Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Obat didefinisikan sebagai senyawa yang
digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan
suatu kondisi tertentu misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka
selama pembedahan.
Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan. Sedangkan menurut
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bahan atau
paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis,
mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, atau
kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau
memperindah badan atau bagian badan manusia. Mayoritas obat bekerja secara spesifik
terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh.

Hewan yang digunakan diantaranya adalah mencit, tikus, kelinci, marmot. karakteristik
utama mencit : hewan mencit di laboraturium mudah ditangani ia bersifat penakut, fotofobia,
cenderung berkumpul sesamanya, mempunyai kecenderungan untuk bersembunyi dan lebih
aktif dimalam hari dari pada siang hari. Kehadiran manusia akan menghambat aktivitas
mencit. Suhu normal 37,4oC. Laju respirasi normal 163 kali tiap menit.

Karakteristik utama tikus : tikus relatif resisten terhadap infeksi dan cerdas. Tikus putih
pada umumnya tenang dan mudah ditangani. Ia tidak begitu bersifat fotofobik dibandingkan
dengan mencit,dan kecenderungan untuk berkumpul sesamanya, ukuran tidak begitu besar.
Aktivitasnya tidak begitu terganggu dengan adanya manusia disekitanya. Suhu tubuh normal :
37,5-38,00C. Laju respirasi normal 210 tiap menit. Bila diperlakukan kasar (atau apabila ia
mengalami defisiensi nutrisi) tikus menjadi galak dan sering menyerang si pemegang.

Karakteristik utama kelinci : kelinci jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan nyeri luar
biasa ia bersuara. Kelinci pada umumnya cenderung untuk berontak apabila merasa
1
keamanannya terganggu. Suhu rektal kelinci sehat adalah antara 38,5-40 0C, pada umunyan
39,50C. Suhu rektal ini berubah apabila hewan tersebut tereksitasi, ataupun karena gangguan
lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah 38-65 permenit, pada umumnya 50
(pada kelinci muda, laju ini dipercepat, dan pada kelinci bayi bisa mencapai 100 permenit).

Karakteristik utama marmot : marmot agak jinak tidak menimbulkan kesukaran pada waktu
dipegang dan jarang menggigit. Marmot yang sehat selalu bersikap awas: kulitnya halus dan
berkilat, tidak dikotori oleh feses maupun urin. Bila dipegang, bulunya tebal, kuat tapi tidak
kasar, marmot berdaging tebal. Tidak ada caran keluar dari hidung ataupun telinga, juga tidak
meneteskan air luar atau diare. Pernafasannya teratur dan tidak bersembunyi. Sikapnya dan
cata berjalannya normal. Dalam satu species, variasi bobot badan dan ukuran badan antara
sikap dan cara berjalannya normal. Dalam satu spesies, variasi bobot badan dan ukuran badan
antara tiap marmot yang berumur sama, tidak besar. Laju denyut jantung marmot normal
adalah 150-160 per menit, laju respirasi 110-115 per menit, dan suhu rektal antara 39-400C.

1.2 Tujuan Praktikum


Agar mahasiswa dapat menyelesaikan praktikum Farmakologi.
Agar mahasiswa dapat bekerja dengan beberapa hewan percobaan, yaitu mencit, tikus,
kelinci dan dapat melakukakn penyuntikan terhadap hewan percobaan.
Memahami berbagai prinsip farmakologi yang diperoleh secara teoritis.
Menghargai hewan percobaan serta menyadari pengaruh factor lingkungan, factor
perbedaan spesies terhadap hasil eksperimen farmakologi dan memahami keterbatasan
menganalogikan efek pada manusia.

1.3 Manfaat Praktikum


Dapat mengembangkan mahasiwa dalam memberikan penilaian dan menarik pembahasan
praktikum serta kesimpulan pada percobaan praktikum farmakologi.
Dapat memberikan pengetahuan edukasi dalam menangani hewan percobaan dalam
percobaan praktikum farmakolgi ini.

BAB II
EKSPERIMEN DASAR

1.1 Latar Belakang

2
Banyak obat, banyak juga cara pemberiannya kepada pasien. Sediaan per-oral sering kita
temukan dalam perkembangan pemberian obat. Namun, banyak Cara Pemberian & Minum Obat
ke pasien selain per-oral. Mengapa hal ini terjadi? Cara Pemberian Obat Ke Pasien didasarkan
beberapa faktor, diantaranya : Faktor Formulasi. Faktor zat aktif serta stabilitasnya menjadi
alasan bahwa obat dibuat dalam sediaan yang cocok untuk zat aktif tersebut.
Pemberian obat ikut juga dalam menentukan cepat lambatnya dan lengkap tidaknya resorpsi
suatu obat. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau
efek lokal (setempat) dan keadaan pasien serta sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih di
antara berbagai cara untuk memberikan obat.
Untuk Memberikan Efek Sistemik (Obat disebar ke seluruh tubuh)
1. Oral :
Yaitu pemberiannya melalui mulut, mudah dan aman pemakaiannya, lazim dan praktis, tidak
semua obat dapat diberikan per-oral, misalnya : Obat yang bersifat merangsang (emetin,
aminofilin) atau yang diuraikan oleh getah lambung (benzilpenisilin, insulin dan oksitoksin),
dapat terjadi inaktivasi oleh hati sebelum diedarkan ke tempat kerjanya, dapat juga untuk
mencapai efek lokal misalnya : obat cacing, obat diagnostik untuk pemotretan lambung usus,
baik sekali untuk mengobati infeksi usus. Bentuk sediaan oral : Tablet, Kapsul, Obat hisap, Sirup
dan Tetesan.
2. Injeksi :

Yaitu pemberiannya dengan jalan suntikkan, efek yang diperoleh cepat, kuat dan lengkap,
keberatannya lebih banyak dari pasien, alat suntik harus steril dan dapat merusak pembuluh darah
atau syaraf jika tempat penyuntikkannya tidak tepat. Terutama untuk obat yang merangsang atau
dirusak oleh getah lambung atau tidak tidak diresorpsi oleh dinding usus.

Cara Memberikan Obat Pada Hewan Percobaan :

A. Mencit
Oral :

3
Cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral, sonde oral ditempelkan pada langit - langit
mulut atas mencit kemudian masukkan perlahan - lahan sampai ke esophagus dan cairan obat
dimasukkan.
Subkutan :
Kulit di daerah tengkuk di angkat dan di bagian bawah kulit dimasukkan obat dengan menggunakan alat
suntik 1 ml.
Intra vena :
Mencit dimasukkan ke dalam kandang restriksi mencit dengan bagian ekor menjulur keluar.
Bagian ekor dicelupkan ke dalam air hangat agar pembuluh vena ekor mengalami dilatasi lalu pemberian obat ke
dalam pembuluh vena menjadi mudah. Pemberian obat dilakukan dengan jarum suntik no.24.
Intramuskular : Obat disuntikkan pada paha posterior dengan jarum suntik no.24.
Intra peritoneal :
Mencit dipegang dengan cara seperti pada 1.4.1, pada penyuntikkan posisi kepala lebih
rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan dengan sudut sekitar 10 dari abdomen pada daerah yang
sedikit menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak terkena kandung kemih dan tidak terlalu
tinggi supaya tidak terkena penyuntikkan pada hati.
Intramuskular (im)
Penyuntikan dilakukan dalam otot misalnya, penyuntikan antibiotika atau dimana tidak
banyak terdapat pembuluh darah dan syaraf, misalnya otot pantat atau lengan atas.

B. Tikus
Pemberian secara oral, intra muscular dan intra peritoneal dilakukan dengan cara sama pada mencit. Secara
sub kutan dilakukan penyuntikkan di bawah kulit tengkuk atau kulit abdomen dan pemberian secara intra
vena dilakukan pada vena penis ketimbang vena ekor.

Pengaruh Variasi Biologis Hewan Percobaan

4
Variasi biologis berarti tidak ada dua akan memberikan atau lebih sediaan uji yang
diharapkan akan memberikan hasil yang identic dan sediaan yang sama pada saat yang sama
diharapkan menimbulkan reaksi yang berbeda.

Ada 4 hal dilihat dalam menentukan hewan coba :


1. Umur
Bayi atau hewan yang baru lahir memiliki respon yang berbeda dengan hewan yang telah
dewasa. Disebabkan oleh pendewasaan organisme. Misalkan tikus, hamster, dan mencit. Hewan
tersebut terlahir dengan sawar otak yang secara fungsional tidak matang dan kadar amino tak
lebih rendah dari hewan dewasannya. Indikasi lain untuk membedakan hewan yang lebih muda
dan lebih tua dengan memberikan reseprin pada bayi tikus dan terjadi penggosongan katekolamin
otak, hal tersebut disebabkan oleh dosis resperin jauh lebih intensif pada hewan muda
dibandingkan dengan hewan yang lebih tua.
2. Spesies
Pemilihan spesies akan sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan penelitian. Percobaan
dilakukan ada yang menggunakan spesies yang relative kecil dan ada juga spesies yang
karasteristik yang unit yang memberikan keuntungan bagi peneliti obat spesifik. Sebagai contoh
monyet memiliki system respirasi dan thoraks yang sama dengan manusia. Setiap hewan berbeda
beda responnya, disebabkan oleh injeksi SC. Sebagai contoh respon obat pada kelinci dan tikus.
Pada kelinci darahnya yang membuat relative resistensi terhadap blockade atropine sedangkan
pada tikus terjadi reflex muntah.
3. Strain
Strain hewan yang memiliki aplikasi spesifik di dalam penelitian analog penyakit manusia,
termaksuk mencit yang gemuk secara genetis yang kurang peka terhadap ambilan diafragmatik
dan jaringan adipose terhadap glukosa radioaktif selama pembentukan glikogen. Aktivitas strain
mencit secara konsisten lebih rendah dari pada mencit jantan dansetiap strain yang diwariskan.
Strain tikus dapat diketahui dengan perbedaan konsentrasi sel darah putih yang beredar di dalam
darahnya.
4. Jenis Kelamin
Penelitian untuk menentukan perbedaan aktivitas biologis antara hewan jantan dan betina.
Betina memiliki siklus yang berhubungan dengan ovulasi misalnya siklus estrus begitu pula
dengan sebaliknya. Sebagai contoh pada tikus dianastesi dengan disuntikkan oksitosin. Selama

5
fase diestrus dan anestrus bersifat vasodilator. Namaun pada fase estrusoksitosin menyebabkan
vasokontrikisi dan menyebabkan kenaikan tekanan darah. Pada tikus jantang diketahui memiliki
aktivitas enzim yang lebih besar, seperti enzim aminopirin N-demitilasi dan disaat berumur 7
minggu mengalami ulkus lambung yang diinduksi oleh respire lebih nyata dibandingkan dengan
tikus betina pada umur yang sama.

1.2 Tujuan Percobaan

1. Agar mahasiswa dapat mengetahui cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute
pemberian obat.
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengaruh rute pembrian obat terhadap efek yang
timbul.
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan mengamati berbagai faktor yang memodifikasi
dosis obat.
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui dapat mengajukan hal-hal yang melandasi pengaruh
faktor-faktor ini.

1.3 Manfaat Percobaan


1. Dapat diketahuinya urutan efek obat dari rute dalam pemberian obat.
2. Dapat mengontrol dosis pemberian obat, bahkan untuk toleransi obat yang diperoleh
dalam pemberian obat tersebut.
3. Dapat mengetahui variasi biologik setra variasi kelamin dalam pemberian obat.

II.1 Cara Cara Pemberian Obat


6
I. Judul Percobaan : Cara-Cara Pemberian Obat

II. Tujuan Percobaan


a. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat.
b. Menyadari pengaruh rute pembrian obat terhadap efek yang timbul.
c. Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis akibat rute pemberian obat terhadap
efek yang ditimbulkan.
d. Mengenal manifestasi berbagai efek obat yang diberikan.

III. Prinsip Percobaan


Perbedaan rute atau cara-cara pemberian obat mempengaruhi cepat lambat efek
sedative-hipnotik yang ditimbulkan pada hewan percobaan.

IV. Manfaat Percobaan


a. Dapat mengetahui cara-cara pemberian obat.
b. Dapat mengetahui efek dari cara pemberian obat.

V. Teori
Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat,
karena karakteristika lingkungan fisiologis, anatomi dan biokimiawi yang berbeda pada
daerah kontak mula obat dan tubuh. Karakteristika ini berbeda karena jumlah suplay darah
yang berbeda; struktur anatomi dari lingkungan kontak antara obat-tubuh yang berbeda;
enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-
hal ini menyebabkan jumlah obat yang dapat mencapai kerjanya dalam jangka waktu tertentu
akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat.

Macam- Macam Rute Pemberian Obat


7
1. Rute Oral (melalui mulut)
Obat- obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang cocok dapat
relative mudah diproduksi dengan disamping itu kebanyakan pasien lebih menyukai
pemakaian ini, akan tetapi pemakaina obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar
diabsorbsi melaui saluran cerna atau iritasi mukosa lambung. Cara pemakaian obat
merupakam cara obat yang paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah.
Kerugiannya ialah banyak factor yang mempengaruhui biovaibilitasnya, obat dapat
mengiritasi saluran cerna dan perlu kerja sama dengan penderita, tidak bisa dilakukan bila
pasien koma.
2. Rute Subkutan (SK) (dibawah kulit)
Bagian kulit yang baik untuk cara pemberian ini adalah kulit disisi sebelah punggung
atau tengkuk.Hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi
jaringan.Absorpsi biasanya terjadi lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama.Obat
dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Obat dalam
bentuk padat yang ditanamkan di dalam kulit dapat diabsorpsi selama beberapa minggu atau
beberapa bulan.
3. Rute Intravena (kedalam pembuluh darah balik atau vena)
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor dengan menggunakan jarum suntik number 27.
Tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat,
dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif
hanya dapat diberikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relative tidak sensitive
dan bila disuntikan perlahan-lahan obat segera diencerkan oleh darah. Kerugiannya ialah
efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan.
Di samping itu obat yang disuntikkan IV tidak dapt ditarik kembali.
4. Rute Intraperitoneal (kedalam rongga perut)
Penyuntikan dilakukan pada bagian perut sebelah kanan.Penyuntikan ini tidak dilakukan
pada manusia karena bahaya infeksi dan adisi terlalu besar.
5. Rute Intamuskular (IM)
Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang
sukar larut dalam air pada pH fisiologik, misalnya : digoksin, fenitoin dan diazepam, akan
mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak

8
teratur. Obat yang larut dalam air diserap cukup cepat tergantung dari aliran darah di tempat
suntikan.

VI. Prosedur dan Hasil Pengamatan Praktikum

Rute oral :
1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital 50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum oral
Dosis 0,02 ml

2. Prosedur :
Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum oral yang telah dipasang pada alat suntik berisi obat,
diselipkan dekat langit-langit tikus dan diluncurkan masuk ke esophagus. Larutan diberikan
dengan menekan spuit pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak
melukai esophagus. Volume maksimum yang dapat diberikan adalah 5 ml/ 100 gram bobot
badan ( bb ).

Rute subkutan ( SK )
1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital 50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 3/4 1 inchi
Dosis 0,02 ml

2. Prosedur :
Penyuntikan biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen; seluruh jarum
disuntikkan langsung ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.
9
Rute Intra Vena ( IV )
1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital 50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 27, 3/4 1 inchi
Dosis 0,01 ml

2. Prosedur :
Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar sebelum
disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor dilatasi dengan penghangatan/
pengolesan memakai pelarut organic seperti aseton/ eter. Bila jarum suntik tidak masuk ke
vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat daerah sekitar penyuntikan terlihat memutih dan bila
piston alat suntik ditarik, tidak ada darahyang mengalir masuk ke dalamnya. Dalam keadaan
di mana harus dilakukan penyuntikan berulang, penyuntikan dimulai dari bagian distal ekor.

Rute Intra Peritoneal ( IP )


1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital 50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 27, 3/4 1 inchi
Dosis 0,02 ml

2. Prosedur :
Tikus dipegang tengkuknya sedemikian sehingga posisi badan abdomen lebih tinggi dari
kepala. Larutan obat disuntikkan ke dalam abdomen bawah dari tikus di sebelah garis
midsagital.

