Anda di halaman 1dari 67

BAB I

HANDLING HEWAN COBA

1
PENGENALAN KARAKTERISTIK DAN PENANGANAN HEWAN COBA

Percobaan pada praktikum farmakologi dilakukan terhadap hewan hidup ,


oleh karena itu hewan coba harus di perlakukan dengan bijaksana. Perlakuan yang
tidak wajar terhadap hewan coba dapat menimbulkan hasil pengamatan yang
menyimpang sehingga tujuan pengamatan tidak tercapai.

Beberapa hewan coba yang dapat di gunakan untuk mengamati efek


farmakologi obat diantaranya adalah mencit, tikus, marmot dan kelinci. Hewan
coba tersebutmempunyai karakteristik yang berbeda beda. Untuk dapat menangani
hewan coba dengan baik dan benar perlu dipahami karakteristik masing-masing
hewan coba.

1. Mencit

Karakteristik Utama Mencit

Mencit (mus muschulus) adalah hewan coba yang mudah di tangani . Ia


bersifat penakut, fotofobia, cendrung berkumpul sesamanya, serta lebih aktif di
malam hari dari pada siang hari. Aktivitas mencit dapat terganggu dengan
keberadaan manusia. Suhu tubuh normal 37,4℃ dan laju respirasi normal 163 kali
permenit

Cara Memperlakukan Mencit

a. Mencit di angkat dengan memegangnya pada ujung ekormya


menggunakan tangan kanan (3-4 cm dari ujung), letakkan pada suatu
tempat yang permukaan nya tidak licin, misalnya kasa dan ram kawat,
sehingga ketika dibiarkan mencit dapatmenjengkau mencengkram kawat
dengan kaki depannya.
b. Jika diletakkan pada tempat yang rata seperti meja, sebisa mungkin jangan
menarik ekor mencit dengan paksa dan terlalu kuat, ikuti gerakan mencit
dan tarik ketika tahanan mencit tidak terlalu kuat

2
c. Untuk memegang mencit, telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit
tengkuknya sedangkan tangan kanan masih memegang ekornya, setelah itu
tubuh mencit dapat diangkat dan dibalikkan sehingga permukaan perut
menghadap ke praktikan
d. Untuk memudahkan pemberian obat, ekor mencit yang di pegang oleh
tangan kanan dipindahkan dan di jepitkan di antara jari manis dan jari
kelingking tangan kiri, hingga mencit cukup erat di pegang. Pemberian
obat kini dapat dimulai.

Cara Pemberian Obat Pada Mencit

Tabel I. Cara pemberian obat pada mencit

Cara Keterangan Gambar


pemberian
Oral Cairan obat diberikan
dengan menggunakan
sonde oral. Sonde oral
ditempelkan pada langit-
langit mulut atas mencit,
kemudian perlahan-lahan
dimasukkan sampai ke
osafagus dan cairan obat
dimasukkan
Subkutan Kulit di daerah tengkuk di
angkat dan ke bagian
bawah kulit dimasukkan
obat dengan menggunakan
alat suntik 1 ml dan jarum
ukuran 27G/ 0,4 mm.

3
Selain itu juga bisa di
daerah belakang tikus

Intravena Mencit dimasukkan ke


dalam kandang restriksi
mencit, dengan ekornya
menjulur keluar. Ekornya
dicelupkan ke dalam air
hangat (28-30℃) selama
beberapa menit agar
pembuluh vena ekor
mengalami dilatasi,
sehingga memudahkan
pemberian obat ke dalam
pembuluh vena.

Pemberian obat di lakukan


dengan menggunakan
jarum suntik no. 24.

