Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI I
PERCOBAAN VII
OBAT YANG MEMPENGARUHI SALURAN PENCERNAAN
(ANTIDIARE DAN ANTITUKAK)

Disusun oleh:
Kelompok 6 E
Gheavanya Azhari Tamim 10060316202
Risa Apriani Hilyah 10060316203
Miranda Dwi Putri 10060316204
Diah Rohaeni 10060316208
Dwina Syafira Arzi 10060316210

Asisten : Imas Yumniati, S.Farm.


Tanggal praktikum : Jumat, 26 Oktober 2018
Tanggal pengumpulan : Jumat, 02 November 2018

LABORATORIUM FARMASI UNIT D


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1440H / 2018M
I. Teori Dasar
Diare merupakan gangguan saluran pencernaan yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan gerakan peristaltik usus, sekresi cairan, volume dan frekuensi buang air besar
dengan konsistensi feses yang lunak dan cair (Guerrant, et.al.,2001).

Jenis-jenis diare yaitu :

1) Diare akut, disebabkan oleh infeksi usus, infeksi bakteri, obat-obat tertentu atau penyakit lain.
Gejala diare akut adalah tinja cair, terjadi mendadak, badan lemas kadang demam dan muntah,
berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.

2) Diare kronik, yaitu diare yang menetap atau berulang dalam jangka waktu lama, berlangsung
selama 2 minggu atau lebih.

3) Disentri adalah diare disertai dengan darah dan lendir (Abdul, 2006).

Beberapa patogen menyebabkan diare dengan meningkatkan daya dorong pada kontraksi
otot, sehingga menurunkan waktu kontak antara permukaan absorpsi usus dan cairan luminal.
Peningkatan daya dorong ini mungkin secara langsung distimulasi oleh proses patofisiologis
yang diaktivasi oleh patogen, atau oleh peningkatan tekanan luminal karena adanya akumulasi
fluida. Pada umumnya, peningkatan daya dorong tidak dianggap sebagai penyebab utama diare
tetapi lebih kepada faktor tambahan yang kadang-kadang menyertai akibat-akibat patofisiologis
dari diare yang diinduksi oleh patogen (Anne, 2011).

Anti diare adalah obat-obat yang digunakan untuk menanggulangi atau mengobati
penyakit diare yang disebabkan oleh bakteri atau kuman, virus, cacing atau keracunan makanan.
Gejala diare adalah buang air besar berulang kali dengan banyak cairan kadang-kadang disertai
mulas (kejang- kejang perut) kadang-kadang disertai darah atau lendir. Beberapa obat anti diare
yang dapat digunakan sebagai pertolongan saat terjadi diare, yaitu adsorben dan obat pembentuk
massa, Anti motilitas, Pengobatan diare kronis (Neal, 2005).

Upaya penatalaksanaan pada penderita diare sebagian besar dengan rehidrasi yang
berfungsi untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat adanya dehidrasi. Walaupun
demikian diare yang berkelanjutan harus diatasi dengan pengobatan simtomatik dan pengobatan
kausatif (Pratiwi, 2015). Pengobatan diare juga dapat dilakukan dengan beberapa golongan obat
diantaranya antimotilitas, adsorben, antisekresi, dan antibiotik (Suherman, 2013).

Laksansia atau pencahar bekerja dengan cara menstimulasi gerakan peristaltik dinding
usus sehingga mempermudah buang air besar (defikasi) dan meredakan sembelit. Tujuannya
adalah untuk menjaga agar tinja (feces) tidak mengeras dan defikasi menjadi normal. Makanan
yang masuk ke dalam tubuh akan melalui lambung, usus halus, dan akhirnya menuju usus besar/
kolon. Di dalam kolon inilah terjadi penyerapan cairan dan pembentukan massa feses. Bila
massa feses berada terlalu lama dalam kolon, jumlah cairan yang diserap juga banyak, akibatnya
konsistensi feses menjadi keras dan kering sehingga dapat menyulitkan pada saat pengeluaran
feses. Konstipasi merupakan suatu kondisi di mana seseorang mengalami kesulitan defekasi
akibat tinja yang mengeras, otot polos usus yang lumpuh maupun gangguan refleks defekasi
yang mengakibatkan frekuensi maupun proses pengeluaran feses terganggu. Frekuensi defekasi/
buang air besar (BAB) yang normal adalah 3 sampai 12 kali dalam seminggu (Arif & Sjamsudin,
1995).

