Anda di halaman 1dari 24

BUKU PETUNJUK PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI
PRODI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO

PENYUSUN :

Intan Rahmania Eka D., M. Sc., Apt


dr. Astika Widy Utomo, M. Sc
Eva Annisaa, M. Sc., Apt
Ragil Setiadianingati, M. Sc., Apt
Widyaningrum Utami, M. Clin., Farm., Apt

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
PERATURAN PRAKTIKUM DARING

Mahasiswa akan dibagi dalam 2 kelompok tiap kelas. Semua peserta praktikum harus
menaati peraturan praktikum, sebagai berikut :

1. Online 5 menit sebelum praktikum dimulai.


2. Mengenakan pakaian rapi dan sopan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan di
lingkungan FK Undip
3. Sebelum praktikum akan diadakan pre-test.
4. Selama praktikum, para peserta:
- Bekerja dengan teliti
- Dilarang bersenda gurau atau membuang waktu saat nonton video, diskusi
maupun mengerjakan data
- Selama diskusi mahasiswa diminta untuk bertukar pendapat dengan sopan
- Dilarang meninggalkan teams tanpa ijin asisten/dosen
PERCOBAAN I
ANIMAL HANDLING

I. TUJUAN
Mahasiswa diharapkan mampu terampil bekerja dengan beberapa hewan
percobaan dan mengetahui karakteristik hewan coba.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Hewan percobaan adalah setiap hewan yang dipergunakan pada sebuah

percobaan biologis atau biomedis yang dipilih berdasarkan syarat atau standar

dasar yang diperlukan. Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian akan

mengalami penderitaan, yaitu: ketidaknyamanan, ketidaksenangan, kesusahan,

rasa nyeri, dan terkadang berakhir dengan kematian. Berdasarkan hal tersebut,

hewan yang dikorbankan dalam penelitian yang hasilnya dapat dimanfaatkan

oleh manusia patut dihormati, mendapat perlakuan yang manusiawi, dipelihara

dengan baik, dan diusahakan agar bisa disesuaikan pola kehidupannya seperti di

alam.

III. METODOLOGI PERCOBAAN

A. Bahan percobaan : Hewan coba : mencit, tikus dan kelinci


B. Prosedur Kerja
1. Mencit
Mencit diangkat dengan memegangnya pada ujung ekornya dengan
tangan kanan, dibiarkan menjangkau kawat kandang dengan kaki
depannya.
Dengan tangan Kiri kulit tengkuk dijepit diantara telunjuk dan ibu jari,
kemudian ekornya dipindahkan dari tangan kanan ke jari manis dan
jari kelingking tangan kiri, sehingga mencit cukup erat dipegang.

2. Tikus

Tikus dapat diperlakukan sama seperti mencit, hanya harus


diperhatikan bahwa bagian ekor yang dipegang adalah bagian pangkal
ekor. Tikus dapat dipegang dengan memegang perut.

Selain memegang perut, tikus diangkat dari kandangnya dengan


memegang ekornya dari belakang, kemudian diletakkan dipermukaan
kasar. Tangan kiri diluncurkan dari belakang tubuhnya, menuju
kepala, dan ibu jari diselipkan kedepan untuk menjepit kaki kanan
depan tikus antara jari dengan telunjuk.
Untuk melakukan pemberian obat hendaknya dilakukan tanpa ragu-
ragu, karena tikus akan menggigit apabila panik dan disudutkan.

3. Kelinci
Kelinci harus diperlakukan dengan halus namun sigap, karena dia
kecenderungan untuk berontak. Menangkap atau memperlakukan
kelinci jangan dengan mengangkat telinganya. Dipegang dan
ditangkap dengan tangan kiri pada leher dan diangkat pantatnya
dengan tangan kanan.
PERCOBAAN II
CARA PEMBERIAN DAN PEMAKAIAN OBAT

I. TUJUAN
1. Mengenalkan dan memberikan ketrampilan memberi dan memakai /
mangaplikasikan obat dari berbagai macam rute.

2. Mengenal dan mampu melakukan pemberian obat secara oral maupun


parenteral (injeksi : intramuskular ; intravena ; intraperitoneal ; subkutan)

3. Mengenal efek hipnotik dan anestetik suatu obat.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Phenobarbital (golongan Barbiturat) adalah suatu substansi kimia yang
mempunyai efek sedatif, hipnotik, dan anestetik. Barbiturat mendepresi aktifitas
syaraf pada otak bagian formatio reticularis. Selain itu, juga mem-fasilitasi serta
memperpanjang efek inhibitor GABA dan glycine, yaitu dengan berikatan dengan
suatu bagian reseptor GABA, sehingga memperpanjang durasi pembukaan
GABA-mediated chloride ion channel yang akhirnya menimbulkan efek depresi
syaraf.

