Paralel :5
2021
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Obat merupakan suatu subtansi yang melalui efek kimianya membawa perubahan
dalam fungsi biologi. Molekul obat berinteraksi dengan molekul khusus dalam sistem
biologi yang berperan sebagai pengatur dalam hal ini adalah reseptor (Wicita 2017).
Interaksi obat merupakan masalah yang perlu dicermati. Interaksi yang terjadi
kemungkinan dapat menyebabkan perubahan efek farmakologi suatu obat. Untuk
berinteraksi secara kimia dengan reseptornya, molekul obat harus mempunyai ukuran,
bentuk muatan listrik, dan komposisi atom yang sesuai (Sofia 2012).
Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan
melalui rute tertentu yang nyaman dan aman. Cara pemberian obat menentukan cepat atau
lambatnya dan lengkap atau tidaknya resorpsi obat oleh tubuh. Tergantung dari efek yang
diinginkan, yaitu efek sistemis (di seluruh tubuh) atau efek lokal (setempat), keadaan
pasien dan sifat-sifat fisika-kimia obat. Adapun beberapa rute pemberian obat diantara
peroral, parenteral, perinhalasi dan topikal (Sulanjani et al 2013)
Cara handling hewan dan teknik pemberian obat juga harus diperhatikan. Cara
memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan
oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya
akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips atau rasa sakit bagi hewan (ini akan
menyulitkan dalam melakukan penyuntikan) dan juga bagi orang yang memegangnya
(Sulaksono 1992). Hewan yang biasa dipakai dalam percobaan terkait pengujian obat
adalah mencit, katak atau tikus. Tikus merupakan hewan yang paling sering digunakan
sebagai model hewan pada penelitian biomedik dan tingkah laku karena tikus memiliki
sifat seperti masa gestasi singkat, masa hidup relatif singkat, jinak dan memiliki latar
belakang kesehatan dan genetik yang sudah diketahui (Husna et al 2019).
b. Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengetahui dan mempelajari tata cara handling dan
pemberian obat pada hewan labortorium, serta mengetahui fungsi cerebellum, cerebrum
dan medulla oblongata terhadap fungsi fisiologis pad tubuh.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh sistem saraf yakni dapat mengambil sikap terhadap adanya perubahan keadaan
lingkungan yang merangsangnya (Marcos dan Galuh 2016). Pemberian obat pada hewan harus
dilakukan restrain / handling yaitu suatu metode yang dilakukan dengan tujuan membatasi gerak
hewan dalam keadaan sadar agar hewan lebih tenang dan tidak memberontak sehingga aman untuk
dokter hewan yang memeriksa maupun bagi hewannya itu sendiri (Awaluddin et al 2017).
METODOLOGI
2. Prosedur Kerja
a. Pemberian Obat dan Penjelasan Hewan Coba
Pemberian obat dapat diberikan secara peroral, parenteral, perinhalasi, perektal dan
topical. Pemberiannya tergantung pada jenis obat dan jenis penyakit yang diobati.
Pemilihan hewan coba harus diketahui sifat – sifat hewan coba maupun cara
penanganannya serta cara pemberian obat. Seorang dokter hewan harus memiliki
kemampuan dalam hal cara pemberian obat yang baik sesuai dengan jenis hewan coba
tersebut.
Katak merupakan hewan percobaan yang jarang dipakai dalam penelitian –
penelitian farmakologik, namun dalam praktikum untuk mahasiswa di laboratorium,
katak memiliki peran yang penting, antara lain karena harga katak relatif murah
dibandingkan dengan hewan – hewan percobaan lainnya. Meskipun susunan saraf
pusat katak lebih sederhana dibandingkan dengan mamalia, tetapi prinsip – prinsip
dasar susunan saraf pusat dapat dipelajari dengan menggunakan katak. Seperti halnya
pada hewan yang berderajat tinggi, susunan saraf pusat katak dapat dibagi menjadi
beberapa bagian, yaitu prosensefalon, mesensefalon, rombensefalon, dan medulla
spinalis. Lebih lanjut prosensefalon masih dapat di bagi lagi menjadi dua, yaitu
telensefalon dan diensefalon. Telensefalon setelah melampaui masa embrional akan
berkembang menjadi serebrum. Daerah serebrum merupakan pangkal dari saraf otak I
(nervus olfaktorius) dan saraf otak II (nervus optikus). Bagian kulit serebrum (korteks
serebri) terdiri atas berpuluh – puluh area dengan fungsi yang berbeda – beda, antara
lain sebagai pusat sensorik, pusat motorik, pusat asosiasi, pusat kesadaran, pusat
penerima rangsang penglihatan, pusat pengatur tingkah laku dan pada hewan yang
berderajat lebih tinggi, juga merupakan pusat refleks bersyarat.
