Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI 2

Teknik Handling, Cara Pemberian Obat pada Hewan dan Pengenalan

Fungsi Otak

Dosen Penanggung jawab : Dr. Siti Sa'diah, MSi. Apt.

Oleh Kelompok 7 (P3) :

1. Amalia Utami B04180028


2. Bintang Aditia Tri Wibowo B04180023

3. Maryani B04180033
4. Zakiy Al Azmi Zein B04180017

5. Hanifah Nur Azizah B04180010

6. Ranti Aisuka Rinjani B04180018

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2021

/
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup. Respon tubuh yang
muncul terhadap obat sangat beragam tergantung pada target kerja obat, sifat fisik kimia obat
dan kondisi tubuh target. Syarat utama untuk memunculkan efek obat adalah adanya interaksi
langsung antara obat dengan target untuk kemudian menginisiasi terjadinya perubahan.sifat
fisiko kimia obat dan target obat yang berbeda menyebabkan cara pemberian obat pun berbeda.
Beberapa cara pemberian obat yang dikenal selama ini diantaranya peroral, parenteral,
perinhalasi, rektal dan topikal. Hal yang tidak kalah pentingnya dengan teknik pemberian obat
adalah handling hewan.
Cara handling hewan dan teknik pemberian obat juga harus diperhatikan ketika kita
dihadapkan dengan hewan percobaan yang digunakan untuk menguji khasiat dan keamanan obat.
Seringkali kedua teknik yang tidak memadai menyebabkan sebaran data yang diperoleh
mempunyai bias yang cukup besar dan dampaknya pada pengambilan keputusan tentang hasil
percobaan tersebut cukup besar. Ada beberapa hewan laboratorium yang digunakan selama ini
yaitu katak, mencit, tikus, kelinci, kucing dan anjing, babi. Katak, mencit dan tikus adalah hewan
yang paling sering digunakan dalam percobaan terkait pengujian obat secara praklinis
dibandingkan dengan hewan lainnya. Pemilihan hewan coba harus diketahui sifat – sifat hewan
coba maupun cara penanganannya serta cara pemberian obat. Seorang dokter hewan harus
memiliki kemampuan dalam hal cara pemberian obat yang baik sesuai dengan jenis hewan coba
tersebut.
Katak merupakan hewan percobaan yang jarang dipakai dalam penelitian – penelitian
farmakologi, namun dalam praktikum untuk mahasiswa di laboratorium, katak memiliki peran
yang penting, antara lain karena harga katak relatif murah dibandingkan dengan hewan – hewan
percobaan lainnya. Meskipun susunan saraf pusat katak lebih sederhana dibandingkan dengan
mamalia, tetapi prinsip – prinsip dasar susunan saraf pusat dapat dipelajari dengan menggunakan
katak. Seperti halnya pada hewan yang berderajat tinggi, susunan saraf pusat katak dapat dibagi

/
menjadi beberapa bagian, yaitu prosensefalon, mesensefalon, rhombensefalon, dan medulla
spinalis. Lebih lanjut prosensefalon masih dapat dibagi menjadi dua, yaitu telensefalon dan
diensefalon. Telensefalon setelah melampaui masa embrionik akan berkembang menjadi
cerebrum. Daerah cerebrum merupakan pangkal dari saraf otak I (nervus olfaktorius) dan saraf
otak II (nervus optikus). Bagian kulit serebrum (korteks serebri) terdiri atas berpuluh – puluh
area dengan fungsi yang berbeda – beda, antara lain sebagai pusat sensorik, pusat motorik, pusat
asosiasi, pusat kesadaran, pusat penerima rangsang penglihatan, pusat pengatur tingkah laku dan
pada hewan yang berderajat lebih tinggi, juga merupakan pusat refleks bersyarat.

Tujuan Praktikum

Praktikum bertujuan mengetahui dan mempelajari tata cara handling dan pemberian obat
pada hewan laboratorium, serta mengetahui fungsi cerebellum, cerebrum dan medulla oblongata
terhadap fungsi fisiologis pada tubuh.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Hewan Laboratorium

Hewan laboratorium atau hewan coba merupakan hewan yang sengaja dipelihara atau
diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model dalam penelitian berbagai bidang ilmu, baik
pada skala penelitian maupun pengamatan laboratorik. Terdapat empat alasan utama penggunaan
hewan coba dalam penelitian, antara lain untuk pemahaman ilmiah, sebagai model untuk
mempelajari suatu penyakit, mengembangkan dan menguji terapi potensial, dan untuk
melindungi keselamatan manusia, hewan, serta lingkungan (Kurniawan et al. 2018). Penggunaan
hewan coba harus dilakukan dengan bijak melalui suatu tahapan manajemen yang terdiri dari
pengadaan hewan yang mencakup pemilihan dan seleksi jenis hewan sesuai dengan kebutuhan,
perawatan dan pemeliharaan hewan selama terlibat dengan proses penelitian, pengumpulan data,
sampai dengan tahap terminasi hewan coba (Wolfensohn dan Lloyd 2003).