Terapi farmakologis dengan obat laksatif/ pencahar digunakan untuk meningkatkan


frekuensi BAB dan untuk mengurangi konsistensi feses yang kering dan keras. Secara umum,
mekanisme kerja obat pencahar meliputi pengurangan absorpsi air dan elektrolit, meningkatkan
osmolalitas dalam lumen, dan meningkatkan tekanan hidrostatik dalam usus. Obat pencahar ini
mengubah kolon, yang normalnya merupakan organ tempat terjadinya penyerapan cairan
menjadi organ yang mensekresikan air dan elektrolit (Dipiro, et al, 2005).

Loperamid merupakan antispasmodik, di mana mekanisme kerjanya yang pasti belum


dapat dijelaskan. Secara in vitro pada binatang Loperamide menghambat motilitas/perilstaltik
usus dengan mempengaruhi langsung otot sirkular dan longitudinal dinding usus. Secara invitro
dan pada hewan percobaan, Loperamide memperlambat motilitas saluran cerna dan
mempengaruhi pergerakan air dan elektrolit di usus besar. Pada manusia, Loperamide
memperpanjang waktu transit isi saluran cerna. Loperamid menurunkan volum feses,
meningkatkan viskositas dan kepadatan feses dan menghentikan kehilangan cairan dan elektrolit
.Tinta cina ini berguna sebagai indikator untuk megetahui kecepatan motilitas usus (Ansel,
2005).
Psidium guajava L. diketahui mengandung beberapa bahan aktif antara lain tanin,
flavonoid, guayaverin, leukosianidin, minyak atsiri, asam malat, damar, dan asam oksalat, tetapi
hanya komponen khusus seperti flavonoid, tanin, minyak atsiri, dan alkaloid yang memiliki efek
farmakologi sebagai antidiare terutama pada penyakit diare yang disebabkan oleh bakteri (Ajizah
A, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh John, salah satu bahan aktif yang
terkandung dalam daun Psidium guajava yang memiliki peranan paling efektif sebagai antidiare
adalah flavonoid. Senyawa turunan flavonoid yang terkandung dalam daun Psidium guajava L.
adalah quercetin. Penelitian lain secara lebih spesifik menjelaskan bahwa quercetin merupakan
senyawa golongan flavonoid jenis flavonol dan flavon, senyawa ini banyak terdapat pada
tanaman famili Myrtaceae dan Solanacea. Senyawa quercetin memiliki potensi sebagai agen
antidiare dengan menghambat pelepasan asetilkolin yang dapat meningkatkan kontraksi usus
akibat adanya iritasi oleh bakteri penyebab diare seperti Staphylococcus aureus, Escherichia
coli, Salmonella enteritidis, Bacillus cereus, dan Vibrio cholera (Biswas B, Rogers K,
McLaughlin F, DanielsD, Yadav A, 2013).

Senyawa tanin yang terkandung dalam daun Psidium guajava L. dapat diperkirakan
memiliki jumlah sebanyak 9–12%. Tanin dapat menimbulkan rasa sepat pada buah dan daun
Psidium guajava L. tetapi berfungsi memperlancar sistem pencernaan, dan sirkulasi darah. Tanin
mempunyai sifat sebagai pengelat berefek spasmolitik yang mengkerutkan usus sehingga gerak
peristaltik usus berkurang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sukardi, waktu ekstraksi
optimal daun Psidium guajava L. adalah selama 17,5 menit dengan kandungan tanin yang
didapat sebesar 7,82% atau setara dengan 0,40 g per 5 g sampel (Ojewole JA, 2006).

Metode Transit Intestinal dapat digunakan untuk mengevaluasi aktivitas obat antidiare,
laksansia, antispasmodik, berdasarkan pengaruhnya pada rasio jarak usus yang ditempuh oleh
suatu marker dalam waktu tertentu terhadap panjang usus keseluruhan pada hewan percobaan
mencit atau tikus. Metode transit intestinal yang menjadi parameter pengukuran adalah rasio
antara jarak rambat marker dengan panjang usus keseluruhan. Jika suatu bahan mempunyai efek
antidiare maka rasio rambat marker yang dihasilkan kecil sebaliknya jika bahan yang
mempunyai efek laksatif maka rasio yang dihasilkan lebih besar (Ganiswarna, S., 1950).

Tukak lambung dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari faktor agresif (asam
lambung dan pepsin) dan faktor defensif (sekresi mukosa, sekresi bikarbonat, aliran darah
mukosa dan regenerasi epitel). Salah satu contoh penyebab terjadinya tukak lambung adalah
asetosal yang merupakan suatu Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) yang sejak lama
banyak digunakan sebagai analgesik pilihan pertama. Hal yang dapat ditimbulkan akibat tukak
lambung yaitu terjadi kematian sel atau nekrosis yang menyebabkan reaksi inflamasi (Neal,
2006). Tukak lambung adalah kerusakan pada jaringan mukosa, sub mukosa sampai lapisan otot
lambung, penyebab tukak lambung diantaranya hipersekresi asam lambung sehingga terjadi
kerusakan mukosa pada lambung (Ramakrishnan dan Salnas, 2007).