10
Rute Intra Muskular ( IM )
1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital 50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 1/2 inchi
Dosis 0,01 ml

2. Prosedur :
Larutan obat disuntikkan ke dalam otot sekitar gluteus maximus atau ke dalam otot paha lain
dari kaki belakang. Selalu perlu diperiksa apakah jarum tidak masuk ke dalam vena, dengan
menarik kembali piston alat suntik.

Rute Rektal
1. Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital 50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Kateter dari logam atau slikon, alat suntik 1 ml
Dosis 0,01 ml

2. Prosedur :
Kateter dibasahi lebih dahulu dengan paraffin atau gliserin, setelah itu masukan kateter
kedalam rectum tikus, sejauh kira-kira 4cm dan larutan obat di desak ke luar sehingga masuk
ke rektrum.

11
Hasil Pengamatan :

Hewa Obat Cara Dosis Pengamatan (waktu timbul efek)


Perubaha RR Seda Hipnoti Aneste N
n Pemberian
n + si p si
Aktivitas
Tikus Phenob Oral 0,02 ml Lebih - Menit Menit - -
Putih arbital Tenang ke-5 ke-17
Tikus Phenob IP 0,02 ml Tenang - Menit Menit - -
Putih arbital Sekali ke-15 ke-21
Tikus Phenob IM 0,01 ml Sedikit - Menit Menit - -
Putih arbital Aktif ke-6 ke-14
Tikus Phenob SC 0,02 ml Sedikit - Menit Menit - -
Putih arbital Tenang ke-9 ke-18
Tikus Phenob REKTAL 0,01 ml Masih - Menit Menit - -
Putih arbital Aktif ke-5 ke-15
Tikus Phenob IV 0,01 ml Lebih - Menit Menit - -
Putih arbital Tenang ke-3 ke-10
Perhitungan :

Perhitungan Dosis

- Konversi manusia ke tikus (200 gr = 0,018)

1. Oral
Dosis konversi Tikus = 50 mg x 0,018 = 0,9 mg/200g
200,5 mg
Berat Asli Tikus = 200 mg x 0,9 mg = 0,9 mg

0,9mg
Volume yang disuntikkan = 50 mg x 1 ml = 0,018 ml (0,02ml)

2. Intraperitoneal
Dosis konversi Tikus = 50 mg x 0,018 = 0,9 mg/200g
200 mg
Berat Asli Tikus = 200 mg x 0,9 mg = 0,99 mg

0,9mg
Volume yang disuntikkan = 50 mg x 1 ml = 0,018 ml (0,02ml)

3. Intramuskular
Dosis konversi Tikus = 50 mg x 0,018 = 0,9 mg/200g
120 mg
Berat Asli Tikus = 200 mg x 0,9 mg = 0,54 mg

12
0,54 mg
Volume yang disuntikkan = 50 mg x 1 ml = 0,01 ml

4. Subkutan
Dosis konversi Tikus = 50 mg x 0,018 = 0,9 mg/200g
210 mg
Berat Asli Tikus = 200 mg x 0,9 mg = 0,945 mg

0,945mg
Volume yang disuntikkan = 50 mg x 1 ml = 0,018 ml (0,02ml)

5. Rektal
Dosis konversi Tikus = 50 mg x 0,018 = 0,9 mg/200g
150 mg
Berat Asli Tikus = 200 mg x 0,9 mg = 0,675 mg

0,675mg
Volume yang disuntikkan = 50 mg x 1 ml = 0,0135 ml (0,01ml)

6. Intravena
Dosis konversi Tikus = 50 mg x 0,018 = 0,9 mg/200g
120 mg
Berat Asli Tikus = 200 mg x 0,9 mg = 0,54 mg

0,54 mg
Volume yang disuntikkan = 50 mg x 1 ml = 0,01 ml

Pertanyaan :
1. Cobalah jelaskan secara spesifik dengan contoh contoh mengenai karakteristik
lingkungan fisiologis, anatomis dan biokimiawi yang berada pada daerah kontak obat dan
tubuh.
Hubungkan kecepatan efek timbul pada berbagai CP dengan jumlah kecepatan suplai
darah, lokasi pemberian (struktur anatomi), adanya enzim enzim dan getah getah fisiologis
yang mempengaruhi obat?
Jelaskan secara lebih terperinci pengaruh kondisi kondisi pasien sehubungan dengan
pemilihan rute pemberian?
Jawab :
Jumlah suplai darah yang berbeda
Dengan adanya suplai darah yang berbeda maka mengakibatkan perbedaan kecepatan
distribusi. Semakin banyak suplai darah dalam individu maka semakin banyak obat yang
didistribusikan.

13
Struktur anatomi yang berbeda
Contoh : absorpsi obat diusus halus lebih cepat daripada dilambung karena permukaan
epitel usus halus jauh lebih luas dibandingkkan dnegan epitel lambung.
Akibatnya : efek obat lebih cepat bila bat diabsorpsi di usus halus daripada obat yang
diabsorpsi di lambung.

Enzim enzim dan getah getah fisiologis yang berbeda


Contoh : enzim enzim dari saluran cerna dan enzim enzim dalam hati
Akibatnya : semakin baik fungsi enzim maka jumlah obat yang mencapai sirkulasi
sistemik semakin banyak.
Lain lain
Contoh : pada pH saluran cerna , fungsi empedu
Akibatnya : semakin baik fungsi empedu maka kecepatan disintegrasi dan disolusi obat
semakin cepat.
2. Berikan beberapa contoh dimana sifat dan bentuk fisika, kimia obat menentukan cara
pemberiannya ?
Jawab :
Pada penderita yang tidak sadar atau muntah muntah diberikan obat secara suntikan
(I.V, I.P, I.M, S.C)
Pada penderita setengah sadar / pingsan diberikan obat secara oral
Pada penderita yang kondisinya sadar diberikan obat secara oral
Untuk memperoleh efek local diberikan obat secara topical.
3. Sebutkan implikasi praktis pada rute pemberian obat seperti menentukan dosis obat jika
dipilih rute pemberian tertentu?
Jawab :
Pemberian secara oral adalah obat obatan yang tidak rusak oleh asam lambung atau
empedu.
Pemberian secara subcutan jika diinginkan efeknya bertahan lama.

VII. Pembahasan

14
Pada datadata pengamatan cara-cara pemberian obat pada percobaan ini dapat
diketahui bahwa urutan efek sedative pada pemberian obat Phenobarbital yaitu Oral,
Rektal, intramuscular (IM), Subkutan (SC), intraperitonial (IP) memiliki efek yang lebih
lambat. Tetapi pada pemberian obat melalui intravena (IV) memiliki efek yang lebih cepat.
Sehingga didapatkan hasil berefek pada Oral pada menit ke-5, Rektal pada menit ke-5,
intramuscular (IM) pada menit ke-6, Subkutan (SC) pada menit ke-9, intraperitonial (IP)
pada menit ke-15. Sedangkan pemberian obat secara Intravena (IV) pada menit ke-3. Pada
urutan efek hipnotif pada pemberian obat Phenobarbital yaitu intramuscular (IM), Rektal,
Oral, Subkutan (SC), intraperitonial (IP) memiliki efek yang lebih lambat. Tetapi pada
pemberian obat melalui intravena (IV) memiliki efek yang lebih cepat.

Pemberian obat secara Intravena (IV) dapat memberikan efek lebih cepat dibandingkan
rute pemberian lainnya karena Intravena langsung menuju aliran darah atau langsung
melalui pembuluh darah dan tidak mengalami absorpsi terlebih dahulu. Oleh karena itu,
pada pemberian IP, SC, Rektal dan IM bisa saja obat tidak masuk pada pembuluh darah
dalam rongga perut, sehingga efek yang ditimbulkan lebih lambat daripada pemberian
Intravena (IV).

VIII. Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan :

Dari percobaan ini membuktikan bahwa cara pemberian obat melalui intravena (i.v)
memberikan efek lebih cepat dalam menimbulkan efek kerja dari obat karena Intravena
langsung menuju aliran darah atau langsung melalui pembuluh darah dan tidak mengalami
absorpsi terlebih dahulu, daripada pemberian Oral, IP, IM, SC, dan Rektal. Serta
dibutuhkan ketelitian dalam penyuntikan agar obat masuk kedalam pembuluh darah atau
organ target sehingga dapat memberikan efek yang diharapkan.

Saran :
Seharusnya dalam cara - cara pemberian obat memiliki efek yang lebih utama
menghasilkan efek obat yaitu melalui cara pemberian obat Intra Vena, Rektal, Intra
Peritoneal, Subkutan, Intra Muskular, dan yang terakhir menghasilkan efek yaitu melalui
cara pemberian obat oral. Dalam cara-cara pemberian obat harus lebih teliti dan harus

15
sesuai dengan dosis, kemudian harus tepat pada pemberiannya. Apabila tidak tepat dalam
pemberian maka efek yang ditimbulkan tidak sesuai dalam teori pada cara cara pemberian
obat farmakologi.

II.2 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Dosis Obat

I. Judul Percobaan : Beberapa faktor yang mempengaruhi dosis obat

II. Tujuan Percobaan :


a. Mengenal dan mengamati berbagai faktor yang memodifikasi dosis obat.
b. Dapat mengajukan hal-hal yang melandasi pengaruh faktor-faktor ini.
c. Dapat merumuskan pendekatan-pendekatan teoritis maupun praktis untuk mengoreksi
dan atau memanfaatkan pengaruh faktor- faktor ini.
d. Mengenal manifestasi berbagai efek obat yang diberikan.

III. Prinsip percobaan


Faktor-faktor yang mempengaruhi efek obat dapat dikelompokkan dalam dua kelompok
besar, yaitu factor-faktor internal pada penerimaan obat.

IV.Manfaat Percobaan
a. Untuk mengetahui faktor-faktor modifikasi obat.
b. Untuk mengetahui efek obat yang diharapkan.

V. Teori
Banyak faktor yang berpengaruh pada efek obat yang diberikan. Dalam eksperimen
atau percobaan Cara-cara Pemberian Obat, telah ditelaah factor ini pada efek obat. Dengan
demikian bahwa berbagai factor mempengaruhi dosis obat, maka hal ini hendaknya dengan
demikian dosis obat disesuaikan.

16
Faktor-faktor yang mempengaruhi efek obat dapat dikelompokkan dalam dua kelompok
besar adalah :
1. Faktor faktor lingkungan luar tubuh penerima obat.
2. Faktor faktor internal pada penerimaan obat.
Kedua factor ini pada dasarnya kaitmengait. Faktorfaktor lingkungan luar tubuh penerima
obat dapat membawa perubahan-perubahan fundamental dalam diri penerima obat, yang
memilih perubahan yang reversible.

Faktor faktor penerima obat yang dapat mempengaruhi efek obat, adalah :
a. Usia
b. Status fungsional
c. Struktural dari penerima obat
d. Kelamin
e. Bobot tubuh dan luas permukaan
f. Suasana kejiwaan penerima obat
g. Kondisi mikroflora saluran pencernaan

Faktor-faktor atau ciri superficial yang sama antara penerima obat ( contoh : usia, jenis
kelamin, bobot badan, dan luas permukaan tubuh yang sama, dosis sama, rute pemberian
sama) masih dapat diamati efek-efek farmakologi secara kuantitatif berbeda meskipun status
fungsional dan sruktural penerima obat adalah sama. Sebab itu diambilah kesimpulan bahwa
yang menyebabkan perbedaan-perbedaan ini adalah variasi bologik.
Seserorang dikatakan memperoleh toleransi terhadap suatu obat jika setelah pemberian
obat tersebut secara berulang-ulang, efeknya makin berkurang atau pada pemberian
selanjutnya diperlukan dosis yang lebih besar untuk tempat kerja obat terhadap efeknya.
Kemungkinan lain bahwa obat tersebut mampu mengimbas sintesa enzim-enzim tertentu
yang membiotransformasinya menjadi senyawa senyawa yang tidak efektif secara
farmakologi.

Dalam eksperimen ini hanya ditelaah pengaruh beberapa faktor, yaitu :


1. Variasi biologik

17
adalah variasi antar individu dalam besarnya respon terhadap dosis yang sama dari
suatu obat. Suatu Greated dose- effect curvae hanya berlaku untuk satu orang pada satu
waktu, tapi dapat juga merupakan nilai rata - rata dari populasi.
2. Toleransi yang diperoleh
Habituasi atau perkembangan toleransi terjadi jika setelah pemberian berulang suatu
obat, maka dosis harus dipertinggi untuk mencapai efek yang sama.
Perkembangan toleransi farmakokinetika
Penurunan efek terutama disebabkan oleh induksi enzym
Perkembangan toleransi farmakodinamika
Adanya perubahan kepekaan reseptor dan atau perubahan kerapatan reseptor
takhifilaksis terjadi jika perkembangan toleransi yang sangat cepat.
3. Variasi kelamin
Dapat mengakibatkan perbedaan perbedaan yang kuantitatif dalam efek
farmakologi obat. Perbedaan perbedaan yang kadang kala fundamental dalam peta
fisiologik dan bikimia antara jenis jantan dan betina menyebabkan hal ini, maka akan
berbeda efek obatnya.

VI. Prosedur dan Hasil Pengamatan


Variasi Biologik
1. Bahan dan Alat
Bahan : Obat diberikan : Phenobarbital 50mg/1ml, NaCL (Blanko), IP
Hewan percobaan : Tikus putih jantan untuk Obat dua ekor,
Tikus putih jantan untuk Blanko satu ekor
Alat : Alat suntik 1 ml, jarum suntik no 27 - 1 inch
Dosis : 0,01 ml

2. Prosedur :
Masing- masing tikus diamati selama 10 menit untuk menilai kelakuan normalnya.
Setelah itu tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian rupa sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala. Larutan obat disuntikan ke dalam abdomen bawah dari tikus di sebelah
garis midsagital.

18
Toleransi yang Diperoleh
1. Bahan dan Alat
Bahan : Obat diberikan : Phenobarbital 50mg/1ml, NaCL (Blanko)
Hewan percobaan : Tikus putih jantan, untuk obat dua ekor,
Untuk blanko satu ekor
Alat : Alat suntik 1 ml jarum suntik no 27, - 1 inchi
Dosis : 0,01 ml
Rute : IP

2. Prosedur :
Tikus pertama disuntik dua kali sehari dengan Phenobarbital selama tiga hari. Tikus
kedua disuntik dengan Penobarbital sehari selam tiga hari. Tikus ketiga diberikan blanko
yaitu NaCL. Pada hari ke-3 , yaitu 18 jam sampai 20 jam setelah penyuntikan intra peritoneal
semua tikus disuntik dengan Pentotal Na, secara IP.

Variasi Kelamin
1. Bahan dan Alat
Bahan : Obat diberikan : Phenobarbital 50mg/1ml
Hewan percobaan : Mencit putih jantan putih dan betina, masing-masing tiga
ekor, usia 2 bulan, Bobot tubuh sekitar 30 gram
Alat : Alat suntik 1 ml, jarum suntik no 27, - 1 inchi
Dosis : 0,01 ml
Rute : IP

2. Prosedur :
Sebelum disuntik, masing masing mencit diamati selama 10 menit kelakuan normalnya,
setelah onbat disuntikkan masing masing mencit ditempatkan kembali dalam bersama-
sama kaca untuk pengamatan.

