Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI I

PERCOBAAN 5

MENGORBANKAN/PEMUSNAHAN HEWAN UJI

Disusun Oleh :

Hari Tanggal Praktikum :

1. Angela Dixie Ambarwati (2101002)


2. Maria Goretti Ika S (2101046)
3. Mirda Febriana (2101018)
4. Mulia Veni (2101050)

AKADEMI FARMASI CENDIKIA FARMA HUSADA

BANDAR LAMPUNG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hewan coba banyak digunakan dalam studi eksperimental berbagai cabang


medis dan ilmu pengetahuan dengan pertimbangan hasil penelitian tidak dapat
diaplikasikan langsung pada manusia untuk alasan praktis dan etis. Pemakaian
hewan coba untuk penelitian klinis pada manusia telah memberikan kontribusi
besar terhadap pemahaman tentang berbagai proses fisiologis dan patologis yang
mempengaruhi manusia, namun demikian dalam penggunaan hewan penelitian
harus didasarkan pada prinsipilmiah, etika dan hukum. Rodensia atau hewan
pengerat merupakan hewan coba yang banyak digunakan dalam penelitian, yaitu
mencapai sekitar 69% karena murah dan mudah untuk ditangani, rentang hidup
yang singkat mudah beradaptasi pada kondisi sekitarnya dan tingkat reproduksi
yang cepat sehingga memungkinkan untuk penelitian proses biologis pada semua
tahap siklus hidup.
Hewan yang telah selesai menjalani perlakuan, untuk melihat perubahan
yang ditimbulkan oleh agen yang diujikan maka diakhir masa penelitian hewan
tersebut harus dimatikan. Periode mematikan hewan percobaan ini yang dikenal
dengan euthanasia. Pemakaian metode euthanasia dalam bidang keilmuan sangat
penting perannya, apabila ditinjau dari segi manfaatnya. Uji laboratorium
terhadap meterial non-toksik dan non-infectius sangat bisa diterima karena hewan
diasumsikan tidak akan merasakan penderitaan selama penelitian berlangsung.
Keadaan menjadi sangat memprihatinkan apabila hewan-hewan tersebut
dipergunakan untuk uji biologis virus maupun logam berat dan zat toxic lainnya.
Kondisi ini yang menyebabkan perlu dilakukan suatu kajian etik terhadap hewan
yang akan menjalani euthanasia.
1.2 TUJUAN PERCOBAAN
Pada praktikum ini diharapkan mampu melakukan euthanasia pada hewan
coba yang memenuhi syarat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DASAR TEORI