Katak normal disimpan di wadah / area terbuka yang luas, perhatikan posisi berdiri,
respon meloncat dan hitung frekuensi denyut jantung serta frekuensi pernapasan.
Kemudian katak ditaruh dengan posisi badan terbalik, perhatikan respon sikap kembali
ke posisi semula. Setelah itu katak ditaruh di atas papan kemudian gerakan papan ke
atas, ke bawah, ke kiri, dan kanan lalu perhatikan responnya. Selanjutnya, katak di
taruh diatas papan dengan masing – masing kaki ditusuk jarum pentul, selaput renang
pada kaki belakang dilukai lalu diberikan larutan asam dan perhatikan responnya
Reaksi Terhadap Asam Respon Respon sakit Ada (+) Tidak ada (-)
sakit kuat kuat
(++++)
(+++)
Tonus Otot Ada Ada (++) Tidak ada (-) Tidak ada (-)
(++++)
Refleks – Refleks Ada (+++) Ada (+++) Ada (+) Tidak ada (-)
BAB III
PEMBAHASAN
Cara pemberian obat turut menentukan cepat atau lambatnya dan lengkap atau
tidaknya resorpsi obat oleh tubuh. Rute pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat dan
tujuan dari penggunaan obat sehingga dapat memberikan efek terapi yang tepat. Terdapat
2 rute pemberian obat yang utama, enteral dan parenteral. (Sulanjani et al 2013)
Enteral
Enteral adalah rute pemberian obat yang nantinya akan melalui saluran cerna.
Peroral
Peroral: memberikan suatu obat melalui mulut adalah cara pemberian obat yang paling
umum tetapi paling bervariasidan memerlukan jalan yang paling rumit untuk mencapai
jaringan (Sulanjani et al 2013). Pada mencit pemberian obat per oral dengan cara
menempelkan sonde oral dilangit-langit mulut kemudian perlahan-lahan dimasukan hingga
esofagus (Stevani 2016)
Parenteral
Penggunaan parenteral digunakan untuk obat yang absorbsinya buruk melalui saluran
cerna, dan untuk obat seperti insulin yang tidak stabil dalam saluran cerna. Pemberian
parenteral juga digunakan untuk pengobatan pasien yang tidak sadar dan dalam keadaan
yang memerlukan kerja obat yang cepat. Pemberian parenteral memberikan kontrol paling
baik terhadap dosis yang sesungguhnya dimasukkan kedalam tubuh. (Sulanjani et al 2013)
1) Intravena (IV): suntikan intravena adalah cara pemberian obat parenteral yang sering
dilakukan. Untuk obat yang tidak diabsorbsi secara oral, sering tidak ada pilihan.
Dengan pemberian IV, obat menghindari saluran cerna dan oleh karena itu menghindari
metabolisme first pass oleh hati. Rute ini memberikan suatu efek yang cepat dan
kontrol yang baik sekali atas kadar obat dalam sirkulasi (Sulanjani et al 2013).
Pemberian obat melalui intravena pada mencit dapat dilakukan dengan menggunakan
jarum no.24 dan disuntikan pada ekor mencit. Sebelumnya mencit dihadling terlebih
dahulu ataupun dimasukan dalam kandang restriksi mencit. (Stevani 2016)
2) Intramuskular (IM): obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat berupa
larutan dalam air atau preparat depo khusus sering berpa suspensi obat dalam
vehikulum non aqua seperti etilenglikol. Absorbsi obat dalam larutan cepat sedangkan
absorbsi preparat-preparat depo berlangsung lambat (Sulanjani et al 2013). Pemberian
obat pada mencit dapat melalui intramuskular dengan cara obat disuntikkan pada paha
posterior dengan jarum suntik (Stevani 2016)
3) Subkutan: suntikan subkutan mengurangi resiko yang berhubungan dengan suntikan
intravaskular (Sulanjani et al 2013). Penginjeksian obat pada tikus secara subkutan
letakkan hewan tersebut diatas meja. Kemudian letakkan telapak tangan kiri perlahan
di belakangnya dan pegang kulit ditengkuknya dengan ibu jari dan telunjuk. Dengan
tangan kanan memegang jarum suntik, cucukkan jarum dalam lipatan kulit dengan
cepat. Ujung jarum semestinya bebas bergerak diantara kulit dan otot. Jika panjang
jarum yang digunakan itu sesuai, maka jarum tidak akan tercucuk terlalu dalam. Gerak-
gerakkan jarum dengan jari telunjuk dan ibu jari untuk menentukan posisi jarum pada
tempat yang tepat, kemudian suntiklah. Tarik jarum dengan tangan kiri, urut bagian
yang disuntik tadi. Pemberian obat secara sub kutan pada kelinci dapat dilakukan pada
sisi sebelah pinggang atau tengkuk dengan cara kulit diangkat dan jarum (25-26 g)
ditusukkan dengan arah anterior. Dengan volume pemberian makksimal 1% BB.
