1
PENGENALAN KARAKTERISTIK DAN PENANGANAN HEWAN COBA
1. Mencit
2
c. Untuk memegang mencit, telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit
tengkuknya sedangkan tangan kanan masih memegang ekornya, setelah itu
tubuh mencit dapat diangkat dan dibalikkan sehingga permukaan perut
menghadap ke praktikan
d. Untuk memudahkan pemberian obat, ekor mencit yang di pegang oleh
tangan kanan dipindahkan dan di jepitkan di antara jari manis dan jari
kelingking tangan kiri, hingga mencit cukup erat di pegang. Pemberian
obat kini dapat dimulai.
3
Selain itu juga bisa di
daerah belakang tikus
Penggunaan alcohol/bahan
antiseptic lain justru
menyebabkan
vasokontriksi sehingga
akan mempersulit
masuknya jarum
4
Intramuskular Obat disuntikkan pada
paha posterior dengan
jarum suntik no. 24.
Hewan dikorbankan dengan cara eutanasia (kematian tanpa rasa sakit). Terdapat
beberapa cara mengorbankan hewan yaitu:
5
b. Penyuntikan pentobarbital natrium tiga kali dosis normal (135-180
mg/kgBB)
c. Dengan cara fisik dapat dilakukan dislokasi leher. Cara ini merupakan cara
yang paling cepat dilaksanakan, mudah dan paling berperikemanusiaan.
Hewan di pegang pada ekornya kemudiaan di tempatkan pada permukaan
yang bisa di jangkaunya , sehingga mencit akan merenggangkan badannya.
Pada tengkuknya kemudiaan di tempatkan suatu penahan, misalnya
sebatang besi seukuran pinsil yang dipegang dengan satu tangan. Tangan
lainnya kemudian menarik ekornya dengan keras, sehingga lehernya akan
terdislokasi, dan mencit akan terbunuh.
2.Tikus
6
Untuk melakukan pemberiaan obat secara IP atau IM, tikus
dipegang pada bagian belakang badannya. Hal ini hendaklah dilakukan dengan
mulus tanpa ragu-ragu. Tikus tidak mengelak apabila dipegang dari atas, tetapi
bila dipojokkan ke sudut, ia akan menjadi panik dan menggigit.
a. Cara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan gas CO₂, eter dan
pentobarbital dengan dosis yg sesuai.
b. Cara fisik dapat dilakukan sebagai berikut : Tikus di atas sehelai
kain,kemudian badan tikus termasuk kedua kaki depannya dibungkus.
Tikus dibunuh dengan cara berikut :
- Belakang telinganya di pukul dengan tongkat
- Peganglah tikus dengan perutnya menghadap ke atas, kemudian
pukullah bagian belakang kepala permukaan yang keras seperti
permukaan meja atau logam, dengan sangat keras
3. Kelinci
7
berubah apabila hewan tersebut tereksitasi, ataupun karena gangguan
lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah 38-65 kali per menit,
pada umumnya 50 kali per menit (pada kelinci muda,laju ini dipercepat, dan
pada kelinci bayi bisa mencapai 100 per menit).
8
cm. Untuk memeriksa apakah katerer
benar masuk ke oesafagus bukan
ketrakea. Celupkan ujung luar kateter
masuk ke trakhea
Subkutan Pemberian obat secara sub kutan
dilakukan pada sisi sebelah pinggang
atau tengkuk dengan cara kulit diangkat
dan jarum (25-26 g) ditusukkan dengan
arah anterior. Dengan volume
pemberian maksimal 1% BB
9
Cara Mengorbankan Kelinci
Kelinci
No karakteristik Mencit Tikus Marmut Oryotologus
Mus musculus Rattus ratus Cavia porcellus Cunuculus
1 Pubertas 35 hari 40-60 hari 60-70 hari 4 bulan
2 Masa beranak Sepanjang Sepangjang Mei – -
Tahun Tahun september
3 Lama hamil 19-20 hari 21-23 hari 63 hari 28-36 hari
4 Jumlah sekali lahir 4-12 ekor 6-8 ekor 2-5 ekor 5-6 ekor
(6-8 biasanya)
5 Lama hidup 2-3 tahun 2-3 tahun 7-8 tahun 8 tahun
6 Masa tumbuh 6 bulan 4 -5 bulan 15 bulan 4-6 bulan
7 Masa laktasi 21 hari 21 hari 21 hari 40 – 60 bulan
8 Frekuensi kelahiran/ 4 7 4 3–4
Tahun
10
9 Suhu tubuh 37,9-39,2 37,7 – 38,8 37,8-39,5 38,5 – 39,5
10 Kecepatan respirasi 136-216/menit 100-150/menit 100-150/menit 50 -60/ menit
11 Tekanan darah 147/106 S/D 130/95 S/D - 110/80 S/D
12 Volume darah 7,5 % bb 7,5% bb 6 % bb 5 % bb
13 Luas permukaan Ø = K√g² Ø = K√g² Ø = K√g² Ø = K√g²
K = 11,4 K = 9,13 K = 8,88 K = 12,88
g = berat badan g = berat badan g = berat badan g = berat badan
11
1,5 kg
Kucing 0.03 0.23 0.41 0.92 1.0 2.2 4.1 13.0
2,0 kg
Kera 0,016 0.11 0.19 0.42 0.45 1.0 1.9 6.1
4,0 kg
Anjing 0.008 0.06 0.10 0.22 0.24 0.52 1.0 3.1
12,0 kg
Manusia 0.0026 0.018 0.031 0.07 0.076 0.16 0.32 1.0
70 kg
Diambil dari : D.R. laurance dan bacharach, Evaluation of Drug Activities :
pharmacometrics 1964
CONTOH SOAL :
12
Jawab :
Mencit 20 g → 0,14 tikus
0,14 × 2 = 0,28 mg
25
→ 20 × 0,28 = 0,35
Tabel IV. Batas maksimal volume untuk tiap rute pemberiaan pada hewan coba
13
SOAL 2
Jawab :
Dosis fenobarbital
25
× 0,28 = 0,35 𝑚𝑔
20
0,35 𝑚𝑔
× 2 𝑚𝑙 = 0,035 → 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
20 𝑚𝑔
1. Mencit
Sifat mencit, cenderung berkumpul bersama, fotopobik, lebih aktif di
malam hari, aktivitasnya terhambat dengan kehadiran manusia.