III. METODOLOGI PERCOBAAN


A. Alat :
Beaker glass 600 cc ; papan lilin ; kapas; spuit dan needle steril; jarum
tumpul (sonde)
B. Bahan :
Na. Phenobarbital ; Binatang percobaan : tikus putih
C. Rencana Kerja :
Dosis yang diberikan yaitu Na. Phenobarbital 30 mg/kgBB. Obat ini diberikan
untuk mendapatkan efek hipnotik dan anestetik dengan berbagai cara
pemberian.

 Tikus A diberi 30 mg/KgBB per-oral, dimasukkan ke dalam esofagus


dengan perantaraan jarum tumpul (sonde).

 Tikus B diberi 30 mg/kgbb, i.m. pada otot gluteal.

 Tikus C diberi 30 mg/kgbb, i.v. pada vena ekor.

 Tikus D diberi 30 mg/kgbb, intra peritoneal.

 Tikus E diberi 30 mg/kgbb, subkutan.

Catat saat permulaan pemberian obat. Penyuntikan secara i.v. harus dilakukan
selambat mungkin, kira-kira 0,03 cc (1 strip) dalam 2 detik. Amatilah dan
catatlah saat timbulnya dan lamanya gejala-gejala :

1. Aktivitas spontan menghilang dengan respon terhadap stimuli yang masih


normal.
2. Aktivitas spontan menghilang dengan gerakan-gerakan tak terkoordinasi
terhadap stimuli tersebut.
3. Tak ada respon terhadap stimuli akan tetapi masih dapat berdiri.
4. Usaha untuk dapat berdiri dilakukan tetapi tidak berhasil.
5. Tak bergerak sama sekali dan tak ada usaha untuk berdiri.
PERCOBAAN III
OBAT OTONOM (MIOTIK DAN MIDRIASIS)

I. TUJUAN
1. Mengenal dan memahami efek beberapa obat yang mempengaruhi sistem otonom
2. Mengenal refleks fisiologis mata tanpa pengaruh obat
3. Mengenal berbagai obat otonom
4. Mengenal dan memahami pengaruh obat otonom pada organ mata dan organ
lainnya pada binatang percobaan

II. TINJAUAN PUSTAKA


Sistem saraf otonom merupakan bagian dari sistem saraf perifer tubuh yang bertugas
mengkoordinir pengaturan kerja dan integrasi fungsi-fungsi tubuh. Kedudukan
sistem otonom pada sistem saraf digambarkan pada diagram berikut :

(Picture taken from http://www.rsdinfo.com/anatomy_sketches.htm)

Sistem saraf otonom, terbagi dalam simpatis dan parasimpatis, bekerja di


involuntarily, di luar kesadaran manusia. Saraf ini tersusun atas neuron-neuron
motorik visceral (efferent) yang menginervasi otot polos organ-organ dalam, otot
jantung dan pembuluh darah, dan kelenjar eksokrin.

Pengaruh saraf otonom pada organ-organ tubuh digambarkan oleh diagram berikut:

(Picture taken from : http://www.dantest.com/img/dt/img/ab/ab1.gif)