Penggunaan alcohol/bahan
antiseptic lain justru
menyebabkan
vasokontriksi sehingga
akan mempersulit
masuknya jarum

4
Intramuskular Obat disuntikkan pada
paha posterior dengan
jarum suntik no. 24.

Intraperitoneal Pada saat penyuntikan,


posisi kepala lebi rendah
dari abdomen. Jarum
disuntikkan dengan sudut
sekitar 100 dari abdomen
pada daerah yang sedikit
menepi dari garis tengah,
agar jarum suntik tidak
mengenai kandung kemih.
Penyuntikan tidak di
daerah yang terlalu tinggi
untuk menghindari
terjadinya penyuntikan
pada hati.

Cara Mengorbankan Mencit

Hewan di korbankan bila terjadi rasa sakit yang hebat atau


lama akibat suatu eksperimen.

Hewan dikorbankan dengan cara eutanasia (kematian tanpa rasa sakit). Terdapat
beberapa cara mengorbankan hewan yaitu:

a. Cara terbaik dengan menggunakan karbon dioksida (CO₂) dalam wadah


khusus

5
b. Penyuntikan pentobarbital natrium tiga kali dosis normal (135-180
mg/kgBB)
c. Dengan cara fisik dapat dilakukan dislokasi leher. Cara ini merupakan cara
yang paling cepat dilaksanakan, mudah dan paling berperikemanusiaan.
Hewan di pegang pada ekornya kemudiaan di tempatkan pada permukaan
yang bisa di jangkaunya , sehingga mencit akan merenggangkan badannya.
Pada tengkuknya kemudiaan di tempatkan suatu penahan, misalnya
sebatang besi seukuran pinsil yang dipegang dengan satu tangan. Tangan
lainnya kemudian menarik ekornya dengan keras, sehingga lehernya akan
terdislokasi, dan mencit akan terbunuh.

2.Tikus

Karakteristik Utama Tikus

Tikus (rattus norvegicus) tidak begitu bersifat fotofobik


dibandingkan dengan mencit dan kecendrungan untuk berkumpul sesamanya
sangat kurang. Selain itu tikus merupakan hewan yang cerdas, mudah ditangani
dan relatif resisten terhadap infeksi. Aktivitasnya tidak begitu terganggu dengan
adanya manusia di sekitarnya. Bila diperlakukan kasar dan atau makanan kurang,
tikus menjadi galak/ liar dan sering menyerang si pemegang. Suhu tubuh normal
37,5-38,0℃ dan laju respirasi normal 210 kali permenit

Cara Memperlakukan Tikus

Tikus dapat diperlakukan sama seperti mencit, hanya harus


diperhatikan bahwa sebaiknya bagian ekor yang dipegang adalah bagian pangkal
ekor. Tikus dapat diangkat dengan memegang perutnya ataupun dengan cara
diangkat dari kandangnya dengan memegang tubuhnya/ ekornya dari belakang,
kemudian diletakkan di atas permukaan kasar tikus dipegang dengan tangan kiri
dengan cara menjepit leher pada bagian tengkuk dengan jari tengah dan telunjuk,
dan ibu jari di selipkan ke depan untuk menjepit kaki kanan depan tikus,
sedangkan jari manis dan kelingking menjepit kaki kiri depan tikus, tangan kanan
tetap memegng ekor tikus.

6
Untuk melakukan pemberiaan obat secara IP atau IM, tikus
dipegang pada bagian belakang badannya. Hal ini hendaklah dilakukan dengan
mulus tanpa ragu-ragu. Tikus tidak mengelak apabila dipegang dari atas, tetapi
bila dipojokkan ke sudut, ia akan menjadi panik dan menggigit.

Cara Pemberiaan Obat pada Tikus

Pemberian obat secara oral, subkutan, intravena,


intramuskular, maupun intraperitoneal dapat diberikan dengan cara yang sama
seperti pada mencit. Penyuntikan subkutan dapat pula dilakukan di bawah kulit
abdomen selain pada tengkuk