Cara pencegahan terbentuknya tukak lambung diantaranya dengan cara pemberian obat
pada mukosa lambung, penghambatan pompa proton atau antagonis-H2, analog prostaglandin
dan penurunan motilitas lambung (Neal, 2006). Obat sitoprotektif (pelindung mukosa)
merupakan obat yang berfungsi sebagai lapisan pelindung mukosa lambung. Salah satu obat
sitoprotektif mukosa lambung yang sering digunakan adalah sukralfat. Penggunaan sukralfat
sebagai obat kimia bukan berarti tanpa risiko. Ada efek samping yang ditimbu lkan dan perlu
mendapat perhatian diantaranya konstipasi, insomnia, gatal-gatal, sakit perut dan muntah. Oleh
sebab itulah perlu alternatif obat pengganti yang lebih aman, yang salah satunya berasal dari
herbal (BPOM, 2008).

Sukralfat adalah obat yang digunakan untuk pengobatan dan pencegahan tukak lambung
serta duodenum. Sukralfat mengandung sukrosa oktasulfat dan aluminium hidroksida, yang
bekerja pada suasana asam pada lambung. Sukralfat akan membentuk lapisan pada tukak,
melawan asam peptik, pepsin dan garam empedu dengan mengikat protein bermuatan positif
dalam eksudat (cairan yang terjadi akibat radang) yang membentuk zat perekat pasta seperti
kental sehingga membentuk lapisan pelindung. Hal ini berfungsi untuk melindungi tukak agar
tidak semakin parah. Sehingga ini membantu tukak untuk lebih cepat sembuh. Selain untuk
pengobatan tukak lambung dan tukak duodenum, sukralfat juga direkomendasikan oleh dokter
untuk menangani gangguan pencernaan lain seperti asam lambung dan gastritis kronis. Sukralfat
memiliki mekanisme kerja melindungi mukosa dengan cara membentuk gel yang sangat lengket
dan dapat melekat kuat pada dasar tukak sehingga menutupi tukak. Ketiga kombinasi tersebut
tidak seharusnya diberikan, karena sukralfat memerlukan pH asam untuk aktivasinya.
(Mycekdkk, 2001).
II. Tujuan Percobaan
a. Mempunyai keterampilan dalam melakukan percobaan antidiare
b. Mempunyai keterampilan dalam melakukan percobaan antitukak
III. Bahan, Alat dan Hewan Percobaan
Alat Bahan Hewan Uji
- Alat suntik 1 ml - Pengujian antidiare: - Mencit putih dewasa sehat
- Sonde oral mencit infusa daun jambu biji dengan berat 20-25g sekelamin
- Timbangan mencit konsentrasi 10%, - Tikus
aquades, loperamid
- Bahan pengujian
antitukak: aquades,
sukralfat

IV. Prosedur
4.1. Pengujian Aktivitas Antidiare (Metode Transit Intestinal)
Hewan percobaan dipuasakan selama lebih kurang 18 jam namum tetap diberi minuman,
dikelompokan secara acak ke dalam 3 kelompok (tiap kelompok terdiri dari 1 ekor mencit).
Kelompok pertama: kontrol negatif (diberi aquades), kelompok kedua: uji (diberi infusa daun
jambu biji), kelompok terakhir kelompok pembanding (diberi loperamid). Sediaan uji diberikan
pada saat t = 0 secara oral. Setelah t = 45 menit, mencit diberi suspensi norit sebanyak 0,1
ml/10g secara oral. Pada t = 60 menit, mencit dikorbankan secara dislokasi tulang leher. Usus
mencit dikeluarkan secara hati-hati jangan terenggang. Panjang seluruh usus dan bagian usus
yang dilalui marker norit mulai dari pirolus sampai ujung akhir (berwarna hitam) diukur dari
masing-masing hewan kemudian dihitung perbandingan jarak yang ditempuh marker norit
terhadap panjang usus keseluruhan, a = panjang usus yang dilalui norit, b= panjang usus mencit.
Data pengamatan disajikan dalam bentuk table dan grafik. Sumbu y = ratio panjang usus (a/b)
tiap kelompok. Sumbu x = masing-masing kelompok.
4.2. Pengujian Aktivitas Antitutak
Hewan percobaan dipuasakan selama lebih kurang 18 jam namun tetap diberi minuman,
dikelompokan secara acak ke dalam 6 kelompok (tiap kelompok terdiri dari 1 ekor tikus).
Kelompok pertama yaitu kontrol negatif (diberi aquades), kelompok kedua kontrol positif,
kelompok ketiga sukralfat 1, kelompok keempat kontrol negatif 2 (diberi aquades), kelompok
keenam sukralfat 2 dan kelompok ketujuh kontrol positif 2 semua perlakuan diberikan secara
oral. Satu jam setelah perlakuan tersebut, semua tikus diberi etanol 70% 1ml/200g bb kecuali
kontrol negatif. Satu jam kemudian, tikus dikorbankan dengan cara dislokalisasi leher,
selanjutnya dilakukan pembedahan pada setiap kelompok tikus untuk mengamati kondisi tukang
lambung. Pengamatan dilakukan dengan mengamati jumlah dan keparahan tukak lambung pada
tikus. Hasil yang didapat pada pengamatan jumlah dan keparahan tukak dinilai dengan
menggunakan Indeks Tukak (IT).
V. Data Pengamatan dan Perhitungan