/
Pemilihan dan seleksi jenis hewan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Terdapat
banyak spesies hewan yang dapat dijadikan sebagai hewan coba, antara lain mencit, tikus,
hamster, marmut, kelinci, anjing, kucing, ferret, ruminansia, babi, nonhuman primates, amfibi,
reptil, dan juga ikan. Kelas rodentia dan amfibi merupakan dua jenis yang paling sering
digunakan dalam penelitian ilmiah (Suckow et al. 2012).

2. Handling dan Pemberian Obat pada Hewan

Handling merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh manusia terhadap hewan yang
bertujuan untuk mengendalikan hewan tersebut tanpa harus menyakiti ataupun mencederai baik
hewan maupun pelaksana handling itu sendiri. Secara umum handling merupakan suatu metode
penanganan pada hewan yang membuat hewan terbatasi secara gerak sehingga dapat dengan
mudah dikendalikan baik dengan menggunakan bantuan alat ataupun hanya dengan tangan
kosong (Awaludin et al. 2017). Cara memegang hewan dari masing-masing spesies yang
dihadapi adalah berbeda, tergantung dari sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil), serta
tujuannya. Cara handling yang tidak tepat dapat menyulitkan serta memperpanjang waktu yang
diperlukan dalam proses tersebut (Katzug 1989).
Prosedur handling itu sendiri digunakan pada kegiatan yang berhubungan secara
langsung dengan hewan, seperti pada kegiatan pemeriksaan fisik hewan, pengambilan darah,
animal rescue, penyembelihan hewan, dan juga administrasi obat. Pemberian obat pada hewan
bertujuan baik untuk pengobatan, terapi, pemberian suplemen, maupun administrasi yang
tujuannya untuk tujuan penelitian. Menurut Katzug (1989), rute pemberian obat (Routes of
Administration) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik
lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dengan tubuh.
Karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah, enzim-enzim, dan getah-getah fisiologis
yang terdapat di lingkungan tersebut tidaklah sama. Hal-hal tersebut menyebabkan jumlah obat
yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute
pemberian obat.
Rute pemberian dapat dibedakan menjadi oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan
intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara
parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intra spinal dan intraserebral, tidak

/
melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju
sisi reseptor (reseptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara
setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktivitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan
mempengaruhi aktivitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan (Siswandono dan
Soekardjo 1995).

3. Organ Otak

Otak merupakan organ tubuh yang rumit dengan beragam fungsi spesifik yang
berbeda-beda pada setiap bagiannya. Secara garis besar, otak vertebrata dibagi menjadi tiga
bagian utama, yaitu otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak (brainstem).
Antar bagian otak tersebut dibatasi oleh cairan otak (cerebrospinal fluid), sementara bagian
luarnya terlindungi oleh tiga lapis selaput otak (meninges) dan tulang tengkorak (Supradewi
2010). Sebagai anggota susunan sistem saraf pusat (SSP), otak terdiri atas bagian depan
(Prosencephalon), tengah (Mesencephalon), dan belakang (Rhombencephalon). Selain otak,
terdapat pula medulla spinalis yang juga merupakan anggota dari SSP. Medulla spinalis terdiri
dari 31 segmen antara lain 8 pasang pars cervicalis, 12 pasang pars thoracalis, 5 pasang pars
lumbalis, 5 pasang pars sacralis, dan 1 pasang pars coccygeus. Segmen dorsal dari medula
spinalis ini mengatur aktivitas sensorik tubuh, sedangkan segmen ventralnya mengatur aktivitas
motorik (Agustina 2020).

METODOLOGI

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain sonde lambung, spuit, lap, sarung tangan, papan katak,
sungkup gelas, jarum/alat penusuk (sonde), dan kandang hewan. Bahan yang digunakan adalah
asam encer (H2SO4 atau HCl 0,5 N). Adapun yang digunakan sebagai subjek pengamatan adalah
adalah katak dan mencit.