Cara Mengorbankan Tikus

a. Cara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan gas CO₂, eter dan
pentobarbital dengan dosis yg sesuai.
b. Cara fisik dapat dilakukan sebagai berikut : Tikus di atas sehelai
kain,kemudian badan tikus termasuk kedua kaki depannya dibungkus.
Tikus dibunuh dengan cara berikut :
- Belakang telinganya di pukul dengan tongkat
- Peganglah tikus dengan perutnya menghadap ke atas, kemudian
pukullah bagian belakang kepala permukaan yang keras seperti
permukaan meja atau logam, dengan sangat keras

3. Kelinci

Karakteristik Utama Kelinci

Kelinci (Cuniculus forma domestica) jarang bersuara, hanya


dalam keadaan nyeri luar biasanya akan bersuara dan pada umumnya
cendrung untuk berontak apabila merasa keamanannya terganggu . suhu rektal
kelinci sehat adalah antara 38,5-40℃, pada umumnya 39,5℃. Suhu rektal ini

7
berubah apabila hewan tersebut tereksitasi, ataupun karena gangguan
lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah 38-65 kali per menit,
pada umumnya 50 kali per menit (pada kelinci muda,laju ini dipercepat, dan
pada kelinci bayi bisa mencapai 100 per menit).

Cara Memperlakukan Kelinci

Kelinci harus diperlakukan dengan halus namun sigap karena


cenderung untuk berontak. Menangkap atau memperlakukan kelinci jangan
dengan mengangkatnya pada telinga karena dapat mengganggu pembuluh
darah dan syaraf. Kulit pada leher kelinci di pegang dengan tangan kiri dan
bagian belakangnya diangkat dengan tangan kanan) lalu badannya didekapkan
ke dekat tubuh.

Cara Pemberian Obat pada Kelinci

Tabel II. Cara pemberian obat pada kelinci

Cara Keterangan Gambar


Pemberian
Oral Pada umumnya pemberian obat dengan
cara ini dihindari, tetapi bila dipakai
juga maka digunakan alat penahan
rahang (mouth block) berupa pipa
kayu/plastik yang berlubang, panjang
12 cm, diameter 3 cm dan diameter
lubang 7 mm. Mouth block diletakkan
diantara gigi depan dengan cara
menahan rahang dengan ibu jari dan
telunjuk. Masukan kateter melalui
lubang pada mouth block sekitar 20-25

8
cm. Untuk memeriksa apakah katerer
benar masuk ke oesafagus bukan
ketrakea. Celupkan ujung luar kateter
masuk ke trakhea
Subkutan Pemberian obat secara sub kutan
dilakukan pada sisi sebelah pinggang
atau tengkuk dengan cara kulit diangkat
dan jarum (25-26 g) ditusukkan dengan
arah anterior. Dengan volume
pemberian maksimal 1% BB

Intravena Penyuntikan di vena marginalis dan


dilakukan pada daerah dekat ujung
telinga. Sebelumya telinga dibasahi
dahulu dengan air hangat selama
beberapa menit

Penggunaan alcohol/ bahan antiseptic


lain justru menyebabkan vasokontriksi
sehingga akan mempersulit masuknya
jarum
Intramuskular Penyuntikan dilakukan pada otot kaki
belakang. Hindari otot posterior femur
karena resiko kerusakan saraf siatik.
Gunakan jarum ukuran 2ga dan volume
pemberian tidak lebih 0.5-1.0 ml/
tempat penyutiksn
Intraperitoneal Posisi kelinci diatur sedemikian
sehingga letak kepala lebih rendah dari
pada perut. Penyuntikan dilakukan pada
garis tengah di muka kandung kencing.

9
Cara Mengorbankan Kelinci

a. Dengan menggunakan karbon dioksida (CO₂)


b. Dengan injeksi pentobarbital natrium 350 mg secara intra vena
c. Dengan cara dislokasi leher
- Pegang kaki belakang kelinci dengan tangan kiri sehingga badan dan
kepalanya tergantung ke bawah, menghadap ke kiri. Dengan jari-jari
tangan kanan dikeraskan, pukulkanlah sisi telapak tangan kanan
dengan keras kepada tengkuk kelinci. Selain tangan dapat juga
digunakan alat misalnya tongkat
- Tempatkan kelinci disebuah meja dengan tangan kiri, angkat badannya
pada telinga sedemikian sehingga kaki depannya tepat tergantung di
atas meja, pada kondisi ini pukulkan tongkat dengan keras dibelakang
telinganya.