Kata euthanasia sendiri berasal dari Yunani, yaitu Eu – baik dan Thanatos
– kematian, sehingga arti kata euthanasia adalah kematian dengan cara yang baik.
Tandanya adalah kehilangan kesadaran secara cepat diikuti dengan berhentinya
detak jantung dan pernafasan serta hilangnya fungsi otak (Javma, 2001).
Euthanasia atau Mercy Sleeping adalah tindakan membunuh hewan oleh
seorang dokter hewan dengan rasa sakit seminimal mungkin karena si hewan
menderita penyakit yang tidak dapat diobati atau situasi dimana
perlakuan/pengobatan tidak memungkinkan. Euhtanasia merupakan tindakan
mengorbankan nyawa hewan coba melalui prosedur yang menyebabkan hewan
mengalami penurunan kesadaran sehingga hewan mati tanpa merasakan nyeri
ataupun stres. Euhtanasia dapat ilakukan dengan menggunakan kloroform, eter,
halotan, metoksifluran, nitrous okdida, CO, CO2, N dan sianida. Senyawa CO2
menjadi pilihan awal, biasa digunakan dalam eutanasia tikus, sehingga setelah
tikus menghirup CO2 akan menyebabkan penurunan kesadaran dan juga kematian
secara tiba-tiba tanpa nyeri dan juga stres. Sebanyak 71% peneliti menggunakan
teknik dislokasi tulang leher mencit untuk memastikan mencit benar-benar sudah
tereutanasi. Dua lainnya menggunakan cairan kimia yaitu kloroform sebagai obat
eutanasia (Nugroho, 2018).
Lokasi tindakan eutanasia hewan, juga menentukan tingkat stres hewan.
Hewan yang masih hidup ditempatkan ditempat yang sama atau dibiarkan melihat
hewan lainnya yang sedang eutanasi, akan menyebabkan hewan tersebut
mengalami ketakutan dan berujung stres oleh karena itu, hewan yang sedang
dieutanasi tidak boleh terlihat oleh hewan lain yang masih hidup atau lebih baik
dilakukan di tempat khusus yang terpisah (Garber et al., 2010).
Euthanasia apabila diterapkan pada hewan masih bisa diterima sedangkan
pada manusia merupakan tindakan illegal. Perbedaan ini erat kaitannya dengan
fungsi hewan dalam menunjang kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa
selama hewan tersebut dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia maka
euthanasia diperbolehkan. Euthanasia apabila ditinjau dari kajian eiknya sangat
dipengaruhi oleh faktor manusia (Solanii, 2004).
Pemilihan cara euthanasia tergantung dari sifat penelitiannya, spesies dari
hewannya, dan juga dari jumlah hewan yang akan dimatikan. Kriteria yang harus
dipenuhi baik itu euthanasia secara individual atu massal yaitu hewan mati tanpa
memperlihatkan kepanikan, kesakitan, dan sukaran, hilangnya kesadaran dalam
jangka waktu yang singkat, dapat diandalkan dan diulangi kembali, aman untuk
orang yang mengerjakannya, efek fisiologis sesedikit mungkin dan pengaruh
lingkungan seminimal mungkin (Enny, 2004).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENGAMATAN

No Penelitian
1 “Efek Kekurangan Energi Protein Terhadap Berat Badan dan Berat
Usus Halus Tikus Sprague-Dawley”
Sumber : Chelsia, Agustina Arundina TT, Ita Armyanti.
Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat CDK-257/Vol 44
no 10 th 2017.
Tiap hewan coba di euthanasia dengan cara injeksi intraperitoneal
ketamin 1-3 mg/kgBB dan dislokasi servikal.

2 “Perbedaan Indikator-Indikator Penyembuhan Luka Tikus Wistrar


Non Diabetik Dan Diabetik Pada Pemberian Curcumin Topikal”
Sumber : Tejo Jayadi, Arum Krismi
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana Vol 01-No 01-
Oktober 2015.
Pengambilan jaringan luka dilakukan dengan mengorbankan hewan coba
menggunakan eter. Setelah efek tercapai, dilakukan eksisi pada bagian
luka yang paling luas dengan mengikutsertakan jaringan kulit normal,
kemudian difiksasi dalam formalin buffer 10% untuk dilakukan
pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia.

3 “Efek Imunomodulator Dari Kombinasi Ekstrak Etanol Herba


Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness) Dan Rimpang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Terhadap Proliferasi Sel
Limfosit Mencit Balb/c Secara In Vitro”
Sumber : Damriati Azimah, Yuswanto Dan Wahyono, Djoko Santoso, dan
Erna Prawita Setyowati.
Universitas Gadjah Mada, Sekip Utara 55281, Yogyakarta.
Isolasi organ limpa pertama-tama dengan mengorbankan mencit jantan
Balb/c dengan pemberian kloroform. Mencit yang telah dikorbankan
kemudian ditelentangkan dan dibasahi pada bagian dada dengan alkohol
70% untuk mensetrilkan dan mengurangi kemungkin kontaminasi.

