Anda di halaman 1dari 62

PENUNTUN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI

Yardi, PhD, Apt.


Marvel, M.Farm., Apt.
Suci Ahda Novitri, M.Si., Apt.
Dimas Agung Waskito W, S.Far., MM
Via Rifkia, M.Si.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
2019

1
PENUNTUN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI

NAMA :
NIM :
KELAS :

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
2019

2
DAFTAR ISI

I. Teori Dasar Laboratorium Farmakologi


II. Eksperimen-Eksperimen Dasar
III. Analgetika dan Hubungan Dosis-Respon
IV. Antikoagulan
V. Antiinflamasi
VI. Stimulasi Sistem Saraf Pusat dan Antiepileptika
VII. Anestetika Umum
VIII. Antidiabetes
IX. Diuretik
X. Midriatik-Miotik
XI. Skrining Hipokratik
XII. Toksisitas Akut dengan BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

3
PRAKTIKUM I
TEORI DASAR LABORATORIUM FARMAKOLOGI

TUJUAN UMUM LABORATORIUM FARMAKOLOGI


Setelah menyelesaikan praktikum di laboratorium, mahasiswa diharapkan:
1. Terampil bekerja dengan beberapa hewan percobaan, antara lain:
mencit, tikus, kelinci.
2. Dapat mengaplikasikan prinsip farmakologi yang diperoleh secara
teoritis.
3. Mampu menerapkan dan memodifikasi metoda–metoda farmakologi
untuk penilaian efek obat.
4. Mampu memberikan penilaian terhadap hasil-hasil eksperimen yang
diperoleh.
5. Mampu memberikan tafsiran mengenai implikasi praktis dari hasil-
hasil eksperimen.

1.1. HEWAN PERCOBAAN YANG DIGUNAKAN DI


LABORATORIUM FARMAKOLOGI
Hewan percobaan mempunyai nilai yang tinggi dalam penelitian dan
perkembangan obat-obatan untuk manusia. Dalam praktikum farmakologi ini,
percobaan dilakukan terhadap hewan hidup, dan hendaknya diperlakukan dengan
penuh rasa kemanusiaan. Perlakuan yang tidak wajar terhadap hewan percobaan
dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam hasil pengamatan.

A. Mencit
Karakteristik Utama Mencit
Dalam laboratorium mencit mudah ditangani, ia bersifat penakut,
fotofobik cenderung berkumpul sesamanya, mempunyai kecendrungan untuk
bersembunyi dan lebih aktif pada malam hari. Kehadiran manusia akan
menghambat mencit. Suhu tubuh normal 37,40C, laju respirasi normal 163 tiap
menit.

4
Cara Memperlakukan Mencit:
 Mencit diangkat dengan memegangnya pada ujung ekornya dengan tangan
kanan, dan dibiarkan menjangkau kawat kandang dengan kaki depannya.
 Selanjutnya dengan tangan kiri, kulit tengkuknya dijepit diantara telunjuk
dan ibu jari.
 Kemudian ekornya dipindahkan dari tangan kanan ke antara jari manis dan
jari kelingking tangan kiri, hingga mencit cukup erat dipegang. Pemberian
obat kini dapat dimulai.

Cara pemberian obat


1. Oral, diberikan dengan alat suntik, dilengkapi dengan jarum oral. Kanulla
ini dimasukkan kedalam mulut, kemudian perlahan-lahan dimasukkan
melalui tepi langit-langit ke belakang sampai esofagus.
2. Subkutan, diberikan di bawah kulit pada daerah tengkuk.
3. Intravena, penyuntikan dilakukan pada vena ekor.
4. Intramuskular, penyuntikan dilakukan pada otot paha posterior dan jangan
terlalu dalam.
5. Intra peritoneal, hewan dipegang pada punggungnya sehingga kulit
abdomennya menjadi tegang. Pada saat penyuntikan, posisi kepala mencit
lebih rendah dari abdomennya. Jarum disuntikkan dengan membentuk
sudut 10o dengan abdomen, agak menepi dari garis tengah, untuk
menghindari terkenanya kandung kecing. Jangan pula terlalu tinggi agar
tidak mengenai hati.
Volume penyuntikkan untuk mencit umumnya adalah: 1 ml/100 g bobot
badan. Kepekatan larutan obat yang disuntikkan disesuaikan dengan
volume yang dapat disuntikkan tersebut

B. Tikus
Karakteristik Tikus
Tikus putih pada umumnya tenang dan mudah ditangani. Ia tidak
bersifat fotofobik seperti halnya mencit dan kecendrungannya untuk
berkumpul sesamanya juga tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak demikian

5
terganggu dengan adanya manusia disekitarnya. Suhu tubuh normal 37,5oC.
Laju respirasi normal 210 tiap menit.
Bila diperlakukan kasar atau mengalami defisiensi nutrisi tikus
menjadi galak dan sering menyerang si pemegang.

Cara Memperlakukan Tikus


1. Tikus dapat diperlakukan sama seperti mencit, tetapi bagian ekor yang
dipegang adalah bagian pangkal ekor, Tikus dapat diangkat dengan
memegang perutnya ataupun dengan cara sebagai beriukut:
Tikus diangkat dari kandangnya dengan memegang tubuh/ekornya dari
belakang, kemudian diletakkan diatas permukaan kasar. Tangan kiri
diluncurkan dari belakang tubuhnya, menuju kepala dan ibu jari di
selipkan ke depan untuk menjepit kaki kanan depan tikus antara jari ini
dengan telunjuk.
2. Untuk melakukan pemberian obat secara ip, im tikus dipegang di bagian
belakangnya. Hal ini hendaknya dilakukan dengan mulus tanpa ragu-ragu.
Tikus tidak mengelak bila dipegang dari atas, tapi bila dipojokkan ke
sudut, ia akan menjadi panik dan menggigit.

Cara Pemberian Obat


Oral, subkutan, intarvena, intra muskular maupun intraperitoneal dapat
diberikan dengan cara yang sama seperti pada mencit. Penyuntikkan subkutan
dapat pula dilakukan di bawah kulit abdomen atau tengkuk. Volume
penyuntikkan paling baik bagi tikus adalah 0,2 – 0,3 ml/100 g bobot badan.

C. Kelinci
Karakteristik Utama Kelinci
Kelinci jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan nyeri luar biasa ia
bersuara. Kelinci pada umumnya cenderung untuk berontak apabila
keamanannya tergangggu.

6
Suhu rektal pada kelinci sehat adalah antara 38,5 – 40oC, pada
umumnya 39,5oC. Suhu rektal ini berubah apabila hewan tersebut tereksitasi,
ataupun karena gangguan lingkungan.
Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah 38-65 per menit, pada
umumnya 50 (pada kelinci muda laju ini dipercepat, pada kelinci bayi bisa
mencapai 100 per menit).

Cara Memperlakukan Kelinci


Kelinci harus diperlakukan dengan halus namun sigap, karena ia
cenderung untuk berontak. Menangkap atau memperlakukan kelinci jangan
dengan mengangkat pada telinganya. Untuk menangkapnya, pada leher kelinci
dipegang dengan tangan kiri, pantatnya diangkat dengan tangan kanan.
Kemudian didekapkan ke dekat tubuh.

Cara-Cara Pemberian Obat


1. Oral, pemberian obat dengan cara ini dihindari, tapi bila dipakai juga maka
digunakan alat penahan rahang dan pipa lambung
2. Subkutan, bagian yang baik untuk cara pemberian ini adalah kulit di sisi
sebelah pinggang, atau bagian tengkuk Caranya: angkat kulit dan tusukkan
jarum dengan arah anterior
3. Intravena, yang dipilih adalah vena marginalis dan penyuntikan dilakukan
pada daerah dekat ujung telinga dibasahi dulu dengan air hangat atau
alkohol.
4. Intra muskular, dilakukan pada otot kaki belakang
5. Intraperitonial, posisi kelinci diatur sedemikiansehingga letak kepala lebih
rendah daripada perut. Penyuntikkan dilakukan pada garis tengah di muka
kandung kencing.

D. Marmot
Karakteristik Utama Marmot
Marmot sangat jinak, tidak akan mengalami kesukaran pada waktu
dipegang dan jarang menggigit. Marmot yang sehat selalu bersikap awas,

7
kulitnya halus dan berkilat, tidak dikotori oleh feses maupun urine. Bila
dipegang bulunya tebal. Tidak ada cairan yang keluar dari hidung dan telinga,
juga tidak meneteskan air liur dan diare. Pernafasannya teratur dan tidak
berbunyi. Sikap dan cara berjalannya normal. Dalam satu spesies, variasi
bobot badan dan ukuran badan antara tiap marmot yang berumur sama, tidak
besar.
Laju denyut jantung marmot normal adalah 150 – 160 per menit, laju
respirasi 110 – 150 per menit, dan suhu rektal antara 39 dan 40oC.

Cara Memperlakukan Marmot


Marmot dapat diangkat dengan jalan memegang badan bagian atas
dengan tangan yang satu dan memegang badan bagian belakangnya dengan
tangan yang lain. Mendekapkan marmot ke tubuh sendiri dengan satu tangan.