Hasil Pengamatan
1. Variasi Biologik

Hasil pengamatan :

19
No Hewan Obat Cara Dosis Pengamatan
Sebelum Sesudah
. Pemberian
1. Tikus I Phenobarbital Intraperitoneal 0,01 ml Aktif Tidak Lemas
2. Tikus II Phenobarbital Intraperitoneal 0,01 ml Aktif Sedasi
3. Tikus III NaCl(Blanko Intraperitoneal 0,01 ml Hiperaktif Tidak ada efek
) (Tetap Hiperaktif)

2. Toleransi yang Diperoleh

Hasil pengamatan :

Hari Pertama

No Hewan Obat Cara Dosis Pengamatan


(disuntik setelah 15 menit)
. Pemberian
Sedasi Hipnotik
1. Tikus I NaCl(Blanko) Intraperitoneal 0,01 ml Sangat aktif, Sedasi , tidak bunyi
bunyi
2. Tikus II Phenobarbital Intraperitoneal 0,01 ml Aktif, bunyi Sedasi, tidak bunyi
3. Tikus Phenobarbital Intraperitoneal 0,01 ml Sangat aktif, Aktif, tidak bunyi
III bunyi
Hari Kedua

No Hewan Obat Cara Dosis Pengamatan


(disuntik setelah 15 menit)
. Pemberian
Sebelum Sesudah
1. Tikus I NaCl(Blanko Intraperitoneal 0,01 ml Aktif, bunyi Sedasi , bunyi
)
2. Tikus II Phenobarbital Intraperitoneal 0,01 ml Aktif, bunyi Sedasi, tidak
bunyi
3. Tikus III Phenobarbital Intraperitoneal 0,01 ml Aktif, bunyi Aktif, tidak bunyi
Hari Ketiga

No Hewan Obat Cara Dosis Pengamatan


(disuntik setelah 15 menit)
. Pemberian
Sebelum Sesudah
1. Tikus I NaCl(Blanko Intraperitoneal 0,01 ml Aktif Lemas pada
) waktu 20 menit
2. Tikus II Phenobarbital Intraperitoneal 0,01 ml Aktif Lemas pada

20
waktu 30 menit
3. Tikus III Phenobarbital Intraperitoneal 0,01 ml Sangat aktif Lemas pada
waktu 40 menit
Perhitungan Dosis

I Tikus I (Berat 180g)


Larutan yang digunakan : NaCl
Perhitungan Dosis : 0,018 x 50 = 0,9/200g
180/200 x 0,9 = 0,81mg
Vol. yang disuntik : 0,81/50 = 0,016 ml.

II Tikus II (Berat 100g)


Larutan yang digunakan :Phenobarbital
Perhitungan Dosis : 0,018 x 50 = 0,9/200g

100/200 x 0,9 = 0,45mg

Vol. yang disuntik : 0,45/50 = 0,009ml

III Tikus III (Berat 130g)


Larutan yang digunakan : Phenobarbital
Perhitungan Dosis : 0,018 x 50 = 0,9/200g

130/200 x 0,9 = 0,58mg

Vol. yang disuntik : 0,58/50 = 0,01166ml

Pertanyaan

1 Kemukakan tiga contoh obat yang menimbulkan toleransi untuk pemberian berulangnya
dan berikan mekanisme terjadinya tolerani masing-masing obat tersebut.
2 Jenis toleransi apa lagi yang dikenal dan bagaimana mekanismenya ? sebutkan juga
contoh-contohnya
3 Bagaimana implikasi klinik dari toleransi yang diperoleh

Jawaban :

21
1 Fenilbutazon: dapat menyebabkan toleransi karena dapat menginduksi enzim
biotransformasinya.
Fenobarbital: sama seperti fenilbutazon, tetapi efek toleransinya lebih lambat untuk
muncul.
Morfin: kasus ketergantungan morfin sering muncul karena pemakaian terus-menerus.
Selain karena induksi enzim, toleransi morfin juga dapat disebabkan karena efek
psikologis yang menuntut tubuh untuk mengonsumsi morfin dalam jumlah yang lebih
besar.
2 Toleransi primer (bawaan), terdapat pada sebagian orang dan binatang tertentu, misalnya
kelinci sangat toleran untuk antropin.
Toleransi berlawanan. Tipe toleransi yang malah meningkatkan efek obat pada pemberian
berulang. Misalnya efek amfetamin pada peningkatan aktivitas motoric Toleransi
sekunder, yang bisa timbul setelah menggunakan suatu obat selama beberapa waktu.

3. Variasi Kelamin

Hasil pengamatan :

Hewan Cara Obat Dosis Hasil Pengamatan


5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Pemb
erian
Mencit IP Phenob 0,003 RR+ - - - - - - - - - - - -
Jantan arbital
Mencit IP Phenob Seda - - - + - + + + + + + +
Jantan arbital si
Mencit IP Phenob Hipn - - - - + + + + + + + +
Jantan arbital otik
Mencit IP Phenob 0,002 RR+ - - - - - - - - - - - -
Jantan arbital
Mencit IP Phenob Seda - - - - + + + + + + + +
Jantan arbital si
Mencit IP Phenob Hipn - - - - + + + + + + + +
Jantan arbital otik
Mencit IP Phenob 0,004 RR+ - - - - - - - - - - - -
Jantan arbital
Mencit IP Phenob Seda - - - - + + + + + + + +
Jantan arbital si
Mencit IP Phenob Hipn - - - - + + + + + + + +

22
Jantan arbital otik
Mencit IP Phenob 0,002 RR+ - - - - - - - - - - - -
Betina arbital
Mencit IP Phenob Seda - - - - - + + + + + + +
Betina arbital si
Mencit IP Phenob Hipn - - - - - - + + + + + +
Betina arbital otik
Mencit IP Phenob 0,002 RR+ - - - - - - - - - - - -
Betina arbital
Mencit IP Phenob Seda - - - - - - + + + + + +
Betina arbital si
Mencit IP Phenob Hipn - - - - - - + + + + + +
Betina arbital otik
Mencit IP Phenob 0,002 RR+ - - - - - - - - - - - -
Betina arbital
Mencit IP Phenob Seda - - - - - + + + + + + +
Betina arbital si
Mencit IP Phenob Hipn - - - - - - + + + + + +
Betina arbital otik

Perhitungan :

Perhitungan dosis
Berat badan mencit jantan :
I : 21 gram
II : 19 gram
III : 19 gram
50 x 0,0026 : 0,13 mg/ml
I : 21/20 x 0,13 = 0,136 mg/ml
50/ml = 0,136/v = 0,00272 ~ 0,003ml

II : 19/20 x 0,13 = 0,123 mg/ml


50/ml = 0,123/v = 0,00246 ~ 0,002ml

23
III : 19/20 x 0,13 = 0,123 ~ 0,004ml

Berat badan mencit betina :

I : 19 gram

II : 19 gram
III : 18 gram

I : 19/20 x 0,13 = 0,123 mg/ml


50/ml = 0,123/v = 0,002 ml

II : 19/20 x 0,13 = 0,123mg/ml


50/ml = 0,123/v = 0,002 ml

III : 18/20 x 0,13 = 0,117mg/ml


50/ml = 0,117 = 0,00234 ~ 0,002ml

Pertanyaan :

1 Bahas implikasi klinik dari perbedaan kelamin


Jawaban : perbedaan-perbedaan yang kadang kala fundamental dalam pola fisiologi dan
biokimia antara jenis jantan dan betina yang menyebabkan hal ini.

VII. Pembahasan
1. Variasi Biologik
Dalam percobaan praktikum pada variasi biologik didapatkan hasil praktikum
yaitu menggunakan tiga tikus yang tikus 1 dan tkus 2 diberi obat Phenobarbital dan tikus
3 diberikan NaCL. Pemberian obat melalui IntraPeritoneal. Dalam praktikum ini dosis
yang diberikan 0,01 ml, dan sehingga didapatkan hasil pada tikus 1 dan tikus 2 yang
awalnya aktif setelah disuntikkan obat Phenobarbital tikus tersebut tidak lemas ataupun
tidak menimbulkan efek dari obat tersebut. Sedangkan pada tikus 2 setelah disuntikkan
obat maka menghasilkan efek sedasi. Pada tikus 3 yang disuntikkan NaCL yang awalnya
tikusnya hiperaktif juga tidak menimbulkan efek.
2. Toleransi yang Diperoleh

24
Dalam percobaan praktikum ini dilakukan pengamatan selama tiga hari. Dalam
percobaan ini digunakan tikus 1 disuntikkan NaCl dan pada tikus 2 dan 3 disuntikkan obat
Phenobarital sehingga diperoleh data hasil sesuai hasil pengamatan selama tiga hari.

3. Variasi Kelamin
Pemberian phenobarbital pada mencit jantan tidak menimbulkan efek righting
reflex.
Sedangkan pada menit 20-25 menit phenobarbital telah memberikan efek sedasi
pada mencit jantan.
25 30 menit phenobarbital telah memberikan efek hipnotik pada mencit jantan.
Pemberian phenobarbital pada mencit betina tidak menimbulkan efek righting
reflex.
Untuk efek sedasi baru menimbulkan efek pada menit ke 30 pada mencit betina
Untuk efek hipnotik pada mencit betina baru dapat memberikan efek pada menit
ke 35 pada pemerian obat phenobarbital.
Untuk mencit jantan dan betina tidak memberikn efek righting reflex pada
pemerian obat phenobarbital.
Baik efek sedasi maupun efek hipnotik mencit jantan lebih cepat memberikan efek
dibandingkan dengan mencit betina pada pemerian phenobarbital.
VIII. Kesimpulan
1. Variasi Biologik
Variasi biologic adalah variasi antar individu dalam besarnya respon terhadap dosis
yang sama dari suatu obat. Suatu Greated dose- effect curvae hanya berlaku untuk satu
orang pada satu waktu, tapi dapat juga merupakan nilai rata - rata dari populasi. Dalam
praktikum ini dosis yang diberikan 0,01 ml, dan sehingga didapatkan hasil pada tikus 1
dan tikus 2 yang awalnya aktif setelah disuntikkan obat Phenobarbital tikus tersebut tidak
lemas ataupun tidak menimbulkan efek dari obat tersebut. Sedangkan pada tikus 2 setelah
disuntikkan obat maka menghasilkan efek sedasi. Pada tikus 3 yang disuntikkan NaCL
yang awalnya tikusnya hiperaktif juga tidak menimbulkan efek.
2. Toleransi yang Diperoleh
Toleransi yang diperoleh adalah habituasi atau perkembangan toleransi terjadi jika
setelah pemberian berulang suatu obat, maka dosis harus dipertinggi untuk mencapai efek
yang sama.

Perkembangan toleransi farmakokinetika


Penurunan efek terutama disebabkan oleh induksi enzym
Perkembangan toleransi farmakodinamika
25
Adanya perubahan kepekaan reseptor dan atau perubahan kerapatan reseptor
takhifilaksis terjadi jika perkembangan toleransi yang sangat cepat. Dalam percobaan
praktikum ini dilakukan pengamatan selama tiga hari. Dalam percobaan ini digunakan
tikus 1 disuntikkan NaCl dan pada tikus 2 dan 3 disuntikkan obat Phenobarital sehingga
diperoleh data hasil sesuai hasil pengamatan selama tiga hari.

3. Variasi Kelamin

Variasi kelamin adalah dapat mengakibatkan perbedaan perbedaan yang


kuantitatif dalam efek farmakologi obat. Perbedaan perbedaan yang kadang kala
fundamental dalam peta fisiologik dan bikimia antara jenis jantan dan betina
menyebabkan hal ini, maka akan berbeda efek obatnya.
II.3 Dosis Obat Dan Respon

I. Judul Percobaan : Dosis Obat dan Respon

II. Tujuan Percobaan :


A. Mahasiswa akan memperoleh gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk memperoleh
ED50 dan LD50.
B. Mahasiswa memahami konsep indeks terapi dan impilkasinya.

III. Prinsip Percobaan


Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya meningkat jika dosis obat yang diberikan
kepadanya juga ditingkatkan.

IV. Manfaat Percobaan


- Dapat mengetahui takaran obat untuk sekali pakai dalam jangka waktu tertentu.
- Dapat mengetahui ukuran pengobatan yang harus diberikan.
- Dapat mengetahui pengaruh obat setelah diberikan khusunya untuk DE50 dan DL50.

V. Teori

Untuk suatu terapi obat yang bermanfaat maka pemberian dosis yang cukup merupakan
syarat pemberian dosis yang cukup berarti pemberian dosis demikian rupa sehingga
mencapai efek yang diinginkan tanpa dosis yang berlebihan dan dengan demikian tanpa efek
samping toksik yang seharusnya dapat dicegah.

Karena efek yang ditimbulkan oleh suatu obat dalam organisme bergantung kepada
konsentrasi pada tempat kerja dan dengan demikian pada suatu dosis harus diperhatikan

26
sejauh dosis tertentu, bergantung pada bobot badan, maka dosis harus diberikan tepat
( misalnya : pada senyawa dengan luas terapi yang kecil ) walaupun demikian, untuk
memudahkan aturan pemberian dosis, umumnya pada orang dewasa didasarkan pada bobot
badan rata rata 70 kg.

Keberhasilan terapi obat selama periode tertentu bergantung kepada dicapainya


konsentrasi zat berkhasiat yang terletak pada daerah konsentrasi terapeutik.

ED50 yang telah sering dikemukakan ( dosis efektive 50 ) adalah dosis yang menyebabkan
dicapai separuh ( 50 % ) dari efek maksimum atau dosis yang menyebabkan 50 % dari obyek
percobaan menunjukkan efek yang diharapkan.

LD50 ( dosis letal 50 ); suatu hal yang berbeda dengan ED 50 yaitu dosis yang menyebabkan
50 % dari hewan percobaan mati. Luas terapeutik suatu senyawa merupakan ukuran
keamanan antara efek terapeutik dan efek toksik : makin tidak berbahaya suatu obat makin
besar luas terapeutiknya. Biasanya ini diberikan dalam bentuk koefisien terapeutik ( indeks
terapeutik ) sebagai hubungan dari LD50 terhadap ED50.

Kuosien terapeutik : LD50

ED5

Menurut teori pendudukan reseptor ( reseptor occupancy ), intensitas efek obat


berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intensitas efek
mencapai maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat. Oleh karena toleransi obat
reseptor ini analog dengan interaksi substrat enzym, maka di sini berlaku persamaan
Michaelis Menten :

E = EMAX [ D ] E = Potensial efek obat

KD + [ D ] Emax = efek maksimal

[ D ] = kadar obat bebas

KD = K2 = konstantan disosiasi kompleks obat -

K1 reseptor

Bila KD = [ D ], maka E = Emax [ D ] = 1 Emax


27
[D]+[D] 2

Hubungan antara kadar atau dosis obat yaitu [ D ], dan besarnya efek E terlihat sebagai
kurva dosis-intensitas efek yang berbentuk hiperbola. 1 menunjukan afinitas

KD

Obat terhadap reseptor, artinya kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptornya
( kemampuan obat untuk membentuk kompleks obat reseptor ). Jadi, makin besar KD
( dosis yang menimbulkan efek maksimal ), makin kecil afinitas obat terhadap
reseptornya. Emax menunjukkan aktivitas intriksik atau efektivitas obat, yakni kemampuan
intriksik atau efektivitas obat, yakni kemampuan intriksi kompleks obat reseptor untuk
menimbulkan aktivitas dan atau efek farmakologik.

Hubungan dosis dan intensitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah sederhana
karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek. Efek anti hipertensi
misalnya merupakan kombinasi efek terhadap jantung, vascular, dan system syaraf.
Walaupun demikian, suatu kurva efek kompleks dapat diuraikan ke dalam kurva kurva
sederhana untuk masing masing komponennya. Potensi menunjukkan rentang dosis obat
yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh 1) kadar obat yang mencapai reseptor,
yang tergantung dari sifat farmakokinetik obat dan 2) afinitas obat terhadap reseptornya.
Efek maksimal ialah respon maksimal yang ditimbulkan obat bila diberikan
pada dosis yang tinggi.

VI. Prosedur
1. Bahan dan Alat
Bahan : Obat diberikan : Phenobarbital 100ml/2ml
Hewan percobaan : mencit jantan, bobot badan berkisar 150-155 gram.
Alat : Alat suntik 1 ml, jarum suntik no 27 - 1 inchi

2. Prosedur :
Hewan dibagi 6 kelompok. Tandai masing masing mencit hingga mudah dikenali.
Dosis yang digunakan lazimnya meningkat dengan factor perkalian 2. Dosis yang
diberikan sebagai berikut.
28
KELOMPOK DOSIS ( mg/ kg )

I 8,75

II 17,5

III 35

IV 70

V 140

VI 240

Konstruksi grafik dosis - respon

Pada kertas grafik cantumkan pada basis, dosis yang digunakan dan pada ordinat
persentase hewan yang memberikan efek ( righting reflek hilang/ kematian ) pada dosis yang
digunakan.

Dengan memperhatikan sebaran titik titik pengamatan, gambarkan grafik dosis respon
yang menurut perkiraan saudara paling representative untuk fenomen yang diamati.
Turunkan dari grafik yang diperoleh ED50 tiopental untuk menghilangkan righting reflek
pada mencit yang lazimnya dinilai sebagai saat mmulai tidur da bila ada. Juga LD50-nya.