Cara memperlakukan mencit :
14
Mencit diangkat ekornya dengan tangan kiri, letakan pada suatu tempat
yang permukaanya tidak licin, sehingga saat ditarik menncit tidak
mencengkram. Telunjuk dan ibu jari tangan kanan menjepit kulit
tengkuk sedangkan ekornya dengan tangan kiri, kemudiaan posisi
tubuh mencit dibalikan, sehingga permukan perut menghadap kita dan
ekornya di jepitkan antara jari manis dan kelingking tangan kanan.
a. Faktor internal
b. Faktor-faktor lain
15
digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelom senyawa
bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya.
1. Distribusi
2. Absorsi suatu senyawa bioaltof di samping ditentukan oleh sifat senyawa
bioaktif sendiri juga ditentukan oleh sifat/ keadaan daerah kontrak mula
oleh senyawa bioaktif tubuh.
3. Cara atau rute pemberian senyawa bioaktif menentukan daerah kontak
mula senyawa bioaktif dengan tubuh dan ini merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi senyawa bioaktif.
Alasan mengapa hewan jantang yang dipilih untuk percobaan. Maka inilah
penjelasannya :
Dipilih jantan karena sistem imun pada mencit jantan cenderung lebih baik
tidak dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Hal ini dikarenakan sistem
hormon estrogen pada hewan jantan lebih rendah dan adanya stress akut
dapat dapat menyebabkan penurunan kadar
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
17
BAB II
EKSPERIMEN DASAR
18
(PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP OBAT SEDATIF
HIPNOTIK)
LATAR BELAKANG
19
TUJUAN PRAKTIKUM
Teori Dasar
Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk
kedalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan
timbulnya efek yang merugikan. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan
parenteral (Priyanto, 2008).
1. Jalur Enternal
20
enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak
sadar atau tidak dapat menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain
alasan di atas juga alasan kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan
dianjurkan jika obat dapat diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan
emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
2. Jalur Parenteral
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya
serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah
seperti berikut:
b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya
lama
Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi
diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau
menyebabkan tidur. Umumnya, obat ini diberikan pada malam hari (Tjay, 2002).
Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah
untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedatif (Tjay, 2002). Obat-obat
sedatif/sedativa pada dasarnya segolongan dengan hipnotik, yaitu obat-obat
21
yang bekerja menekan reaksi terhadap perangsangan terutama rangsangan emosi
tanpa menimbulkan kantuk yang berat. Bila obat-obat hinotik menyebabkan kantuk
dan tidur yang sulit di bangunkan disertai penurunan refleks hingga kadang -
kadang kehilangan tonus otot (Djamhuri,1995).
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat
(SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan ,
hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan
mati bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas,
menurunkan respons terhadap rangsangan dan menenangkan. Obat hipnotik
menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang
menyerupai tidur fisiologis (H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995).
Efek samping umum hipnotika mirip dengan efek samping morfin, yaitu:
depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi. Sifat ini paling ringan pada
flurazepam dan zat-zat benzodiazepin lainnya, demikian pula pada kloralhidrat
dan paraldehida
tekanan darah menurun, terutama oleh barbiturate
sembelit pada penggunaan lama, terutama barbiturate
"hang over”, yaitu efek sisa pada keesokan harinya berupa mual, perasaan
ringan di kepala dan termangu.
Hal ini disebabkan karena banyak hipnotika bekerja panjang (plasma-t½-
nya panjang), termasuk juga zat-zat penobarbitl dan barbiturat yang disebut short-
acting. Kebanyakan obat tidur bersifat lipofil, mudah melarut dan berkumulasi di
jaringan lemak (Tjay, 2002).
Pada penilaian kualitatif dari obat tidur, perlu diperhatikan faktor-faktor
kinetik berikut:
lama kerjanya obat dan berapa lama tinggal di dalam tubuh
pengaruhnya pada kegiatan esok hari
kecepatan mulai bekerjanya
bahaya timbulnya ketergantungan,
efek "rebound” insomnia
pengaruhnya terhadap kualitas tidur
interaksi dengan otot-otot lain
22
toksisitas, terutama pada dosis berlebihan
(Tjay, 2002).
Pada umumnya, semua senyawa penobarbital memiliki daya kerja yaitu
khasiat anksiolitis, sedatif hipnotis, antikonvulsif dan daya relaksasi otot.
Keuntungan obat ini dibandingkan dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah
tidak atau hampir tidak merintangi tidur. Dulu, obat ini diduga tidak menimbulkan
toleransi, tetapi ternyata bahwa efek hipnotisnya semakin berkurang setelah
pemakaian 1-2 minggu, seperti cepatnya menidurkan, serta memperpanjang dan
memperdalam tidur (Tjay, 2002).
Efek utama barbiturat adalah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat
dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anestesia, koma sampai
dengan kematian. Efek hipnotiknya dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan
dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang
mengganggu. Fase tidur REM dipersingkat. Barbiturat sedikit menyebabkan sikap
masa bodoh terhadap rangsangan luar (Ganiswarna dkk, 1995).
Barbiturat tidak dapat mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Pemberian obat barbiturat yang hampir menyebabkan tidur, dapat meningkatkan
20% ambang nyeri, sedangkan ambang rasa lainnya (raba, vibrasi dan sebagainya)
tidak dipengaruhi. Pada beberapa individu dan dalam keadaan tertentu, misalnya
adanya rasa nyeri, barbiturat tidak menyebabkan sedasi melainkan malah
menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). Hal ini mungkin disebabkan
adanya depresi pusat penghambatan (Ganiswarna dkk, 1995).