Cara Pemberian Obat


1. Oral, tiga cara yang dapat dilakukan yakni:
a. Dengan pipa lambung seperti pada mencit, sebelumnya marmot diberi
anestetika lemah terlebih dahulu
b. Dengan pipet, ini berlaku untuk cairan sampai volume 5 ml
c. Dengan penambahan kepada makanan selain untuk bahan padat dapat
juga cara ini dipakai untuk pemberian cairan.
d. Intradermal, bulu marmot pada daerah yang akan disuntikkan, dicukur
terlebih dahulu, kemudian ditegangkan, jarum suntik ditusukkan ke
dalam kulit kira-kira 2 cm ke dalam kulit. Jumlah cairan yang dapat
disuntikkan adalah sampai dengan 0,5 ml.
e. Subkutan, angkat bagian kulit untuk mencubitnya, kemudian
tusukkanlah jarum suntik ke bawah kulit, paralel dengan otot
dibawahnya. Pemilihan lokasi penyuntikkan tidak diabatasi.
f. Intraperitonial, adalah daerah seluas lebih kurang 2,5 cm persegi, agak
kekanan dari garis midsagital dan 2,5 cm diatas pubis.
Marmot dipegang pada punggungnya sedemikian sehingga perutnya
agak menjolok ke muka. Jarum suntik kemudian di tusukkan seperti

8
pada caar subkutan , tetapi sesudah masuk ke dalam kulit, jarum agak
ditegangkan sehingga menembus lapisan otot masuk ke dalam daerah
peritoneum
g. Intramuskular, daerah penyuntikan terbaik adalah otot paha bagian
posterio-lateral. Jarum disuntikkan melalui kulit dan diarahkan kepada
jaringan otot, jangan terlalu dalam sampai menyentuh bagian tulang
paha.
h. Intravena, cara ini jarang digunakan, namun ada dua metoda yang
mungkin dilakukan :
1. Vena marginalis; dengan jarum halus dan pendek, cara ini khusus
untuk marmot besar
2. Vena saphena (vena pada paha);marmot dianestesi terlebih dahulu,
isolasi vena saphena, baru dilakukan penyuntikan.
Ket: pemberian obat-obat secara parenteral terutama untuk marmot harus
didahului dan diakhiri dengan pemberian antiseptika pada daerah
penyuntikan.

E. Katak
Karakteristik Utama Katak
Kulit katak bersifat lembab dan licin.

Cara Memperlakukan Katak


Katak dipegang pada lehernya ataupun badannya dengan menggunakan kain
kasar atau lap.

Cara Pemberian Obat


1. Oral, diberikan dengan spatula, mulutnya kemudian ditutup dan lehernya
dipijat-pijat perlahan-lahan sampai obat tertelan seluruhnya.
2. Lokal, beberapa obat misalnyauretan diberikan melalui absorpsi oleh kulit.
3. Parenteral, pada umumnya berbentuk cairan diberikan dengan injeksi
kedalam kantung limfe dorsal ataupun ventral, dengan menggunakan
jarum hipodermik (kedalam paha) atau kebagian tengah punggung.

9
Injeksi dilakukan perlahan-lahan ditarik dengan perlahan-lahan pula, untuk
mencegah cairan keluar.

1.2. BOBOT BADAN, LUAS PERMUKAAN BADAN DAN DOSIS OBAT


Tujuan percobaan:
Melihat relevansi bobot badan, tinggi badan, umur dan luas
permukaaan tubuh terhadap perhitungan dosis.

Teori singkat
Dosis obat yang diterapkan oleh farmakope-farmakope umumnya
berdasarkan usia atau bobot badan. Orang dewasa Indonesia umumnya
dianggap mempunyai bobot badan 60 kg. Wanita yang perawakan yang
lebih kecil dan massa tubuh yang mengandung lebih banyak lemak
umumnya mempunyai bobot badan yang lebih rendah dari pria. Pendapat
mutakhir menganjurkan perhitungan dosis obat seseorang berdasarkan
luas permukaan badan. Berdasarkan persamaan Du Bois dan Du Bois, luas
permukaan badan adalah :
Dengan : S = luas permukaan badan (m2)
W = berat badan (kg)
H = tinggi badan (cm)
Berdasarkan luas permukaan badan dapat diturunkan dosis anak sebagai
berikut :

(luas permukaan badan orang dewasa rata-rata = 1,73 m2)


Dosis obat dapat dinyatakan dalam jumlah obat/m2 luas permukaan
badan yang dapat dihitung sebagai berikut
Dosis individu = Jumlah obat/m2 x luas permukaan badan (m2) atau lebih
lazim dinyatakan dalam mg/kg bobot badan yang dapat dihitung sebagai
berikut:
Dosis individu = mg/kg x bobot badan (kg)
Dosis obat juga ada yang dinyatakan dalam unit, misalnya unit vitamin A
dan D, antibiotika tertentu, serta hormon-hormon. Satuan unit menyatakan

10
jumlah tertentu aktivitas biologik obat tersebut USP sering melakukan
standarisasi unit obat-obat tertentu sehingga dengan demikian disebut unit
USP. Ini berarti 1 (satu) unit obat tersebut dihitung berdasarkan prosedur
uji USP.

Prosedur Percobaan
Timbanglah bobot badan dan ukurlah tinggi badan tiap anggota kelompok
1. Catat datanya dan buatlah sebuah tabel yang mengandung data sbb:
bobot badan, umur, jenis kelamin, luas permukaan tubuh menurut
perhitungan, luas permukaan tubuh menurut kutipan (pustaka)
2. Hitung luas permukaan badan rata-rata untuk: seluruh kelas, wanita
saja, pria saja, pengelompokan lain yang saudara anggap relevan
(misalnya umur sama dsb)
3. Bahas hasil percobaan saudara
Pertanyaan :
1. Apakah ada perbedaan nyata antara luas permukaan tubuh pria dan
wanita
2. Apakah luas permukaan badan untuk tiap anggota kelompok sesuai
dengan kutipan/pustaka?
3. Jika dianggap bahwa dosis yang diberikan farmakope untuk orang
dewasa adalah berdasarkan bobot badan 60 kg, berapa besar
penyimpangan untuk kelompok-kelompok kelas, jika tidak dilakukan
penyesuaian?
4. Kesimpulan apa yang saudara kemukakan dari pengamatan ini (dalam
konteks dosis)
5. Turunkan sebuah rumus yang menyatakan dosis anak sebagai
persentase dosis orang dewasa
6. Bagaimana pendapat saudara mengenai dosis untuk usia lanjut?
7. Apakah yang dimaksud dengan : dosis, dosis terapi, dosis maksimum ,
dossis letalis, dosos toksik, dosis efektif

11
1.3. VOLUME ADMINISTRASI OBAT
Volume cairan yang diberikan pada hewan percobaan harus
diperhatikan tidak melebihi jumlah tertentu. Batas volume maksimum
pemberian obat pada hewan percobaan dapat dilihat pada tabel berikut :

Hewan Batas Volume Maksimum (ml) per Ekor Untuk Cara Pemberian
Percobaan Iv im ip sc oral
Mencit 0.5 0.05 1 0.5 1
Tikus 1 0.1 3 2 5
Marmot 2 0.2 3 3 10
Kelinci 3-10 0.5 10 3 20

Jumlah obat yang diberikan kepada hewan percobaan dihitung berdasarkan


rumus :

1.4. KONVERSI DOSIS PADA SPESIES LAIN


Untuk dapat memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu
obat pada setiap hewan percobaan, diperlukan data mengenai aplikasi
dosis secara kuantitatif. Beberapa spesies hewan percobaan yang sering
digunakan dipolakan perbandingannya terhadap luas permukaan tubuh
seperti tercantum pada tabel dibawah ini

12
Untuk Untuk Konversi dosis
Konversi hewan dalam mg/kg ke
dosis dalam HED
Berat Luas mg/kg ke
Spesies Badan Kisaran BB Permukaan dosis dalam
Dosis hewan Dosis hewan
Referensi Tubuh mg/m2,
dibagi dikali
dikalikan
dengan dengan
dengan km di
bawahnya
Manusia
Dewasa 60 1.62 37
Anak 20 0.8 25
Mencit 0.02 0.011-0.034 0.007 3 12.3 0.081
Hamster 0.08 0.047-0.157 0.016 5 7.4 0.135
Tikus 0.15 0.080-0.270 0.025 6 6.2 0.162
Ferret 0,300 0.160-0.540 0.043 7 5.3 0.189
Marmot 0.4 0.208-0.700 0.05 8 4.6 0.216
Kelinci 1.8 0.9-3.0 0.15 12 3.1 0.324
Anjing 10 5-17. 0.5 20 1.8 0.541
Primata
Monyet 3 1.4-4.9 0.25 12 3.1 0.324
Monyet
350 0.140-0.720 0.06 6 6.2 0.162
kecil
Squirel
600 0.290-0.970 0.09 7 5.3 0.189
Monkey
Babon 12 7-23. 0.6 20 1.8 0.541
Micro-Pig 20 10-33. 0.74 27 1.4 0.73
Mini-Pig 40 25-64 1.14 35 1.1 0.946

atau

13
1.5. IDENTIFIKASI / PENANDAAN HEWAN
Dosis obat yang diberikan pada hewan dinyatakan dalam mg atau g
per g bobot tubuh hewan. Karena itu perlu diketahui berat dari tiap hewan
yang akan digunakan dalam percobaan dan tiap hewan diberi tanda
(titik/garis) menggunakan pewarna untuk mengidentifikasinya. Tabel
berikut daerah dari lokasi yang diberi tanda:

No. Hewan Lokasi Tanda Identifikasi

1 Kepala K
2 Punggung P
3 Ekor E
4 Kepala Punggung KP
5 Kepala Ekor KE
6 Punggung Ekor PE
7 Kepala Punggung Ekor KPE
8 Kaki Anterior KKA
9 Kaki Posterior KKP
10 Kaki Anterior Kanan KKA ka
11 Kaki Anterior Kiri KKA ki
12 Kaki Posterior Kiri KKP ki
13 4 Kaki 4 kk
14 2 Kaki Kanan 2 KK ka
15 2 Kaki Kiri 2 KK ki
16 Blanko B

Penandaan hewan percobaaan (tikus dan mencit) dapat pula


dilakukan pada ekornya berupa garis melintang sejajar atau tanda (+) yang
dirumuskan atau dibaca sebagai angka (nomor hewan) dimulai dari
pangkal ekornya. Gunakan spidol

14
Tanda pada ekor dibaca sebagai nomor
hewan
Satu garis melintang 1
2
3
Satu garis melintang satu garis sejajar 4
Satu garis sejajar 5
Satu garis sejajar dan garis melintang 6
7
8
Satu garis melintang dan satu tanda (+) 9
Satu tanda (+): 10
Tanda (+) dan melintang: 11
12
13
Satu (+), garis melintang dan sejajar: 14
Tanda(+) dan garis melintang: 15
Tanda(+) garis sejajar & garis melintang: 16
17
18
Tanda (+) garis melintang &tanda (+): 19
Dua tanda (++): 20
Dan seterusnya menurut contoh di atas dst

1.6. FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG DAPAT


MEMPENGARUHI HASIL-HASIL EKSPERIMEN
Dalam laboratorium farmakologi, sebagian besar eksperimen dilakukan
pada hewan percobaan dan pada jaringan atau organ hewan percoban. Sebagian
makhluk hidup atau struktur hidup, persyaratan-persyaratan dan kebutuhan-
kebutuhan tertentu harus dipenuhi agar respon terhadap manipulasi farmakologi
yang dialaminya dapat secara pasti dikatakan merupakan respon untuk perlakuan
farmakologi yang diamati.

15
1. Keadaan kandang
Bahan yang diletakkan pada dasar kandang sebagai tempat tidur dapat
menyebabkan perbedaan respon terhadap obat. Lamanya tidur pada mencit-
mencit putih jantan berbeda setelah diberikan heksobarbital-Na atau
pentobarbital-Na jika untuk alas tidur digunakan pecahan tongkol jagung
2. Suasana kandang baru yang asing juga menambah variabilitas terhadap respon
obat, terutama pada uji pirogen dan efek purgatif atau dalam pengujian efek
obat terhadap keawasan, denyut jantung, aktivitas lokomotorik, ekskresi urine
3. Pengamatan hewan dalam kandang
Penenpatan hewan dalam kandang secara sendiri atau bersama-sama juga
dapat mengubah respon terhadap obat. Mencit-mencit strain tertentu yang
ditempatkan secara bersama-sama ternyata menunjukkan peningkatan
toksisitas amfetamin sebesar sepuluh kali dari pada bila ditempatkan sendiri-
sendiri.
Pengalaman hewan sebelum menerima obat: latihan – latihan melompat dalam
menghindari stimulus goncangan (shock) yang kuat mengakibatkan hewan
percobaan menjadi lebih resisten dan tahan terhadap pengaruh obat-obat
fenotiazin.
4. Keadaan ruangan tempat hidup hewan percobaan(cuaca)
Suhu kamar sekitar 27oC ternyata menaikkan toksisitas amfetamin
dibandingkan dengan suhu sekitar 15,5oC. Panas mendilatasi pembuluh
pembuluh perifer dan mengintensifkan vasodilator dan diafotretik.

16
17
18
PRAKTIKUM II
EKSPERIMEN-EKSPERIMEN DASAR

2.1. CARA-CARA PEMBERIAN OBAT


Tujuan eksperimen
Setelah menyelesaikan eksperimen ini mahasiswa diharapkan:
1. Mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai pemberian
obat
2. Menyadari berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya
3. Dapat menyatakan beberapa konsekwensi praktis dari pengaruh rute
pemberian obat terhadap efeknya
4. Mengenal manifestasi berbagai obat yang diberikan

Teori dasar
Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis
anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak mula obat dan
tubuh. Karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda
struktur anatomi dari lingkungan kontak antara obat-tubuh yang berbeda;
enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan
tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat
mencapai lokasi kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan berbeda,
tergantung dari rute pemberian obat. Meskipun pemberian obat secara oral
merupakan cara yang paling lazim, seringkali rute ini tidak digunakan
mengingat hal-hal yang dikemukakan, mengingat kondisi penerima obat
itu sendiri.

A. Rute Pemberian Obat Secara Oral


Bahan dan alat untuk eksperimen:
Hewan percobaan : Mencit
Obat yang diberikan : Diazepam
Dosis obat : 0,1-0,2 mg/kg (dosis manusia IV)

19
Konsentrasi larutan obat : 10 mg/2ml
Alat yang diperlukan : Alat suntik 1 ml, jarum oral
Prosedur kerja
Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum oral telah dipasang pada alat
suntik berisi obat, diselipkan dekat ke langit-langit tikus dan diluncurkan
masuk ke esofagus; larutan didesak ke luar dari alat suntik; kepada tikus
secara oral, dapat diberi maksimal 5 ml/100 g bobot tubuhnya.

B. Rute pemberian obat secara subkutan


Bahan dan Alat untuk eksperimen
Hewan percobaan, obat yang diberikan; dosis obat; kepekatan larutan obat:
seperti pada pemberian oral.
Alat yang diperlukan : Alat suntik 1 ml
Prosedur kerja
Penyuntikan biasanya dilakukan dibawah kulit tengkuk atau abdomen.
Seluruh jarum langsung ditusukkan ke bawah kulit dan larutan obat
didesak keluar dari alat suntik.

C. Rute pemberian obat secara intravena


Bahan dan Alat untuk eksperimen
Hewan percobaan, obat yang diberikan; dosis obat; kepekatan larutan obat:
seperti pada pemberian oral.
Alat : Alat suntik 1 ml
Prosedur kerja
 Tikus dimasukkan kedalam alat khusus yang memungkinkan ekornya
keluar
 Sebelum disuntik sebaiknya pembuluh balik pada ekor didilatasi
dengan penghangatan atau pengolesan memakai pelarut organik seperti
aseton atau eter
 Bila jarum tidak masuk ke vena, terasa ada tahanan, Jaringan ikat
sekitar daerah penyuntikan memutih dan bila piston alat suntik ditarik
tidak ada darah yang mengalir kedalamnya.

20
 Dalam keadaan dimana harus dilakukan penyuntikan berulang,
penyuntikan dimulai dari bagian distal ekor

D. Rute pemberian obat secara intraperitoneal


Bahan dan Alat untuk eksperimen
Hewan percobaan, obat yang diberikan; dosis obat; kepekatan larutan obat:
seperti pada pemberian oral.
Prosedur kerja :
Tikus dipegang pada tengkuknya, sedimikian sehingga posisi abdomen
lebih tinggi dari kepala. Lalu larutan disuntikan ke dalam abdomen lebih
tinggi dari kepala. Lalu larutan obat disuntikan ke dalam abdomen bawah
dari tikus.

E. Rute pemberian obat secara intramuscular


Bahan dan Alat untuk eksperimen
Hewan percobaan, obat yang diberikan; dosis obat; kepekatan larutan obat:
seperti pada pemberian oral.
Prosedur kerja :
Larutan obat disuntikkan ke dalam otot paha kiri belakang. Selalu dicek
apakah jarum tidak masuk ke dalam vena dengan menarik kembali piston
alat suntik.

F. Rute pemberian obat secara rektal


Bahan dan Alat untuk eksperimen
Hewan percobaan, obat yang diberikan; dosis obat; kepekatan larutan obat:
seperti pada pemberian oral.
Prosedur kerja :
Keteter dibasahi dulu dengan paraffin atau gliserin, kemudian dimasukkan
ke dlaam rectum tikus sejauh kira-kira 4 cm dan larutan obat didesak ke
luar.

21
Pengamatan
1. Untuk masing-masing rute pemberian obat, catat saat timbulnya efek dan
hilangnya masing-masing efek
2. Efek yang diamati yaitu tingkat depresi seperti :
a. Aktivitas spontan dari respon terhadap stimulus pada keadaan normal
b. Perubahan aktivitas, spontan atau dengan stimulus (gerakan tidak
terkoordinasi)
c. Usaha untuk menegakkan diri tidak berhasil
d. Diam tidak bergerak
3. BuaTkan tabel yang memuat hasil-hasil pengamatan saudara

3.2. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK OBAT

Tujuan
Setelah mengerjakan Praktikum ini mahasiswa diharapkan :
1. Mengenal dan mengamati berbagai factor yang memodifikasi dosis
obat.
2. Dapat mengemukakan hal-hal yang melandasi pengaruh faktor-faktor
lain.

Bahan dan Alat


1. Mencit jantan dan betina, berat badan sekitar 20 g.
2. Obat : diazepam dosis 0,2 mg/kgbb manusia
3. Kepekatan larutan obat 10 mg/2ml
4. Alat suntik (rute intra peritoneal)
5. Timbangan hewan, wadah pengamatan, dan peralatan lain.

Prosedur Pengerjaan
Pengaruh variasi biologik terhadap efek obat
1. Siapkan hewan coba : 2 mencit jantan dan 2 mencit betina.
2. Hitung dosis, suntikan secara intra peritoneal larutan obat.