VII. Hasil Pengamatan

Hasil Pengamatan :

Cara Hasil Pengamatan


Hewan Obat
penyuntikan Sedatif RR+ Hipnotik Anastesi Mati
Mencit I IV Phenobarbital 07:10 13:00 24:46 29:10 -
Mencit II IV Phenobarbital 14:40 14:55 23:31 29:15 -
Mencit III IV Phenobarbital 33:14 33:28 37:18 39:41 -
Mencit IV IV Phenobarbital 42:49 42:49 44:53 46:21 -
Mencit V IV Phenobarbital 09:42 12:03 23:16 29:21 -
29
Mencit VI IV Phenobarbital 17:22 18:42 24:26 39:25 -
Perhitungan :

Phenobarbital = 50 mg/ml

Pengenceran Phenobarbital = 50ml/ml + air 10ml Atau V1 . M1= V2 . M2

50
=5 mg/ml
= 10 1 . 50 mg = 10 . M2

50
=5 mg/ml
M2 = 10

Perhitungan Dosis Konversi manusia ke mencit (20 gr = 0,0026)

1 Mencit 1
Dosis konversi Mencit = 8,75 mg/kg x 0,0026 = 0,02275 mg/kg
19 mg
Berat Asli mencit = 20 mg x 0,02275 mg/kg = 0,021 mg/kg

0,021mg
Volume yang disuntikkan = 5 mg x 1 ml = 0,0043 ml

2 Mencit 2
Dosis konversi Mencit = 17,5 mg/kg x 0,0026 = 0,0455 mg/kg
18 mg
Berat Asli mencit = 20 mg x 0,0455 mg/kg = 0,04 mg/kg

0,04 mg
Volume yang disuntikkan = 5 mg x 1 ml = 0,008 ml

3 Mencit 3
Dosis konversi Mencit = 35 mg/kg x 0,0026 = 0,091 mg/kg
17 mg
Berat Asli mencit = 20 mg x 0,091 mg/kg = 0,077 mg/kg
0,077 mg
Volume yang disuntikkan = 5 mg x 1 ml = 0,015 ml

4 Mencit 4
Dosis konversi Mencit = 70 mg/kg x 0,0026 = 0,182 mg/kg
17 mg
Berat Asli mencit = 20 mg x 0,182 mg/kg = 0,154 mg/kg
0,154 mg
Volume yang disuntikkan = 5 mg x 1 ml = 0,0309 ml

30
5 Mencit 5
Dosis konversi Mencit = 140 mg/kg x 0,0026 = 0,364 mg/kg
20 mg
Berat Asli mencit = 20 mg x 0,364 mg/kg = 0,364 mg/kg
0,364 mg
Volume yang disuntikkan = 5 mg x 1 ml = 0,0728 ml

6 Mencit 6
Dosis konversi Mencit = 240 mg/kg x 0,0026 = 0,642 mg/kg
18,6 mg
Berat Asli mencit = 20 mg x 0,624 mg/kg = 0,580 mg/kg

0,580 mg
Volume yang disuntikkan = 5 mg x 1 ml = 0,116 ml

Pertanyaan :

1 Bagaimana menghitung indeks terapi suatu obat?


Jawab: Indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam pernyataan berikut :
Indeks terapi = TD50 atau CD50
ED50 ED50

2 Berikan diskusi konsep indeks terapi dari segi efektifitas dan keamanan pemakaian obat
Jawab: Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek
toksik pada seorang pun pasien, oleh karena itu Suatu ukuran obat, obat yang memiliki
indeks terapi tinggi lebih aman dari pada obat yang memiliki indeks terapi lebih rendah
TD50 : Dosis yang toksik pada toksik 50% hewan yang menerima dosis tersebut,
kematiaan merupakan toksisitas terakhir.
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang
diberi dibawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan didapatkan efek. Respon
tergantung pada efek alami yang diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek
pada intensitas tersebut. Seperti obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat
penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperature badan dan tekanan darah dapat
diukur.

Hubungan dosis efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitivitas indivdu yang
sedang menggunakan obat tersebut. Sebagai contoh untuk mendapatkan efek yang sama
kemungkina dibitihkan dosis yang berbeda pada individu yang berbeda. Variasi individu
dalam sensitifitas secara khusus mempunyai efek semua atau tak satupun sama.
31
Hubungan frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitifitas pada individu sebagai
suatu rumusan yang ditunjukan pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi kumulatif
(total jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis pemberian) diplotkan dalam
logaritma maka akan menjadi bentuk kurva sigmoid. Pembengkokan titik pada kurva berada
pada keadaan dosis satu-separuh kelompok dosis yang sudah memberikan respon. Range
dosis meliputi hubungan dosis-frekuensi memcerminkan variasi sensitivitas pada individi
terhadap suatu obat.
Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subyek manusia dapat ditemukan
karena terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu yang berbeda. Untuk
menentukan variasi biologis, pengukauran telah membawa pada suatu sampel yang
representative dan didapatkan rata-ratanya. Ini akan memungkinkan dosis terapi akan
menjadi sesuai pada kebanyakan pasien.
Indeks teraupetik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena nilai yang besar
menunjukkan bahwa terdapa suatu batas yang luas / lebar diantara dosis-dosis yang toksik.

3 Diskusikan implikasi terapi suatu obat dengan kurva dosis respon yang terjal dan yang datar
Jawab:

4 Sebutkan beberapa pendekatan untuk memperbesar ketelitian eksperimen ini, khususnya


untuk DE50 dan DL50
Jawab: Untuk menyatakan toksisitas akut sesuatu obat, umumnya dipakai ukuran LD50
(medium lethal dose 50) yaitu suatu dosis yang dapat membunuh 50% dari sekelompok
binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis efektif (dosis terapi) yang umum
digunakan sebagai ukuran ialah ED 50 (median effective dose), yaitu dosis yang memberikan
efek tertentu pada 50% dari sekelompok binatang percobaan. Indeks terapi adalah rasio
32
antara dosis toksik dan dosis efektif atau menggambarkan keamanan relatif sebuah obat pada
penggunaan biasa. Diperkirakan sebagai rasio LD50 (Dosis Lethal pada 50% kosis) terhadap
ED50 (Dosis efektif pada 50% kasus). Sedangkan jendela terapeutik adalah kisaran
konsentrasi plasma suatu obat yang akan menghasilkan respon atau jarak antara MEC dan
MTC. Untuk mengetahiu indeks terapi suatu obat dengan memberikan tingkatan dosis/ dosis
yang berbeda pada hewan uji.

BAB III

EFEK LOKAL OBAT

1.1 Latar Belakang

Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan. Sedangkan menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bahan atau paduan bahan-
bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, atau kelainan badaniah dan
rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian
badan manusia.
Mayoritas obat bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang juga
obat yang bekerjanya secara menyeluruh. Berdasarkan efek obat yang diberikan obat kepada
tubuh, maka obat dibagi menjadi :
1. Obat yang berefek sistemik adalah obat yang memberi pengaruh pada tubuh yang bersifat
menyeluruh (sistemik) dan menggunakan sistem saraf sebagai perantara. Obat ini akan bekerja
jika senyawa obat yang ditentukan bertemu dengan reseptor yang spesifik.
2. Obat yang berefek non-sistemik (lokal) merupakan obat yang mempunyai pengaruh pada
tubuh bersifat lokal atau pada daerah yang diberikan obat. Contoh obat ini adalah obat-obat
yang bersifat anestesi lokal ataupun transdermal.
Berbagai produk obat yang bersifat lokal dibuat bertujuan untuk menghilangkan segala
sensasi yang tidak menyenangkan pada bagian yang spesifik di tubuh. Beberapa contoh dari
produk tersebut bersifat anastetik ataupun obat-obat yang diberikan secara transdermal.
Anastetika lokal atau yang dikenal dengan zat penghilang rasa setempat adalah obat yang pada
penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls saraf ke SSP dan dengan

33
demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau dingin.
Anastetika pertama adalah kokain, yaitu suatu alkaloid yang diperoleh dari daun suatu tumbuhan
alang-alang di pegunungan Andes (Peru). Setelah tahun 1892, perkembangan anastetik meningkat
pesat hingga ditemukan prokain dan benzokain, dan derivat-derivat lainnya seperti tetrakain dan
cinchokain. Anastesi bekerja dengan menghindarkan untuk sementara pembentukan dan tranmisi
impuls melalui sel saraf dan ujungnya. Anastetik lokal juga dapat menghambat penerusan impuls
dengan jalan menurunkan permeabilitas sel saraf untuk ion natrium.
Beberapa kireteria yang harus dipenuhi suatu jenis obat yang digunakan sebagai anestetika
lokal :
a. Tidak merangsang jaringan
b. Tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf
c. Toksisitas sistemik rendah.
d. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir
e. Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama dan dapat larut dalam air dan
menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap pernapasan (sterilisasi).
Selain anestesi, obat-obatan yang digunakan melalui transdermal pun mayoritas
menggunakan prinsip efek lokal yang hanya mengobati/mencegah rasa yang tidak nyaman pada
bagian yang diolesi/ditempelkan obat. Transdermal merupakan salah satu cara administrasi obat
dengan bentuk sediaan farmasi/obat berupa krim, gel atau patch (koyo) yang digunakan pada
permukaan kulit, namun mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit (trans
= lewat, dermal = kulit) Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan itu
bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh senyawa-senyawa kaustik,
misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi gas atau uap pada
saluran napas. Efek lokal ini menggambarkan perusakan umum pada sel-sel hidup.
Cara penggunaan obat yang memberi efek lokal adalah:
a. Inhalasi, yaitu larutan obat disemprotkan ke dalam mulut atau hidung dengan alat seperti :
inhaler, nebulizeer atau aerosol.
b. Penggunaan obat pada mukosa seperti: mata, telinga, hidung, vagina, dengan obat tetes, dsb.
c. Penggunaan pada kulit dengan salep, krim, lotion, dsb.

III.1 Efek Obat Pada Membran dan Kulit Mukosa

I.2 Prinsip percobaan

34
1. Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada
keratin kulit, sehingga bulu mudah rusak dan gugur
2. Zat-zat korosif bekerja dengan cara oksidasi, mengendapkan protein kulit sehingga kulit
akan rusak
3. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula, karena
koefisien partisi yang berbeda-beda dalam berbagai pelarut dan juga karena permaebilitas
kulit akan mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan
4. Zat-zat yang bekerja adstringen bekerja dengan cara mengkoagulasi protein, sehingga
permaebilitas sel-sel pada kulit yang dikenakannya menjadi turun, dengan akibat
menurunnya sensitivitas di daerah tersebut

I.3 Alat dan Bahan

Bahan : Untuk efek


Menggugurkan bulu : Kulit tikus
Korosif : Usus dan kulit tikus
Fenol dalam berbagai pelarut : Jari-jari tangan
Astringen : Mukosa mulut
Alat :
Alat-alat bedah : Batang pengaduk, kertas saring, wadah kaca, pipet tetes.

UNTUK EFEK OBAT


Menggugurkan bulu Larutan Natrium hidroksida 10%; K2S 20%; Veet cream
(Dae Health Lab. Ltd., London, England) Lainnya ;
Korosif Larutan raksa (II) klorida 5%; Larutan fenol 5%; Larutan
natrium hidroksida10%; Asam sulfat pekat; Asam klorida
pekat; Tingtura iod; Larutan perak nitrat 1%.
Fenol dalam berbagai Larutan fenol 5% dalam air; Larutan fenol 5% dalam
pelarut etanol; Larutan fenol 5% dalam gliserol ; Larutan fenol
5% dalam lemak.
Astringen Larutan tanin 1%.

I.4 Prosedur

1. Efek menggugurkan bulu


a) Tikus terlebih dahulu dikorbankan, lalu diambil kulitnya, kemudian kulit dibuat
potongan masing-masing 2,5 x 2,5 cm dan diletakkan diatas kertas saring
b) Keatas potongan kulit ini diteteskan larutan-larutan obat yang digunakan
c) Setelah beberapa menit, dengan batang pengaduk dilihat, apakah ada bulu yang gugur
2. Efek korosif

35
a) Tikus yang sudah dikorbankan, ususnya diambil, dipotong-potong sepanjang 5 cm.
letakkan diatas kertas saring yang lembab, kemudian diteteskan cairan-cairan obat
b) Setelah 15 menit, cairan yang berlebihan pada potongan usus diserap dengan kertas
saring
c) Potongan-potongan kulit tikus yang baru diambil, direndam selama 15 menit dengan
cairan obat
d) Potongan-potongan kulit tersebut dibilas dengan air dan cairan yang berlebih diserap
dengan kertas saring

3. Efek lokal fenol dalam berbagai pelarut


a) Beaker glass telah disiapkan diisi dengan larutan-larutan fenol
b) Serentak dicelupkan 4 jari tangan selama 5 menit, kedalam wadah kaca tersebut
c) Bila jari terasa nyei sebelum 5 menit, segera jari diangkat dan dibilas dengan etanol

4. Efek adstringensia
a) Mulut dibilas atau dikumur dengan larutan tannin 1%

Hasil pengamatan

1. Efek menggugurkan bulu


a) Catat bau asli dari zat-zat yang diguanakan
b) Perhatikan bau, sifat kaustik dan efek menghilangkan bulu serta efek lain dari zat-zat
tersebut pada jaringan yang digunakan. Catat saat terjadi efek setelah pemberian
c) Tabelkan hasil pengamatan

Percobaan Bahan Larutan obat Efek diamati


percobaan Bau awal Kaustik/gugur Efek lain
diberikan pada kulit
bulu (menit)
Gugur bulu Kulit tikus Larutan NaOH 20% Menyengat 2 menit Iritasi, penipisan
pada kulit
Larutan K2S 20% Khas Sulit menggugur Kulit mengeras
Veet cream Menyengat 5 menit -
2. Efek korosif
a) Amati sifat korosif dari obat-obat yang digunakan
b) Perhatikan sejauh mana terjadi kerusakan pada jaringan
c) Catat hasil yang diamati

percobaan Bahan Larutan obat diberikan Pengamatan


Sifat korosif Kerusakan pada jaringan
percobaan pada usus
korosif Usus tikus Larutan Raksa (II) Korosif Pucat, menipis
klorida 5%
Larutan fenol 5% Kurang korosif Membesar dan berwarna
36
merah
Larutan natrium Kurang korosif Berwarna pudar
hidroksida 10%
Asam sulfat pekat Sangat korosif Sangat rusak, tipis, kaku,
kering
Asam klorida pekat Sangat korosif Warna sangat pucat, kaku
dan mengkerut
Tingtur iod Kurang korif Tipis, pucat, kaku
Larutan perak nitrat 1% korosif Pucat dan melepuh
3. Efek lokal fenol dalam berbagai pelarut
a) Rasakan sensasi yang dialami jari-jari tangan, misalnya rasa tebal, dingin, panas dsb.
b) Tabelkan jenis sensasi yang terjadi dan saat terjadinya

Percobaan Bahan Jari tangan dicelupkan pada beaker Pengamatan


Rasa sensasi jari tangan yang
percobaan glass yang telah diisi
timbul . menit
Fenol dalam Jari tangan Larutan fenol 5% dalam air 4 menit : gatal
Larutan fenol 55% dalam etanol 20 detik : dingin
berbagai
Larutan fenol 5% dalam gliserin 48 detik : tebal
pelarut 2 menit : dingin, panas
Larutan fenol 5% dalam minyak lemak 3 menit : tebal
4. Efek adstringensia
a) Rasakan jenis sensasi yang dialami dialam mulut
b) Catat apa yang dirasakan

Percobaan Bahan percobaan Larutan obat di kumur Pengamatan


pada mulut
Efek Mulut untuk kumur Tannin 1% Terasa kesat dan khelat
adstringen

Pertanyaan :

1. Apakah ada perbedaan bau dari obat obat menggugurkan bulu sebelum dan sesudah
digunakan?
Jawab :
Tidak ada perbedaan dari bau obat menggugurkan baik sebelum maupun sesudah digunakan.

2. Mungkinkah suatu obat bekerja korosif tanpa menggugurkan bulu dan sebalikanya?
Jawab :

37
Hal itu mungkin saja terjadi, namun kemungkinannya hanya sedikit sekali. Obat yang
bekerja. Korosif akan mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/ membran mukosa akan
menjadi rusak. Hal ini juga akan berpengaruh pada organ rambut. Rambut merupakan
struktur protein yang kompleks, yang terdiri dari bermacam-macam jenis.