5.1. Pengujian aktivitas antidiare (metode transit intestinal)


5.1.1. Tabel hasil pengamatan
Panjang usus Panjang usus Rasio
Kelompok
yang dilalui norit mencit panjang
perlakuan
(a) (b) usus (a/b)
Kontrol 9 cm 60 cm 0,15
Loperamid 6,5 cm 62 cm 0,048
Kaolin pektin 21 cm 60 cm 0,35
Infusa daun
28,6 cm 53,9 cm 0,53
jambu biji
Tabel 5.1.1. Pengujian aktivitas antidiare (metode transit intestinal)
5.1.2. Perhitungan

Rasio panjang usus = =

I. Kontrol = = =

II. Loperamid = = = 48

III. Kaolin pectin = = =

IV. Infusa daun jambu biji = = =


5.1.3. Grafik

Rasio panjang usus (a/b)


0,6

0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

0
Kontrol Loperamid Kaolin pektin Infusa daun
jambu biji
Kelompok perlakuan

Grafik 5.1.3. Grafik pengamatan aktivitas antidiare


5.2. Pengujian Aktivitas Antitukak
5.2.1. Perhitungan Dosis
a. Kontrol (+) 1
Dosis Etanol = 200 g/1 mL
Bobot tikus = 202 gram
202 𝑔
Volume pemberian = 200 𝑔 𝑥 1 𝑚𝐿 = 1,01 𝑚𝐿

b. Kontrol (+) 2
Dosis Etanol = 200 g/1 mL
Bobot tikus = 148 gram
148 𝑔
Volume pemberian = 200 𝑔 𝑥 1 𝑚𝐿 = 0, 74 𝑚𝐿

c. Kontrol (-) 1
Dosis Aquadest = 200 g/1 mL
Bobot tikus = 235 gram
235 𝑔
Volume pemberian = 200 𝑔 𝑥 1 𝑚𝐿 = 1,18 𝑚𝐿 𝐴𝑞𝑢𝑎𝑑𝑒𝑠𝑡

d. Kontrol (-) 2
Dosis Aquadest = 200 g/1 mL
Bobot tikus = 189 gram
189 𝑔
Volume pemberian = 200 𝑔 𝑥 1 𝑚𝐿 = 0,945 𝑚𝐿
e. Sukralfat 1
Dosis Manusia= 1000 mg
Kekuatan sediaan = 720 mg/40 mL
Bobot tikus = 210 g
Konversi dosis = 1000 mg x 0,018 = 18 mg
210 𝑔
Dosis tikus = 200 𝑔 𝑥 18 𝑚𝑔 = 18,9 𝑚𝑔
18,9 𝑚𝑔
Volume pemberian = 𝑥 40 𝑚𝐿 = 1,05 𝑚𝐿
720 𝑚𝑔

Etanol = 1 mL/ 200 g BB


210 𝑔
Volume pemberian = 200 𝑔 𝑥 1 𝑚𝐿 = 1,05 𝑚𝐿

f. Sukralfat 2
Dosis Manusia= 1000 mg
Kekuatan sediaan = 720 mg/40 mL
Bobot tikus = 224 g
Konversi dosis = 1000 mg x 0,018 = 18 mg
224 𝑔
Dosis tikus = 200 𝑔 𝑥 18 𝑚𝑔 = 20,16 𝑚𝑔
20,16 𝑚𝑔
Volume pemberian = 𝑥 40 𝑚𝐿 = 1,12 𝑚𝐿
720 𝑚𝑔