/
Prosedur Kerja

A. Handling tikus / mencit

Cara handling mencit secara umum adalah mencit dikeluarkan dari kandang dengan cara
memegang bagian ekornya, setelah itu dengan menggunakan kain lap bagian muka mencit
ditutup. Tengkuk tikus difiksir dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. Jika
cara pegang benar, tikus tersebut tidak akan dapat bergerak lagi. Pemberian obat pada
mencit dilakukan dengan cara sonde lambung yang telah dipasangkan pada ujung spuit obat
dimasukkan melalui mulut ke esophagus masuk ke lambung. Proses memasukkan sonde
lambung harus secara perlahan dengan mengikuti gerak menelan dari hewan. Jika hewan
tersebut memberikan refleks batuk, maka sonde ditarik keluar kembali karena masuk ke
saluran pernapasan. Setelah itu obat dimasukkan, sonde ditarik keluar dan tikus kembali ke
kandangnya. Sedangkan cara handling tikus untuk dilakukan anestesi injeksi peritoneal
dengan cara ekor mencit dipegang dengan tangan kanan, kedua telinga mencit dijepit
menggunakan tangan kiri, kemudian badan mencit dibalikkan sehingga bagian ventral
abdomen berada di atas.

B. Keadaan umum katak normal dan penekanan fungsi susunan saraf pusat katak secara
mekanis

1. Keadaan umum katak normal


Sikap badan normal, frekuensi napas (amati gerakan-gerakan bagian dasar mulut),
frekuensi denyut jantung (amati gerakan-gerakan lembut pada bagian sentral di sebelah
posterior garis yang menghubungkan kedua kaki depan jika diregangkan),
gerakan-gerakan spontan,keseimbangan badan (reflek bangkit), kemampuan berenang,
reflek menghindar, dan respon terhadap luka yang diberi asam encer. Catatlah hasilnya
pada isian yang disediakan.

/
2. Perusakan serebrum (deserebrasi)
Serebrum katak dirusak dengan menggunakan jarum penusuk (sonde), caranya
adalah kepala di tengah bagian tepat di belakang mata dirusak dan ujung jarum
digerakkan ke arah kranial dan kiri kanannya agar seluruh bagian cerebrum rusak.
Prosedur lain yang dapat diterapkan adalah dengan skalpel runcing yang tajam, kepala
katak dipotong dengan cepat melintang sepanjang garis yang menghubungkan tepi-tepi
anterior dari kedua gendang telinga (membran timpani yang terletak di belakang dan di
bawah kedua mata). Katak diberi waktu 10-15 menit agar bebas dari keadaan “shock”,
kemudian reaksi-reaksi seperti pada keadaan umum dicatat kembali.

3. Perusakan medulla oblongata (spinal)


Untuk merusak medulla oblongata, kepala ditusuk dengan menggunakan jarum
penusuk (sonde) mulai dari foramen magnum ke semua bagian di kranialnya. Rusak
serebelum dan medula oblongata dengan menusukkan jarum penusuk (sonde) kira-kira
1-1.25 cm (sesuaikan dengan besar katak, jangan sampai melebihi batas antara kepala
dengan punggung) ke belakang dari tempat pemotongan terakhir. Putarkan jarum
penusuk otak untuk merusak tenunan sarafnya. Perusakan medulla oblongata juga dapat
dilakukan dengan menggunting dan membuang seluruh bagian atas dari ruang mulut
dari ujung belakang rongga mulut ke atas tepat di belakang selaput pendengaran. Katak
diberi waktu sekitar 10 menit untuk kembali dari “shock” dan catat reaksi-reaksinya
kembali.

/
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Keadaan umum katak normal dan penekanan fungsi susunan saraf pusat secara mekanis

Parameter Katak Normal Katak Deserebrasi Katak Spinal

Sikap badan +++ (30°) +++ (45°) -

Spontan gerakan +++ ++ -

Keseimbangan (bangkit) +++ - -

Kemampuan berenang +++ ++ -

Frekuensi napas +++ + -

Frekuensi denyut jantung +++ +++ +++

(76 kali/menit) (64 kali/menit) (64 kali/menit)