Hewan coba : Mencit putih, jantan (jumlah 5 ekor) bobot tubuh 20-30 g
Obat : Fenobarbital 100 mg/ 70 kg BB manusia
Alat : Spuit injeksi 1 ml, jarum sonde oral, bejana untuk
pengamatan, timbangan hewan, stop watch, kandang restriksi
Prosedur :
23
1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing
masing mencit selama 10 menit
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing
masing mencit
3. Berikan fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara PO, IV, IP, IM dan
SC; catat waktu pemberiannya
4. Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan
5. Catat dan tabelkan pengamatanmasing masing kelompok. Bandingkan
hasilnya
24
mencit Fenobarbital 100 IM
mg/70 11:59 12:19 12:44 20 25
kgBB Menit Menit
manusia
Mencit yang mengantuk akan tampak diam (umumnya di sudut ruang) dan tampak
lunglai. Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi, apabila tubuhnya
dibalik dan berada posisi terlentang maka tidak akan kembali tertelungkup. Jadi,
untuk melihat kapan tepatnya terjadi respon awal sedasi maka harus sering
membalikan badan mencit pada posisi terlentang.
Righting reflex adalah refleks mencit yang apabila tubuhnya dibalik dan berada
pada posisi terlentang maka akan kembali tertelungkap.
Onset kerja adalah mula kerja obat ( diamati waktu antara pemberian obat
sampai hilangnya righting reflex hingga tidur)
Durasi kerja adalah lama kerja obat (diamati waktu antara hilangnya rughting
reflex hingga tidur, sampai kembalinya efek tersebut).
Hasil Perhitungan
1. Dik : dosis fenobarbital manusia 70 kg = 100 mg
Sediaan fenobarbital 200 mg/ 2 ml PO
Dit : dosis fenobarbital pada mencit = 32 g
Jawab :
0,0026 × 100 𝑚𝑔 = 0,26 𝑚𝑔
32 0,416
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 0,004 × 10 = 0,04 𝑚𝑙
20 200
25
Sediaan fenobarbital 200 mg/ 2 ml IV
Jawab :
31 0,403
× 0,26 = × 2𝑚𝑙 = 0,004 × 10 = 0,04𝑚𝑙
20 200𝑚𝑔
23 0,229
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 0,002 × 10 = 0,02 𝑚𝑙
20 200𝑚𝑔
31 0,416
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 0,004 × 10 = 0,04 𝑚𝑙 Dik
20 200
26
Jawab :
0,0026 × 100 𝑚𝑔 = 0,26 𝑚𝑔
34 0,442
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 0,004 × 10 = 0,04 𝑚𝑙
20 200
Pembahasan
Pada praktikum kali ini yaitu tentang pengaruh cara pemberian terhadap
absorbsi obat dan pengujian efek sedative pada tikus dengan menggunakan obat
diazepam dan fenobarbital. Dari percobaan kali ini diharapkan dapat diketahui
pengaruh cara pemberian obat terhadap daya absorbsi yang selanjutnya akan
berpengaruh pada efek farmakologi obat. Salah satu cara untuk mengetahui
pengaruh antara kedua variable tersebut, dengan membandingkan waktu durasi dan
onsetnya. Onset adalah waktu dari obat untuk menimbulkan efek terapi. Sangat
tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak,setelah tubuh
menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin
meningkat,namun konsentrasi puncak puncak respon. Durasi kerja adalah lama obat
menghasilkan suatu efek terapi dalam tubuh (Gunawan, 2009).
Dalam percobaan ini, hewan uji yang digunakan adalah 5 ekor tikus. Alasan
digunakannya tikus sebagai hewan uji percobaan ini yaitu tikus memiliki sistem
fisiologis yang mirip dengan manusia, Pengamatan tikus lebih mudah, lebih
ekonomis (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).
Ada beberapa cara pemberian obat yaitu sublingual, peroral, per rectal,
pemakaian pada permukaan epitel( kulit, kornea, vagina, mukosahidung ),inhalasi,
dansuntikan ( subkutan, intramuskuler, danintratekal ) (Depkes RI,1995). Namun
dalam percobaan kali ini, kami hanya menggunakan rute pemberian intravena
,peroral, intramuscular, subkutan, dan intraperitonial.
27
Berdasarkan pengamatan, onset yang paling cepat ialah intramuscular dan
subcutan. Hal ini tidak sesuai dengan literature,dijelaskan bahwa rute intramuscular
mengandung lapisan lemak kecil sehingga obat akan terhalang oleh lemak sebelum
terabsorbsi dan rute subkutan mengandung lemak yang cukup banyak (Katzung,
1986).
Pada literatur, onset yang paling cepat adalah pada rute pemberian obat
intravena dan paling lambat pada pemberian obat per oral. Pada rute intravena, obat
tidak melalui proses absorbsi melainkan langsung masuk ke pembuluh darah.
Karena pemberian obat melalui rute intravena tidak mengalami absorpsi, kadar
diperoleh dengan cepat, tepat, dan dapat disesuaikan respon serta dapat digunakan
untuk larutan iritatif. Namun, cara pemberian intravena biasanya menyebabkan efek
toksik mudah terjadi dan tidak dapat ditarik jika terjadi kesalahan perhitungan
dosis, juga bagi obat yang larut dalam larutan minyak tidak boleh diberikan karena
mengendapkan konstituen darah (Priyanto, 2008).
Rute intraperitonial memiliki waktu onset paling cepat kedua karena rongga
perut mengandung banyak pembuluh darah sehingga obat langsung masuk ke
dalam pembuluh darah (Anief, 1990). Rute per oral memiliki waktu onset paling
lama karena obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor
karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor penghambat (Gunawan,
2009). Meskipun pemberian obat secara oral merupakan cara pemberian obat yang
umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah
banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya sehingga waktu onset
yang didapat cukup lama.
28
yang berikatan lagi dengan reseptor. Pada sub cutan memiliki durasi yang lama, hal
ini disebabkan karena obat akan tertimbun di depot lemak/ jaringan di bawah kulit
sehingga secara perlahan - lahan baru akan dilepaskan sehingga durasinya lama.
Pada rute intramuskular terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat
akan konstan dan lebih tahan lama (Anief, 1990).