Tabel III. Karakteristik hewan coba

Kelinci
No karakteristik Mencit Tikus Marmut Oryotologus
Mus musculus Rattus ratus Cavia porcellus Cunuculus
1 Pubertas 35 hari 40-60 hari 60-70 hari 4 bulan
2 Masa beranak Sepanjang Sepangjang Mei – -
Tahun Tahun september
3 Lama hamil 19-20 hari 21-23 hari 63 hari 28-36 hari
4 Jumlah sekali lahir 4-12 ekor 6-8 ekor 2-5 ekor 5-6 ekor
(6-8 biasanya)
5 Lama hidup 2-3 tahun 2-3 tahun 7-8 tahun 8 tahun
6 Masa tumbuh 6 bulan 4 -5 bulan 15 bulan 4-6 bulan
7 Masa laktasi 21 hari 21 hari 21 hari 40 – 60 bulan
8 Frekuensi kelahiran/ 4 7 4 3–4
Tahun

10
9 Suhu tubuh 37,9-39,2 37,7 – 38,8 37,8-39,5 38,5 – 39,5
10 Kecepatan respirasi 136-216/menit 100-150/menit 100-150/menit 50 -60/ menit
11 Tekanan darah 147/106 S/D 130/95 S/D - 110/80 S/D
12 Volume darah 7,5 % bb 7,5% bb 6 % bb 5 % bb
13 Luas permukaan Ø = K√g² Ø = K√g² Ø = K√g² Ø = K√g²
K = 11,4 K = 9,13 K = 8,88 K = 12,88
g = berat badan g = berat badan g = berat badan g = berat badan

PERHITUNGAN DOSIS OBAT PADA HEWAN COBA

Untuk dapat memperoleh efek farmakologis yang sama dari


suatu obat pada setiap spesies hewan percobaan, diperlukan data mengenai
aplikasi dosis secara kuantitatif. Perhitungan konversi tersebut akan lebih
diperlukan bila obat akan dipakai pada manusia dan pendekatan terbaik adalah
dengan menggunakan perbandingan luas permukaan tubuh. Beberapa spesies
hewan percobaan yang sering digunakan, dipolakan perbandingan terhadap luas
permukaan tubuhnya. Sebagai tambahan ditentukan pola perbandingan terhadap
luas permukaan tubuh manusia.

Tabel IV. Konversi dosis berdasarkan perbandingan luas


permukaan tubuh hewan coba

Hewan Mencit Tikus Marmot Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia


20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2,0 kg 4,0 12,0 70 kg
kg kg
Mencit 1.0 7.0 12.25 27.8 29.7 64.1 124.2 387.9
20 g
Tikus 0.14 1.0 1.74 3.9 4.2 9.2 17.8 56.0
200 g
Marmot 0.08 0.57 1.0 2.25 2.4 5.2 10.2 31.5
400 g
Kelinci 0.04 0.25 0.44 1.0 1.08 2.4 4.5 14.2

11
1,5 kg
Kucing 0.03 0.23 0.41 0.92 1.0 2.2 4.1 13.0
2,0 kg
Kera 0,016 0.11 0.19 0.42 0.45 1.0 1.9 6.1
4,0 kg
Anjing 0.008 0.06 0.10 0.22 0.24 0.52 1.0 3.1
12,0 kg
Manusia 0.0026 0.018 0.031 0.07 0.076 0.16 0.32 1.0
70 kg
Diambil dari : D.R. laurance dan bacharach, Evaluation of Drug Activities :
pharmacometrics 1964

PERHITUNGAN DOSIS OBAT PADA HEWAN COBA

Tujuan : untuk mengetahui cara perhitungan obat pada hewan coba .