4.2 PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan pengamatan cara mengorbankan hewan
uji yang bersumber dari beberapa jurnal, dengan tujuan untuk melakukan
euthanasia pada hewan coba yang memenuhi syarat.
Euthanasi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
proses cara bagaimana seekor hewan di bunuh dengan menggunakan teknis yang
dapat diterima secara manusiawi. Hal ini berarti hewan mati dengan mudah, cepat,
tenang dengan rasa sakit yang sedikit mungkin. Pemilihan cara euthanasi
tergantung dari sifat penelitiannya, spesies hewannya, dan juga dari jumlah hewan
yang dimatikan. Mungkin pada beberapa kasus diperlukan penanganan secara
individual, sedang yang lainnya sejumlah atau sekelompok hewan dapat ditangani
secara simultan, dengan euthanasi massal.
Pada penelitian pertama dengan judul “Efek Kekurangan Energi Protein
Terhadap Berat Badan dan Berat Usus Halus Tikus Sprague-Dawley”, tiap hewan
cobe dieuthanasia dengan uji berbeda signifikan (205) dengan kontol cara injeksi
intraperitoneal ketamin 1-3 mg/ kgBB dan dislokasi servikal. Tikus yang sudah di
euthanasia diposisikan pada papan bedah menggunakan jarum pentul. Keempat
ekstremitas dibentangkan agar abdomen terekspos. Pembedahan dilakukan dengan
menggunakan gunting bengkok, dimulai dari daerah perut atau uterus untuk
menggunting kulit. Kemudian otot abdominal dinsisi hati-hati agar tidak merusak
organ abdomen, dengan pola garis lurus pada median, untuk mengekspos organ
abdomen. Organ usus halus diambil dengan menggunakan gunting lurus setelah
dipisahkan dari organ-organ lain. Bagian proksimal usus halus berbatasan dengan
sfingter pilorus dan bagian distal berbatasan dengan sekum. Organ usus halus
digunting pada batas tersebut. Usus halus dibersihkan dari kotoran dan isi usus
halus; mesenterium dipisahkan dari usus halus. Usus halus dicuci luar dan
lumenya dengan PBS secara tepat dan hati-hati hingga bersih dari isi usus, tiriskan
diatas kertas saring. Usus halus kemudian ditimbang menggunakan neraca digital.
Berat usus halus menunjukkan jumlah berat seluruh sel-sel pada usus halus,
termasuk mukosa usus halus, yang merupakan tempat absorpsi nutrisi. Pada
penelitian ini, penurunan berat usus halus tikus belum bermakna pada perlakuan 7
hari, namun terjadi penurunan rata-rata berat usus halus sebesar 21%
dibandingkan kelompok kontrol. Penurunan berat usus halus juga menunjukkan
sejalan dengan penurunan berat badan. Terjadi penurunan berat usus halus yang
cepat pada fase awal kelaparan dan melambat seiring lamanya perlakuan, yang
ditunjukkan oleh penurunan berat usus sebesar 21% pada 7 hari dan menjadi 33%
pada 14 hari, dan hanya menurun 1% lagi menjadi 34% pada 21 hari.
Pada penelitian kedua dengan judul “Perbedaan Indikator-Indikator
Penyembuhan Luka Tikus Wistrar Non Diabetik Dan Diabetik Pada Pemberian
Curcumin Topikal”, penelitian ini dikerjakan dengan metode penelitian quasi
eksperimental dengan model posttest only with control group design, di mana
pengujian dilakukan setelah perlakuan dengan kelompok kontrol sebagai
pembandingnya. Populasi pada penelitian ini adalah tikus wistar usia 12-16 bulan
dengan berat 250-300 gram dari penangkaran LPPT IV UGM. Sampel penelitian
diambil dari jaringan lokasi luka dan dibuat blok parafin untuk pemeriksaan
histopatologi dan imunohistokimia di Instalasi Patologi Anatomi RS DR.
Sardjito/Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Kriteria inklusi : Tikus wistar laki-laki, kondisi sehat (bergerak dengan aktif)
berusia 12-16 bulan dengan berat 250-300 gram. Kriteria eksklusi : Tikus wistar
laki-laki menunjukkan perubahan perilaku (aktivitasnya tampak lemah dan
malas). Pembuatan salep curcumin dilakukan di Fakultas Farmasi UGM dan
LPPT 1 UGM. Curcumin diperoleh dengan cara mengekstrak metabolit sekunder