Pada praktikum kali ini , onset kerja paling cepat yaitu intravena , padahal
dalam teori onset kerja tercepat yaitu IP karena langsung masukke pembuluh darah
, hal ini mungkin di karenakan adanya kekurangan pada pemberian nya dan
kemungkinan ada obat ygkeluar atau tidak semuanya masuk kedalam rute yg akan
di berikan obat .
Kemudian onset kerja terlama adalah Pomhal ini sesuai teori dikarenakan
rute yg panjang untuk mencapai respetor . akan tetapi PO ini termasuk cepat dalam
durasi nya obat kemungkina sudah terabsorbi terlebih dahulu selama proses
berjalan nya obat , sehingga efek nya yg sangat cepat .dan rute obat terlama setelah
PO yaitu SC hal ini dikarenakan lemak yg cukup banyak sehingga terhalang oleh
lemak , akan tetapi efek obat durasi nya sangat lama hal ini di karenakan adanya
faktor lain nya seperti biologik yaitu hormon atau keadaan dalam tubuh mencit.
KESIMPULAN
29
intramuskular dan intravena, sedangkan menurut durasinya yang paling cepat
ialah intravena. Obat yang ideal adalah obat yang memiliki onset cepat dan
durasi yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1990, Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan.Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. Hal 1.
Ansel, Howard.C., 1986, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta :
Universitas Indonesia Press.
Depkes RI., 1995, Farmakope indonesia edisi IV. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
Djamhuri, A., 1995, Sinopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di klinik
dan Perawatan. Jakarta: Hipokrates. Hal. 95.
Ganiswarna, S., et al,1995, Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia.
30
EKSPERIMEN DASAR
tujuan praktikum
Teori dasar
31
Pada umumnya faktor-faktor yang sama antara penerima obat
(misalnya usia, jenis kelamin, bobot tubuh, luas permukaan tubuh dan ras)pada
pemberian obat yang sama , dengan dosis sama dan rute pemberian sama masih
dapat diamati efek farmakologi secara kuantitatif berbeda, meskipun status
fungsional dan struktural penerima obat adalah sama . oleh karena itu diambil
kesimpulan bahwa yang menyebabkan perbedaan ini adalah variasi biologik
antara penerima obat. Sebagai makhluk hidup yang dinamis, selalu ada perbedaan
sesaatatau tetap antara sesamanya, karena pengalaman yang berbeda maupun yang
ditanggapi secara berbeda.
Hewan coba : Mencit putih, jantan dan betina (jumlah masing- masing 3
ekor). Usia 2 bulan, bobot tubuh 20-30 g
Obat : Fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IP
alat : Spuit injeksi 1 ml, jarum suntik no.27 (3/4-1 inch), timbangan
hewan, bejana untuk pengamatan, stop watch
Prosedur :
32
Waktu Waktu Waktu Onset Durasi
Pemberian Hilang Kembali Kerja Kerja
Hewan Obat Dosis Rute Obat Righting Righting Obat Obat
(menit) Reflex Reflex (menit) (menit)
(menit) (menit)
mencit Fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:15 11:40 25
manusia Menit
Mencit Fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:08 11:35 27
manusia Menit
Mencit Fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:14 11:40 26
manusia Menit
Mencit Fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:13 11:53 40
manusia Menit
Mencit Fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:09 11:54 45
manusia Menit
Mencit fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:11 11:46 35
manusia Menit
Mencit yang mengantuk akan tetap diam (umumnya di sudur ruang) dan tampak
lunglai. Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi, apabila tubuhnya
dibalik dan berada pada posisi terlentang maka tidak akan kembali tertelungkup.
Jadi, untuk melihat kapan tepatnya terjadi respon awal sedasi maka harus sering
membalikkan badan mencit pada posisi terlentang.
Righting reflex adalah refleks mencit yang apabila tubuhnya dibalik dan berada
pada posisi terlentang, maka akan kembali tertelungkup.
33
Onset kerja adalah mula kerja obat (diamati waktu antara pemberian obat sampai
timbulnya efek hilangnya refleks balik badan jika ditelentangkan selama 30 detik
hingga tidur)
Durasi kerja adalah lama kerja obat (diamati waktu antara timbulnya efek
hilangnya reflex balik badan jika dilentengkan selama 30 detik hingga tidur,
sampai hilangnya efek tersebut)
Perhitungan
37 0,481
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 4,81 × 10−3 . 10 = 0,0481 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔
34 0,442
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 4,29.10−3 × 10 = 0,042𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔
33 0,429
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 4,29.10−3 × 10 = 0,049𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔
26 0,338
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 3,38.10−3 × 10 = 0,039 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔
34
5. Mencit betina 2 (28 g)
28 0,364
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 3,64.10−3 × 10 = 0,0364 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔
24 0,312
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 3,12.10−3 × 10 = 0,0312𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔
Pembahasan
1. Berat badan
2. Jenis kelamin
3. Kondisi patologik
35
Dalam variasi biologi mencit yg lebih berat akan
memberikan efek yg sangat lama dibanding mencit yg berukuran kecil hl ini
dikarenakan mencit dengan bobot badan berat meemiliki lemak dalam tubuh
yg sangat banyak sehingga obat sulit di adsorbi dan di sekresikan di banding
mencit yg memiliki bobot badan yg kecil sangat mudah berefek karena cepat
di adsorbsi.
Dari hasil tersebut, jenis kelamin betina dan jantan memberikan respon peka
terhadap obat yang sama. Terlihat bahwa pada tikus, jenis kelamin betina lebih peka
dibanding jantan, namun pada mencit jenis kelamin jantan lebih peka dibanding
betina. Namun berdasarkan teori, jenis kelamin betina seharusnya lebih peka
dibanding jenis kelamin jantan karena wanita lebih sensitif terhadap obat
dibandingkan pria.