Untuk dapat memperoleh efek farmakologi yang sama dari


suatu obat pada setiap spesies hewan percobaan, diperlukan data mengenai
aplikasi dosis secara kuantitatif. Perhotungan konversi tersebut akan lebih
diperlukan bila obat akan dipakai pada manusia dan pendekatan terbaik adalah
menggunakan perbandingan luas permukaan tubuh.

CONTOH SOAL :

2. Diketahui : dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg


Di tanya : dosis fenobarbital pada tikus 250 g ?
Jawab :
Tikus 250 → 0,018
0,018 × 100 = 1,8
250
→ 200 × 1,8 = 2,25 mg

3. Diketahui : dosis fenobarbital pada tikus 200 mg = 2 mg


Di tanya : dosis fenobarbital pada mencit 25 g ?

12
Jawab :
Mencit 20 g → 0,14 tikus
0,14 × 2 = 0,28 mg
25
→ 20 × 0,28 = 0,35

PERHITUNGAN VOLUME OBAT PADA HEWAN COBA

Volume cairan yang diberikan pada hewan percobaan harus


diperhatikan tidak melebihi jumlah tertentu. Senyawa yang tidak larut di buat dalam
bentuk suspensi dalam gom dan diberikan dengan rute per oral.

Untuk mengetahui volume obat pada hewan coba, harus diketahui :

1. Perhitungan dosis obat yang akan diberikan


2. Jenis sediaan obat yang tersedia di laboratorium
3. Ukuran jarum suntik yang tersedia di laboratorium

Tabel IV. Batas maksimal volume untuk tiap rute pemberiaan pada hewan coba

Hewan Batas Maksimal (ml) untuk tiap rute pemberian


Percobaan IV IM IP SK PO
Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0
Tikus (200 g) 1,0 0,1 2-5,0 2,0-5,0 5,0
Hamster (50g) - 0,1 1-20 2,5 2,5
Marmot (250 g) - 0,25 2-5,0 5,0 10,0
Merpati (300 g) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
Kelinci (1,5 kg) 5-10,0 0,5 10-20,0 5-10,0 20,0
Kucing (3 kg) 5-10,0 1,0 10-20,0 5-10,0 50,0
Anjing (5 kg) 10-20,0 5,0 20-50,0 10,0 100,0
Diambil dari : M. Boucard, et al,pharmacodynamic, guide de travaux pratiques,
1981-1982

13
SOAL 2

Diketahui : dosis fenobartial pada tikus 200 g = 2 mg sediaan fenobartial (


sibital R ) = 200 mg / 2 mg

Ditanya : volume pemberian (subtital ) pada mencit 25 g

Jawab :

Faktor konveksi tikus 200 g → mencit 25 g =

Dosis fenobarbital

25
× 0,28 = 0,35 𝑚𝑔
20

Volume pemberian sibital R pada mencit 25 g

0,35 𝑚𝑔
× 2 𝑚𝑙 = 0,035 → 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
20 𝑚𝑔

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hewan percobaan yang digunakan di laboratorium tak


ternilai jasanya dalam penilaian efek, toksisitas dan efek samping serta keamanan
dan senyawa bioaktif. Hewan percobaan merupakan kunci di dalam
pengembangan senyawa bioaktif dan usaha kesehatan.

Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan


penuh rasa kasih sayang dan berperikemanusiaan. Berikut cara perlakuaan
terhadap beberapa hewan percobaan yang telah dipelajari dalam percobaan kali
ini, antara lain :

1. Mencit
 Sifat mencit, cenderung berkumpul bersama, fotopobik, lebih aktif di
malam hari, aktivitasnya terhambat dengan kehadiran manusia.
 Cara memperlakukan mencit :

14
Mencit diangkat ekornya dengan tangan kiri, letakan pada suatu tempat
yang permukaanya tidak licin, sehingga saat ditarik menncit tidak
mencengkram. Telunjuk dan ibu jari tangan kanan menjepit kulit
tengkuk sedangkan ekornya dengan tangan kiri, kemudiaan posisi
tubuh mencit dibalikan, sehingga permukan perut menghadap kita dan
ekornya di jepitkan antara jari manis dan kelingking tangan kanan.