22
3. Setelah penyuntikan obat, masing-masing mencit ditempatkan dalam
kandang terpisah dan diamati efeknya selama 45 menit.
Pengamatan
1. Sesuai dengan efek yang diamati, masing-masing mencit
dikelompokkansebagai berikut :
 sangat resisten : tidak ada efek
 resisten : tidak tidur tetapi mengalami
ataxia
 sesuai dengan efek yang diduga :tidur tetapi tegak kalau diberi
rangsangan nyeri
 peka : tidur, tidak tegak walaupun diberi
rangsangan nyeri
 sangat peka : mati

2. Buatlah tabel hasil pengamatan secara lengkap

Pembahasan dan Kesimpulan


Bahas selengkap mungkin mengenai percobaan ini dan kemukakan
kesimpulan dan pendapat saudara.

23
Mencit Jantan
Rute Dosis Pengamatan
Mencit BB (kg)
Pemberian ( VAO ) t Respon - t respon hilang
Saat pemberian

24
Mencit Betina
Pengamatan
Rute Dosis
Mencit BB (kg) t Respon - t respon
Pemberian ( VAO )
kejang/kematian
Saat pemberian

25
PRAKTIKUM III
ANALGETIKA DAN HUBUNGAN DOSIS-RESPON

Tujuan
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek
analgesik suatu obat.
2. Mampu mengobservasi dan menyimpulkan perubahan respon akibat
pemberian berbagai dosis analgetika.
3. Mampu membuat kurva hubungan dosis-respon.

Teori
Hampir semua sensasi nyari disebabkan oleh pembebasan senyawa-
senyawa kimia tertetu oleh stimulus nyeri. Senyawa kimia yang disebabkan ini
dapat meninbulkan nyeri karena mengeksitasi ujung-ujung saraf nyeri,
menyebabkan zat-zat lain menimbulkan nyeri, menimbulkan kejangan otot-otot
visceral / iritasi (kerusakan jaringan setempat)
Sifat nyeri yang timbul tergantung pada serabut saraf yang menghantar
impuls nyeri ke korteks sensorik di otak, maka sensasi nyeri disadari sebagai nyeri
yang tajam, menusuk atau hanya nyeri ngilu.
Penyadaran sensasi nyeri sendiri mempunyai komponen psikologis karena
meskipun mempunyai nilai ambang intensitas stimulus untuk nyeri relatif konstan
pada orang normal, tetapi sensasi nyeri sendiri sebagai respon terhadap stimulus
nyeri dapat sangat bervariasi dari orang ke aorang. Analgetik narkotik seperti
morfin diketahui juga memodifikasi reaksi dan respon orang terhadap nyeri,
sehingga nyeri yang disadarinya dapat ditoleransi dengan lebih baik.
Obat-obat yang dapat mengatasi nyeri digolongkan dalam beberapa kelompok,
yaitu ;
1. Analgetik yang bekerja sentral, missal morfin dan sejenisnya.
2. Analgetik yang bekerja perifer.
Pada pemakaian yang tidak hati-hati obat-obat dalam kelopok pertama
dapat menimbulkan ketergantungan, sedangkan kelompok kedua ada kalanya

26
dapat berefek sebagai antipiretik (Asetosal) dan efek anti radang (Fenilbutazon)
selain sebagai analgetik.
Ketika mengevaluasi efek obet analgetik perlu diperhatikan bahwa
metode-metode eksperimental yang ada tidak selalu dapat mendiskriminasikan
dengan baik antara obat-obat yang potensial dan tidak potensial sebagai anlgetik
pada manusia, hal ini karena tidak semua tipe nyeri dapat diproduksi secara
eksperimental
Prinsip pengujian efek analgetik secara eksperimental pada hewa
percobaan adalah mengukur kemampuan obat untuk menghilangkan atau
mencegah kesadaran sensasi nyeri yang ditimbulkan secara eksperimental, yang
timbul dengan cara-cara fisik ataupun cara-cara kimia.

Bahan dan Alat :


1. Mencit 3 ekor
2. Obat : Metaminzol Na (Novalgin Inj ®)
Dosis : 1000-2500 mg/ 60 kg (dosis manusia)
Konsentrasi : 50 mg/ml
3. Timbangan hewan
4. Alat suntik
5. Alat untuk pengujian
6. Stopwatch

Prosedur Pengerjaan
Metode Jentik Ekor (Tail Flick)
Rangsang nyeri yang digunakan dalam metode ini berupa air panas dengan
suhu 55C dimana ekor mencit dimasukkan ke dalam air panas akan merasakan
nyeri panas dan ekor dijentikkan ke luar dari air panas tersebut.
1. Timbang masing-masing mencit, beri nomor, dan catat.
2. Sebelum pemberian obat catat dengan menggunakan stopwatch waktu yang
diperlukan mencit untuk menjentikkan ekornya ke luar dari air panas. Tiap
rangkaian pengamatan dilakukan tiga kali selang 2 menit. Pengamatan

27
pertama diabaikan, hasil pengamatan terakhir dirata-ratakan dan dicatat
sebagai respon normal masing-masing tikus.
3. Suntikan secara intra muscular kepada masing-masing mencit obat dengan
dosis yang telah dikonversikan ke dosis mencit.
4. Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30, dan 60 setelah pemberian
obat.
5. Buatlah tabel hasil pengamatan dengan lengkap.
6. Gambarkan suatu kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap
respon mencit untuk stimulus nyeri.

Metode Pelat Panas (Hot Plate)


Rangsang nyeri yang digunakan berupa lantai kandang yang panas (55-
56C). Rasa nyeri panas pada kaki mencit menyebabkan respon mengangkat kaki
depan dan dijilat. Rata-rata hewan mencit akan memberikan respon dengan
metode ini dalam waktu 3 sampai 6 detik.
1. Timbang masing-masing mencit, beri nomor, dan catat.
2. Sebelum pemberian obat catat dengan menggunakan stopwatch waktu yang
diperlukan mencit untuk mengangkat dan menjilat kaki depannya sebagai
waktu nrespon, catat sebagai respon normal atau respon sebelum perlakuan.
3. Suntikan secara intra muscular kepada masing-masing mencit obat dengan
dosis yang telah dikonversikan ke dosis mencit.
4. Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30, dan 60 setelah pemberian
obat.
5. Buatlah tabel hasil pengamatan dengan lengkap.
6. Gambarkan suatu kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap
respon mencit untuk stimulus nyeri.

Pembahasan dan Kesimpulan


Bahas dan simpulkanlah hasil pengamatan yang saudara peroleh dari percobaan
ini.

28
Metode Hot Plate
Dosis
Mencit BB (kg) Pengamatan
( VAO )
5' 15' 30' 60'

29
Metode Jentik Ekor
Dosis
Mencit BB (kg) Pengamatan
( VAO )
5' 15' 30' 60'

30
PRAKTIKUM IV
ANTIKOAGULAN

TUJUAN

Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa diharapkan:

1. Mampu melaksanakan pengujian antikoagulan


2. Mengetahui dan memahami mekanisme kerja yang mendasari maniefestasi
efek antikoagulan.

TEORI

Anti koagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan


menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan
darah. Anti koagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk dan meluasnya
trombus dan emboli maupun untuk mencegah bekunya darah in vitro pada
pemeriksaan laboratorium atau transfusi ( Farmakologi dan terapi 2003).

Anti koagulan dapat dibagi menjadi 3 kelompok:

1. Heparin
2. Anti koagulan oral
3. Anti koagulan yang bekerja dengan mengikat ion kalsium

ALAT, BAHAN DAN HEWAN PERCOBAAN

Alat

Alat suntik, jarum oral (kanula), jarum iv, timbangan hewan, gunting, timbangan
analitik, kapas, gelas ukur, lumpang, stamper, spatel, sudip, jarum, stopwatch,
beaker glass, tube plastic, termometer.

31
Bahan

Bahan uji: warfarin, aqua destilata dan Na CMC, heparin, NaCl fisiologis.

Hewan Percobaan

- Hewan coba hendaknya dipuasakan semalam sebelum percobaan.


- Sebelum digunakan hewan tersebut harus terlebih dahulu ditimbang.
- Diberikan tanda pada bagian hewan tertentu dari hewan coba untuk
menyatakan berat hewan coba.
- Hitunglah dosis pemberian obat antikoagulan dan VAO sebelum diberikan
- Injeksikan hewan percobaan dengan obat antikoagulan.
- 30 menit setelah di injeksi, potong ekor mencit dengan alat pemotong yang
tajam kira-kira 1 cm dari ujung paling distal.
- Setelah ekor dipotong, cepat-cepat celupkan ekor mencit ke dalam NaCl
Fisiologis.
- Catat waktu pendarahan mulai pada saat memotong ekor sampai darah
berhenti mengalir.
- Bandingkan waktu pendarahan antara kontrol dengan perlakuan antara
kelompok-kelompok obat lain.
- Bahas hasil dan simpulkan.