Penyuntikan subkutan pada mencit dapat pula dilakukan di bawah kulit abdomen selain
pada tengkuk (Refdanita et al 2018).
4) Intra peritoneal: suntikan intra peritoneal diatur sedemikian rupa sehingga letak kepala
lebih rendah daripada perut. Penyuntikan dilakukan pada garis tengah di muka kandung
kencing.
Lain-lain
1) Inhalasi: inhalasi memberikan pengiriman obat yang cepat melewati permukaan luas
dari saluran nafas dan epitel paru-paru, yang menghasilkan efek hampir sama dengan
efek yang dihasilkan oleh pemberian obat secara intravena. Rute ini efektif dan
menyenangkan penderita-penderita dengan keluhan pernafasan (Sulanjani et al 2013).
2) Topikal: Pemberian secara topikal digunakan bila suatu efek lokal (diatas permukaan
kulit) obat diinginkan untuk pengobatan (Sulanjani et al 2013).
3) Transdermal: Rute pemberian ini mencapai efek sistemik dengan pemakaian obat pada
kulit, biasanya melalui suatu “transdermal patch”. Kecepatan absorbsi sangat
bervariasi tergantung pada sifat-sifat fisik kulit pada tempat pemberian (Sulanjani et
al 2013).
2. Keadaan Umum Katak Normal dan Penekanan Fungsi Susunan Saraf Pusat Katak Secara
Mekanis
Data yang diperoleh berdasarkan hasil percobaan yaitu sikap posisi berdiri pada
katak normal sebesar 45 ̊ dengan kondisi kesadaran dan keseimbangan yang normal.
Terdapat respon gerakan refleks yang kuat ketika katak diposisikan di atas papan lalu
digerakan ke atas, ke bawah, ke kiri, dan ke kanan, hal ini dibuktikan dengan katak yang
meloncat ketika percobaan berlangsung. Selain itu, adanya respon rasa sakit yang kuat
setelah selaput renang kaki belakang dilukai dan diberi larutan asam. Frekuensi denyut
jantung yang diperoleh setelah perhitungan sebesar 81 kali/menit hal ini tidak jauh berbeda
dengan literatur yaitu sebesar 78 kali/menit (Purnamasari dan Muhammad 2019).
Susunan sistem syaraf secara umum dibagi menjadi saraf pusat yang terdiri dari
otak serta medulla oblongata, dan saraf tepi yang terdiri dari saraf cranial dan
caudal (Bahrudin 2013). Susunan saraf pusat merupakan pusat integrasi dan kontrol
seluruh aktifitas tubuh. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu otak besar otak besar
(serebrum), otak kecil (sereblum) dan otak tengah. (Khanifuddin 2012). Pengamatan pada
katak setelah dirusak serebrumnya mengalami beberapa perubahan pada kondisi tubuh
terutama pada kesadaran katak menjadi sangat berkurang. Hal tersebut dikarenakan
serebrum merupakan pusat kesadaran. Serebrum berfungsi untuk pusat pengendali
kegiatan tubuh yang disadari (Khanifuddin 2012). Menurut Amin MS (2018), serebrum
merupakan bagian otak terbesar yang merupakan pusat aktivitas mental seperti memori,
inteligensia, kesadaran, serta pertimbangan.
Serebellum pada otak lebih banyak mengandung neuron yang berfungsi sebagai
pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot melalui mekanisme kompleks dan
umpan balik juga memungkinkan sistem somatik tubuh bergerak secara tepat dan terampil
(Irfan 2012). Pengamatan pada katak setelah dirusak serebellumya keseimbangan gerak
katak sudah tidak berfungsi serta reaksi tonus otot sudah tidak ada, kalaupun ada umumnya
sangat kecil. Selain itu frekuensi pernapasan dan denyut jantung melemah hingga tidak
terdeteksi. Hal tersebut dikarenakan medula oblongata merupakan control center untuk
mengatur system pernapasan dan kardiovaskuler. Medulla oblongata adalah struktur yang
menghubungkan otak dengan medula spinalis (Bahrudin 2012). Pengamatan katak dengan
merusak medulla spinalis membuat perubahan pada aktifitas katak terutama pada indicator
gerakan spontan, refleks-refleks, dan reaksi terhadap asam. Katak sudah tidak menunjukan
adanya respon terhadap indicator tersebut. Hal tersebut dikarenakan medulla spinalis
merupakan pusat gerak refleks. Menurut Khafinuddin (2012), medulla spinalis berfungsi
sebagai penghantar impuls dari otak dan ke otak serta sebagai pusat pengatur gerak refleks.