36
Dari data yang didapatkan, percobaan memberikan hasil yang
sangat bervariasi sehingga sulit untuk disimpulkan secara keseluruhan rute
pemberian obat mana yang memberikan onset paling cepat dan durasi paling
lama. Namun, jika dilihat secara keseluruhan data yang ada maka praktikan
menyimpulkan bahwa rute pemberian intraperitonial memberikan onset yang
paling cepat baik terhadap tikus mauun mencit yang berjenis kelamin jantan
ataupun wanita. Hal tersebut dikarenakan penyuntikan dilakukan pada rongga
perut sebelah kanan bawah, yaitu di antara kandung kemih dan hati, yang
mana pada daerah terbut terdapat banya pembuluh darah sehingga
kemungkinan efek akan timbul dengan cepat.
Kesimpulan
Daftar pustaka
37
EKSPERIMEN DASAR
Tujuan praktikum
Prinsip
1. Dosis respon obat Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya
meningkat jika dosis obat yang diberikan juga ditingkatkan
2. Indeks terapi
c. Rumus
Indeks Terapi = DL50/DE50
Teori dasar
38
interaksi obat dengan reseptor obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat
pada tubuh (Adnan,2011).
39
- Efikasi maksimal : Efek maks obat dinyatakan sebagai efikasi
(kemanjuran) maksimal / disebut saja dengan efikasi (Sulistina, ed IV, 1994).
Efikasi tergantung pada kemampuan obat tersebut untuk
menimbulkan efeknya setelah berinteraksi dengan reseptor. Efikasi dapat
dibatasi timbulnya efek yang tidak diinginkan, sehingga dosis harus dibatasi.
Yang berarti bahwa efek maksimal tidak tercapai. Tiap obat mempunyai efikasi
yang berbeda (Sulistina, ed IV, 1994).
Untuk menyatakan toksisitas akut sesuatu obat, umumnya dipakai
ukuran LD50 (medium lethal dose 50) yaitu suatu dosis yang dapat membunuh
50% dari sekelompok binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis
efektif (dosis terapi) yang umum digunakan sebagai ukuran ialah ED 50
(median effective dose), yaitu dosis yang memberikan efek tertentu pada 50%
dari sekelompok binatang percobaan. LD50 ditentukan dengan memberikan
obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok
binatang pecobaan.LD50 ditentukan dengan memberikan obat dalam dosis
yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang percobaan. Setiap
binatang diberikan dosis tunggal. Setelah jangka waktu tertentu (misalnya 24
jam) sebagian biantang percobaan ada yang mati, dan persentase ini diterakan
dalam grafik yang menyatakan hubungan dosis (pada absis) dan persentase
binatang yang mati (pada ordinat) (James Olson,2000).
Indeks terapeutik
Indeks terapeutik adalah suatu ukuran keamanan obat karena nilai yamg
besar menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas / lebar di antara dosis
– dosis yang efektif dan dosis yang foksik. Indeks terapeutik ditentinova
dengan mengukur frekuensi respon yang diinginkan dan respon toksik pada
berbagai dosis obat.
Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan
tolensitas dengan dosis yang menghasilkan suatu respon yang efektif ( Mary
J.Myceh, 2001).
Indeks terapi adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif atau
menggambarkan keamanan relatif sebuah obat pada penggunaan biasa.
Diperkirakan sebagai rasio LD50 (Dosis Lethal pada 50% kosis) terhadap
40
ED50 (Dosis efektif pada 50% kasus). Karena efek berbeda mungkin perlu
dosis berbeda. Istilah LD50 sering dalam toksikologi yaitu dosis yang akan
membunuh 50% dari populasi experimental (dr. Jan Tambayong.2003).
Indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam pernyataan berikut :
Indeks terapi = TD50 atau CD50
ED50 ED50
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa
menimbulkan efek toksik pada seorang pun pasien, oleh karena itu TD1 1.
Suatu ukuran obat, obat yang memiliki indeks terapi tinggi lebih aman dari
pada obat yang memiliki indek terapi lebih rendah . TD50 : Dosis yang toksik
pada toksik 50% hewan yang menerima dosis tersebut, kematiaan merupakan
toksisitas terakhir (Jonet.L. Stringer MD.Ph).
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya.
Jika dosis yang diberi dibawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak
akan didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang diukur.
Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut.
Seperti obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya,
dalam arti bahwa luas (range) temperature badan dan tekanan darah dapat
diukur. Hubungan dosis efek mungkin berbeda-beda tergantung pada
sensitivitas indivdu yang sedang menggunakan obat tersebut. Hubungan
frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitifitas pada individu sebagai
suatu rumusan yang ditunjukan pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi
kumulatif (total jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis
pemberian) diplotkan dalam logaritma maka akan menjadi bentuk kurva
sigmoid. Pembengkokan titik pada kurva berada pada keadaan dosis satu-
separuh kelompok dosis yang sudah memberikan respon. Range dosis meliputi
hubungan dosis-frekuensi memcerminkan variasi sensitivitas pada individi
terhadap suatu obat.
Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subyek manusia
dapat ditemukan karena terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu
yang berbeda. Untuk menentukan variasi biologis, pengukauran telah
membawa pada suatu sampel yang representative dan didapatkan rata-ratanya.
41
Ini akan memungkinkan dosis terapi akan menjadi sesuai pada kebanyakan
pasien (Lullmann, 2000)
Indeks teraupetik merupakan suatu ukuran keamanan obat
karena nilai yang besar menunjukkan bahwa terdapa suatu batas yang luas /
lebar diantara dosis-dosis yang toksik.
- Penentuan indeks teraupetik
Indeks teraupetik ditentukan dengan mengukur frekuensi respon
yang diinginkan dan respon toksik pada berbagai dosis obat.
- Aspek kuantitatif eliminasi obat melalui ginjal
- Rasio efektif : Penurunan konsentrasi obat dalam plasma
dari darah arteri ke vena ginjal
- Kecepatan ekskresi : Eliminasi dari suatu obat biasanya mengikuti
kinetik firstorder dan konsentrasi obat dalam plasma turun secara exponensia
menurut waktu. Ini biasa digunakan untuk menentukan waktu paruh obat.
- Volume distribusi dan waktu paruh obat
Waktu paruh suatu obat berbanding terbalik dengan bersihan dan
secara langsung proporsional terhadap volume distribusi.