dari kunyit (Curcuma longa) kemudian difraksinasi dengan etil asetat. Sejumlah
empat hewan coba tikus wistar jantan tanpa perlakuan baik non diabetik dan
diabetik dikerjakan eksisi pada hari ke 30 dan dilanjutkan pemeriksaan
histopatologi dan imunohistokimia. Lima belas hewan coba tikus wistar jantan
dengan perlakuan non diabetik dilakukan insisi berdasarkan prosedur, kemudian
diberikan salep curcumin satu hari sekali untuk sampel A dan placebo untuk
sampel B, dan dilakukan pengambilan tiga sampel sesuai prosedur setiap hari ke-
1, 3, 12, 18 dan 30. Tiga puluh tikus wistar diabetik dikerjakan injeksi
streptozotocin sesuai prosedur untuk menginduksi diabetes. Lima belas hewan
coba tikus wistar jantan dengan perlakuan diabetik dilakukan insisi berdasarkan
prosedur, kemudian diberikan placebo satu hari sekali untuk sampel C dan salep
curcumin untuk sampel D, dilakukan pengambilan tiga sampel sesuai prosedur
setiap hari ke 1, 3, 12, 18 dan 30. Sampel A, B, C, D dikerjakan pemeriksaan
histopatologi dengan pewarnaan H&E dan pengecatan imunohistokimia TGF-
beta1 dan p63. Kelompok diabetik diinjeksi dengan Streptozotocin 40mg/kgBB
dosis tunggal untuk menginduksi diabetes. Sepuluh hari setelah kadar glukosa
darah mencapai dua kali dari level gula darah awal, tikus wistar digunakan
sebagai hewan coba. Insisi dilakukan dengan anestesi umum menggunakan ketalar
2 mg intra-peritoneal. Setelah hipoestesia tercapai, rambut pada regio tulang
belakang di punggung paling atas dicukur, kemudian dilakukan insisi sepanjang 2
cm sampai seluruh ketebalan kulit (epidermis sampai hipodermis) terpisah. Luka
dibiarkan terbuka, tidak ditutup dengan penutup apapun. Pengambilan jaringan
luka dilakukan dengan mengorbankan hewan coba menggunakan eter. Setelah
efek tercapai, dilakukan eksisi pada bagian luka yang paling luas dengan
mengikutsertakan jaringan kulit normal, kemudian difiksasi dalam formalin buffer
10% untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia.
Pada penelitian ketiga dengan judul “Efek Imunomodulator Dari
Kombinasi Ekstrak Etanol Herba Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)
Ness) Dan Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Terhadap
Proliferasi Sel Limfosit Mencit Balb/c Secara In Vitro”. Pembuatan stok sel
Limfosit dari limpa mencit Balb/c, isolasi organ limpa pertama-tama dengan
mengorbankan mencit jantan Balb/c dengan pemberian kloroform. Mencit yang
telah dikorbankan kemudian ditelentangkan dan dibasahi pada bagian dada
dengan alkohol 70% untuk mensterilkan dan mengurangi kemungkinan
kontaminasi. Setelah itu, bagian perut sampai dada dibuka dengan gunting bedah,
ambil limpa menggunakan forsep dan tarik pelan pelan lalu potong Limpa
diletakkan dalam gelas petri steril dengan menambahkan 3-5 ml media RPMI
1640. Suntik RPMI 1640 ke bagian dalam limpa, ambil cairan di dalamnya, suntik
kembali pada limpa lalu ambil, lakukan suntik-ambil sampai limpa berwama
transparan. Tekan limpa berkali-kali dengan ujung syringe hingga semua isi limpa
keluar. Sisihkan jaringan atau gumpalan dengan mengambil dan mengeluarkan
suspensi ke dalam syringe yang dilengkapi dengan jarum 19G, lalu masukkan
suspensi ke dalam microtube steril. Ulangi lagi pada sisa jaringan limpa untuk
mengambil sisa cairan limfosit. Suspensi limfosit disentrifugasi selama 10 menit
pada 1500 rpm dan buang supernatannya. Ambil endapan, suspensikan dalam
buffer lisis amonium klorida (5 ml untuk 1 limpa). Inkubasikan selama 5 menit
pada temperatur kamar dengan sesekali digojog pelan. Sentrifugasi selama 10
menit pada 1500 rpm, lalu buang supernatan. Endapan disuspensikan dalam media
RPMI 1640. Hitung jumlah dengan hemositometer lalu buat suspensi sel limfosit
dengan konsentrasi sel limfosit yang dibutuhkan dalam media sekitar 2.106 sel/ml.
BAB V
PENUTUP

I. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah :
1. Euthanasia merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
proses cara bagaimana seekor hewan dibunuh dengan menggunakan
teknisi yang dapat diterima secara menusiawi.
2. Euthanasia pada hewan harus menggunakan metode-metode yang ideal,
hewan direstrain dengan sedikit mungkin menderita kesakitan.
3. Pada penelitian pertama dengan judul Efek Kekurangan Energi Protein
Terhadap Berat Badan dan Berat Usus Halus Tikus Sprague-Dawley,
tiap hewan coba di euthanasia dengan cara injeksi intraperitoneal
ketamin 1-3 mg/kgBB dan dislokasi servikal.
4. Pada penelitian keduan dengan judul Perbedaan Indikator-Indikator
Penyembuhan Luka Tikus Wistrar Non Diabetik Dan Diabetik Pada
Pemberian Curcumin Topikal, Pengambilan jaringan luka dilakukan
dengan mengorbankan hewan coba menggunakan eter. Setelah efek
tercapai, dilakukan eksisi pada bagian luka yang paling luas dengan
mengikutsertakan jaringan kulit normal, kemudian difiksasi dalam
formalin buffer 10% untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi dan
imunohistokimia.
5. Pada penelitian ketiga dengan judul Efek Imunomodulator Dari
Kombinasi Ekstrak Etanol Herba Sambiloto (Andrographis paniculata
(Burm.f.) Ness) Dan Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb) Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Mencit Balb/c Secara In Vitro,
Isolasi organ limpa pertama-tama dengan mengorbankan mencit jantan
Balb/c dengan pemberian kloroform. Mencit yang telah dikorbankan
kemudian ditelentangkan dan dibasahi pada bagian dada dengan alkohol
70% untuk mensetrilkan dan mengurangi kemungkin kontaminasi.
II. SARAN
Perlu dilakukan penelitian secara langsung agar praktikan lebih memahami
tentang euthanasia.
DAFTAR PUSTAKA

Enny, T.S. 2004. Euthanasia : Tinjauan Etik pda Hewan. Sekolah Pasca Sarjana
IPB, Bogor.
Garber JC. 2010. Guide for the Care and of Laboratory Animals. Washington DC.
National Academies Press.
Javma. 2001. The Dutty of Using Artificial Means of Preserving Life. Theolofical
Studies (11:203-220).
Nugroho CA. 2009. Pengaruh Minuman Beralkohol terhadap Jumlah Lapisan Sel
Spermatogenik dan Berat Vesikula Seminalis Mencit. Jurnal Ilmiah
Widya Warta 33(1): 56-60.
Solanii. 2004. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Sosiologi Kesehatan. Jakarta :
Makalah Simposium Euthanasia.

Anda mungkin juga menyukai