Mencit dipegang dengan tangan erat

Ekor Menc it dipotong sepanjang 4 mm

Dim asukkan kedalam NaCL Fis

Catat wa ktu sam pai da rah


berhenti mengalir

32
PRAKTIKUM V
ANTIINFLAMASI

Tujuan
Setelah menyelesaikan Praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
1. Dapat melaksanakan pengujian antiinflamasi
2. Dapat memahami mekanisme terjadinya inflamasi dan pengobatannya

Teori Dasar
Mekanisme Terjadinya Inflamasi
Terjadinya inflamasi dimulai dengan adanya stimulus yang merusak
jaringan, mengakibatkan sel mast pecah dan terlepasnya mediator-mediator
inflamasi.
Macam-macam Inflamasi
a. Inflamasi Akut
Ditandai dengan kemerahan dan panas yang terlihat jelas pada jaringan
luar akibat pecahnya sel mast sehingga melepaskan mediator-mediator
inflamasi dan enzim lisosom serta ditandai dengan banyaknya leukosit. Selain
dari peristiwa tesebut, terjadi eksudasi cairan plasma ke tempat inflamasi yang
terus meningkat sehingga terbentuk cairan eksudat yang ditandai dengan
edema. Inflamasi akut akan hilang setelah satu atau dua hari karena
mempunyai waktu kerja yang pendek. Sebagai contoh inflamasi akut ini
adalah inflamasi akibat gigitan serangga, akibat luka dan lainnya (Guyton,
1995; Underwood, 1999).
b. Inflamasi Kronik
Inflamasi tipe ini ditandai dengan banyaknya eksudat jaringan
granulositosis, monositosis, limfositosis dan pengumpulan plasma sel.
Akibatnya jaringan mengalami fibrosis dan timbullah hyperplasia di sekitar
jaringan. Elemen-elemen jaringan yang diserang akan menghasilkan reaksi
imun antara suatu antigen dengan suatu antibody yang merangsang terjadinya
inflamasi. Inflamasi kronik mempunyai waktu kerja yang lama. Sebagai

33
contoh inflamasi kronik adalah inflamasi aibat tuberculosis dan rematoid
arthritis (Guyton, 1995; Underwood, 1999).
Golongan Obat Antiinflamasi
Obat-obat antiinflamasi adalah obat yang memilii aktifitas menekan atau
mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme kerjanya obat-obat
antiinflamasi terbagi ke dalam golongan:
1. Antiinflamasi steroid
Bekerja dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel
sumbernya, termasuk golongan obat ini antara lain: hidrokortison, prednisone,
prednisolon, metal prednisolon, triamsinolon,deksametason dan betametason
(Bowman, 1980).
2. Antiinflamasi non steroid
Bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi
asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Termasuk golongan obat ini
adalah: aspirin, ibuprofen, naproksen, fenoprofen, asam mefenamat dan
diflunisal. Indikasi obat ini adalah penyakit-penyakit yang disertai radang
terutama penyakit rematik yang disertai peradangan. Efek samping yang
terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptic yang kadang-kadang
disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna. (Ganiswara, 2007).

Bahan dan Alat


1. Tikus
2. Karagenan 1%
3. Ketorolak inj
Dosis : 10-30 mg / 60 kg (dosis manusia)
Konsentrasi : 10mg/ml
4. Aquadest
5. Timbangan
6. Raksa
7. Satu set alat anti inflamasi (plestimometer)

34
Metode Edema Buatan Pada Telapak Kaki Tikus
Prosedur Kerja
1. Disiapkan hewan uji
2. Ditimbang bobot hewan uji
3. Volume kaki kiri belakang yang akan diinduksi diberi tanda pada mata kaki
lalu diukur terlebih dahulu dengan cara mencelupkan kaki tikus ke dalam
raksa hingga tanda batas. Pada setiap pengkuran, tinggi cairan pada alat
dicatat sebelum dan sesudah pengukuran
4. Kemudian pada telapak tikus disuntik dengan ketorolak inj secara subplantar
(intrakutan pada telapak kaki)
5. Setelah 15 menit kemudian disuntikan larutan karagenan 1% sebanyak 0.2 ml
secara intrakutan, sebelumnya kaki tikus dibersihkan dengan etanol 70%
6. Setelah 1 jam kaki tikus dicelupkan ke dalam alat pletismometer hingga batas
mata kaki lalu diukur pada menit ke 30, 60, 90, 120 setelah diinduksi dengan
karagenan
7. Ukur volume edema telapak kaki masing-maisng tikus
8. Hitung presentase edema dan presentase inhibisi pembentukan edema dengan
rumus
% edema =

% inhibisi udem =

Keterangan :
X1 = Volume telapak kaki tikus pada waktu t
X0 = Volume telapak kaki tikus pada waktu nol
a = % udem rata-rata kelompok control
b = % udem rata-rata kelompok yang diberi zat uji

35
PRAKTIKUM VI
STIMULASI SISTEM SARAF PUSAT DAN ANTIEPILEPTIKA

Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mengerti dan memahami manifestasi stimulasi sistem saraf pusat secara
berlebihan pada mahluk hidup.
2. Memperoleh gambaran bagaimana manifestasi stimulasi berlebihan itu
dapat diatasi
3. Sanggup mendiagnosa sebab kematian hewan coba.

Teori
Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat memperlihatkan efek yang
sangat luas. Obat tersebut mungkin merangsang atau menghambat aktifitas
susunan saraf pusat secara spesifik atau secara umum. Alkohol adalah
penghambat susunan saraf pusat tetapi dapat memperlihatkan efek perangsangan,
sebaliknya perangsangan susunan saraf pusat dosis besar selalu disertai depresi
pasca perangsangan.
Obat yang efek utamanya terhadap susunan saraf pusat yaitu stimulan
susunan saraf pusat dan antiepileptikum
1. Stimulan Susunan Saraf Pusat
Beberapa obat memperlihatkan efek perangsangan susunan saraf pusat yang
nyata dalam dosis toksik, sedangkan obat lain memperlihatkan efek
perangsangan SSP sebagai efek samping
2. Antiepileptikum
Epilepsi adalah gangguan saraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala,
biasanya dengan perubahan kesadaran. Penyebabnya adalah aksi serentak
dan mendadak dari sekelompok besar sel-sel saraf di otak.
Epilepsi dikelompokkan menjadi 2 kelopok besar :
a. Parsial
Parsial sederhana : tidak kehilangan kesadaran, hanya menunjukkan
aktivitas abnormal dari bagian badan atau kelompok otot teretntu saja.

36
Parsial komplek : halusinasi kompleks, gangguan mental dan
hilangnya kesadaran, gangguan fungsi motorik gerakan mengunyah, diare,
urinasi
b. Generalisata
Tonik Klonik ( Grand mal ) : serangan menyebabkan hilangnya
kesadaran, terjadinya kejang tonik yang diikuti kejang klonik,
memperlihatkan mata yang kebinggungan dan kelelahan
Absence ( Petit mal ) : serangan yang menyebebkan hilangnya
kesadaran yang pendek dan tiba-tiba, memperlihatkan mata berkedip-
kedip cepat yang berlangsung hingga 5 detik.
Contoh obat yang kita gunakan adalah Pentetrazol yang bersifat
menstimulasi sistem saraf pusat, sampai batas-batas tertentu sifat ini dapat
diterapkan untyuk mengatasi depresi sistem saraf pusat yang berlebihan.
Pemberian pentetrazol dalam dosis tinggi pada mahluk hidup mengakibatkan
kejang tonik dan klonik. Kematian dapat terjadi kejangan tonik yang meliputi
keseluruhan otot kerangka, termasuk otot pernafasan berlangsung lama, sehingga
kematian dapat terjadi akibat tidak bisa bernafas.
Diazepam, salah satu benzodiazepin, relaksan otot yang bekerja sentral
khususnya refleks polisinaptik di sumsum tulang belakang dan mengurangi
aktivitas neuron sistem retikular di mesensefalon, hingga Diazepam dapat
digunakan intik mengatasi kejangan yang disebabkan oleh Pentetrazol.

Bahan dan Alat


1 Tikus 5 ekor
2 Obat : Diazepam; Pantetrazol’
3 Timbangan hewan
4 Alat suntik
5 Stopwatch

37
Prosedur
1. Timbang masing-masing mencit, beri nomor, dan catat.
2. mencit I dan II disuntikkan Diazepam,
3. Catat tingkah laku mencit
4. tepat 45 menit kemudian mencit I, II, III dan IV disuntikkan Pentetrazol.
5. catat tingkah laku, dan perhatikan kejang yang ditimbulkan oleh
Pentetrazol dan yang ditahan oleh Diazepam

Pengamatan
Amati tipe kejang yang ditimbulkan, saat muncul kematian, sebab
kematian

Pembahasan dan Kesimpulan


Bahas dan simpulkanlah hasil pengamatan yang anda peroleh pada
percobaan ini.

