipsi (Jurnal Pendidikan Ips
Indonesia), 3 (2),
o Depkes RI (2010). Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Depkes RI
o Fithriyana, R (2018). Faktor-faktor yang Berhubugan Dengan Kejadian Dispepsia Pada
Pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota. Prepotif: Jurnal Kesehatan
Masyarakat,2(2),
o Jian, H. (2020). Hubungan Antara Keteraturan Makan Dan Makanan Iritatif Dengan
Kejadian Sindrom Dispepsia Pada Program Studi Mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Angkatan 2017-2018. Universitas Andalas.
o Kemenkes RI (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. In Online
o Octaviana, ESL, & Anam, K. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Upaya
Keluarga Dalam Pencegahan Penyakit Dispepsia Di Wilayah Kerja Puskesmas
o Djojoningrat, D,2014. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo A.W, et al, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi Ke-4. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
o Smadibrata, K. et al, 2014 Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeks
Helicobacter pylori Jakarta.
o Wahidah, & Andri PS, 2018. Gambaran Karakteristik Klinik Pada Penderita Penyakit
Dispepsia di Wilayah Kerja Puskesmas Sungal Siring Kecamatan Samarinda Utara.
Skripsi Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur,
Samarinda.
o Purnamasari, L. 2017. Faktor Risiko, Klasifikasi dan Terapi Sindrom Dispepsia. Cermin
Dunia Kedokteran-259. Vol. 44 (12), 870-873.
o Anwar, F. (2019, Agustus 26). Ibu Kota Pindah, Ini 5 Penyakit Tertinggi di Kaltim yang
Perlu Dantisipasi.
o Mulyaningsih, E. et al, 2020. Kedokteran Komunitas Puskesmas Sempaja Periode
Janural- Desember 2019. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran. Universitas
Mulawarman.
o Tominaga, K & Fujikawa, Y, 2018. Neuro- gastroenterology: Central and Autonomic
Nervous System. Dalam: Tominaga, K. & Kusunoki, H. Functional Dyspepsia Evidences
in Pathophysiology and Treatment. Singapore: Springer.
o Takeda, H. 2018. Environmental Factors Dalam: Tominaga, K. & Kusunoki, H.
Functional Dyspepsia Evidences in Pathophysiology and Treatment. Singapore: Springer.
o Verma, A, et al, 2016. The Study of Risk Factors Associated with Dyspepsia.
International Journal of Biomedical and Advance Research. Vol. 7(9). DOI: 10.7439/jbar
o Nugroho, R. et al. 2018. Gambaran Karakteristik Pasien Dengan Sindrom Dispepsia di
Puskesmas Rumbai. JOM FKp. Vol. 5(2).
o Indra, RM, 2018. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Dispepsia Fungsional pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Angkatan 2015-2018. Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
o Irfan, W. 2019. Hubungan Pola Makan dan Sindrom Dispepsia Pada Mahasiswa Fakultas
Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2019. Skripsi. Fakultas Kedokteran.
UIN Syarif Hidayatullah
o Dewi, A. 2017. Hubungan Pala Makan Dan Karakteristik Individu Terhadap Sindrom
Dispepsia Pada Mahasiswa Angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran Univeritas
Hasanuddin, Skripsi. Universitas Hasnauddin
o Lee, 1. 2017. Interaction of Psychological, Physiological and Neuronal Processes In
Functional Dyspepsia. Thesis. Universität Tübingen. Germany.
o Yudianto, E. 2017. Hubungan Jenis Kelamin, Umur, dan Pekerjaan dengan Kejadian
Dispepsia di Ruang Utama Atas Rumah Sakit Mitra Husada Kabupaten Pringsewu
Lampung Tahun 2017. Skripsi. Keperawatan. STIKes Muhammadiyah Pringsewu
Lampung
o Leech, R.M. et al, 2015. Understanding Meal Patterns: Definitions, Methodology And
Impact On Nutrient Intake And Diet Quality. Nutrition Research Reviews. Vol. 28. 1-21.
o Dwigint, S. 2015. Hubungan Pola Makan Terhadap Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. I MAJORITY. Vol 4. (1).
o Sherwood, L. 2016, Human Physiology: From Cells to System 9th ed. Cengage Leaming.
Boston.
o Phavichitr, N. et al (2012). Prevalence and Risk Factors of Dyspepsia in Thai
Schoolchildren. I Med Assoc Thal. Vol. 95(5).
o Jaber, N, et al. (2016). Dietary and Lifestyle Factors Associated with Dyspepsia among
Pre-clinical Medical Students in Ajman, United Arab Emirates. Central Asian Journal of
Global Health, Vol. 5(1), DOI 10.5195/caigh.2016.192
o Meybodi, M.A, et al, 2015. The Role of Diet in the Management of Non-Ulcer
Dyspepsia. Middle East Journal of Digestive Diseases. Vol. 7.(1).

Anda mungkin juga menyukai