Otak merupakan organ kecil yang berada di dalam kepala sebagai pusat sistem saraf dan
berfungsi sebagai pusat kendali dan koordinasi seluruh aktivitas tubuh (Amin 2018). Untuk
mengetahui kerja dari masing basing otak ini dilakukan percobaan dengan menggunakan katak
sebagai subjek uji coba. Perbandingan dilakukan dengan melihat perbedaan perilaku katak
normal, katak deserebrasi dan katak spinal. Katak deserebrasi merupakan katak yang dirusak
serebrumnya dan katak spinal berupakan katak yang hanya tersisa bagian medulla spinalis.
Pada katak normal, katak dapat bergerak sesuai yang diinginkan. Berdasarkan parameter
yang diamati, parameter-parameter tersebut memiliki hasil positif atau katak merespon dengan
baik. Hal ini dikarenakan Katak normal menunjukkan respon aktif pada semua perlakuan yang
diberikan karena tidak ada hambatan penyampaian stimulus oleh otak dan medulla spinalis ke
seluruh efektor (Adhyati 2011). Namun, ketika dilakukan deserebrasi, beberapa parameter
berubah diantaranya sikap badan, spontan gerakan, keseimbangan yang hilang, kemampuan
berenang berkurang, dan frekuensi napas berubah. Parameter yang paling terlihat merupakan
parameter yang dapat dilakukan ketika katak dalam keadaan sadar seperti kemampuan berenang
dan bangkit. Hal ini dikarenakan cerebrum merupakan bagian otak yang berfungsi sebagai
kegiatan/gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak, walaupun ada juga beberapa gerakan
refleks serta mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan (Purnamasari dan Santi 2017).

/
Pada katak spinal, banyak parameter yang menghilang. Namun terlihat nyata dalam data
jika sikap badan, spontan gerakan, dan keseimbangan yang hilang. Hal ini dapat terjadi karena
bagian otak yang rusak seperti Cerebellum ini terlihat karena mempunyai fungsi utama dalam
koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh (Purnamasari
dan Santi 2017). Gerakan spontan yang hilang juga dapat terjadi karena Medulla oblongata
merupakan bagian otak yang berfungsi akan respon refleks (Widyastuti dan Dwitasari 2017).
Frekuensi pernapasan pada katak normal masih sangat baik sedangkan pada katak
deserebrasi frekuensinya menurun, dan pada katak spinal frekuensi pernapasannya telah tidak
ada. Hal tersebut menunjukan bahwa pusat pernapasan terletak di antara cerebrum dan medulla
spinalis tepatnya pada medula oblongata. Medula oblongata berperan terutama dalam mengatur
fungsi respirasi, vasomotor dan kardia. Medulla spinalis juga berfungsi sebagai pengatur kerja
dari gerakan sistem-sistem organ (Marshall dan Hughes 1972).
Frekuensi denyut jantung dari katak pada perlakuan normal memiliki frekuensi 76
kali/menit, sedangkan frekuensi denyut jantung katak pada perlakuan perusakan cerebrum dan
medulla oblongata adalah sama, yaitu 64 kali/menit. Hal ini disebabkan oleh sifat utama otot
jantung yakni kemampuannya untuk membangkitkan sendiri impuls irama denyut jantung yang
disebut otomasi jantung. Pada amfibia dan reptilia, irama ditentukan oleh sinus venosus. Bagian
dari otak yang mengatur pergerakan denyut jantung ini sama dengan pusat pengaturan
pernapasan yaitu medulla oblongata. Sehingga hal tersebut dapat diartikan apabila suatu individu
telah kehilangan/rusak bagian dari medulla oblongatanya maka jantung individu tersebut masih
dapat berdetak dengan pacemakernya (Isnaeni 2006).
Handling mencit diawali dengan pengenalan operator yang akan menghandling dengan
membiasakan mencit akan sentuhan operator handling (Darusman et al. 2018). Mencit
merupakan hewan yang sensitif terhadap sentuhan (Lyden 2016). Oleh karena itu pengenalan
awal dengan keterbiasaan mencit terhadap sentuhan operator merupakan faktor penting agar
tikus mudah untuk di handling. Mengambil mencit dilakukan dengan mengangkat ekor terlebih
dahulu sebelum diletakkan di lengan. Hal ini dilakukan karena mengangkat ekor lebih dulu akan
mengurangi peluang tikus terlepas saat diangkat, dibanding memegang bagian tubuh lain (Lyden
2016). Handling mencit akan berbeda tekniknya berdasarkan rute obat yang akan diaplikasikan
pada mencit tersebut, yaitu per oral, subkutan, intraperitoneal, intramuskular, dan intravena
seperti pada Tabel 2.