3. Sebutkan obat-obat lain yang dapat menyebabkan gugur bulu? Senyawa kimia lain yang
dapat menyebabkan korosif
Jawab :
Contoh lain obat yang dapat menyebabkan gugur bulu, yaitu eflornitin hidroklorida.
Beberapa contoh senyawa kimia yang dapat menyebabkan korosif, antara lain :
a. Basa kuat (alkali) : Sodium hidroksi, Pottasium hidroksi, Ammonium hidroksi, Kalium
hidroksida (pada pembersih wc), air abu pembuat mie / kue yang mengandung NaOH.
b. Asam sulfat, asam asetat, asam klorida

4. Sebutkan menurut saudara beberapa persyaratan yang sebaiknya dipenuhi obat atau sediaan
farmasi untuk dapat digunakan sebagai obat berefek lokal agar menjamin keamanan rkan.
Jawab :
Menurut saya obat tersebut haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu :
a. Tidak merangsang jaringan
b. Tidak mengakibatkan kerusakan permanen pada susunan saraf
c. Toksisitas sistemik rendah
d. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir
e. Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama dan dapat larut dalam air
dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap pernapasan (sterilisasi).

III.2 Efek anestetika lokal

III.2.1 Anastesi permukaan

Prinsip percobaan

Anastetika lokal ialah obat yang menghambat konduksi saraf bila dikenakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Termasuk dalam golongan anestetik lokal seperti
kokain dan ester-ester asam para amino benzoate (PABA), contoh prokain dan lidokain . anestesi
lokal permukaan tercapai ketika anestesi lokal ditempatkan di daerah yang ingin dianestesi.
Anestesi lokal diberikan dengan berbagai teknik pemberian seperti anestesi permukaan, anestesi
spinal, anestesi mukosa.

Alat dan bahan

38
Alat : gunting, pipet tetes, aplikator

Bahan : larutan tetrakain HCl 2% dosis 0,5 ml , diberikan dengan penetesan. Larutan
lidokain HCl 2% 1-2 tetes

Prosedur

1. Gunting bulu mata kelinci, agar tidak mengganggu aplikator


2. Teteskan kedalam kantong konjungtiva larutan anestetik lokal lidokain 0,5 ml pada mata
kanan dan tetrakain HCl 0,5 ml pada mata kiri
3. Tutup masing-masing kelopak mata selama 1 menit
4. Catat ada atau tidaknya reflex mata setiap 5 menit, dengan menggunakan aplikator tiap kali
pada permukaan kornea

Hasil pengamatan

Hewan Mata Obat Pengamatan pada reflex mata pada waktu . Menit
0 5 10 15 20 30 45 60
diteteskan
kelinci Kanan Lidokain + + + + - + + +
Kiri Tetrakain + - - - - - + +

Pertanyaan :

1. Jelaskan kokain sebagai anestetika lokal


Jawab :
Kokain menghambat ambilan balik norepineprin, serotonin, dan dopamine kembali ke
terminal presinaptik, penghambatan ini memperkuat dan memperpanjang kerja ketokolamin
pada ssp dan perifer. Kokain hanya dijumpai dalam bentuk topical semprot 4% untuk mukosa
jalan napas atas. Lama kerja 2-30 menit. Efek lokal kokain yang terpenting yaitu
kemampuannya untuk memblokade konduksi saraf. Atas dasar efek ini, pada suatu masa
kokain pernah digunakan secara luas untuk tindakan di bidang oftalmologi, tetapi kokain ini
dapat menyebabkan terkelupasnya epitel kornea. Maka penggunaan kokain sekarang sangat
dibatasi untuk pemakaian topikal, khususnya untuk anestesi saluran nafas atas. Kokain sering
menyebabkan keracunan akut. Diperkirakan besarnya dosis fatal adalah 1,2 gram. Sekarang
ini, kokain dalam bentuk larutan kokain hidroklorida digunakan terutama sebagai anestetik
topikal, dapat diabsorbsi dari segala tempat, termasuk selaput lendir. Pada pemberian oral
kokain tidak efektif karena di dalam usus sebagian besar mengalami hidrolisis.
2. Jelaskan penggolongan kimia dari anastetika lokal
39
Jawab :
Anestetika lokal dapat di golongkan secara kimiawi dalam beberapa kelompok sebagai
berikut:
a. Senyawa-ester (PABA):
Kokain, prokain, benzokain, oksibuprokain, dan tetrakain.
b. Senyawa-amida:
Lidokain dan prilokain. Mevikain dan buvipakaina, chinchokain, artikain, dan pramokain.
c. Lainnya :
Fenol,Benzilalkohol, cryofluoran, dan etilklorida.

Semua obat tersebut di atas adalah sintetis, kecuali kokain yang alamiah.

3. Sebutkan anestetik lokal yang dapat digunakan sebagai anestetik permukaan


Jawab :
Lidokain HCl, Benzilmetilekgonin, Benzokain, Prilokain
4. Keburukan apa yang dapat terjadi bila permukaan kornea mata dianastesi untuk waktu yang
lama, jelaskan !
Jawab :
Tarikan pada otot ektraokuler atau penekanan pada bola mata dapat menimbulkan disritmia
jantung berupa bradikardia dan ventrikular ectopik sampai sinus arrest atau fibrilasi
ventrikuler. Menaikkan tekanan darah arteri dan cedar mata.

III.2.2 Metoda regnier

Prinsip percobaan

Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon reflex okuler. Apabila
mata diteteskan anestetik lokal, reflex okuler timbul setelah beberapa kali kornea disentuh,
sebanding dengan kekuatan kerja anestetika dan besarnya sentuhan yang diberikan. Tidak adanya
reflex okuler setelah kornea disentuh 100 kali dianggap sebagai adanya anestesi total

Alat dan bahan

Alat : Misai kelinci

Bahan : Larutan tetrakain 2% 0,5 ml . Larutan prokain HCl 2% 0,5 ml.

40
Prosedur

1. Kelinci ditempatkan kedalam kotaknya 1 jam sebelum percobaan dimulai. Gunting bulu
matanya kemudia periksa reflex normal dari kedua kornea dengan sentuhan misai secara
tegak lurus
2. Pada waktu t=0, teteskan 0,1 ml larutan obat yang akan diuji kedalam mata kelinci.
Percobaan ini diulang setelah 1 menit
3. Pada menit ke 8 , dengan bantuan misai diperiksa reflex mata, yaitu dengan menyentuhkan
misai tegak lurus dibagian tengah kornea sebanyak 100 kali dengan keceptan yang sama
jangan terlalu keras menyentuhnya dan ritme harus diatur apabila sampai 100 kali tidak ada
reflex kelopak mata tertutup maka dicatat angka 100 untuk respon negative. Tetapi jika
sebelum 100 kali sudah ada reflex, maka yang dicatat adalah respon negative sebelum
mencapai angka 100.
4. Perlakuan yang sama diulang pada menit-menit ke 15, 20,25,30,40,50, dan 60. Jika sebelum
menit-menit yang ke 60 pada sentuhan pertama sudah ada reflex, maka menit-menit yang
tersisa diberi angka 1
5. Setelah percobaan diatas selesai, mata sebelumnya diperlakukan seperti no. 4, tetapi hanya
diteteskan larutan fisiologis
6. Jumah respon negative dimuat dalam sebuah tabel dan dimulai dari menit ke 8. Jumlah
tersebut menunjukan angka regnier, dimana anastesi lokal mencapai angka regnier 800,
sedangkan angka regnier minimal angka 13.
7. Hitunglah atau jumlahkan untuk waktu-waktu tertentu semua respon negative, apabila pada
sekali senthan terjadi reflex kornea, maka angka yang dicatat adalah 1. Hitung angka rata-rata
dan diberikan untuk masing-masing larutan yang diperoleh pada 8 kali pemeriksaan reflex
kornea.

Hasil pengamatan

Mata Jumlah sentuhan memberi reflex berkedip pada mata dimenit ke


0 5 10 15 20 30 45 60
Hewan
Kelinc Kanan - - - -40 1 1 1 1
Kiri - - - - -55
i

Pertanyaan :

41
1. Apakah yang perlu diperhatikan pada persiapan larutan obat mata agar dapat terjamin
khasiatnya?
Jawab :
a. Harus hisohidris memiliki ph sama dengan air mata
b. Kejernihan larutan obat mata
c. Isotonis larutan obat mata
d. Harus bebas pirogen
e. Kesterilan dari obat dan alat yang digunakan
f. Cara penyimpanan obatnya
g. Partikel obat mata
2. Pada percobaan mata kelinci harus terlindungi dari cahaya langsung, jelaskan !
Jawab :
Karena a sinar matahari langsung akan mengalami reaksi lain yang terjadi pada mata kelinci
yang tidak diinginkan, dapat menyebabkan toksisitas serta apabila terkena cahaya langsung
dapat mempengaruhi reflex mata sehingga membuat kelinci menutup matanya yang dapat
menggangung proses percobaan.
3. Sebutkan anestesi lokal mata yang digunakan, selain pada percobaan ini !
Jawab :
a. Dibukain
b. Prilokain
c. Prokain
d. Benzokain

III.2.3 Anestesi konduksi

Alat dan bahan

Alat : alat suntik 1 ml, klem/pinset ekor, silinder khusus untuk mencit, timbangan

Bahan : mencit , prokain HCl 0,2% 0,5 mg/kg bb dilarutkan dalam NaCl fisiologis

Prosedur percobaan

1. Semua mencit dicoba dulu respon haffner dan hanya dipilih hewan-hewan yang member
respon haffner negative, artinya hewan mengangkat ekor/bersuara
2. Hewan-hewan dikelompokkan dan ditimbang dan diberi tanda
3. Mencit dimasukkan ke dalam silinder dan hanya ekor yang dikeluarkan. jumlah silinder
disesuaikan dengan jumlah mencit dari 1 kelompok

42
4. Ekor mencit kemudian dijepit dengan jarak 0,5 cm dari pangkal ekor. Manifesta rasa nyeri
ditunjukkan dengan reflex gerakan tubuh mencit atau dengan suara kesakitan. Respon
demikian dicatat sebagai haffner negative
5. Pada waktu t=0, masing-masing mencit dari kelompok yang sama disuntik. Prokain HCl di
vena ekor, kelompok control hanya disuntik larutan pembawanya dengan cara penyuntikan
yang sama
6. Setelah waktu t=10 menit, masing-masing mencit diperiksa respon haffner dan selanjutnya
dilakukan hal yang sama pada t=15 dan 20 menit
7. Hasil pengamatan dicatat dalam sebuah tabel

Hasil pengamatan

Hewan Obat/kelompok Cara Respon haffner pada waktu (t=menit)


0 10 15 20
pemberian
Mencit Lidokain I IV -
Control negative IV
Lidokain II IV - - -

III.2.4 Anestesi infiltrasi

Prinsip percobaan

Obat anestetika lokal yang disuntikkan kedalam jaringan akan mengakibatkan kehilangan
sensasi pada struktur sekitarnya

Alat dan bahan

Alat : gunting, pisau cukur, spuilt 1 ml, spidol, peniti

Bahan : kelinci, larutan prokain HCl 1%, lidokain HCl 1%, Prokain 1% dalam adrenalin
1: 50.000, lidokain 1% dalam adrenalin 1: 50.000

Prosedur

1. Gunting bulu kelinci pada punggungnya dan cukur hingga bersih kulitnya
2. Buat daerah penyuntikkan dengan spidol dengan jarak minimal 3 cm
3. Uji getaran otot dengan memberikan sentuhan ringan pada daerah penyuntikkan dengan
peniti, setiap kali 6 sentuhan
4. Suntikkan larutan-larutan diatas pada daerah penyuntikkan
5. Lakukan uji getaran setelah penyuntikkan seperti poin 3

43
Hasil pengamatan

Hewa Organ Obat Cara Getaran otot punggung kelinci dengan 6 sentuhan setiap
n percobaan diberikan pemberian kalindengan peniti pada waktu menit setelah pemberian
obat
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60 70
Kelinc Punggung Prokain Intra x X x x x X x x x
Prokain + x x x X x x x
i kiri kutan
Adrenalin
Punggung Lidokain x X x x x X x x x
Lidokain + x X x x x X x x x
kanan
Adrenalin

Pertanyaan :

1. Mengapa ada perbedaan antara efek anestetika lokal dengan anestetika lokal dalam adrenalin?
Jawab :
Kebanyakan anestetik lokal, kecuali kokain, menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Penambahan vasokonstriksi seperti adrenalin mengurangi aliran darah setempat,
menurunkan kecepatan absorbsi anestetik lokal, dan memperpanjang efek lokalnya.
Penggunaan adrenalin untuk tujuan ini harus hati-hati karena, bila berlebihan, dapat terjadi
nekrosis iskemik.
2. Apakah kokain sebagai anestetika lokal perlu ditambahkan adrenalin, jika iya kenapa, jika
tidak jelaskan !
Jawab :
Tidak perlu ditambahkan dengan adrenalin lagi karena kokain sudah memiliki sifat kontriksi
pembuluh darah, bila kokain ditambahkan dengan adrenalin makan efek vasokontriksinya
bekerja 2 kali lebih besar yang dapat menghambat aliran darah secara nyata dan berlebihan
sehingga dapat menyebabkan kefatalan akibat tersumbatnya aliran darah
3. Berikan penerapan klinis dari pemakaian anestesi permukaan dan anestesi infiltrasi!
Jawab :
a. Anastesi permukaan :
Sebagai suntikan banyak di gunakan sebagai penghilang rasa oleh dokter gigi untuk mencabut
geraham atau dokter keluarga untuk pembedahan kecil, seperti menjahit luka dikulit.
Anestesia permukaan juga di gunakan sebagai persiapan untuk prosedur diagnostik seperti
bronkoskopi, gastroskopi, dan sitoskopi.
b. Anastesi infiltrasi :

44
Beberapa injeksi diberikan pada atau sekitar jaringan yang akan di anestisir, sehingga
mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan jaringan yang terletak di dalam, misalnya pada
daerah kecil di kulit atau gusi ( pada pencabutan gigi ).
4. Bagaimana pengaruh ph darah yang dianastesi lokal terhadap potensi anestetika lokal?
Jawab :
Ph dapat mempengaruhi potensi anetetika lokal karena ph yang sesuai memiliki konsentrasi
bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membrane saraf sehingga
menghasilkan mula kerja cepat.

1.5 Pembahasan

1.5.1 efek obat pada membran dan kulit mukosa

Tikus yang digunakan dalam praktikum dilakukan pengorbanan terlebih dahulu.


pengorbanan dapat dilakukan dengan dislokasi leher. Dislokasi leher dilakukan dengan cara
memisahkan/menghambat pengaliran darah ke otak dengan merenggangkan bagian-bagian tulang
belakang dari tikus. Tikus yang sudah dikorbankan kemudian dikuliti (ambil kulitnya) sesuai
dengan keperluan, baik dari segi jumlah maupun ukurannya. Selain kulit, bagian usus dari tikus
juga digunakan dengan cara membelah usus tikus dan membersihkan dari sisa kotoran yang ada
di usus. Kulit dan usus yang sudah ada tadi di letakkan diatas kertas saring dan mulailah dengan
pengujian yang sudah ditentukan.

Pada pengujian efek menggugurkan bulu, hasil uji menunjukkan adanya kerontokan bulu
setelah diberikan larutan natrium hidroksida 20%. Hal ini terjadi karena garam natrium
hidroksida bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada keratin kulit, sehingga bulu akan rusak
dan mudah gugur lebih cepat dibandingkan dengan larutan lain. Setelah diberikan larutan K2S
20% hasil uji menunjukkan bahwa bulu sukar menggugur dan menimbulkan pengerasan pada
45
kulit dibandingkan dengan percobaan dengan larutan lain. Pada percobaan menggunakan veet
cream tidak menimbulkan efek lainnya karena veet cream memiliki formula khusus untuk kulit
yang sensitive
Pada pengujian efek korosif, beberapa hasil yang dapat diamati adalah:
HgCl2 pada usus akan menyebabkan usus menjadi memutih (pucat) dan menipis.
Fenol 5% pada usus tidak menyebabkan efek yang begitu berarti.
H2SO4 pada usus akan menyebabkan usus menjadi pucat, tipis, kaku, dan kering.
HCl pada usus akan menyebabkan kulit menjadi putih, kerut, kaku, dan pucat.
AgNO3 pada usus akan menyebabkan usus pucat dan melepuh.
Tincture Iod pada usus akan menyebabkan usus menjadi tipis, pucat dan kaku.
Pada pengujian efek lokal fenol 5%, hasil/efek yang ditimbulkan sangat tergantung pada
campuran yang digunakan. Berikut hasil yang diperoleh:
Fenol 5% + aquades akan menyebabkan iritasi berupa kebas, pucat, kerut, dan panas pada
lokasi yang terkena.
Fenol 5% + etanol akan menyebabkan iritasi berupa keriput, dingin, pucat dan nyeri
Fenol 5% + gliserin akan menyebabkan iritasi berupa panas, kebas, nyeri, dan panas.
Fenol 5% + minyak hanya menghasilkan sedikit respon (1 kelompok). Yakni panas kebas
panas dan merah. Sedangkan kelompok lain nihil.