Etanol = 1 mL/ 200 g BB


224 𝑔
Volume pemberian = 200 𝑔 𝑥 1 𝑚𝐿 = 1,12 𝑚𝐿

5.2.2. Tabel Hasil Pengamatan


Skor
Kelompok Skor Jumlah
J Keparahan L %I IT
Perlakuan Tukak
Tukak
Kontrol (+) 3 5
4 4 100 18
Kontrol (+) 5 3
Kontrol (-) 1 1
1 1 0 2
Kontrol (-) 1 1
Sukralfat 4 3
3,5 4 100 17,5
Sukralfat 3 5
Tabel 5.2.2. Pengujian aktivitas antitukak
5.2.3. Perhitungan Indeks Tukak (IT) dan Daya Pencegahan
Kontrol (+)
2
%I = 2 𝑥 100% = 100%

IT = J + L + 0,1 (%I)
= 4 + 4 + 0,1 (100)
= 18
Kontrol (-)
0
%I = 2 𝑥 100% = 0

IT = J + L + 0,1 (%I)
= 1 + 1 + 0,1 (0)
=2
Sukralfat
2
%I = 2 𝑥 100% = 100%

IT = J + L + 0,1 (%I)
= 3,5 + 4 + 0,1 (100)
= 17,5
18−17,5
Daya Pencegahan = x 100% = 2,78 %
18
VI. Pembahasan
6.1. Pengujian Aktivitas Antidiare
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian aktivitas antidiare pada loperamid, kaolin-
pektin, dan infusa daun jambu biji,. Tujuan dari percobaan ini yaitu mengetahui aktivitas obat
antidiare yang paling efektif dengan menggunakan metode transit intestinal. Metode transit
intestinal didasarkan pada perbandingan (rasio) panjang usus yang ditempuh oleh marker
terhadap panjang usus mencit keseluruhan dalam waktu tertentu. Pada metode transit intestinal
dilihat efek obat antidiare yang diberikan pada aktivitas chymus di saluran pencernaan. Hewan
uji yang digunakan pada pengujian aktivitas antidiare ini yaitu mencit. Sebelum dilakukan
percobaan, mencit dipuasakan selama 18 jam tetapi tetap diberikan minum. Hal tersebut
dikarenakan jika ada makanan dalam usus akan berpengaruh terhadap kecepatan peristaltik,
sehingga mencit dipuasakan agar kecepatan peristaltik usus dapat stabil selama percobaan.
Hal pertama yang dilakukan adalah menimbang berat badan mencit terlebih dahulu. Hal
ini perlu diketahui sebelum dilakukan proses pengujian karena berat badan dari mencit ini akan
mempengaruhi volume yang akan diberikan pada mencit. Pada percobaan ini, pengujian
antidiare mencit terbagi menjadi 4 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol (diberi
aquadest), kelompok uji 1 (diberi loperamid), kelompok uji 2 (diberi kaolin-pektin) dan
kelompok uji 3 (diberi infusa daun jambu biji). Mencit yang diberi aquades ini merupakan
kontrol positif yang merupakan suatu hewan percobaan yang diberi penanda atau marker tetapi
tidak diberi obat. Pemberian aquades bertujuan agar semua hewan diperlakukan secara sama.
Sediaan diberikan secara oral karena dengan pemberian secara oral obat akan diserap di usus
sehingga dapat terlihat adanya pengaruh dari sediaan tersebut terhadap gerakan peristaltik usus.
Kemudian mencit-mencit tersebut didiamkan selama 45 menit, hal ini bertujuan agar
sediaan uji atau obat diharapkan telah terabsorpsi sempurna dan mencapai sel-sel reseptornya
sehingga akan memberikan efek pada saat pengujian atau efek farmakologi yang maksimal.
Setelah itu semua hewan uji diberikan suspensi norit 0,1 mL/10 g mencit melalui pemberian per
oral. Pemberian norit ini berfungsi sebagai marker atau penanda untuk mengetahui gerakan
peristaltik usus yang dapat memperlihatkan efek dari pemberian obat antidiare, norit tidak
berpengaruh terhadap kerja sediaan uji maupun gerakan peristaltik usus. Norit ini dijadikan
sebagai penanda karena memiliki warna hitam sehingga nantinya akan mewarnai usus mencit.
Setelah 65 menit semua mencit dikorbankan dengan cara dislokasi tulang leher dan
dibedah untuk melihat kecepatan peristaltik antara mencit kontrol, mencit kelompok uji dengan
loperamid, infusa daun jambu biji, dan kaolin-pektin. Setelah dilakukan dislokasi, setiap tangan
dan kaki mencit direnggangkan agar kulit pada bagian abdomen menegang. Selanjutnya
dilakukan pembedahan yang dimulai dengan membedah bagian bawah yang dilanjutkan ke
bagian atas. Setelah berhasil di bedah, usus dari mencit dikeluarkan secara hati-hati. Tujuannya
agar usus mencit tidak terputus saat dikeluarkan, jika terputus maka hal ini akan mempersulit
dalam pengukuran usus mencit yang dilewati oleh marker norit. Oleh karena itu, perlu ketelitian
dalam proses pengeluaran usus. Panjang usus keseluruhan dan panjang usus yang ditempuh oleh
norit diukur. Setelah berhasil dilanjutkan dengan menghitung rasio jarak yang ditempuh marker
terhadap panjang usus seluruhnya.
Hasil yang diamati berupa rasio panjang usus, yaitu perbandingan panjang usus yang
dilalui norit dibagi dengan panjang usus mencit. Semakin kecil rasio panjang usus dari kelompok
sediaan berarti semakin baik sediaan obat tersebut memberikan efektivitas. Berdasarkan data
yang diperoleh dari hasil pengamatan pada mencit kontrol yang diberi aquades rasio panjang
ususnya adalah 0,15. Aquades digunakan sebagai kontrol karena bersifat inert, tidak toksik, dan