38
Mencit BB (kg) Rute Dosis Pengamatan
Pemberian ( VAO ) t Respon - t respon kejang/kematian

39
PRAKTIKUM VII
OBAT- OBAT YANG BEKERJA TERHADAP SISTEM SARAF PUSAT
ANESTETIKA UMUM

Tujuan
Setelah menyelesaikan Praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mengenal tahap-tahap manifestasi anestasi umum dan tahap-tahap
pemulihan dari anestesi umum
2. Mampu menganalisa perbedaan anestesi oleh berbagai bahan

Teori
Sistem saraf pusat sangat pek terhadap obat-obatan , akibatnya sebgaian
besar oat-obatan jika diberikan dalam dosis yang cukup besar menimbulkan efek
yang mencolok terhadap fungsi system syaraf pusat. Meskipun telah banyak
diketahui efek-efek famakologi dari obat-obat yang bekerja terhadap sistem saraf
pusat namum masih banyak rahasia yang belum terungkap mengenai mekanisme
kerja obat-obat ini, juga belum banyak ketahui mengenai dasar-dasar kerja obat
sistem saraf pusat. Akibatnya obat-obat yang bekerja terhadap sistem saraf pusat
dikelompokkan berdasarkan manifestasi efek yng diamati, yaitu terbagi atas :
1. Obat-obat yang bekerja depresif terhadap fungsi-fungsi saraf pusat
2. Obat-obat yang bekerja stimulatif terhadap fungsi-fungsi saraf pusat
3. Obat-obat yang mempengaruhi suasana kejiwaan dan kelakuan
Teori yag menerangkan mekanisme kerja anastetika umum baik secara
fisika, biokimia maupu secara neurofisiologik hanya diketahui anastetika umum
bekerja depresisf sektoral tidak berketelaturan terhadap sistem saraf pusat. Hal ini
mememungkinkan pada tahap dan tingkat anastesi tertentu dapat dilakukan
berbagai manipulasi terhadap struktur organ atau jaringan-jaringan tubuh tanpa
kesulitan, seperti pada pembedahan.
Pada umumnya anastestika umum berupa gas atau cairan yang mudah
menguap, yang dieliminasi melalui saluran pernapasan. Meskipun zat-zai ini
kontak dengan pasien hanya beberapa jam saja, namun zat-zat ini tidak

40
seluruhnya tanpa bahaya tersendiri, contoh Siklopropan sebagai anatetika umum
dapat menimbulkan aritmia pada jantung selama proses anastetika berlangsung
Bahan dan Alat
1. Tikus 4 ekor
2. Obat : eter, kloroform, atau etanol absolut
3. Timbangan hewan, toples kaca dengan tutup, kapas, pipet tetes, dan
peralatan lainnya.

Prosedur dan Pengamatan


1. Tiap kelompok mahasiswa bekerja dengan 4 ekor tikus
2. Pada masing-masing tikus, amati dan catat hal-hal berikut sebelum
pemberian anestesi umum :
a. Kelakuan umum tikus (tahan nafas, gelisah/tidak gelisah, bersuara,
salivasi,dan gejala-gejala lain)
b. Laju dan ritme jantung (gunakan stetoskop/stopwatch)
c. Laju dan sifat pernafasan (gunakan stopwatch)
d. Ukuran pupil mata
e. Suhu rektal
f. Tonus otot kerangka
g. Reflek-reflek (konjungtiva, kornea, pupil mata, nyeri)
3. Masukkan tikus ke dalam toples kaca yang di dalamnya diberi kapas yang
sudah ditetesi dengan eter, kloroform, atau etanol absolut.
4. Catat setiap perubahan yang terjadi pada masing-masing mencit
5. Setelah dicapai tingkat anestesi untuk pembedahan, pemberian anestesi
dihentikan.
6. Perhatikan dan catat tahap-tahap pemulihan kesadaran mencit.
7. Buatlah tabel pengamatan selengkap mungkin sehingga saudara dapat
membahas dan menarik kesimpulan dari percobaan ini dan terlihat korelasi
antara gejala yang muncul dengan tahap dan tingkat anestesi yang dicapai.

Pembahasan dan Kesimpulan


Bahas dan simpulkan apa yang saudara amati pada praktikum ini.

41
t t Hilang
Mencit BB ( kg ) Efek yang Timbul
Pemberian Respon

42
PRAKTIKUM VIII
ANTIDIABETES

Tujuan
Setelah menyelesaikan Praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mampu melaksanakan pengujian antidiabetes
2. Memperoleh gambaran manifestasi dari efek antidiabetes

Teori
ANTIDIABETES
Diabetes adalah suatu kondisi yang ditandai meningkatnya kadar gula dalam
darah (hyperglycemia) sehingga menimbulkan risiko kerusakan microvascular
(retinopathy, nephropathy dan sakit saraf). Dan macrovascular (stroke, tekanan
darah tinggi dan kelainan jantung).Penyebab diabetes yang utama adalah karena
kurangnya produksi insulin (diabetes mellitus tipe 1, yang pertama dikenal), atau
kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (diabetes mellitus tipe 2,
bentuk yang lebih umum).Selain itu, terdapat jenis diabetes mellitus yang juga
disebabkan oleh resistansi insulin yang terjadi pada wanita hamil.Tipe 1
membutuhkan penyuntikan insulin, sedangkan tipe 2 diatasi dengan pengobatan
oral dan hanya membutuhkan insulin bila obatnya tidak efektif.Diabetes mellitus
pada kehamilan umumnya sembuh dengan sendirinya setelah persalinan.
Macam-macam diabetes melitus :
1. Diabetes Mellitus Tipe I
Diabetes tipe I umumnya menyerang anak-anak, tetapi dapat juga terjadi
padaorang dewasa. Penyebab penyakit ini bisa melalui proses imunologik maupun
idiopatik. Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan
oleh lesi atau nekrosis sel β berat. Hilangnya fungsi sel β mungkin disebabkan
oleh invasi virus, kerja toksin kimia, atau umumnya, melalui kerja antibodi
autoimun yang ditunjukkan untuk melawan sel β Akibat dari destruksi sel β
pankreas gagal berespon terhadap masukan glukosa, dan diabetes tipe I
menunjukkan gejala klasik defisiensi insulin.

43
2. Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes tipe II biasanya timbul pada umur lebih dari 40 tahun. Pada
diabetes tipe ini, pankreas masih mempunyai beberapa fungsi sel β, yang
menyebabkan kadar insulin bervariasi yang tidak cukup untuk memelihara
homeostasis glukosa. Pada beberapa kasus, resistensi insulin disebabkan oleh
penurunan jumlah atau mutasi reseptor insulin. Resistensi insulin ini terjadi
sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup yang kurang gerak (sedentary) dan
penuaan. Selain resistensi insulin, diabetes tipe 2 juga disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan, namun tidak terjadi
pengrusakan sel-b secara otoimun seperti pada diabetes tipe 1.Pengurangan berat
badan, latihan dan modifikasi diet menurunkan resistensi insulin dan memperbaiki
hiperglikemia diabetes tipe II pada beberapa penderita.Walaupun demikian,
kebanyakan tergantung pada campur tangan farmakologik dengan obat-obatan
hipoglikemik oral. Terapi insulin mungkin diperlukan untuk mencapai kadar
glukosa darah serum yang memuaskan.
3. Diabetes Mellitus Tipe Lain
Penyebab penyakit tipe ini antara lain: defek genetik fungsi sel beta, defek
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau
zat kimia, infeksi, imunologi, dan sindrom genetic.
4. Gestasional Diabetes Mellitus(Kehamilan)
Gestasional Diabetes Mellitus (GDM) adalah keadaan diabetes atau
intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya
berlangsung hanya sementara atau temporer.Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui
menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester
kedua.Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih
sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap
bayi yang dikandung. Akibat buruk yang terjadi antara lain malformasi
kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya resiko
mortalitas perinatal.
Gejala-gejala diabetes melitus:
1. Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria)
2. Sering atau cepat merasa haus/dahaga (Polydipsia)

44
3. Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia)
4. Frekwensi urine meningkat/kencing terus (Glycosuria)
5. Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya
6. Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan & kaki
7. Cepat lelah dan lemah setiap waktu
8. Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba
9. Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya
10. Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.
Prinsip pengobatan diabetes adalah mengembalikan atau mempertahankan
kadar gula darah dalam keadaan normal. Pengobatan diabetes meliputi
pengendalian berat badan, olah raga dan diet.

METFORMIN
Metformin adalah obat anti hiperglikemia oral digunakan untuk pengobatan
diabetes mellitus tipe 2. Secara kimia atau farmakologi, Metformin berbeda
dengan Sulfonylurea. Metformin memperbaiki toleransi glukosa pada penderita
diabetes tipe 2, menurunkan glukosa darah baik di basal maupun postprandial.
Metformin menurunkan produksi glukosa oleh hati, menurunkan penyerapan
glukosa di usus dan memperbaiki sensitivitas insulin (meningkatkan pengambilan
dan penggunaan glukosa di perifer). Indikasi untuk penderita diebetes tipe 2 (non-
insulin-dependent diabetes) dengan kelebihan berat badan maupun dengan berat
badan normal dan apabila diet tidak berhasil. Serta diabetes tipe 1 (insulin-
dependent diabtes); terapi bersamaan dengan insulin.(Katzung, 2002).