- Keadaan klinis yang meningkatkan waktu paruh obat penting
untuk dapat menduga para penderita yang mana memungkinkan waktu paruh
obat akan memanjang (Mary J. Mycek, dkk. 2001).
Hewan coba : mencit putih , jantan ( jumlah 18 ekor) bobit tubuh 220-30 g
Obat : fenobarbital secara IP
Alat : squit injeks 1 ml , jarum suntik NO.26 (1/2 inch) timbangan hewan ,
bejana , untuk pengamatan , stop watch
Cara kerja :
42
- Kel 1: fenobarbital 100 mg /70 kg BB manusia secara IP
- Kel 2: fenobarbital 200 mg /70 kg BB manusia secara IP
- Kel 3: fenobarbital 400 mg /70 kg BB manusia secara IP
- Kel 4: fenobarbital 800 mg /70 kg BB manusia secara IP
- Kel 5: fenobarbital 1600 mg /70 kg BB manusia secara IP
- Kel 6: fenobarbital 3200 mg /70 kg BB manusia secara IP
3. Hitung dosis dan volume pemberian obat dan tepat untuk masing-masing
mencit.
4. Berikan larutan fenobarbital sesuai kelompok masing-masing dan catat
waktu pemberian nya.
5. Tempatkan mencit ke dala bejana untuk unutk pengamatan.
6. Amati selama 45 menit dan catat waktu pemberian >> waktu berefek.
7. Efek yg diamati :
Sangat resisten : tidak ada efek
Resisten : tikus tidak tidurtetapi mengalami ataksia
Efek sesuai : tikus tidur, tetapi tegak jika di beri rangsangan nyeri
Peka : tikus tidur , tetapi tidak tegak jika di bari rangsanga nyeri
Sangat peka : mati
8. Buat gambar hubungan dosis obat vs respon pada kertas grafik
Sumbu absis : dosis obat yg digunakan
Sumbu ordinat : presentasi hewan yg memberikan efek (righting
reflex hilang/kemetian pada dosis yg digunakan.
9. Tentukan DE50 dan DL50 fenobarbital dengan menggunakan persamaan
regresi y = a + bx pada percoban di atas .
Perhitungan :
43
33 1,716 𝑚𝑔
× 1,04 𝑚𝑔 = × 2 𝑚𝑙 = 0,02 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔
33 1,716 𝑚𝑔
× 1,04 𝑚𝑔 = × 2 𝑚𝑙 = 0,02 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔
36 1,872
× 1,04 𝑚𝑔 = × 2 𝑚𝑙 = 0,02 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔
Hasil :
1 2 3
100 mg / 70 kg BB
+ - + 66,6 ◦/ₒ
manusia
400 mg / 70 kg BB
+ + + 100 ◦/ₒ
manusia
800 mg / 70 kg BB
+ + + 100 ◦/ₒ
manusia
44
1600 mg / 70 kg BB
+ + + 100 ◦/ₒ
manusia
3200 mg / 70 kg BB
+ + + 100 ◦/ₒ
manusia
1 2 3
100 mg / 70 kg BB
- - - 0 ◦/ₒ
manusia
400 mg / 70 kg BB
- - - 0 ◦/ₒ
manusia
800 mg / 70 kg BB
- - - 0 ◦/ₒ
manusia
1600 mg / 70 kg BB
- - - 0 ◦/ₒ
manusia
3200 mg / 70 kg BB
- - - 0 ◦/ₒ
manusia
45
11:22 11:37 Efek sesuai
mencit penobarbital IP 11:17 11:26 Resisten 200 mg
11:11 11:23 Resisten
11:39 11:55 Efek sesuai
400 mg
mencit penobarbital IP 11:28 11:41 efek sesuai
11:30 11:45 efek sesuai
11;52 12:03 Efek sesuai
mencit penobarbital IP 11:54 12:06 Peka 800 mg
11:55 12:06 Peka
11:36 12:05 Peka
mencit penobarbital IP 11:27 12:10 Peka 1600 mg
11:32 12:03 Peka
11:25 11:27 Peka
mencit penobarbital IP 11:30 11:32 Peka 3200 mg
11:36 11:38 peka
Pembahasan
46
Obat yang akan diujikan kepada mencit dalam praktikum kali ini
adalah obat golongan barbiturate, yaitu fenobarbital. Fenobarbital adalah
obat penenang golongan barbiturat yang dapat digunakan untuk mengobati
kejang parsial dan kejang menyeluruh. obat ini juga dapat menyebabkan
ketidaksadaran (pingsan) dan penyimpangan memori.
47
ditimbulkan lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara
oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah
diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
hewan uji. Namun suntikan intraperitonial tidak dilakukan pada manusia
karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar.
Mencit yang akan diuji harus ditimbang terlebih dahulu, karena berat
badan merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya dosis yang diberikan
karena berat badan berhubungan dengan luas permukaan tubuh yang
mempengaruhi tingkat absorbsi obat dalam tubuh. Penimbangan ini
dilakukan untuk dapat menentukan dosis yang akan diberikan pada mencit,
karena mencit memiliki batas pemberian dosis obat. Hal ini mencegah
matinya mencit karena kelebihan dosis obat sehingga mencit dapat
memperlihatkan efek obat dengan baik. Dosisnya sendiri diberikan pada
setiap mencit dengan variasi ukuran yang meningkat. Pemberian dosis
dengan variasi ukuran yang meningkat diperlukan untuk mengetahui pada
dosis manakah efektivitas yang diinginkan terjadi, sehingga nanti dapat
diketahui LD50 dan ED50. Keduanya tersebut akan menunjukan indeks
terapi obat. Indeks terapi merupakan perbandingan LD50 dan ED50. LD50
adalah dosis yang menyebabkan 50% hewan percobaan mati sedangkan
ED50 adalah dosis yang memberikan efek pada 50% hewan percobaan.
Perhitungan indeks terapi dimaksudkan untuk memperkirakan keamanan
obat. Semakin besar indeks terapi, semakin aman penggunaan obat tersebut
karena rentang antara LD50 dan ED50 cukup jauh. Jika indeks terapi kecil,
maka rentang antara LD50 dan ED50 dekat sehingga dosis yang diberikan
harus tepat, bila berlebih dapat menyebabkan toksisitas bahkan kematian.