tidak akan memberikan efek farmakologi pada hewan percobaan. Oleh karena itu, mencit kontrol
ini dapat menggambarkan kondisi diare ketika diberi norit.
Pada kelompok uji 1 yang diberi loperamid, rasio panjang ususnya adalah 0,048. Hal ini
membuktikan bahwa loperamid dapat menghambat motilitas/ perilstaltik usus dengan
mempengaruhi langsung otot sirkular dan longitudinal dinding usus serta mempengaruhi
pergerakan air dan elektrolit di usus besar. Selain itu, secara otomatis loperamid memperpanjang
waktu transit isi saluran cerna, menurunkan volume feses, meningkatkan viskositas dan
kepadatan feses serta menghentikan kehilangan cairan dan elektrolit. Sehingga pemberian
loperamid dapat menurunkan kecepatan peristaltik usus.
Pada kelompok uji 2, mencit diberi kaolin-pektin (kaotin) secara per oral. Kaotin
mengandung Kaolin dan pektin. Kaolin adalah suatu absorben untuk menyerap toksin baik yang
berupa gas atau bahan beracun lainnya yang merangsang dari saluran usus, selanjutnya
membentuk lapisan pelindung pada dinding usus. Pektin sebagai bahan yang berfungsi untuk
menghilangkan hasil pertumbuhan bakteri yang bersifat racun. Berdasarkan hasil percobaan ini,
didapatkan rasio panjang usus mencit adalah 0,35. Hal ini membuktikan bahwa kaolin-pektin
dapat mengabsrobsi toksin pada usus sehingga dapat meningkatkan konsistensi feses. Selain itu,
secara otomatis kaolin-pektin dapat meningkatkan viskositas dan kepadatan feses serta
menghentikan kehilangan cairan dan elektrolit.
Pada kelompok uji 3, mencit diberi infusa daun jambu biji secara per oral. Daun jambu
biji merupakan tanaman herbal yang mempunyai efektivitas antidiare. Psidium guajava L.
diketahui mengandung beberapa bahan aktif antara lain tanin, flavonoid, guayaverin,
leukosianidin, minyak atsiri, asam malat, damar, dan asam oksalat, tetapi hanya komponen
khusus seperti flavonoid, tanin, minyak atsiri, dan alkaloid yang memiliki efek farmakologi
sebagai antidiare terutama pada penyakit diare yang disebabkan oleh bakteri. Salah satu bahan
aktif yang terkandung dalam daun Psidium guajava yang memiliki peranan paling efektif sebagai
antidiare adalah flavonoid. Senyawa turunan flavonoid yang terkandung dalam daun Psidium
guajava L. adalah quercetin. Senyawa quercetin memiliki potensi sebagai agen antidiare dengan
menghambat pelepasan asetilkolin yang dapat meningkatkan kontraksi usus akibat adanya iritasi
oleh bakteri penyebab diare. Selain itu, daun jambu biji juga bersifat sebagai astringen yang
dapat menekan sekresi kelenjar di sepanjang usus sehingga memperbaiki konsistensi feses
(Ajizah, 2004).
Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan rasio panjang usus mencit dari yang terkecil
secara berurutan ialah mencit uji yang diberi loperamid yaitu 0,048; mencit kontrol positif yaitu
0,15; mencit uji yang diberi kaolin-pektin yaitu 0,35; dan mencit uji yang diberi infusa daun
jambu biji yaiu 0,53. Jika dilihat berdasarkan rasio antara mencit kontrol dengan mencit uji yang
diberi loperamid, mencit uji yang diberi loperamid memiliki rasio yang cukup rendah
dibandingkan dengan mencit yang diberi aquades (kontrol). Sehingga mencit kontrol dapat
dijadikan sebagai pembanding untuk mengetahui efektifitas obat antidiare yang diuji. Seharusnya
mencit kontrol ini memiliki hasil rasio yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil rasio mencit
yang diberikan sediaan obat antidiare karena pada mencit kontrol positif tidak diberikan obat
antidiare yang dapat menurunkan pergerakan usus mencit. Sementara itu, mencit uji yang diberi
infusa daun jambu biji yaitu 0,53 memiliki rasio panjang usus lebih besar daripada rasio panjang
usus mencit yang diberi kaolin-pektin yaitu 0,35. Hal ini membuktikan bahwa kaolin-pektin
merupakan obat antidiare yang memiliki efektivitas lebih baik dibandingkan infusa daun jambu
biji, karena kaolin-pektin termasuk ke dalam jenis obat kimia sedangkan infusa daun jambu biji
merupakan obat herbal dimana rentang efek terapetik obat herbal biasanya lebih luas
dibandingkan dengan obat kimia, sehingga obat kimia lebih mengobati secara spesifik
(Departemen Farmakologi dan Terapi UI. (2007). Jadi, obat antidiare loperamid memiliki
efektivitas yang paling baik dibandingkan dengan kaolin-pektin dan juga infusa daun jambu biji.
6.2. Pengujian Aktivitas Antitukak
Pada pengujian aktivitas antitukak dilakukan dengan tujuan mengetahui efektivitas suatu
obat antitukak terhadap hewan percobaan dan menguji aktivitas antitukak dalam menghambat
tukak yang ditimbulkan oleh etanol 70% sebagai penginduksi. Tukak lambung merupakan salah
satu tukak peptik yang ditandai dengan rusaknya lapisan mukosa lambung. Hal ini dapat terjadi
karena ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor protektif dengan adanya obat antitukak ini