Obat-obat yang efek terapeutik utamanya menyerupai atau mengubah fungsi system
saraf otonom disebut sebagai obat otonom.
Mata merupakan organ yang baik untuk menilai kerja obat-obat otonom. Pengaruh
obat otonom pada mata antara lain dapat diamati pada perubahan pupil
(miosis/midriasis).
Obat-obat simpatomimetik akan menyebabkan midriasis dan obat-obat
parasimpatomimetik akan menyebabkan miosis. Hal sebaliknya berlaku untuk obat-
obat simpatolitik dan parasimpatolitik. Selain pada mata, obat-obat tersebut juga
mempengaruhi organ-organ tubuh lainnya seperti pembuluh darah, kelenjar saliva,
motilitas usus, dan sebagainya.
III.METODOLOGI PERCOBAAN
A. Alat :
penggaris millimeter, pipet tetes, flashlight, kapas, kotak binatang coba
B. Bahan :
Atropin 1%, Pilocarpin 1%, aquades/larutan NaCl fisiologis
Kelinci
C. Cara Kerja
1. Pilih seekor kelinci, untuk memudahkan pekerjaan, kelinci dimasukkan
dalam kotak khusus dengan hanya bagian kepalanya yg tampak, atau ikat
kaki-kakinya dengan tali. Bulu mata digunting pendek agar tidak menjadi
penghalang selama percobaan. Kelinci dihadapkan ke arah yang tidak
mendapatkan sinar secara langsung supaya perubahan pupil dapat diamati
secara baik.
2. Periksa dan amatilah keadaan mata kelinci antara lain: lebar pupil, refleks
cahaya, refleks kornea dan keadaan pembuluh darah konjungtiva. Refleks
kornea diketahui dengan menyentuh bagian kornea dengan pilinan kapas
secara perlahan. Sedangkan refleks cahaya diketahui dengan memberikan
cahaya dengan flashlight. Keduanya dilakukan dari arah agak ke samping
mata. Setelah pemeriksaan dilakukan, percobaan dengan menggunakan
obat otonom dimulai.
3. Pilocarpin : Teteskan 2-3 tetes pilocarpin HCl 1% pada mata kelinci.
Perhatikan setiap menit ke 1, 5, 10, 15, dan 20. Ulangi penetesan bila perlu
sampai obat menimbulkan miosis. Perhatikan pula reaksi-reaksi lain yang
timbul seperti salivasi dan defekasi. Catat waktu ketika timbul reaksi-reaksi
tersebut.
4. Atropin : Teteskan 2-3 tetes atropine sulfat 1% pada mata kelinci.
Perhatikan setiap menit ke 1, 5, 10, 15, dan 20. Ulangi penetesan bila perlu
sampai obat menimbulkan midriasis. Lakukan pula pemeriksaan terhadap
refleks cahaya, refleks kornea dan keadaan pembuluh darah konjungtiva.
Perhatikan pula reaksi-reaksi lain yang timbul pada kelenjar ludah.
5. Setelah percobaan dengan obat-obat tersebut selesai, cucilah mata kelinci
dengan larutan NaCl fisiologis atau aquades.

PERCOBAAN IV

EFEK DIURETIK

I. TUJUAN
Mahasiswa mampu menganalisis efek diuresis dan menjelaskan efek diuresis
Furosemide dan Aminofillin
II. TINJAUAN PUSTAKA :
Diuretik merupakan substansi kimia atau obat yang mempunyai efek meningkatkan
produki urin. Beberapa golongan diuretik, yaitu : penghambat Carbonic Anhydrase,
diuretik Loop, diuretik Thiazide, diuretik Potassium-Sparing, diuretik Osmotik, dan
antagonis hormon antidiuretik (ADH). Furosemide (Lasix R) adalah diuretik yang
bekerja pada segmen Loop Henle tubulus ginjal dan mempunyai efek diuretik yang
kuat serta kerja yang singkat. Efek diuretik dari Furosemide mulai bekerja 0.5 -1 jam
setelah pemberian secara oral dan mencapai maksimum dalam waktu 1-2 jam
dengan durasi kerja obat 4 - 6 jam. Aminofillin adalah obat golongan
methylxanthine yang biasanya digunakan sebagai bronkodilator pada penderita asma
dan mempunyai efek diuretik yang sebenarnya merupakan efek samping samping
bersifat lemah. Efek diuresis pada umumnya oliguria atau anuria untuk sementara.
Figure 3.1 Tempat kerja obat diuretika (L.H. Opie, 2004)

Interaksi obat antara Furosemid dengan Probenesid sudah diketahui dengan baik.
Probenesid termasuk urikosurik yaitu obat yang berfungsi untuk meningkatkan
ekskresi asam urat. Kedua obat tersebut disekresi melalui urin oleh sistem transport
anion organik di ginjal. Pada pemakaian bersama, Probenesid akan menghambat
sekresi tubuli Furosemide.

III. METODOLOGI PERCOBAAN


A. Alat :
Bekerglass, papan lilin, kapas, kateter karet, spuit insulin (1 ml)
B. Bahan :

Furosemide ampul 2 ml 20 mg, Aminofillin ampul 10 ml 240 mg, alkohol,


akuabidest, Gentamicin inj., lar. Paraffin, air minum, Furosemid tab 20 mg.
Kelinci

C. Rencana Kerja

Percobaan ini dilakukan tanpa pembiusan binatang percobaan dan apabila


dikerjakan secara lege artis tidak menimbulkan rasa nyeri dan tidak melukai.