48
Pemberian secara intraperitonial dimaksudkan agar absorbsi pada
lambung, usus dan proses bioinaktivasi dapat dihindarkan, sehingga
didapatkan kadar obat yang utuh dalam darah karena sifatnya yang sistemik.
Hal ini harus benar-benar diperhatikan karena apabila salah posisi maka
suntikan akan mengenai organ bagian dalam mencit, apabila terlalu ke
tengah akan mengenai kandung kemih, dan apabila terlalu tinggi akan
mengenai hati mencit. Apabila salah dan mengenai organ dalam mencit, bias
saja obat akan terhambat kerjanya atau bila mengenai organ vital mencit
dapat mengalami kematian secara langsung setelah pemberian.
Pengamatan dilakukan di menit ke 5, 10, 15, 30, 45, dan 60. Untuk
mengamati Righting reflex-nya mencit dipegang di ekor kemudian
dibalikkan badannya, dilihat kehilangan righting reflexnya. Apabila mencit
dapat melawan atau mengembalikan posisi tubuhnya seperti semula, maka
righting reflexnya masih bekerja (positif).
49
Pada kelompok 4menggunakan dosis 800 mg/ 70 kg BB manusia
didapatkan hasil dengan berat badan 35 yaitu efek sesuai , berbeda dengan
BB 30 g didapatkan hasil peka perbedaan hasil ini mungkin dikarenakan
berat badan yg 35 g lebih sesuai dengan dosis yg diberikan sehingga efek
sesuai mengalami efek sedatif karena obat terhalang dengan lemak
dibanding dengan BB 30 yg diberi dosis besar 800 mg sehingga respon
obatnya lebih cepat karena luas permukaan tubuhnya lebih kecil ,karena
ketika di beri rangsangan nyeri mencit tidak tegak.
50
Dosis yang diperlukan relative lebih besar untuk mendapatkan
respon yang lebih cepat (efektifitas berkurang) tetapi toksissitasnya kecil.
Rentang efek teurapeutiknya kecil atau sempit.
Namun hasil ini belum dapat dipastikan dengan benar nilai pasti
ED50 nya karena belum sempat diuji spesifikkan terhadap dosis spesifik.
Untuk LD50 hasil nya 100% di karenakan dalam praktikum ini tidak ada
mencit yg mati . hal ini karena dosis masih dalam batas kewajaran antara
respon obat.
Kesimpulan
51
DAFTAR PUSTAKA
Adnan.2011.Farmakologi.Tersedia di http://kesmasunsoed.blogspot.com/2011/02/
pengantar-farmakologi.html [diakses tanggal 20 Maret 2014].
Katzug, R-Bertram G., 1989, Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 3, Jakarta;
EGC.
Lullmann, Heinz, dkk., 2000, Color Atlas of Pharmacology 2nd edition, New
York; Thieme Stuttgart.
Maycek, Mary J.,2001, Farmakologi Ulasan Bergambar edisi 2 , Jakarta : Widya
Medika.
Olson, James, 2000, Belajar Mudah Farmakologi, Jakarta : ECG.
Stringer L, Jonet. 2008. Konsep Dasar Farmakologi Untuk Mahasiswa, Jakarta :
ECG
52
BAB III
EFEK OBAT SISTEM SARAF PUSAT
53
LATAR BELAKANG
1. Stimulasi Termis
2. Stimulasi fisis
3. Stimulasi Mekanis
4. Stimulasi Kimiawi
Tujuan percobaan :
1. Mengamati respon geliat atau writhing reflex pada mencit akibat induksi
kimia.
2. Mengetahui mula kerja obat (onset of action) , lama kerja obat (duration of
action) dan saat obat mencapai efek yg maksimum.
Teori dasar
54
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk
mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran
akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan
sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap
perangsang ini. Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses
pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit,
sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh
rangsangan sakit (Anief, 2000).
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapetik meringankan
atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan
potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam
2 kelompok yaitu analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat
(hipoanalgetik, kelompok Opiat) dan analgetika yang bersifat lemah (sampai
sedang) bekerja terutama pada perifer (Mutschler, 1991).
Analgetik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf
secara selektif. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi
kesadaran. Analgetik bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi
rasa sakit. Berdasarkan mekanisme kerja pada tingkat molekul, analgetik
dibagi menjadi dua golongan yaitu analgetik narkotik dan analgetik non-
narkotik (Sabby, 2010).
Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi
penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya
kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya
kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu gejalanya karena
dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk
mengendalikannya. Untuk setiap orang ambang nyerinya konstan. Batas
nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay & Rahardja,
2007).
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan
menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan ras nyeri
yang diinduksi pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi
induksi secara maknik, termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian
55
dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk
mengevaluasi obat-obat analgetik kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika
dinilai pada hewan dengan mengukut besarnya peningkatan stimulus nyeri
yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan
hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri
(Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).
Pengujian aktifitas analgetik ada 4 cara:
1. Metode Induksi Nyeri Secara Kimia (Metode Siegmund)
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau
menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi secara kimia pada hewan uji
mencit. Rasa nyeri pada mencit diperlihatkan dalam bentuk respon geliat.
Geliat dapat berupa lompatan, kontraksi otot perut hingga perut menekan
lantai, tarikan kaki ke belakang dan ke depan. Frekuensi gerakan ini dalam
waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya, yang dapat
dinyatakan sebagai % proteksi yang dirumuskan dalam persamaan:
𝑃
% proteksi = 100 – ( 𝐾 𝑋 100% )
56
waktu reaksi dapat diperpanjang dengan pemberian obat-obat analgetik.
Perpanjangan waktu reaksi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran
dalam mengevaluasi aktivitas analgetik. Cara ini untuk obat golongan
analgetik narkotik.
57
yg menoleh ke belakang sehingga tampak seolah olah mencit tersebut
menggeliat . refleks ini dapat terjadi selama durasi kerja penginduksi .
refleks geliat ini selanjut nya di gunakan sebagai parameter uji metode ini.