Efek astringen dilakukan dengan mengkumurkan larutan gambir kedalam mulut. Kita
ketahui bahwa astringen sangat banyak ditemukan pada tanaman yang memiliki rasa kelat-pahit.
Seperti gambir, sirih, teh, dan lain sebagainya.

1.5.2 Anestesi permukaan

Dari hasil percobaan yang dilakukan dapat diketahui efek kerja tetrakain lebih cepat
memberikan efek disbandingkan dengan lidokain. Pada pemberian tetrakain pada menit ke 5
sudah memberikan efek yang ditandai dengan tidak adanya reflex mata selama30 menit kedepan.
Sedangakn lidokain baru dapat memberikan efek pada menit ke 20 dan hanya berlangsung
sementara. Ini dikarenakan lidokain merupakan aminoetilamid. Lidokain dapat menghambat
sinyal nyeri sel saraf dengan mengeblok kanal Natrium dalam sel sehingga dapat menginaktivasi
sel saraf.

1.5.3 Metoda regnier

46
Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa lidokain memberikan respon reflex negative
sebelum tercapainya angka 100 dan pada menit ke 45 mata sudah tidak terbuka. Sebaliknya pada
pemberian tetrakain mata sudah tidak lagi memberikan respon reflex pada menit ke 60 yaitu mata
sudah tidak lagi terbuka

1.5.4 Anestesi konduksi

Pada percobaan anestesi konduksi ssebelum dimulai percobaan mencit terlebih dahulu
diperiksa reflex haffner yaitu ekor mencit dijepit dan dilihat angkat ekor atau menit suara dan
hanya hewan yang memberikan respon negative sajalah yang akan digunakan untuk percobaan.
Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa pada pemberian lidokain 1 baru memberikan efek
pada menit ke 15 dan hanya berlangsung sementara berbeda dengan kelompok pemberian lidoain
II yang langsung memberikan efek dan kemudian efek baru hilang pada menit ke 20. Perbedaan
ini dapat terjadi salah satu faktornya merukan variasi kelamin dimana respon yang diberikan
kepada mencit jantan dan betina memberikan efek yang berbeda, hal lainnya dikarenakan berat
badan dari mencitnya dimana mencit yang berat badannya lebih besar akan memberikan efek
yang lebih lama dibandingkan mencit yang berat badannya lebih ringan.

1.5.5 Anestesi infiltrasi

Lidokain adalah anestetik local yang kuat yang digunakan secara luas
dengan pemberian topical dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih
lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain merupakan
aminoetilamid. Lidokain dapat menghambat sinyal nyeri sel saraf dengan mengeblok kanal
Natrium dalam sel sehingga dapat menginaktivasi sel saraf .Pada praktikum ini dilakukan
percobaan pemberian anestesi lokal yang dikombinasi dengan adrenalin untuk mengentahui onset
dan durasi dari obat tersebut. Pemberian obat tersebut diberikan secara injeksi intrakutan ini
dimaksudkan agar obat tersebut tidak langsung menuju aliran darah. Dari data pengamatan pada
menit ke 5 didapatkan bahwa kelici tidak lagi merasakan sakit kecuali pada prokain yang
ditambah adrenalin baru menunjukkan kekebalan pada menit ke 15. Hal ini menandakan obat
anestetika ini sudah bekerja pada 5 menit pemberian dan 15 setelah pemberian

47
prokain dengan adrenalin. Sesuai dengan teori vasokonstriktor seperti adrenalin menunda
tranpor anestetika lokal ke luar dengan demikian memperbesar jangka waktu kerja dan
mengurangi toksisitas sistemik.

1.6 Kesimpulan

1. Obat yang berefek non-sistemik (lokal) merupakan obat yang mempunyai pengaruh pada
tubuh bersifat lokal atau pada daerah yang diberikan obat. Contoh obat ini adalah obat-obat
yang bersifat anestesi lokal ataupun transdermal.
2. Beberapa efek dari obat lokal yang dapat ditemui adalah menggugurkan bulu, korosif, dan
astringen.
3. Tingkat pengguguran bulu tergantung kepada kadar dan jenis dari larutan yang digunakan
4. Semakin tinggi kadar suatu zat yang bersifat menggugurkan bulu, maka akan semakin
mendekati tingkat korosif.
5. Sama halnya dengan efek menggugurkan bulu. Larutan yang bersifat korosif pun beraneka
ragam, dan menghasilkan mekanisme efek yang berbeda-beda, tergantung kepada kekuatan
korosif yang dikandungnya.
6. Astringen merupakan salah satu efek dari efek lokal obat yang mekanisme kerjanya di mulut.
Senyawa ini banyak ditemukan pada gambir, teh, dan tumbuhan lain yang memiliki rasa kelat
hingga kepahitan
7. Anastetika lokal ialah obat yang menghambat konduksi saraf bila dikenakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan kadar cukup. Termasuk dalam golongan anestetik lokal seperti kokain
dan ester-ester asam para amino benzoate (PABA), contoh prokain dan lidokain.
8. Pemberian lidokain pada percobaan metoda regnier tidak terlalu memberi anestesi permukaan
yang banyak, lidokain hanya memberikan efek anestesi di pertengahan pemberian.
Berbanding terbalik dengan tetrakain pemberiannya mengalami reaksi yang baik dan berjalan
sesuai prinsip percobaan.
9. Obat anastetika lokal bila diberikan kedalam jaringan akan mengakibatkan kehilangan sensasi
pada struktur sekitarnya.
10. Adapun fungsi adrenalin dalam anestesi lokal yai tu sebagai vasokonstriktor
yang berfungsi untuk memperpanjang daya kerja anestetika lokal

1.7 Saran

Harus lebih memperhatikan kesterilan bahan obat maupun alat yang digunakan, lalu cara
pemberian obat khususnya pada pemberian intravena maupun intrakutan, kekentalan serta

48
isotonitas dari larutan obat. Kepekatan larutan obat yang disuntikkan dengan volume yang dapat
disuntikkan pada hewan harus diperhatikan.

BAB IV
OBAT OBAT YANG BEKERJA TERHADAP SISTEM NEUROEFEKTOR

1.1 Latar Belakang


Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat
proses kimia khususnya lewat reseptor. Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan
untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu kondisi
tertentu misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan.
Sistem saraf otonom bekerja menghantarkan rangsang dari SSP ke otot polos, otot jantung
dan kelenjar. Sistem saraf otonom merupakan saraf eferen (motorik), dan merupakan bagian dari
saraf perifer. Sistem saraf otonom ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis. Pada umumnya jika fungsi salah satu sistem dirangsang maka sistem
yang lain akan dihambat.
Sistem saraf otonom tersusun atas saraf praganglion, ganglion dan saraf postganglion. Impuls
saraf diteruskan dengan bantuan neurotransmitter, yang dikeluarkan oleh saraf praganglion
maupun saraf postganglion.
Sistem saraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem saraf vegetatif, sistem saraf
keseimbangan visceral atau sistem saraf sadar, sistem mengendalikan dan mengatur
keseimbangan fungsi-fungsi intern tubuh yang berada di luar pengaruh kesadaran dan kemauan.
Sistem ini terdiri atas serabut-serabut saraf-saraf ganglion-ganglion dan jaringan saraf yang
mendarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos.
Penggolongan obat-obat yang bekerja pada sistem saraf otonom
1. Kolinergik
Agonis kolinergik, contohnya pilokarpin
49
Antagonis kolinergik, contohnyaatropine
2. Adrenergik
Agonis adrenergik, contohnya amfetamin
Antagonis adrenergik, contohnya fenoksibenzamin
Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri terutama
dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan internal dan stimulus eksternal
dipantau dan diatur oleh kemampuan khusus seperti iritabilitas, atau sensitifitas terhadap
stimulus, dan konduktifitas atau kemampuan untuk mentransmisi suatu respon terhadap stimulus,
diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama yaitu input sensorik, aktivitas integrative dan
outputmotorik (Sloane, 2004).
Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri dari
otak dan medulla spinalis, serta sistem saraf perifer yang merupakan sel-sel saraf yang terletak di
luar otak dan medulla spinalis yaitu saraf-saraf yang masuk dan keluar SSP. Sistem saraf tepi
selanjutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu neuron yang membawa sinyal dari otak dan medulla
spinalis ke jaringan tepi, serta divisi aferen yang membawa informasi dari perifer ke SSP (Mycek,
2001).
Sistem saraf perifer dibagi menjadi sistem saraf otonom dan somatik. Sistem saraf otonom
mengendalikan kontraksi otot jantung dan otot polos,serta sekresi kelenjar. System saraf somatik
mempersarafi otot skeletselama pergerakan voluntary dan menghantarkan informasi
sensorik,seperti nyeri dan sentuhan (Olson, 2003).
Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi visceral tubuh.
Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung
kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan
memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat meningkat
hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat
yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat
ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat
gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan
demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).
Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya disebut SSP). Neuron
orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis maupun di batang otak. Akson
neuron orde pertama ini disebut dengan serabut preganglion (preganglionic fiber). Serabut ini

50
bersinaps dengan badan sel neuron orde kedua yang terletak di dalam ganglion. Serabut
pascaganglion menangkap sinyal dari serabut preganglion melalui neurotransmiter yang
dilepaskan oleh serabut preganglion. Seperti yang telah diketahui, ganglion merupakan kumpulan
badan sel yang terletak di luar SSP. Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan serabut
pascaganglion (postganglionic fiber) muncul dari ganglion menuju organ yang akan diinervasi.
Organ efektor menerima impuls melalui pelepasan neurotransmiter oleh serabut pascaganglion.
Kecuali untuk medulla adrenal, baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengikuti pola
seperti yang telah dijelaskan di atas (Regar, 2010).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang bekerja
pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor.
Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara
spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls
dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau
penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf
otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut:
Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf
simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan
lain-lain.
2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut :
Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin
Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (atropine)
Midriatik adalah golongan obat yang mempengaruhi dilatasi atau ukuran pupil bola mata,
dapat membesar (midrasis) atau mengecil (miosis) . Obat-obat Golongan Midriatik-Miatik adalah
:
Atropin sulfas
Atropin sulfat menyebabkan midrasis dan termasuk kedalam golongan obat antikolinergik
yang bekerja pada reseptor muskarinik. Antimuskarinik ini memperlihatkan efek sentral terhadap
susunan syaraf pusat yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksik.
51
Pilokarpin HCL
Digunakan secara topikal pada kantung konjungtiva sebagai larutan tetes mata. Kelebihan
larutan di sekitar mata harus dibuang dengan tissue dan obat yang terkena tangan harus segera
dicuci.

1.2 Tujuan Percobaan


1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam
pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh
2. Mengenal suatu teknik mengevaluasi obat antikolinergik pada neurofraktor
parasimpatikus.
3. Menjelaskan manfaat atau bahaya obat-obat kholinergik, anthikholinergik dan adrenergic
pada pengobatan mata serta pendekatan-pendekatan yang mungkin untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan tersebut.

1.3 Manfaat Percobaan


1. Dapat mengevaluasi aktivitas obat yang dapat berfumgsi sebagai antagonisme dalam efek
kholinergik
2. Dapat mengetahui efek obat kholinergik dan antikholinergik pada mata
3. Dapat megetahui efek obat adrenergic pada mata

1.4 Efek obat kholinergik dan antikholinergik pada sekresi kelenjar saliva
Prinsip percobaan : pemberian zat kholinergik pada hewan percobaan menyebabkan
salivasi dan hipersalivasi yang dapat di inhibisi oleh zat antikholinergik
Alat dan bahan :
1. Hewan percobaan : kelinci
2. Obat yang digunakan : Phenobarbital 35 mg/kg BB, pilokarpin 5 mg/kg BB,
atropine sulfat 0,25 mg/kg BB
3. Rute pemberian obat : Phenobarbital (i.v), pilokarpin (i.m), atropine sulfat (i.v)
4. Alat yang digunakan : Alat suntik 1 ml
Jarum suntik no.27 -1 inch dan no.26 inch
Gelas ukur 50 ml

52
Corong dan timbangan kelinci
Prosedur :
1. Kelinci disedasikan dengan disuntikan Phenobarbital secara intravena di telinga kanan,
setelah 5 menit amati efeknya
2. Suntikan larutan pilokarpin secara intamuskular , catat waktu penyutikan. Saliva yang di
eksresikan di lambung dalam gelas ukur (catat saat muncul efek salivasi)
3. Setelah 15 menit, suntikan atropine sulfat secara intavena,di telinga kiri tampung saliva
yang di eksresikan dalam gelas ukur.
4. Catat waktu pengamatan dan buat tabel pengamatan
Perhitungan dosis :
Berat kelinci = 1,6 kg
Berat = 1,5 kg ~ 70 kg/BB manusia
1. Phenobarbital 35 mg/kg BB
0,07 x 35 mg = 2,45 mg/kg BB (untuk berat 1,5 kg)
1,6/1,5 x 2,45 mg = 2,613 mg
Volume penyuntikan : dalam 50 mg / 1 ml x 2,613 mg = 0,05 ml
2. Pilokarpin 5 mg/kg BB
0,07 x 5 mg = 0,35 mg/kg BB (untuk berat 1,5 mg )
1,6/1,5 x 0,35 mg = 0,373 mg
Volume penyuntikan : dalam 5 mg / 1 ml x 0,373 mg = 0,074 ml
3. Atropine sulfat
0,07 x 0,25 mg = 0,0175 mg/kg BB (untuk berat 1,5 mg )
1,6/1,5 x 0,0175 mg = 0,018 mg
Volume penyuntikan : dalam 0,25 mg / 1 ml x 0,018 mg = 0,072 ml
Hasil pengamatan :
Hewan Daerah penyutikan Cara penyuntikan Obat yang digunakan Pengamatan air liur
Kelinci Telinga kanan Intravena Phenobarbital 5 menit (+) sedasi
Paha Intramuscular Pilokarpin 15 menit (+) sekresi
Telinga kiri Intravena Atropine sulfat 5 menit (-) sekresi

Pertanyaan :
1. Terangkan dari segi farmakologis (mekanisme) hasil pengamatan yang diperoleh ?

53
Jawab : Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik dan
sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan salah satu kelenjar dalam
sistem pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem saraf
parasimpatik atau oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika diberikaan
obat-obat yang aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu obat
simpatomimetik, maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun.
2. Apakah soudara dapat menerangkan aspek tertentu dari hasil eksperimen ini dalam
pembedahan? Jelaskan !
Jawab : Kolinergik/ Parasimpatikomimetika adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis(SP), karena
melepaskan Asetilkolin( Ach ) di ujung-ujung neuron. dimana tugas utama SP adalah
mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya
asimilasi.
3. Apakah atropine dapat meniadakan semua efek stimulant kholinergik? Beikan keterangan
untuk jawaban saudara.
Jawab : Hambatan oleh atropin bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian
asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin memblok
asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang
eksogen. Senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara
kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis disebut antagonis. Antagonis
kolinergik (disebut juga obat penyekat kolinergik atau obat antikolinergik) mengikat
kolinoseptor tetapi tidak memicu efek intraseluler diperantarai reseptor seperti lazimnya.
Yang paling bermanfaat dari obat golongan ini adalah menyekat sinaps muskarinik pada
saraf parasimpatis selektif.