Timbanglah seekor kelinci jantan yang cukup besar, kemudian baringkan dan
ikatlah di atas tempat binatang dengan mata dibalut. Masukkan kateter karet
steril yang dilicinkan dengan parafin ke dalam kandung kencing. Perhatikan
supaya ujung kateter masuk ke dalam orificium urethrae externa dan jangan
sampai tersangkut di preputium.

Pada permulaan percobaan dan akhir dari tiap-tiap pengumpulan air kencing,
abdomen bagian bawah harus ditekan dengan perlahan-lahan supaya kandung
kencing menjadi kosong. Kumpulkan urin dalam tabung/silinder 25 cc selama
20 menit sesudah pengosongan kandung kencing dengan seksama, berilah salah
satu dari obat-obat di bawah ini :

A. Aquadest 0,25 cc/KgBB i.v.


B. Aminofillin 2,4% 0,25 cc/KgBB i.v.
C. Furosemide 1mg/kgBB i.v.
Suntikan diberikan melalui vena marginal di telinga kelinci tersebut.

Catatlah pengeluaran urin tiap 20 menit hingga akhir waktu praktikum.


Gambarlah suatu grafik dari jumlah urin yang keluar dalam cc/kgBB terhadap
waktu. Hitunglah presentase penambahan pengeluaran urin oleh masing-masing
obat bila dibandingkan terhadap kontrol. Sesudah percobaan, setiap kelinci harus
disuntik dengan Gentamicin.
PERCOBAAN V

HUBUNGAN DOSIS EFEK

I. Tujuan Instruksional :
A. Umum :
Setelah menyelesaikan percobaan mahasiswa dapat menganalisis hubungan dosis
dan efek yang terjadi dalam pengobatan.

B. Khusus :
Setelah menyelesaikan percobaan mahasiswa dapat:
 Menjelaskan konsep ED-50, LD-50 dan Indeks Terapi.
 Menjelaskan cara penentuan ED-50, LD-50 dan Indeks Terapi suatu obat.
 Menggunakan data ED-50, LD-50 dan Indeks Terapi suatu obat dalam prkatek
di klinik.

II. Definisi :
- ED-50 Dosis obat yang menyebabkan terjadinya suatu efek tertentu pada 50%
hewan percobaan
- LD-50 Dosis obat yang menyebabkan terjadinya kematian pada 50% hewan
percobaan
- Indeks Terapi adalah nilai keamanan suatu obat, ditentukan dengan rumus
Indeks Terapi = LD-50 / ED-50

III. Tinjauan Pustaka :


Hubungan antara dosis obat dengan efek yang ditimbulkan di klinik
biasanya cukup kompleks dan banyak faktor yang mempengaruhi. Baik pada
hewan maupun penderita, respon efek yang timbul biasanya meningkat secara
proporsional sesuai dengan besarnya dosis obat yang diberikan. Namun dengan
bertambahnya dosis obat, peningkatan respon akan berkurang dan akhirnya
tercapai dosis dimana respon tidak bisa ditingkatkan lagi. Apabila dosinya
ditingkatkan lagi, maka yang terjadi adalah timbulnya efek toksik sampai efek
letal.
Bila dosis yang diperlukan untuk menghasilkan respon spesifik ditentukan
dalam populasi subyek penelitian yang besar, akan didapat hubungan dosis respon
sbb:
100%

50%

Efektif Letal
5 10 20 40 80 160 320 DOSIS
Jika dibuat grafik log. Dosis, hasilnya berupa kurva sigmoid sbb.:

100%

50%

5 10 20 40 80 160 320 DOSIS


Dosis Efektif Median (ED-50) dan Dosis Letal Median (LD-50) dapat
diperoleh dari data tersebut. Dari kurva tersebut juga dapat ditentukan batas
keamanan (Margin of Safety) dari obat tertentu yang digunakan untuk
menghasilkan suatu efek spesifik. Suatu ukuran yang menghubungkan dosis obat
dengan efek yang tidak diharapkan disebut Indeks Terapeutik. Pada percobaan
binatang, Indeks Terapeutik didefinisikan sebagai rasio antara LD-50 terhadap
ED-50 untuk efek tertentu yang dituju dalam pengobatan. Tentu saja Indeks
Terapeutik pada manusia tidak pernah diketahui dengan pasti, tetapi hasil
percobaan pada binatang dapat digunakan dalam memperkirakan efektifitas suatu
obat dalam pengobatan di klinik