/
Tabel 2. Handling mencit saat mengaplikasikan obat dengan berbagai rute

No. Gambar Handling mencit Rute obat

1. Peroral

2. Subkutan

3. Intraperitoneal

4. Intramuskular

5. Intravena

Pada rute per oral diberikan pada mencit dengan posisi mulut lurus dengan badan,
sehingga meminimalisir iritasi dan mempermudah ketika memasukkan spuit ke dalam mulut
hingga lambung. Rute subkutan dilakukan dengan menjepit kulit mencit di bagian tengkuk. Rute
intraperitoneal dilakukan pada mencit dengan posisi terlentang atau perut ke arah atas. Rute
intramuskular (otot paha) dilakukan pada mencit dengan posisi yang sama dengan intraperitoneal

/
namun butuh bantuan operator lagi untuk memegang kaki yang akan diinjeksi. Rute intravena
dilakukan pada ekor mencit karena mengandung banyak pembuluh darah di lokasi tersebut.

KESIMPULAN

Setiap bagian otak memiliki fungsi masing masing dalam mengatur kerja aktivitas tubuh.
Cerebrum memiliki peran dalam mengatur aktivitas yang dilakukan dalam keadaan sadar,
cerebellum mengatur keseimbangan dan posisi tubuh, medulla oblongata mengatur gerak refleks
dan pernapasan, serta medulla spinalis sebagai pengatur kerja dari gerakan sistem-sistem organ.
Kerusakan pada salah satu atau beberapa bagian otak akan mempengaruhi aktivitas tubuh. Faktor
penting dalam melakukan handling mencit adalah pengenalan awal dengan keterbiasaan mencit
terhadap sentuhan operator agar tikus mudah untuk di handling.

DAFTAR PUSTAKA

Adhyati S. 2011. Pengaruh Stimulus Kutaneus Slow Stroke Back Massage terhadap Intensitas
Nyeri pada Penderita Low Back Pain di Kelurahan Aek Gerger Sidodadi. Naskah Publikasi,
FK USU, Medan.

Agustina E. 2020. Memaksimalkan perkembangan dan potensi otak anak sejak dini. Journal of
Early Childhood Islamic Education. 3(2): 195-198.

Amin MS. 3018. Perbedaan struktur otak dan perilaku belajar antara pria dan wanita; eksplanasi
dalam sudut pandang neurosains dan filsafat. Jurnal Filsafat Indonesia. 1(1): 38-43

Awaludin A, Nugraheni YR, Nusantoro S. 2017. Teknik handling dan penyembelihan hewan
qurban. Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan. 2(2): 84-85.

Darusman HS, Nugroho SW, Munggaran FA, Sajuthi D. 2018. Teknik penanganan kendali
hewan sesuai kaidah kesejahteraan hewan meningkatkan akurasi pengukuran profil
termodinamika tikus laboratorium. Jurnal Veteriner. 19(2): 208-2016.

Isnaeni W. 2006. Fisologi Hewan. Yogyakarta (ID) : PT Kanisius.

Katzug BG. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta (ID): Salemba Medika.

/
Kurniawan SN, N Raisa, Margareta. 2018. Penggunaan Hewan Coba pada Penelitian di Bidang
Neurologi. Malang (ID): UB Press.

Layden F. 2016. Handling methods of laboratory mice and rats [skripsi]. Bogor (ID): Swedish
University of Agricultural Sciences.

Marshall PT, Hughes GM. 1972. The Physiology of Mammals and Other Vertebrates. England
(UK) : Cambridge University Press.

Purnamasari R, Santi DR. 2017. Fisiologi Hewan. Surabaya (ID): Program Studi Arsitektur UIN
Sunan Ampel.

Siswandono, Soekardjo B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya (ID): Airlangga Press.

Suckow M, K Stevens, R Wilson. 2012. The Laboratory Rabbit, Guinea Pig, Hamster, and Other
Rodents. First Edition. Cambridge (UK): Academic Press.

Supradewi R. 2010. Otak, musik, dan proses belajar. Buletin Psikologi. 18(2): 58-60.

Widyastuti K, Dwitasari MAD. 2017. Neurofisiologi Batang Otak. Bali (ID): Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.

Wolfensohn S, M Lloyd. 2003. Handbook of Laboratory Animal Management and Welfare.


Third Edition. New Jersey (USA): Blackwell Publishing Ltd.

Anda mungkin juga menyukai