Alat dan Bahan


a. Timbangan analitik
b. Alat suntik
c. Tikus
d. Larutan gula 50%
e. Metformin
Dosis : 500 mg/60 kg (dosis manusia)
Konsentrasi : 500 mg/100ml

45
f. Satu set alat pengukur gula darah
Prosedur kerja
1. Penyiapan Hewan
a) Hewan coba hendaknya dipuasakan semalam sebelum percobaan
b) Sebelum digunakan hewan tersebut harus terlebih dahulu ditimbang
c) Diberikan tanda pada bagian tertentu dari hewan coba untuk
menyatakan berat hewan coba
2. Penyiapan larutan metformin dan larutan glukosa 50%
3. Percobaan
a. Sebagai kontrol, tikus 1 diberi larutan glukosa 50 % dengan dosis
1g / Kg kemudian diukur kadar glukosa pada 0, 15, 30, 45 menit
a. Tikus 2, diberi larutan glukosa 50 % dengan dosis 1g / Kg,
selanjutnya diberi suspensi metformin kemudian diukur kadar
glukosa pada 0, 15, 30, 45 menit

46
PRAKTIKUM IX
DIURETIK

Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mengenal suatu cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek diuretik
suatu obat
2. Mamapu merumuskan beberapa criteria diuretik dan pendekatan yang baik
untuk mengatas diuretik

Teori
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
Istilah diuresis mempunyai dua pengertian: pertama menunjukan adanya
penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukan
pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air.
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstrasel kembali menjadi normal.Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut
penting untuk menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk meramalkan
akibat penggunaan suatu diuretik.Secara umum diuretik dan sekaligus untuk
meramalkan akibat penggunaan suatudiuretik. Secara umum diuretik dapat dibagi
menjadi 2 golongan besar yaitu diuretik osmotic dan penghambat mekanisme
transport elektrolit di dalam tubuli ginjal.
Obat yang dapat menghambat transport elektrolit di tubuli ginjal adalah :
1. penghambat karbonik anhidrase
2. benzotiazid
3. diuretik hemat kalium
4. diuretik kuat

Bahan dan Alat


- Tikus 2 ekor
- Obat : Furosemida injeksi

47
- Timbangan hewan
- Alat suntik
- Alat untuk pengujian
- Gelas ukur

Prosedur
1. Timbang masing-masing mencit, beri nomor dan catat
2. Suntikan secara intraperitoneal kepada masing-maisng mencit obat dnegan
dosis yang telah dikonversikan ke dosis mencit
3. Pengamatan dilakukan pada menit ke 10, 20, 40 dan 80 setelah pemberian
obat
4. Catat jumlah volume urin yang dihasilkan pada menit di atas

48
PRAKTIKUM X
MIDRIATIK-MIOTIK

Tujuan
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mengetahui dan memahami kerja obat kolinergik dan antikolinergik pada
hewan percobaan
2. Mengenal dan mengamati efek midriatik dan miosis pada pupil mata

Teori
Midriatik adalah golongan obat yang mempengaruhi dilatasi atau ukuran
pupil bola mata dapat membesar (midriasis) atau mengecil (miosis), obat-obat
golongan ini contohnya atropine sulpat dan pilokarpin HCl. Atropin Sulpat
menyebabkan midriasis dan termasuk ke dalam golongan obat antikolinergik yang
bekerja pada reseptor muskarinik. Antimuskarinik ini memperlihatkan efek sentral
terhadap susunan syaraf pusat yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi
pada dosis toksik, saat ini terdapat antimuskarinik yang digunkaan untuk:
1. Mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya antipasmodik
2. Penggunaan local pada mata sebagai midriatikum
3. Memperoleh efek sentral misalnya obat penyakit Parkinson
4. Efek bronkodilatasi
5. Memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna

Bahan dan alat


1. Kelinci 1 ekor
2. Timbangan dan hewan
3. Atropine Sulfat 1%
4. Pilokarpin HCl
5. Penggaris
6. Senter

49
Prosedur Kerja dan Pengamatan
1. Timbang kelinci dan perhatikan pupil matanya
2. Ukur dengan penggaris diameter pupil terhadap cahaya gelap
3. Uji reflek pupil terhadap cahaya dan gambarkan perubahan diameter pupilnya
4. Larutan obat diteteskan ke cairan konjuctival, pegang matanya supaya terbuka
dan tahan kira-kira 1 menit
5. Ulangi setiap 15 menit jika efek belum terlihat
6. Catat waktu mulai terjadi dilatasi atau kontriksi pada pupil
7. Catat perubahan ukuran pupil
8. Test terhadap reflek cahaya setiap selesai penetesan obat
9. Buat pengamtan sampai efek tidak ada lagi

50
PRAKTIKUM XI
SKRINING HIPOKRATIK

Tujuan
Setelah menyelesaikan praktikum ini mahasiswa diharapkan:
1. Memahami dan terampil melakukan skrining farmakodinamik obat
menggunakan teknik skrining hipokratik
2. Memahami dan mampu menganalis hasil-hasil skrining farmakologi obat

Teori
Skrining hipokratik adalah salah satu cara untuk menapis aktivitas suatu
obat/bahan yang belum diketahui sebelumnya baik yang berasal dari alam maupun
senyawa sintesis/semisintesis. Cara ini didasarkan atas bahwa obat bila
berinteraksi dengan materi biologis dalam tubuh akan menghasilkan efek tertentu
tergantung pada dosis yang diberikan. Prinsip ini diambil dari cara dokter
mendiagnosis suatu obat/bahan yang berguna dan yang tidak berguna dengan
cepat dan biaya yang relatif murah. Darinya dihasilkan profil farmakodinamik
obat/bahan.

Bahan dan Alat


- Hewan percobaan mencit
- Obat alam atau sintesa
- Alat suntik, stopwatch, hotplate, thermometer, platform, rotating road,
pinset, kertas sering, alat gelantung, jaring kawat dan alat-alat gelas.

Prosedur Percobaan
1. Timbang hewan, tandai dan tentukan dosis yang akan diberikan
2. Amati parameter-parameter seperti tertera pada tabel 2, dan beri skor 1 atau 0
untuk respon kualitatif dan 1,2 atau 3 untuk respon kuantitatif.
3. Respon kuantitatif dapat dilihat pada tabel 3.
Gunakan alat yang tersedia untuk mendeteksi gejala tertentu, seperti :

51
- Tonus otot melalui kemampuan hewan memegang jarring atau
bergelantungan pada alat gelantung
- Laju pernapasan dihitung persatuan waktu memakai stopwatch
- Reaksi jepit ekor menggunakan pinset
- Reaksi plat panas menggunakan hotplate
- Temperatur tubuh menggunakan termometer
- Air mata berdarah (Chromodaoriorea, salvitasi, lakrimasi menggunakan
kertas saring)
4. Setelah semua parameter teramati (pada keadaan tak diberi obat=kontrol)
injeksi masing-masing hewan pada dosis yang telah ditentukan
5. Amati lagi semua parameter di atas 5,10,15,30, dan 60 menit serta 2 jam
setelah penyuntikan obat
6. Evaluasi hasil anda dengan cara sebagai berikut :
a. Kumpulkan nilai menurut bobot untuk masing-masing parameter sesuai
dnegan dosisi seperti contoh berikut :
Parameter yang diamati : Peningkatan laju pernapasan
Bobot:1
Dosis
kontrol 5' 10' 15' 30' 60' 120'
(mg/kg)
3 0 1 1 2 1 1 0
10 0 1 2 2 3 2 1
30 0 2 2 3 3 3 2
100 0 2 3 3 3 2 1

b. Lakukan hal yang sama untuk semua parameter yang lain


c. Hitung skor total dengan mengalikan skor dengan factor untuk masing-
maisng parameter pada tiap-tiap dosis dan dibandingkan dnegan skor
maksimum

52
Laju pernapasan meningkat :
Dosis Skor Total Skor Maksimum
3 6x1 18 x 1
10 11 x 1 18 x 1
30 15 x 1 18 x 1
100 14 x 1 18 x 1
d. Kumpulkan nilai parameter yang relevan untuk aktivitas tertentu, mislanya
untuk aktivitas penekanan system saraf pusat (PSSP) seperti pada tabel 4,
jumlahkan factor skor actual. Hitung juga skor maksimum actual.
e. Ranking persentase respon aktivitas yang didapat menurut dosis dan
kategori aktivitas
f. Bahas hasil yang anada peroleh dan buat beberapa kemungkinan kategori
aktivitas senyawa yang anda uji sebagai kesimpulan.

Pertanyaan :
1. Apa bedanya skrining buta dengan skrining spesifik
2. Apa kelebihan metode skrining hipokratik dibandingkan dengan skring
spesifik? Apa pula kelemahannnya?
3. Apakah toksisitas bahan dapat diramalkan menggunakan cara skrining ini?
Jelaskan?
4. Jelaskan tahap-tahap penelitian yang harus dilalui untuk suatu obat baru agar
ia dapat digunakan secara klinis!
5. Jelaskan hubungan parameter-parameter yang diamati dengan jenis aktivitas-
aktivitas yang ditentukan!

CONTOH KERTAS KERJA


Tanggal : Pembawa :
Hewan : Konsentrasi obat :
BB : Rute :
Dosis : Puasa/tidak puasa :
VAO : Tanda :

53
Nilai (1-3) atau terukur pada waktu
Parameter
k 5' 10' 15' 30' 60' 120'
Kelopak mata turun
Bulu berdiri
Ekor berdiri
Mata menonjol
Ekor memerah
Telinga memerah
Tremor
Aktivitas motorik menurun
Aktivitas motorik meningkat
Respirasi menurun
Gerak berputar ekor
bergelombang
Agresif
Rasa ingintahu meningkat
Rasa ingin tahu menurun
Refleksi kornea hilang
Refleksi telinga hilnag
Refleksi balik hilnag
Salvitasi
Lakrimasi meningkat
Lakrimasi menurun
Air mata berdarah
Palisasi kaki
Tremor
Konvulasi
Urinasi
Diare
Temperatur rectum meningkat
Tempeartur rectum menurun

54
Jatuh dari rotaroad
Katalepsi
Tonus tubuh menurun
Reaksi alat panas menurun
Reaksi jepit wkor menurun
Menggeliat
Pandangan tak lurus
Pupil mengecil
Pupil melebar
Ekor naik
Berat badan meningkat
Berat badan menurun

Keterangan :
Efek spesifik lain :
Didapati mati/dibunuh :
Pemeriksaan organ dalam :
Paru-paru normal/berdarah :
Jantung: berdenyut/tidak
berdenyut Membesar/mengecil
Usus halus : bergerak/tidak
bergerak Kosong?
Ginjal : normal/berdarah Membesar/mengecil