dapat menyeimbangkan antara faktor agresif dan faktor protektif. Obat antitukak akan
mengontrol sekresi HCl dan melindungi mukosa lambung.
Tukak peptik yang diinduksi etanol merupakan salah satu metode yang sudah banyak
digunakan. Etanol menginduksi pembentukan lesi pada lambung melalui beberapa mekanisme
kerja, diantaranya perubahan sekresi lambung, kerusakan mukosa lambung, perubahan
permeabilitas, rusaknya mukus lambung, dan produksi radikal bebas. Pada percobaan ini, hewan
yang diinduksi dengan pemberian etanol mengalami kerusakan yang cukup signifikan Tingkat
kerusakan yang terjadi dinyatakan sebagai nilai indeks tukak (IT), yang dihitung berdasarkan
kalkulasi dari skor jumlah tukak dan tingkat keparahan tukak.
Pada pengujian antitukak digunakan tikus yang telah dipuasakan selama 18 jam. Hal ini
karena obat yang digunakan adalah sukralfat, sukralfat bekerja dengan membentuk lapisan pada
bagian yang luka dan melindunginya dari asam lambung yang dapat memperlambat
penyembuhan. Kerja sukralfat akan terganggu apabila didalam lambung terdapat makanan
karena dapat menghambat proses absorpsi sukralfat didalam tubuh tikus. Tikus dikelompokkan
menjadi 3 kelompok yaitu kelompok control negatif diberi aquadest, kelompok kontrol positif
diberi aquadest sedangkan kelompok 3 diberi sediaan sukralfat. Semua sediaan diberikan secara
oral. Setelah satu jam kemudian, tikus diberi larutan etanol 70% sebagai penginduksi tukak
lambung. Etanol menginduksi pembentukan lesi pada lambung melalui beberapa mekanisme
kerja, diantaranya perubahan sekresi lambung, kerusakan mukosa lambung, perubahan
permeabilitas, rusaknya mukus lambung, dan produksi radikal bebas. Satu jam kemudian tikus
dikorbankan dengan cara dislokasi leher.
Berdasarkan hasil pengamatan, pada kontrol negatif hanya diberi aquadest saja, kontrol
negatif bertujuan untuk mengetahui kondisi normal lambung sebelum diberi induksi tukak.
Dari pengamatan diperoleh indeks tukak sebesar 2%. Pada kontrol positif diberi etanol, kontrol
postitif bertujuan untuk mengetahui kondisi tukak lambung tanpa diberi sediaan obat terlebih
dahulu. Diperoleh indeks tukak sebesar 18%. Sedangkan pada kelompok uji dengan sukralfat
bertujuan untuk mengetahui nilai indeks tukak setelah diberi sediaan obat dan diperoleh indeks
tukak sebesar 17,5%. Dapat diketahui bahwa semakin kecil nilai indeks tukak, daya pencegahan
semakin tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sediaan obat memilik efek yang cukup baik.
Dari hasil percobaan sukralfat tidak mengurangi kondisi tukak pada lambung, hal ini
tidak sesuai dengan literature, karena sukralfat diberikan pada saat keadaan lambung tikus masih
terdapat makanan, seharusnya kerja sukralfat akan terganggu apabila didalam lambung terdapat
makanan karena dapat menghambat proses absorpsi sukralfat didalam tubuh tikus. Sukralfat
dapat membentuk suatu kompleks protein pada permukaan tukak yang melindungi terhadap HCl,
pepsin dan empedu. Mekanisme sukralfat atau aluminium sukrosa sulfat adalah disakarida sulfat
yang digunakan dalam penyakit ulkus peptik. Mekanisme kerjanya diperkirakan melibatkan
ikatan selektif pada jaringan ulkus yang nekrotik, dimana obat ini bekerja sebagai sawar terhadap
asam, pepsin, dan empedu. Obat ini mempunyai efek perlindungan terhadap mukosa termasuk
stimulasi prostaglandin mukosa. Selain itu, sukralfat dapat langsung mengabsorpsi garam-garam
empedu,aktivitas ini nampaknya terletak didalam seluruh kompleks molekul dan bukan hasil
kerja ion aluminium saja.
KESIMPULAN
1. Pemberian obat Loperamid lebih efektif dalam memperlambat gerakan peristaltik usus
dibandingkan dengan obat Kaolin-Pektin dan infusa daun jambu biji.
2. Sukralfat memiliki kemampuan mengobati tukak dengan daya pencegahan 2,78 %. Nilai
pencegahan yang didapat kecil dikarenakan saat pengujian di dalam lambung tikus
terdapat makanan karena makanan dapat menghambat proses absorpsi sukralfat didalam
lambung tikus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, M. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Depkes RI:
Jakarta.
Ansel, H. C. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim F. Edisi
IV. UI Press: Jakarta.
Ajizah A. (2004). Sensitivitas Salmonella typhimurium terhadap ekstrak daun Psidium guajava
L.. Bioscientiae.
Arif, A., Sjamsudin, U. (1995). Obat Lokal dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Biswas B, Rogers K, McLaughlin F, Daniels D, Yadav A. (2013). Antimicrobial activities of leaf
extracts of guava (Psidium guajava L. L.) on two gram-negative and gram-positive
bacteria. International Jurnal of Microbiology.
BPOM, (2008). Informatorium Obat Nasional Indonesia.
Daldiyono. (1990). Diare, Gastroenterologi-Hepatologi. Infomedika: Jakarta.