3. Handling dan Pemberian Obat Pada Tikus
Pemilihan hewan coba dalam suatu penelitian juga merupakan salah satu faktor
penting dalam menunjang keberhasilan suatu penelitian. Setiap hewan coba memiliki
karakter yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda untuk
setiap jenis hewan coba tersebut. Kesalahan dalam penanganan akan dapat menyebabkan
trauma pada hewan coba tersebut. Kelinci adalah salah satu hewan percobaan yang sering
dipakai dalam suatu penelitian (Yudaniayanti et al 2010). Penanganan atau handling
kelinci perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dan lembut karena tulang kelinci lebih
rapuh jika dibandingkan dengan mamalia lain. Persentase tulang hanya 7-8 % dari total
massa tubuhnya (Hardati et al 2018).
Perlakuan handling pada kelinci tidak boleh dilakukan pada beberapa area, yaitu 1)
kelinci tidak boleh diangkat dengan mengangkat telinganya, karena teling kelinci memiliki
banyak syaraf dan pembuluh darah, sehingga kelinci akan kesakitan dan stress; serta 2)
kelinci tidak boleh ditarik pada bagian punuknya, karena kelinci akan merasa kesakitan.
Handling pada kelinci diawali dengan memegang bagian dada dan keki depan
menggunakan tangan kanan. Kemudian, kaki belakang kelinci juga dipegang karena kaki
belakang adalah sumber kekuatan kelinci. Setelah itu kelinci diangkat. Dalam mengangkat
kelinci pun harus dilakukan dengan hati-hati dan lembut, karena kelinci adalah hewan yang
mudah stress dan memiliki tulang mudah patah. Begitu pula dengan cara menurunkannya,
harus dilakukan dengan hati-hati dan lembut.
Pemberian obat pada kelinci dilakuak dengan perinjeksian intravena. Salah satu
vena yang bisa dilakukan perinjeksian adalah vena auricularis di telinga kelinci (Widyasari
et al 2014). Selain vena auricularis perinjeksian juga dapat dilakukan melalui vena
intraperitoneal (Yunani et al 2015)
Rattus (tikus) merupakan binatang percobaan yang umum dipakai dalam penelitian
ilmiah. Tikus yang sering digunakan adalah tikus putih, yang bersifat lebih tenang dan
mudah dikerjakan beberapa intervensi, tidak terlalu takut terhadap cahaya, serta tidak
begitu cenderung berkumpul sesama jenis. Kemudian, tikus merupakan binatang yang
cerdas, sehingga untuk meminimalkan trauma, baik pada peneliti maupun tikus,
dibutuhkan teknik handling yang baik (Rejeki et al 2018)
Tubuh tikus lebih besar dari pada mencit, sehingga operator perlu menggunakan
sarung tangan kain yang tebal untuk handling tikus, guna untuk mencegah luka akibat
gigitan tikus. Tikus dikeluarkan dari kandang menggunakan tangan kanan dengan cara
memegang ekor dan mengangkatnya. Setelah tikus berada diluar kandang, ekor tikus tetap
digenggam dan tangan kiri memfiksir bagian leher tikus diantara jari telunjuk dan jari
tengah, jari membentuk huruf “V”. Jika tikus sudah terfiksir dengan baik tikus tidak akan
bisa bergerak, lalu tikus diterlentangkan. Posisi kaki kanan tikus ada di antara ibu jari dan
telunjuk, sedangakan kaki kiri tikus berada di antara jari tengah dan jari manis. Genggaman
pada tikus dipastikan tidak mencekik leher dan tidak terlalu kencang agar tikus tidak
cedera.
Pemberian obat peroral dilakukan menggunakan sonde lambung dengan ujung
yang tumpul dan bengkok. Posisi kepala tikus dipastikan terlebuh dahulu untuk sejajar
dengan dengan tubuhnya. Hal tersebut dilakukan agar sonde lambung tepat masuk ke
dalam esophagus. Kemudian, sonde lambung dimasukan kedalam mulut dan hingga masuk
ke esophagus. Posisi sonde lambung tidak boleh berada hanya dimulut saja, karena obat
bisa dimuntahkan kembali. Jika sonde sudah mencapai esphagus, obat dimasukan secara
peralahan. Setelah obat dimasukan sesuai dengan takarannya sonde lambung dikerluarkan
secara perlahan. Lalu, setelah sonde lambung keluar tidak terlihat adanya cairan yang
keluar dari hidung, maka obat tepat masuk ke dalam lambung tidak ke dalam saluran
pernapasan.