Tabel Transformasi Data Kuantitatif

Skor
No Parameter 1 2 3
1 Sudut hilang daya cengkram 450 900 1800
2 Laju pernafasan naik/turun (per menit) 35 50 85
3 Peningkatan lebar pupil (mm) 1 2 3

55
4 Penurunan lebar pupil (mm) 1 2 3
5 Lakrimasi (mm) 6 10 14
6 Air mata berdarah (mm) 1 3 10
7 Peningktan suhu rectum (0C) 1 2 3
8 Penurunan suhu rectum (0C) 2 4 7
9 Waktu jatuh dari rotarod (detik) 41-60 21-40 <20
10 Waktu respon jepit ekor (detik) 5 10 15
11 Waktu respon plat pnas 5 10 15
12 Penurunan berat badan (g) 0.6 0.9 1.2
13 Peningkatan berat badan (g) 0.6 0.9 1.2

Tabel Daftar Factor Bobot Untuk Parameter-Parameter Yang Diamati

Faktor
No Parameter bobot Kriteria Aktivitas
1 Kelopak mata turun 1 Pen SSSP/SIMPL/REL. OTOT
2 Bulu berdiri 0.5 SIMM/PARASIMM
3 Ekor berdiri 0.5 ANALG
4 Bola mata menonjol 1.5 SIMM
5 Ekor/telinga memerah 1 VASODILATASI
6 Ekor/telinga pucat 2 VASOKONTRILSI
7 Fasikulasi 1 STIM.SSP/PARASIMM
8 Tremor 1 STIM SSP
9 Aktiv. Motorik menurun 1 PEN.SSP/SILML REL.OTOT
10 Aktiv. Motorik meningkat 1 STIM.SSP
11 Respirasi meningkat 2 STIM.SSP
12 Respirasi menurun 2 PEN.SSP/REL.OTOT
13 Gerak berputar 1 STIM.SP/ANALG
14 Ekor bergelombang 1 STIM.SSP
15 Agresif 1 STIM.SSP

56
16 Rasa ingin tahu meningkat 1 STIM.SSP
17 Rasa ingin tahu menurun 1 PEN.SSP/REL.OT
18 Refleks kornea hilang 1 PEN.SSP
19 Refleks telinga hilang 1 PEN.SSP/REL.OT.
20 Refleks balik hilang 2 PEN.SSP
21 Salivasi 0.5 PARASIMM
22 Lakrimasi meningkat 0.5 PARASIMM
23 Lakrimasi menurun 1.5 SIMM
24 Air mata berdarah 1 PARASIMM
25 Paralisa kaki 1 PEN.SSP/REL.OT.
26 Tremor 1 SIM.SP
27 Konvulsi 1 STIM.SSP/SIMM/SIML/PARAS
28 Urinasi 2 PARASIMMM
29 Diare 1 PARASIMM
30 Temperatur rectum meningkat 2 STIM.SSP/SIMM
31 Temperatur rectum menurun 1 PEN.SSP/SIML./PARASIMM
32 Jatuh dari rotaroad 1 PEN.SSP/REL.OT.
33 Katalepsi 1 PEN.SSP
34 Tonus tubuh menurun 1.5 PEN.SSP/REL.OT.
35 Tonus tubuh meningkat 2 STIM. SSP
36 Reaksi plat panas menurun 1 PEN. SSP/REL. OT. ANALG
37 Reaksi jepit ekor meningkat 1 PEN. SSP/REL. OT. ANALG
38 Menggeliat 0.5 REL.OT
39 Pandnagan tak lurus 2 PEN.SSP
40 Pupil mengecil 1.5 PARASIMM/SIML/PEN.SSP
41 Pupil melebar 0.5 SIMM/PARASIML/ANALG
42 Ekor naik 0.5 ANALG
43 Berat badan menurun 1.5
44 Berat badan meningkat 2

57
PRAKTIKUM XII
TOKSISITAS AKUT DENGAN BSLT
(BRINE SHRIMP LETALITY TEST)

Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Terampil dalam melakukan uji toksisitas akut dengan metode BSLT
2. Mengetahui cara perhitungan LD50 dengan metode BSLT
3. Mampu melaksanakan pengujian toksisitas secara in vitro dengan metode
BSLT
4. Mampu menetapkan LC50 sebagai parameter ketoksikan akut berdasarkan
analisa probit

Teori
Toksisitas dari suatu senyawa secara umum dapat diartikan kepada potensi
dari suatu senyawa kimia untuk dapat menyebabkan kerusakan ketika senyawa
tersebut mengenai atau masuk ke dalam tubuh manusia.Suatu senyawa kimia
dikatakan bersifat racun akut jika senyawa tersebut dapat menimbukan efek racun
dalam jangka waktu singkat, dan bersifat racun kronis jika senyawa tersebut dapat
menimbulkan efek racun dalam jangka waktu panjang (karena kontak yang
berulang-ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit).
Pengetahuan mengenai toksisitas suatu bahan kimia dikumpulkan dengan
mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap hewan percobaan,
pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan
kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium dan pemaparan bahan kimia terhadap
manusia.
Untuk skrining dan fraksionasi fisiologi aktif dari ekstrak tanaman dapat
dilakukan uji standar toksisitas akut (jangka pendek).Suatu metode yang
digunakan secara luas dalam penelitian bahan alam untuk maksud tersebut adlaah
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Meyer, 1982). BSLT merupakan salah satu
cara yang cepat dan murah untuk uji aktivitas farmakologi dari ekstrak tanaman
dengan menggunakan hewan laut yaitu larva udang Artemia Salina Leach. Uji ini

58
mengamati mortalitas larva udang yang disebabkan oleh senyawa uji. Senyawa
yang aktif akan menghasilkan mortalitas yang tinggi.
Uji toksisitas dengan metode BSLT ini memiliki spectrum aktivitas
farmakologi yang luas, prosedurnya sederhana, cepat dan tidak membutuhkan
biaya yang besar, serta hasilnya dapat dipercaya.Disamping ini metode ini sering
dikaitkan dengan metode penapisan senyawa antikanker.Dengan alas an-alasan
tersebut, maka uji ini sangat tepat digunakan dalam penelitian bahan alam.

Bahan dan Alat


- Larva udang Artemia salina
- Kotak penetesan larva udang
- Tabung reaksi
- Mikro pipet 2-20 µL
- Mikro pipet 20-200 µL
- Mikro pipet 100-1000 µL
- Wellplate
- Kaca pembesar

Prosedur kerja
a. Penetesan Artemia salina Leach
Pembiakan udang dilakukan dalam sebuah kotak yang telah dibagi
menjadi dua bagian dengan sekat berlubang dimasukkan air laut secukupnya.
Salah satu sisi kotak ditutup dengan alumunium foil dan telur udang
dimasukkan ke dlaamnya. Ditimbang sebnayak 1 g telur udang dan
dimasukkan ke dalam 1 lt air garam dnegna kadar 38 permil(38 gr garam
dalam 1 lt air). Kemudian kotak diletakkan di bawah lampu UV selama 48
jam. Larva berumur 48 jam siap digunakan untuk uji toksisitas
b. Orientasi konsentrasi
Bertujuan untuk menetukan batas konsentrasi terkecil yaitu 10%
kematian hewan uji (LC10) dan batas konsentrasi terbesar yaitu 90%
kematian hewan uji (LC90) sehingga didapat batasan-batasan konsentrasi
yang tetap unutk pengujian.

59
Orientasi konsentrasi dilakukan dengan cara membuat larutan uji
konsentrasi 1000,100,10 dan 1 µg/ml. Larutan uji dimasukkan ke dalam
vial-vial uji yang berisi 10 ekor larva artemia salina leach yang berumur
24 jam setelah menetes, kemudian ditambhakan air garam hingga 10 ml.
Pada orientasi ini dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali (triplo)
c. Uji toksisitas metode meyer
Sebanyak 10-12 larva udang dalam 100µl air laut dimasukkan ke
dlaam vial uji, kemudian ditambahkan 100µl larutan sampel.Untuk setiap
konsentrasi dilakukan 3 kali pengulangan. Sebagai control dilakukan tanpa
penambahan larutan uji menggunakan 200µl air laut. Pengamatan
dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah larva udang yang
masih hidup dan yang sudah mati.
Catatan :
Suatu fraksi ekstrak dikatakan aktif bila mempunyai nilai LC50≤
1000µg/ml,
Senyawa murni dikatakan aktif bila mempunyai nilai LC50≤30µg/ml

d. Analisis data
Data presentasi kematian dari masing-masing konsentrasi ekstrak
dianalisis dengan analisa probit sehingga diperoleh nilai LC50.

Total
Log Data Data
Sampel K K Awal Awal Mati Hidup AM AH M/T Mortalitas LC50(X)

60
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Guidance for Industry and Reviews. FDA.

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Ed III. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Jerry L.Mclaughlin, et all. The Use biological Assay to Evalute Botanicals. 1998.
Drug Information Journal 32: 513-524.

Tjay, Than Haan dan Kirana Raharjo. 2005. Obat-Obat Penting. Edisi Kelima.
Elex Media Komputindo. Jakarta

Vogel, H. Gerhard. 2002. Drug Discovery and Evaluation Pharmacological


Assays. Springer. Jerman.

61

Anda mungkin juga menyukai