1.5 Efek Obat Kholinergik dan Antikolinergik pada Mata


Prinsip percobaan : Pemberian obat kolinergik dan antikolinergik pada mata menyebabkan
terjadinya midratik dan miosis.
Alat dan bahan :
1. Alat :
Pipet tetes
Alat pengukur diameter pupil mata
Senter
54
2. Bahan :
Larutan pilokarpin HCL 4%
Larutan atropine sulfas 1%
3. Hewan percobaan :
Kelinci
Prosedur Percobaan :
1. Amati, ukur dan catat diameter pupil mata pada cahaya suram dan pada penyinaran
dengan senter.
2. Teteskan larutan pilokarpin HCL 1 tetes pada mata kiri dan atropine sulfas pada mata
kanan 1 tetes.
3. Amati yang terjadi setelah 1 menit. Catat dan ukur diameter pupil mata.
Hasil Pengamatan :

Reaksi setelah Reaksi setelah


Cahaya Cahaya
Kelinci diteteskan Pilokarpin diteteskan Atropin
Suram Terang
HCL 4% Sulf 1%
Mata
Kanan 0,7 cm 0,5 cm - 1 cm
Mata
Kiri 0,7 cm 0,5 cm 0,5 cm -

Pertanyaan :
1. Sebutkan tujuan penggunaan pilokarpin, fisostigmin dan atropine pada optalmologi !
Jawab :
Tujuan penggunaan fisostigmin : bila diteteskan pada mata akan timbul miosis dan
kekuatan akomodasi dan penurunan bola mata. Obat ini digunakan untuk mengobati
glaucoma dan dapat digunakan untuk mengobati kerja antikolinergikyang berlebihan.
Tujuan penggunaan pilokarpin : untuk menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi
otot siliaris.
Tujuan penggunaan atropine : untuk menimbulkan midriasi.
2. Sebutkan kontraindikasi masing masing masing pemakaian obat diatas dalam
optalmologi. Jika ada, jelaskan!
Jawab :

55
Atropin sulfas : Glaukoma sudut tertutup, obstruksi/sumbatan saluran pencernaan dan
saluran kemih, atoni (tidak adanya ketegangan atau kekuatan otot) saluran pencernaan,
ileus paralitikum, asma, miastenia gravis, kolitis ulserativa, hernia hiatal, penyakit hati
dan ginjal yang serius.
Pilokarpin : radang iris akut, radang uve akut, beberapa bentuk glaucoma sekunder,
radang akut segmen mata depan.
Fisostigmin : penderita yang tidak memerlukan kontriksi seperti pada iritasi akut.

1.6 Efek obat adrenergic pada mata


Prinsip Percobaan : memberikan efek yang terjadi pada pupil mata dan pembuluh
konjungtiva dengan obat adrenergic
Alat dan Bahan :
1. Hewan percobaan : kelinci
2. Obat yang digunakan : larutan atropine dan larutan epinerpin HCL 4%
3. Alat yang digunakan :
1. pipet tetes
2. Pengukur diameter pupil mata
3. senter dan timbangan kelinci
Prosedur Percobaan :
1. Dalam percobaan ini siapkan kelinci dan di amati diameter pupil mata sebelum dilakukan
percobaan dan setelah melakukan percobaan
2. Teteskan atropine sebanyak 2 tetes pada mata kanan amati reflek mata pada 10 detik dan
15 detik kemudian teteskan kembali dengan epinerpin HCL sebanyak 2 tetes amati efek
yang terjadi selama 10 detik dan 15 detik
3. Teteskan epinerpin pada mata kiri sebanyak 2 tetes amati reflek mata pada 10 detik dan 15
detik
4. Catat dan buat tabel pengamatan reflek mata pada percobaan ini
Hasil Pengamatan :
Hewan Mata Obat yang di teteskan Reflek pada mata

Normal 10 detik 15 detik


Kelinci Kanan Atropin 0,7 cm 0,9 cm -
Epinerpin - 0,9 cm 0,5 cm

56
Kiri Epinerpin 0,7 cm - 0,4 cm

Pertanyaan :
1. Dalam goodman dan gilman larutan efedrin 3%-5% dapat digunakan untuk menimbulkan
midriasis. Apakah menurut saudara konsentrasi akan sama efektik pada semua orang?
Jelaskan
Jawab : efedrin 3%-5% memang efektif dalam efek midriasis, dan efek ini tidak
berpengaruh dengan aspek yang signifikan untuk perbedaan konsentrasi untuk efek
midriasis pada setiap orang
2. Apakah perbedaan prinsipil antara efek atropine dan efek efedrin pada mata? Apakah ada
implikasi praktisnya? Jelaskan
Jawab : perbedaan prinsipil pada atropine yaitu menyebabkan midrasis dan termasuk
kedalam golongan obat antikolinergik yang bekerja pada reseptor muskarinik sedangkan
efek efedrin termasuk golongan adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatik (oleh noradrenalin) memberikan efek miosis mengecilkan pupil mata.

1.7 Pembahasan
1.7.1 Efek obat kholinergik dan antikholinergik pada sekresi kelenjar saliva
Pada percobaan kelenjar salivasi ini yaitu termasuk dalam Sistem syaraf otonom yang terbagi
menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik dan sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva
yang merupakan salah satu kelenjar dalam sistem pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika
distimulasi oleh sistem saraf parasimpatik atau oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi
sebaliknya, jika diberikaan obat-obat yang aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik
yaitu obat simpatomimetik, maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun.
Percobaan ini menggunakan kelinci yang sudah di sedasikan terlebih dahulu menggunaka
obat Phenobarbital secara intravena. Percobaan ini efek pilokarpin sebagai golongan
Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin. Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam merangsang
atau menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya
hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang dikeluarkan oleh mencit menjadi lebih banyak

57
karena pilokarpin merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar
saliva dan Atropin termasuk Antagonis kolinergik (disebut juga obat penyekat kolinergik atau
obat antikolinergik) yang dapat menghibisi kelenjar saliva menurun.

1.7.2 Efek Obat Kholinergik dan Antikolinergik pada Mata


Pada praktikm kali ini di lakukan percobaan Midriatik dan Miotik. Midriatik adalah golongan
obat yang mempengaruhi dilatasi atau ukuran pupil bola mata dapat membesar (midriasis).
Sedangakan miotik adalah golongan obat yang mempengaruhi kontraksi atau ukuran pupil bola
mata dapat mengecil (miosis).
Pada percobaan ini menggunakan dua macam obat yaitu Atropin Sulfat dan Pilokarpin HCl.
Hewan yang digunakan untuk percobaan ini adalah kelinci. Pada percobaan ini langkah pertama
yang di lakukan adalah menentukan letak pupil bola mata kelinci terlebih dahulu. Kemudian di
ukur dengan menggunakan penggaris diameter pupil terhadap cahaya gelap (tidak menggunakan
senter), kemudian di lakukan uji reflex pupil terhadap cahaya terang (dengan menggunakan
senter). Kemudian di bandingkan ukuran pupil pada saat sebelum di beri cahahaya dan setelah di
beri cahaya.
Pada pemberian cairan obat dengan Atropin sulfat, terlihat pupil mata dari kelinci membesar
setelah di beri cairan obat (Atropin Sulfat). Setelah di ukur, pada kelompok kami di dapatkan
hasil pengamatan pupil mata tikus membesar dari ukuran pupil normalnya dari 0,7 cm menjadi
1cm. Pada pemberian cairan obat dengan pilokarpin HCL, terlihat mata pupil kelinci terlihat
mengecil. Dari ukuran normalnya 0,7 cm ke 0,5 cm. Hal ini, membuktikan pemberian pilokarpin
HCL terjadi miosis.

1.7.3 Efek obat adrenergic pada mata


Adrenergic dapat dibagi dalam dua kelompok menurut titik kerjanya di sel sel efektor dari
organ ujung, yakni reseptor-alfa dan reseptor-beta. Dikatakan obat adrenergic karena efek yang
ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergic, atau mirip efek neurotransmitter
norepinefrin dan epinefrin ( yang disebut juga noradrenalin dan adrenalin ). Golongan obat ini
disebut juga obat simpatik atau simpatomimetik yaitu zat zat yang dapat menimbulkan
( sebagian ) efek yang sama dengan stimulasi susunan simpaticus ( SS ) dan melepaskan
noradrenalin ( NA ) di ujung ujung sarafnya.

58
Pada percobaan ini mata kanan kelinci mengalami efek pada reflek mata melebar (midriatik)
dengan penetesan Atropin dan diamati pupil selama 10 detik kemudian penetesan larutan
epinerpin yang termasuk golongan adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari
saraf simpatik (oleh noradrenalin) memberikan efek miosis mengecilkan pupil mata dalam 15
detik. Pada mata kiri kelinci dilakukan penetesan larutan epinerpin dan memberikan efek miosis
pada pupil mata yang mengecil dari ukuran semula amati pada saat waktu 15 detik.

1.8 Kesimpulan
Midriatik adalah golongan obat yang mempengaruhi dilatasi atau ukuran pupil bola mata
dapat membesar (midriasis).
Miotik adalah golongan obat yang mempengaruhi kontraksi atau ukuran pupil bola mata
dapat mengecil (miosis).
Pilokarpin adalah golongan obat kolinergik yang bekerja pada reseptor antimuskarinik.
Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam merangsang atau menstimulasi
sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya hipersalivasi
sehingga air liur atau saliva yang dikeluarkan oleh mencit menjadi lebih banyak karena
pilokarpin merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar
saliva.
Atropine adalah alkaloid derivat solanasid dari Atropa belladonna yaitu suatu ester
organik asam tropik dan tropin. Atropin sulfat menyebabkan midrasis dan termasuk
kedalam golongan obat antikolinergik yang bekerja pada reseptor muskarinik.
Antimuskarinik ini memperlihatkan efek sentral terhadap susunan syaraf pusat yaitu
merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksik.
Phenobarbital adalah golongan obat yang menyebabkan sedasi dalam percobaan .
Epinerpin yang termasuk golongan adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatik (oleh noradrenalin) memberikan efek miosis mengecilkan pupil mata.

1.9 Saran
Ukur diameter pupil mata kelinci dengan benar. Ikuti petunjuk yang sudah diberikan oleh
pembimbing agar tidak terjadi kesalahan/kecelakaan.

59
Dalam percobaan hipersalivasi pada kelinci harus tepat dalam menyuntikan bahan obat secara
intravena atau intramuscular agar tidak terjadi kesalahan atau kecelakaan yang dapat melukai
hewan percobaan.

BAB V

EFEK OBAT PADA SALURAN CERNA

EFEK GARAM-GARAM TERHADAP RETENSI AIR DALAM SALURAN CERNA

1.1 Maksud dan tujuan

1. Menjelaskan pengaruh-pengaruh kerja farmakologi garam katartik terhadap saluran


pencernaan

2. Mengajukan saran untuk pendekatan yang rasional untuk menangani diare

2 Dasar Teori

Makanan yang masuk ke dalam tubuh akan dimetabolisme menjadi energi. Sisa
makanan yang tidak diserap akan diekskresikan dalam bentuk feses, ekskresi ini sering
mengalami gangguan berupa kesulitan dalam defekasi yang dikenal sebagai konstipasi.
Konstipasi adalah kesulitan defekasi karena tinja yang mengeras, otot polos usus yang
lumpuh misalnyapada megakolon kongenital dan gangguan refleks defekasi. Gangguan
defekasi ini terjadi karena keadaan fisiologis maupun patologis, gangguan defekasi ini
akan memberikan efek buruk pada hewan sehingga harus segera diatasi.

Berkaitan dengan masalah konstipasi tersebut, maka dalam dunia kedokteran dikenal
kelompok obat laksansia atau pencahar. Mekanisme kerja laksansia masih belum bisa
dijelaskan karena kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kolon, tranpor
air dan elektrolit. Laksansia hanya digunakan untuk mengobati konstipasi fungsional dan
tidak dapat mengobati konstipasi patologis.

60
Laksansia mempercepat pengosongan fese. Magnesium sulfat adalah salah satu
laksansia osmotic. Larutan hipertonik dari garam-garam yang sukar diabsorpsi bila berada
dalam usus, mengakibatkan retensi air secara osmotic dalam jumlah besar dalam usus
tersebut. Akibatnya volume usus meningkat dan volume yang besar ini berlaku sebagai
stimulus mekanik yang meningkatkan aktivitas motoric dari usus yang mendorong isi
usus ke dalam kolon, sehingga terjadi pengeluaran isi usus dalam bentuk tinja yang cair.
Laksansia atau pencahar dapat digolongkan sebagai pencahar pembentuk massa, pencahar
hiperosmotik, pencahar pelumas, pencahar perangsang, pencahar emolien dan zat penurun
tegangan permukaan.

1.3 Prosedur dan Hasil Pengamatan

Hewan percobaan : tiap kelompok bekerja dengan satu ekor tikus putih jantan

Obat yang digunakan : Larutan Pentobarbital Natrium 4%, larutan magnesium sulfat
25%,3% dan 0,2%; Natrium klorida fisiologik
Alat yang digunakan : spuit 1 ml, gunting, benang steril, kaca arloji, pipet tetes;
Kleenex; jarum bedah

Prosedur :

1. Tikus dipuasakan makan selama 24 jam, minum tetap diberikan

2. Tikus dibius dengan pentobarbital Na 40 mg/kb bb secara ip

3. Usus dipamerkan melalui torehan ventral sagittal, usus jangan sampai terluka, selama
pembedahan dan percobaan usus harus dibasahi dengan NaCl fisiologik

4. Pada jarak sekitar 2,5 cm dari pylorus, ikat usus dengan benang steril pada jarak lebih
kurang 8 cm, hingga diperoleh tiga segmen terpisah. Pengikatan jangan sampai
mengganggu aliran darah usus

5. Suntikkan berturut-turut ke dalam segmen masing-masing larutan 1 ml (MgSO4 25%,


NaCl 0,9%, dan MgSO4 0,2%)

6. Tempatkan kembali usus kedalam rongga abdomen dan jahit kembali otot dan kulit
perut tikus. Basahi terus jahitan dengan NaCl fisiologis

61
7. Setelah 2 jam, buka jahitan da nisi tiap segmen usus dikeluarkan dan catat volume
yang diperoleh

8. Tabelkan hasil-hasil eksperiman dan diskusikan pengaruh masing-masing larutan


terhadap retensi cairan.

Hasil Pengamatan :

Larutan Volume awal (ml) Volume akhir (ml)


NaCl 3% 0,25 0,17
MgSO4 25% 0,25 0,30
MgSO4 3% 0,25 0,26
MgSO4 0,2% 0,25 0,20

1.4 Pembahasan

Uretan adalah senyawa etil ester dari asam karbaminik, menimbulkan efek anaestesi
dengan durasi yang panjang seperti choralose. Biasanya senyawa ini digunakan untuk
percobaan fisiologi dan farmakologi. Uretan sering dikombinasikan dengan choralose
untuk menurunkan aktivitas muskular. Menurut literatur, uretan memiliki efek yang kecil
pada respirasi dan tekanan darah arteri. Uretan tidak digunakan sebagai anaestesi dalam
kedokteran hewan, tetapi dianjurkan dalam penggunaannya untuk tujuan eksperimen
(percobaan).

Natrium klorida (NaCl) 3% dan Magnesium sulfat (MgSO 4) 25% termasuk larutan
isotonis. Isotonis merupakan keadaan dimana konsentrasi larutan dan air dalam keadaan
seimbang. MgSO4 3%yang diberikan ke dalam lumen usus tidak menimbulkan absorpsi
maupun penarikan air ke dalam lumen karena konsentrasi di luar dan di dalam sudah
seimbang. Oleh karena itu, volume akhir larutan tidak terjadi perubahan yang berarti dari
volume awal, yaitu dari 0.25 ml menjadi 0.26 ml. Sehingga dapat dikatakan tidak terjadi
perubahan volume.

62
MgSO4 merupakan obat laktansia garam yang terdiri dari kation yang tidak bisa diserap
(Magnesium) dan anion yang tidak bisa diserap pula (Sulfat) yang bekerja membentuk
massa, juga menghasilkan stimulus pada aktivitas peristaltik sehingga bekerja cepat untuk
mendorong garam tersebut. Tetapi meskipun begitu konsentrasi cairan obat ini bisa
mengiritasi perut dan menstimulus terjadinya muntah. Obat ini bekerja sangat cepat,
biasanya selama tiga sampai empat jam dan yang perlu diingat adalah karena begitu
banyaknya cairan yang hilang melalui usus, akan mengakibatkan terjadinya dehidrasi.