IV. Prinsip Percobaan


Pemberian Luminal Natrium 0,7% dengan variasi dosis 40 mg/kgBB, 80
mg/kgBB, 160 mg/kgBB, 320 mg/kgBB dan pemberian Luminal Na 2% dengan
dosis 640 mg/kgBB secara intraperitonial berdasarkan berat badan hewan
percobaan untuk mengetahui respon obat dengan pengamatan setiap interval
waktu 10 menit selama 90 menit dan menentukan indeks terapi.

V. Alat dan Bahan


5.1.1. Alat
- syringe 1 ml
- spidol permanent
- timbangan elektrik
- stopwatch
- beaker glass 25 ml
- erlenmeyer 10 ml
5.1.2. Bahan
- mencit 5 ekor
- aquadest
- luminal Na 0,7%
- luminal Na 2%

VI. Rencana Kerja :


1. Ditimbang hewan dan ditandai
2. Dihitung dosis dan diberikan :
 pada mencit I, Luminal Na 0,7%, dosis 40 mg/kgBB secara intraperitonial,
 pada mencit II, Luminal Na 0,7%, dosis 80 mg/kgBB secara intraperitonial,
 pada mencit III, Luminal Na 0,7%, dosis 160 mg/kgBB secara
intraperitonial,
 pada mencit IV, Luminal Na 0,7%, dosis 320 mg/kgBB secara
intraperitonial,
 pada mencit V, Luminal Na 2%, dosis 640 mg/kgBB secara intraperitonial
3. Diamati (menit ke berapa memberikan respon)
4. Dihitung LD50 dan Indeks terapi.

PERCOBAAN VI

ANALGETIKA

I. Tujuan Instruksional :
Setelah menyelesaikan percobaan mahasiswa dapat menganalisis efek analgetik
pada hewan uji
II. Tinjauan Pustaka :
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman,
berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri erat kaitannya dengan
inflamasi atau radang karena nyeri merupakan respon pertama munculnya
peradangan. Nyeri merupakan gejala penyakit yang timbul jika terdapat rangsang
mekanik, termal, kimia, atau listrik yang melampaui nilai ambang nyeri dan
menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan mediator nyeri seperti
bradikinin dan prostaglandin. Kemudian prostaglandin menimbulkan hiperalgesia,
sehingga mediator nyeri seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan
menimbulkan nyeri yang nyata (Mutschler, 1986; Wilmana, 1995).
Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi
atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan
anestetika umum). Asetosal merupakan salah satu analgetika perifer yang mampu
meringankan atau menghilangkan rasa nyeri dengan cara merintangi terbentuknya
rangsangan pada reseptor nyeri perifer (Tjay dan Rahardja, 2007). Mekanismenya
yaitu melalui penghambatan biosintesis prostaglandin dengan memblok enzim
siklooksigenase (Wibowo dan Gofir, 2001)

III. Metodologi Percobaan

1. Alat :

· Spuit injeksi 3 buah ( 1 cc )

· Stopwatch

· Mencit 2 ekor

2. Bahan :

· Larutan CMC Na

· Suspensi parasetamol 65 mg/kg BB


· Larutan sterill asam asetat 1 %

3. Cara Kerja :

1. Mencit dibagi menjadi 2 kelompok

2. Mencit 1 diberi larutan CMC-Na sebagai control negative

3. Mencit 2 diberi suspensi paracetamol secara subkutan

4. Setelah 2 mencit mendapatkan perlakuan , ditunggu hingga 30 menit .Kemudian


masing-masing di injeksikan asam asetat 1 % secara intra peritorial.