Acetic acid; Glacial acetic acid; Ethanoic acid; Vinegar acid; Ethylic acid;
Pyroligneus acid; Methanecarboxylic acid; Acetic acid; Glacial;
· Keracunan akut :
Ø Terhirup
58
Asam asetat : menyebabkan iritasi yang berat pada saluran pernafasan,
pada kebanyakan orang 50 bpj atau lebih banyak yang tidak tahan dan
dapat menyebabkan edema pharingeal dan bronchitis kronik.. Gejala
gejala lain termasuk batuk, dyspnea, nafas pendek, laryngitis, edema
pulmonal, bronkhopneumonia dan hipotensi.
Ø Tertelan
59
Alat dan Bahan
A. Alat
a. Sarung tangan
b. Masker
e. Stopwatch
c. Sonde oral
f. Wadah penyimpanan
d. Alat suntik 1 ml
mencit
B. Bahan
a. Mencit putih(20-30gram) sebanyak 0,5 ml secara IP
b. Asam asetat glasial 3%
c. Parasetamil 500 mg/70 kg BB manusia secara PO
d. CMC NA 1%secara PO
e. Asam mefenamat 500 mg/70 kg BB manusia
Prosedur
60
Hasil dan pembahasan
Hasil :
61
Awal Geliat Akhir Geliat Durasi efek Geliat
(Mencit) (Mencit)
11.45 12.24 39
11.50 12.25 35
11.39 12.24 45
11.52 12.27 35
11.58 12.10 12
11.24 12.30 6
11.39 12.02 27
11.40 12.06 26
11.32 12.05 33
11.40 12.25 45
11.31 12.20 49
11.37 12.18 41
Perhitungan :
- Kelompok 3
# mencit BB 30 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
30
Dosis = × 1,3 𝑚𝑔 = 1,95 𝑚𝑔
20
1,95 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,19 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔
# mencit BB 20 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
20
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,3 𝑚𝑔
1,3 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,13
1000 𝑚𝑔
- Kelompok 4
62
# mencit BB 25 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
25
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,625 𝑚𝑔
1,625 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,1625 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔
# mencit BB 28 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
28
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,82 𝑚𝑔
1,82 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,182 𝑚𝑙 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔
- Kelompok 5
# mencit BB 27 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
27
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,75𝑚𝑔
1,75 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,175 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔
# mencit BB 31 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
31
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 2,01 𝑚𝑔
2,01 𝑚𝑔
Volume = 1000 𝑚𝑔
× 100 𝑚𝑙 = 0,20 ~ 0,2 𝑚𝑙
- Kelompok 6
# mencit BB 27 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
27
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,75𝑚𝑔
1,75 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,175 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔
# mencit BB 26 gram
63
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
26
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,69 𝑚𝑔
1,69 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,16 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔
Pembahasan :
Pada percobaan kali ini akan dilakukan pengujian terhadap efek analgetika
dari beberapa obat anelgetika dengan metode induksi nyeri oleh senyawa kimia.
Digunakan metode induksi secara kimia karena analgetik yang digunakan
termasuk dalam golongan antalgetika non narkotik. Metode induksi merupakan
cara-cara menginduksi nyeri atau inflamasi ke dalam hewan percobaan. Adapun
hewan percobaan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus)betina. Mencit
digunakan karena mudah ditanganani dan memiliki sistem biokimia yang mirip
dengan tubuh manusia.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain: asam asetat glasial 3%; asam mefenamat
500 mg;parasetamol 500 mg, dan CMC NA 1%. Asam asetat digunakan sebagai
penginduksi nyeri secara kimia dengan sifatnya yang merupakan asam lemah.
Parasetamol dan asam mefenamat menjadi obat analgesik yang akan diuji
potensinya. CMC NA digunakan sebagai kontrol negatif, atau untuk mengetahui
pengaruh dari pembawa obat.
64
Dapat dilihat juga jumlah geliat yang paling sedikit dari data
pengamatan adalah pada kelompok mencit yang diberikan asam mefenamat.
Pada mencit kelompok obat standar ini, jumlah geliat lebih sedikit
dibandingkan kelompok mencit kontrol. Ini dikarenakan terdapat anti
analgesik yang diberikan pada mencit meskipun dalam kadar yang standar.
Disebabkan karena pada kelompok ini telah diberi obat analgesik yaitu asam
mefenamat. Akibatnya rasa nyeri dihambat dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase pada biosintesis prostaglandin sebagai mediator nyeri
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu.
Hasil pengujian jumlah geliat rata-rata mencit menujukkan bahwa
terdapat penurunan jumlah geliat rata-rata mencit pada kelompok kontrol
positif maupun pada kelompok parasetamol bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
parasetamol dan asam mefenamat dapat mengurangi terjadinya geliat pada
mencit yang merupakan suatu respon nyeri yang ditimbulkan oleh adanya
pemberian asam asetat secara intraperitoneal. Semakin sedikit jumlah geliat
rata-rata yang diberikan oleh kelompok mencit menunjukkan semakin baik
efek analgesik pada suatu bahan uji.
Kemudian dihitung persentase proteksi bahan uji, yaitu kemampuan
bahan uji dalam mengurangi respon geliat mencit yang disebabkan oleh
induksi asam asetat. Persentase ini menggambarkan daya analgesik bahan uji.
Ini diperoleh dengan membandingkan rata-rata jumlah geliat kelompok bahan
uji terhadap kelompok kontrol negative. Dapat dilihat bahwa persentase
proteksi terbesar ditunjukkan kelompok kontrol positif. Pada kelompok dosis,
kelompok dosis yang menunjukkan persentase proteksi terbesar terdapat pada
kelompok dosis II, artinya dosis II merupakan dosis yang efektif memberikan
efek analgesik.
KESIMPULAN
1. Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan
dengan (ancaman) kerusakan jaringan.
65
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. (1995). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Pharmaceutical Care
untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Dirktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik. Jakarta.
Gunawan, G dan Sulistia. (1995). Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta:
FK-UI
Katzung, B.G.(1998). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. dJakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EG.
66
67