Pada praktikum farmakologi yang kami lakukan, tikus yang menjadi bahan percobaan
diberikan suntik mati karena keterbatasan biaya.

1.5 Kesimpulan

Magnesium sulfat (MgSO4) 3% merupakan larutan isotonis. sedangkan Natrium


klorida (NaCl) 4%, Magnesium sulfat (MgSO4) 25% merupakan larutan hipertonis dan
MgSO4 0,2% selain merupakan larutan hipertonis juga merupakan laktansia garam.

63
BAB VI
DIURETIKA

1.1 Latar Belakang


Pengeluaran urin atau diuresis dapat diartikan sebagai penambahan produksi volume
urin yang dikeluarkan dan pengeluaran jumlah zat zat terlarut dalam air.Obat-obatan yang
menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine disebut Diuretik. Obat-obat ini
merupakan penghambat transpor ion yang menurunkan reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti
Cl+ memasuki urine dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dalam keadaan normal
bersama-sama air, yang mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan
osmotic.
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah
diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume
urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut
dalam air.
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel menjadi normal.
Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam glomeruli (gumpalan kapiler)
yang terletak di bagian luar ginjal (cortex). Dinding glomeruli inilah yang bekerja sebagai
saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam dan glukosa.

1.2 Tujuan percobaan


Memahami kerja farmakologi dari beberapa kelompok diuretik, sehingga dapat
memperoleh gambaran cara evaluasi efek diuretik.
Untuk mengetahui efek dari obat diuretic pada hewan percobaan

64
Untuk mengetahui volume urin yang dihasilkan oleh hewan akibat pemberian obat
diuretic
Untuk mengetahui mekanisme kerja dari obat diuretik.

1.3 Dasar teori


Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah
diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume
urin yang diproduksidan yang kedua menujjukan jumlh pengeluaran (kehilangan) zat-
zat terlarut dalam air. Fungsi utama diuretic adalah untuk memobilisasi cairan edema,
yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume
cairan ekstra sel kembal imenjadi normal.
Golongan obat diuretik yang umum diresepkan contohnya HCT
(hydrochlorothiazide) dan Spironolakton. Efek samping dari penggunaan jangka panjang
bisa berupa hipokalemi (kadar kalium rendah dalam darah), dan hiperurisemia (kadar asam
urat meningkat dalam darah) Penggunaan diuretik harus dihindari pada pasien tekanan
darah tinggi disertai kencing manis (diabetes) atau pada penderita kolesterol. (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik, 2007).

Istilah diuresis mempunyai dua pengertian :


1. Menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi
2. Menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehigga volume caira ekstra sel kembali menjadi
nornal.
Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu :

1. Inhibitor karbonik anhidrase (asetazolamid).


2. Loop diuretik (furosemid, asetakrinat, torsemid, bumetanid)
3. Tiazid (klorotiazid, hidroklorotiazid, klortalidon)
4. Hemat kalium (amilorid, spironolakton, triamteren)
5. Osmotik (manitol, urea)

65
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesikan simpanan
natrium tubuh. Awanya, diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume
darah dan curah jantung, tahanan vaskuler perifer. Penurunan tekanan darah dapat terlihat
dengan terjadinya diuresis. Diuresis menyebabkan penurunan volume plasma dan stoke
volume yang akan menurunkan curah jantung dan akhirnya menurunkan tekanan darah.

Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik :


1. Tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi
natrium sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan
diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak.
2. Status fisiologi dari organ
3. Interaksi antara obat dengan reseptor
Kebanyakan diuretic bekerja dengan mengurangi reabsorsi natrium sehingga
pegeluarannya lewat kemih, dan demikian juga dari air air diperbanyak. Obat obat
ini bekerja khusus terhadap tubuli.
Pemilihan diuretic
Diuretic thiazide tepat digunakan untuk sebagian besar pasien dengan
hipertensi ringan atau sedang serta dengan fungsi jantung dan ginjal normal.
Diuretic yang lebih kuat (misalnya diuretic yang bekerja pada loop of handle )
diperlukan untuk hipertensi parah, apabila digunakan kombinasi obat yang
menyebabka retensi natrium. Pada insufiensi ginjal, bila tingkat filtrasi glumeruler
kurang dari 30 atau 40 ml/menit pada gagal jantung atau sirosis, ketika terdapat
retensi natrium.
Diuretic hemat-kalium berguna untuk menghindari terjadinya deolesi kalium
yang berlebihan, khususnya pada pasien yang menggunakan digitalis dan untuk
memperkuat efek natriuretik diuretic lainnya.
Penentuan dosis
Walaupun farmakokinetikdan farmakodinamik berbagai diuretic berbeda, tetapi
titik akhir efek terapeuretik dalam pengobatan hipertensi umumnya adalah pada efek
natrium resisnya. Walaupun demikian harus diketahui bahwa dalam keadaan tunak
seperti pada penanganan jangka panjang, ekskresi natrium harian sama sama
dengan pemasukan natrium dari makanan. Diuretic diperlukan untuk melawan
kecenderungan terjadinya retensi natrium yang pada pasien dengan deplesi natrium
66
yang relatif, walaupun diuretic thiazide lebih bersifat natriuretik pada dosis tinggi
(100 mg 200 mg hydrochlorothiazide) bila digunakan sebagai obat tunggal dosis
rendah (25-50 mg ) memberikan efek diuretic seperti hanya pada dosis tinggi.

Toksisitas diuretic
Pada pengobatan hipertensi sebagian besar efek samping yang lazim terjadi
adalah deplesi kalium. Walaupun hipokalemia ringan dapat ditoleransi oleh banyak
pasien, hipokalemia dapat berbahaya pada pasien yang menggunakan digitalis,
pasien dengan eritmia kronis, pada infraktus miokardium akut atau disfungsi
ventriks kiri. Kehilangan kalium diimbangi dengan reansorbsi natrium oleh
karenanya pembatasan asupan natrium dapat meminimalkan kehilangan kalium.
Diuretic glukosa dan peningkatan konsenutrasi lemak serum. Diuretic dapat
meningkatkan konsentrasi uric acid dan menyebabkan terjadinya gout(pirai).
Penggunaan dosis rendah dapat meminimalkan efek metabolic yang tidak
diinginkan tanpa mengganggu efek antihipertensinnya.

1.4 Metodelogi percobaan


A. Hewan percobaan : tikus putih jantan, usia sekitar 2 bulan, 3 ekor
B. Alat yang digunakan :
Timbangan tikus
Spuit injeksi dan jarum ukuran 1 mL
Pipa lambung
Kandang khusus untuk pengamatan
Tabung berskala untuk penambungan urin
Kertas indicator universal
Sarung tangan
C. Bahan yang digunakan : Larutan furosemid Na dalam air, dibuat dalam air dengan
meneteskan ke dalam campuran larutan NaOH 0,1 N sampai furosemid larut,
kemudian larutan dinetralkan dengan HCl 0,1 N; larutan NaCl fisiologik; diuretika
lain yang tersedia.
D. Dosis obat :
Furosemid Na 0,5 mg/kg bb; 13,5 mg/kg bb
NaCl fisiologik 0,5 ml
E. Rute pemberian : SC
F.
67
G. Pengamatan selama 20 menit Prosedur
Hasil Urin Percobaan
Hewan Obat
1. Larutan Furosemid 0,3ml Diambil
Larutan Furosemid 0,3ml mencit 5
Tikus
NaCl 0,5ml
ekor
2. Tikus dipuasakan selama 12 sampai 16 jam, tetapi tetap diberikan air minum
3. Hewan percobaan terdiri dari 3 ekor tikus menurut dosis obat yang tersedia
4. Semua tikus diberi air hangat per oral sebanyak 50 ml/kg bb
5. Masing-masing tikus diberikan furosemid sesuai dosis atau NaCl fisiologis
6. Segera setelah pemberian obat, tempatkan tikus kedalam kandang khusus yang
didesain untuk mengumpulkan urine tanpa kontaminasi feses.

H. Perhitungan Dosis
1. Tikus I
Bobot tikus = 200 g
0,018 konversi
0,018 x 0,5 mg/kg bb = 0,009
= 200g / 200 g x 0,009 = 0,009
Volume yang diambil = 0,009/10mg x 1ml = 0,0009
Pengenceran
Furosemid = 1 ml
NaCl ad 10 ml
Volume yang diambil = 0,0009/ 1ml x 10 ml = 0,009 ml
Volume air yang diminum = 50mg/kg bb = 10ml
2. Tikus II
Bobot Tikus = 160 g
0,018 x 13,5 mg/kg bb = 0,243
= 160 g / 200 g x 0,243 = 0,1944
Volume yang diambil = 0,1944 / 10mg x 1 ml = 0,019ml
Volume air yang disuntikkan = 50 mg / kg bb x 0,06 = 8 ml

I. Pengamatan

68
J. Pertanyaan
1. Sebutkan satu contoh dari tiap golongan diuretika dan jelaskan masing-masing
mekanisme kerja dan lokasi aktivitas kerja diuretikanya dinefron ginjal?
Jawab:

1) Diuretik osmotik
Diuretik osmotik mempunyai tempat kerja :
a. Tubuli proksimal
Diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya.
b. Ansa enle
Diuretik osmotik ini bekerja pada ansa henle dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula
menurun.
c. Duktus Koligentes
Diuretik osmotik ini bekerja pada Duktus Koligentes dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out,
kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.
Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang
mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah
; manitol, urea, gliserin dan isisorbid.
2) Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase
Diuretik ini merintangi enzim karbonanhidrase di tubuli proksimal sehingga di
samping karbonat , juga Na dan K di ekskresikan lebih banyak bersama dengan
air. Khasiat diuretiknya hanya lemah, setelah beberapa hari terjadi tachyfylaxie,
maka perlu digunakan secara selang seling (intermittens). Diuretic bekerja pada
tubuli Proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi bikarbonat. Yang termasuk
golongan diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.
3) Diuretik golongan tiazid
Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium klorida. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi
tertahan lebih lama (6-48 jam) dan terutama digunakan dalam terapi pemeliharaan
hipertensi dan kelemahan jantung (dekompensatio cardis). Obat-obat ini memiliki
kurva dosis efek datar, artinya bila dosis optimal dinaikkan lagi efeknya (dieresis,
penurunan tekanan darah) tidak bertambah.Obat-obat diuretik yang termsuk
69
golongan ini adalah ; klorotiazid, hidroklorotiazid, hidroflumetiazid,
bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid, siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon,
kuinetazon, dan indapamid.
4) Diuretik hemat kalium
Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus koligentes
daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan sekresi kalium
dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara langsung
(triamteren dan amilorida).efek obat-obat ini hanya melemahkan dan khusus
digunakan terkombinasi dengan diuretika lainnya guna menghemat ekskresi
kalium. Aldosteron menstimulasi reabsorbsi Na dan ekskresi K. proses ini
dihambat secara kompetitif (saingan) oleh obat-obat ini. Amilorida dan triamteren
dalam keadaan normal hanyalah lemah efek ekskresinya mengenai Na dan K.
tetapi pada penggunaan diuretika lengkungan dan thiazida terjadi ekskresi kalium
dengan kuat, maka pemberian bersama dari penghemat kalium ini menghambat
ekskresi K dengan kuat pula. Mungkin juga ekskresi dari magnesium dihambat.
5) Diuretik kuat
Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan
epitel tebal dengan cara menghambat transport elektrolit natrium, kalium, dan
klorida. Obat-obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6 jam).
Banyak digunakan pada keadaan akut, misalnya pada udema otak dan paru-paru.
Memperlihatkan kurva dosis efek curam, artinya bila dosis dinaikkan
Yang termasuk diuretik kuat adalah ; asam etakrinat, furosemid dan bumetamid.

2. Diuretika bekerja diginjal, apakah diuretika dapat menyembuhkan penyakit ginjal


tanpa pengobatan lain atau tindakan lain ?
jawab:
Iya, karena diuretic golongan kuat dapat menyembuhkan penyakit ginjal kronik namun
tidak untuk ginjal akut.
3. Sebutkan efek samping tak diinginkan atau toksisitas yang dapat ditimbulkan diuretika
berdasarkan mekanisme kerjanya?
jawab: Efek samping obat diuretik

Diuretic osmotic
Efek samping : GGA,sakit kepala,mual,muntah.-
Penghambat Karbonik anhidrase
70
Efek samping : diorientasi mental pada CH.-
Benzotiadiazide
Efek samping : Purpura, dermatitis disertai fotosensitivitas
Penggunaan lama menjadi hiperglikemia: Sekresi insulin menurun (respon dari
glukosa darah meningkat), Glikogenolisis meningkat, Glikogenesis menurun.Kadar
kolesterol meningkat dan TG meningkat, Hipokalemia, Depresi mental dan kom.-
Diuretic hemat kalium
Efek samping : Hiperkalemia, ginekomastia
Toksisitas diuretika
Pada pengobatan hipertensi sebagian besar efek samping yang lazim terjadi
adalah deplesi kalium. Walaupun hipokalemia ringan dapat ditoleransi oleh banyak
pasien, hipokalemia dapat berbahaya pada pasien yang menggunakan digitalis, pasien
dengan eritmia kronis, pada infraktus miokardium akut atau disfungsi ventriks kiri.
Kehilangan kalium diimbangi dengan reansorbsi natrium oleh karenanya pembatasan
asupan natrium dapat meminimalkan kehilangan kalium. Diuretic glukosa dan
peningkatan konsenutrasi lemak serum. Diuretic dapat meningkatkan konsentrasi uric
acid dan menyebabkan terjadinya gout(pirai). Penggunaan dosis rendah dapat
meminimalkan efek metabolic yang tidak diinginkan tanpa mengganggu efek
antihipertensinnya.

1.5 Pembahasan
Setelah melakukan percobaan ini kami dapat mengetahui cara pemberian obat pada
hewan uji, adapun tujuan dari percobaan ini yaitu memahami kerja farmakologi dari
berbagai kelompok diuretic sehingga memperoleh gambaran cara evaluasi efek diuretic.
Diueretik adalah senyawa yang dapat menyebabkan eksresi urine yang lebih banyk.
Jika pada peningkatan eksresi garam garam maka diuretic dinamakan salurelika atau
natriuretika ( diuretic dalam arti sempit ).
Adapun bahan yang digunakan sebagai penguji yaitu furosemida, herbal sambiloto,
larutan Nacl 0,9 %.

1.6 Kesimpulan
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
71
Diuretik dapat di golongkan menjadi beberapa golongan : diuretik kuat, diuretik hemat
kalium, diuretik golongan tiazid, golongan penghambat enzim karbonik anhidrase,
diuretik osmotik
Furosemid, adalah sebuah obat yang digunakan untuk meningkatkan produksi urin.
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel kembali
menjadi normal.
1.7 Saran
Diharapkan kepada seluruh praktikan agar pada saat melakukan praktikum selalu
mengikuti peraturan dan tata tertib yang telah ditentukan dan selalu menanamkan
kedisiplinan dan kerja sama anggota kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Penuntun Praktikum Farmakologi, Institut Sains dan Teknologi Nasional, 2008.
http://bajilfarmasiumi.blogspot.com/2011/10/farmakologi.html
https://fembrisma.wordpress.com/science/sistem-koordinasi-
manusia/sistem-saraf-pada-manusia/
kamuskesehatan.com/arti/sistem-saraf-otonom/
www.smanepus.sch.id/kumpulan%20materi/.../biologi/.../materi7.html
Ganiswara, Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.
Goth, Andres. 1984. Medical Pharmacology. USA: The C. V. Mosby Company.
Hall, LW and Clarke, KW. 1983. Veterinary Anaesthesia. Spanish: Bailliere Tindall Ltd.

72
Karczmar, AG and Koppanyi, T. 1963. Experimental Pharmacodynamics. USA: Burgess

Surtiretna, Nina. 2006. Mengenal Sistem Saraf. Bandung: PT


Kiblat Buku Utama
Pack, Phillip E. 2007. Anatomy and Physiology. Bandung: Pakar
Raya
Sloane, Ethel. 1994. Anatomy and Physiology: An Easy Learner.
Sudbury: Jones and Bartlett Publishers, Inc
PublishingCompany.

73

Anda mungkin juga menyukai