Simpulan
Berdasarkan hasil diskusi dengan kelompok dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
hewan yang dipergunakan untuk kepentingan penelitian sebagai hewan coba. Hewan tersebut
adalah, mencit, tikus, katak, dan kelinci. Pemberian obat pada hewan coba dapat dilakukan dengan
berberapa metode atau rute, yaitu peroral, subkutan, intramuskular, peritoneal, intrakutan, dan
intravena. Dalam pemberian obat tersebut diperlukan perlakuan handling yang sesuai dan tepat
dengan jenis hewannya, agar tidak memberikan cedera bagi hewan maupun praktikan.
Daftar Pustaka
Amin M S. 2018. Perbedaan struktur otak dan perilaku belajar antara pria dan wanita; eksplanasi
dalam sudut pandang neuro sains dan filsafat. Jurnal Filsafat Indonesia. 1 (1): 38-44.
Hanik M. 2014. Analisis dan perancangan system informasi stok obat pada apotek arjowinangun.
Speed – Sentra Penelitian Engineering dan Edukasi. 11(2).
Hartadi EB, Dewi WK, Listyasari N, Purnama MTE. 2018. Studi morfometrik pada os scapula
hewan kelinci new zealand white (oryctolagus cuniculus). Jurnal Medik Veteriner. 1(3):
87-92.
Husna F, Suyatna FD, Arozal W, Purwaningsih EH. 2019. Model hewan coba pada penelitian
diabetes animal model in diabetes research. Pharmaceutical Sciences and Research
(PSR). 6(3): 131-141
Irfan M. 2012. Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Khafinuddin A.2012. Organ Pada Sistem Saraf. Malang (ID): UMM Press.
Marcos H, Galuh K. 2016. Sistem pakar diagnosis penyakit saraf pusat dengan metode forward
chaining. Jurnal Teknik Elektro. 8(2): 23 – 24.
Purnamasari S, Muhammad WS. 2019. Pengaruh zat kimia pada berbagai suhu terhadap denyut
jantung katak dalam upaya pengembangan buku petunjuk praktikum fisiologi hewan.
Bioscientist: Jurnal Ilmiah Biologi. 7(2).
Refdanita, Veryanti PR, Wulandari A, Muti AF, Sianturi S. 2018. Farmakologi. Jakarta (ID): ISTN
Press.
Rejeki PS, Putri EAC, Prasetya RE. 2018. Ovariektomi Pada Tikus dan Mencit. Surabaya (ID):
Universitas Airlangga Press.
Sofia V. 2012. Pengaruh Nattokinase® Terhadap Daya Kerja Metformin Hcl Pada Tikus Jantan
Galur Wistar. Jurnal Ilmiah Farmasi. 9(2): 41-46
Stevani H. 2016. Praktikum farmakologi. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 17 – 31.
Sulaksono ME. 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan
Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan. Jakarta (ID): Biomedis
Sulanjani I, Andini MD, Halim M. 2013. Dasar-dasar Farmakologi 1. Direktorat Pembinaan
SMK.
Supradewi R. 2010. Otak, musik, dan proses belajar. Buletin Psikologi. 18(2): 58 – 68.
Wicita PS. 2017. Aplikasi Xanthan Gum Dalam Sistem Penghantaran Obat: Review. Farmaka.
15(3): 73-85
Widyasari EM, Sriyani ME, Halimah I, Wongso H, Wibawa THA, Iswahyudi, Sidik A. 2014.
Evaluasi aspek farmasetik dan aktivitas antibakteri secara in-vitro kit diagnostik 99mtc-
kanamycin. Jurnal Iptek Nuklir Ganendra. 18(1): 1-9.
Yudaniayanti IS, Maulana E, Ma’ruf A. 2010. Profil penggunaan kombinasi ketamin-xylazine dan
ketamin-midazolam sebagai anestesi umum terhadap gambaran fisiologis tubuh pada
kelinci jantan. Veterinaria Medika. 3(1): 23-30.
Yunani R, Mudji EH, Apritya D. 2015. Perbedaan efektivitas anestetikum antara zoletil-
acepromacin dan ketamin-acepromacin pada tikus putih. Jurnal Kajian Veteriner. 3(2):
113-119.