5. Setelah 5 menit diamati dan dicatat jumlah nyeri yang timbulpada mencit berupa
liukan badan (perut kejang dan kaki ditarik kebelakang )

6. Pengamatan jumlah liukan dilakukan setiap 5 menit selama 20 menit.

7. Dibandingkan hasil yang diperoleh anatar mencit 1 dan 2

8. Menghitung presentase daya analgesik dengan rumus

% daya analgesik = 100- (p/k x 100 )

Keterangan :

P : Jumlah kumulatif liukan mencit yang diberikan obat analgesik

K : Jumlah liukan mencit yang diberikan CMC-Na ( control negative )

PERCOBAAN VI

ANTIINFLAMASI
I. Tujuan Instruksional :

Setelah menyelesaikan percobaan mahasiswa dapat menganalisis efek


antiinflamasi pada hewan uji

II. Tinjauan Pustaka :

Inflamasi merupakan suatu respon protektif terhadap mikroorganisme,


trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika serta membuang sel dan
jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel. Tujuan akhir dari respon
inflamasi yaitu menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami
cedera agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang
masuk, membersihkan debris dan menyiapkan jaringan untuk proses
penyembuhan (Corwin, 2008; Robbins, 2004). Inflamasi dapat terjadi secara
lokal, sistemik, akut, maupun kronik. Respon inflamasi lokal ditandai dengan
bengkak, panas, sakit, dan kemerahan. Pada abad ke-2, Galen menambahkan
pertanda inflamasi yang kelima yaitu kehilangan fungsi jaringan yang mengalami
inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012).

Salah satu pengobatan gejala inflamasi menggunakan Non Steroid


AntiInflammation Drugs (NSAIDs), yaitu obat yang digunakan untuk
menghilangkan gejala nyeri, kemerahan, bengkak, panas, dan kehilangan fungsi
jaringan dari kondisi medis seperti arthritis, kram saat menstruasi, dan tipe lain
dari nyeri jangka pendek.

III. Metodologi Percobaan

a. Alat : Plestimometer, Spuit, Sonde, dan Spidol

b. Bahan

• Tikus

• Larutan Karagenin 1%
• Aquadest 2.5ml/20gBB

• Na diklofenak 6.75 mg/kgBB

3. Cara Kerja

1. Salah satu kaki belakang tikus diberi tanda dengan spidol, kemudian
diukur volumenya dengan cara mencelupkannya ke dalam tabug air
raksa pada alat plestimometer sampai dengan batas tanda tersebut (a
untuk na diklofenak dan b untuk aquadest).

2. Semua kelompok diberikan masing-masing bahan uji secara per oral


2.5 ml/200gBB

3. Selang 10-15 menit , kemudian pada masing-masing tikus diberikan


penginduksi udem larutan karagenin 1% sebanyak 0.1 ml secara
subkutan pada bagian dorsal kaki yang sama.

4. Volume kaki tikus diukur kembali pada setiap interval waktu 5 menit
sampai efek udemnya hilang.

Perhitungan :

%Penghambatan Udem Rata-Rata = {1- } x 100%}

Keterangan:

a = rata-rata volume telapak kaki tikus setelah diinduksi pada kelompok tikus
yang diberi obat
x = rata-rata volume telapak kaki tikus sebelum diinduksi pada kelompok tikus
yang diberi obat

b = rata-rata volume telapak kaki tikus setelah diinduksi pada kelompok tikus
yang tidak diberi obat

y = rata-rata volume telapak kaki tikus sebelum diinduksi pada kelompok tikus
yang tidak diberi obat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung, B.G. Basic & Clinical Pharmacology. Seventh Edition. Connecticut : Simon
& Schuster co. Appleton & Lange , 1998
2. Goodman , Gilman’s. The Pharmacological Basis of Therapeutics . Eighth Edition.
New York : Mac Millan Company , 1994
3. Mutschler, 1986, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Widianto, M.B dan Ranti, E.S.,
edisi V, Penerbit ITB, Bandung.
4. Neal, M.J. Medical Pharmacology at a Glance. Third Edition. Oxford : Blackwell
Science Ltd. , 1997
5. Tjay, H.T.,dan Rahardja K., 2007 , Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan
Efek- Efek Sampingnya, edisi IV . Dit. Jen. POM, Dep. Kes. RI, Jakarta, Hal 312
6. Wibowo, S., dan Gofir, A., 2001, Farmakoterapi Dalam Neurologi Edisi
Pertama,Salemba Medika, Jakarta, 114-115.
7. Wilmana, P.F., 1995, Analgesik-Antipiretik, Analgesik-Antiinflamasi Nonsteroid dan

Obat Piral, dalam Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F, D., Purwantyastuti,

Nafrialdi, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi, Fakultas

Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, 207- 220.

Anda mungkin juga menyukai