Departemen Farmakologi dan Terapi UI. (2007). Farmkologi dan Terapi Edisi V. Penerbit UI
Press: Jakarta.

Guerrant, R.L, Van Gilder, T., Steiner, T.S., Theilman, M.N., Slutsker, L., Tauxe, R.V. (2001).
Practice Guidelines for the Management of Infectious Diarrhea. Clin Infect Dis.
Mycek, Harvey, Champe. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi ke dua. Widya
Medika. Jakarta.
Neal, M. J. (2005). Medical Pharmacology at a Glance. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta.
Neal MJ, (2006). Obat yang bekerja pada saluran gastrointestinal I: ulkus peptikum.
Ojewole JA. (2006). Antiinflammatory and analgesic effects of Psidium guajava L. Linn.
(Myrtaceae) leaf aqueous extract in rats and mice. Methods and findings in experimental
and clinical pharmacology.
Ramakrishnan K., Salnas R. C. (2007). Peptic ulcer disease, American family physician.
Suherman, L. P., Hermanto, F., & Pramukti, M. L. (2013). Efek Antidiare Ekstrak Etanol Daun
Mindi (Milea Azedarach Linn) pada Mencit Swiss Webster Jantan. Kartika Jurnal Ilmiah
Farmasi.

Anda mungkin juga menyukai