 Adapun keuntunga dan kerugian dari penggunaan hewan percobaan :


1. Mencit
o Keuntungan : mudah ditangani, sangat cerdas, mudah
dikembangbiakan, mudah dipelihara , reaksi obat cepat.
o Kerugian :aktivitas terganggu bila ada manusia, untuk
pemberian oral agak sulit, penakut

Di dalam menilai efek farmakologis satu senyawa bioaktif


dengan hewan percobaan dapat dipengaruhi, oleh berbagai faktor yaitu :

a. Faktor internal

Pada hewan percobaan sendiri adalah umur, jenis kelamin,


badan bobot, keadaan sehat, nutrisi, dan sifat genetik.

b. Faktor-faktor lain

Limgkungan, keadaan kandang, suasana dalam kandang,


populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan
percobaan hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang
pemeliharaan, pengalaman hewan percobaan sebelumnya.

Di samping itu, cara pemberiaan senyawa bioaktif terhadap


hewan percobaan tentu mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif
yang bersangkutan terutama segi kemunculan efeknya. Cara pemakaian yang
digunakan tentu tergantumg pula terhadap bahan atau bentuk sediaan yang akan

15
digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelom senyawa
bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya.

Senyawa bioaktif harus melewati proses absorsi terlebih


dahulu kemudian sifat fisiologi yang berpengaruh :

1. Distribusi
2. Absorsi suatu senyawa bioaltof di samping ditentukan oleh sifat senyawa
bioaktif sendiri juga ditentukan oleh sifat/ keadaan daerah kontrak mula
oleh senyawa bioaktif tubuh.
3. Cara atau rute pemberian senyawa bioaktif menentukan daerah kontak
mula senyawa bioaktif dengan tubuh dan ini merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi senyawa bioaktif.

 Alasan mengapa hewan jantang yang dipilih untuk percobaan. Maka inilah
penjelasannya :
Dipilih jantan karena sistem imun pada mencit jantan cenderung lebih baik
tidak dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Hal ini dikarenakan sistem
hormon estrogen pada hewan jantan lebih rendah dan adanya stress akut
dapat dapat menyebabkan penurunan kadar

KESIMPULAN

 Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa


kasih sayang dan berperikemanusiaan
 Pemilihan hewan percobaan yang baik harus bebas dari patogen.
Mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas yang baik
 Pemberian obat pada hewan coba dapat diberikan secara peroral, subkutan,
intavena, intramuskular, dan intraperitoneal
 Untuk memperoleh efek farmakologis. Diperlukan data penggunaan dosis
dengan menggunakan perbandingan luas permukaan tubuh setiap spesies.
 Terhadap faktor internal dan eksternal

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim (2008) patiente factors that affect drug reiponse


2. Gunawan S,G edisi kes jasarta. Bagian farmakologi hal 886
3. Arief M (2000) prinsip umum dan dasar farmakologi. Jogjakarta. UGM

17
BAB II

EKSPERIMEN DASAR

18
(PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP OBAT SEDATIF
HIPNOTIK)

LATAR BELAKANG

Peran organ dalam tubuh seseorang merupakan hal terpenting dalam


proses ekresi obat. Obat yang masuk kedalam tubuh akan mengalami
absorsi, distribusi, metabolisme dan yang terakhir eskresi. Dalam proses
tersebut dibutuhkan organ yang sehat dan kuat jika tidak obat dapat menjadi
racun dalam tubuh kita.
Farmakologi mempelajari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh
termasuk menentukan toksisitasnya. Rute pemberian obat (Routes of
Administration) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat,
karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang
berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena
jumlah suplai darah yang berbeda, enzim-enzim dan getah-getah fisiologis
yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda.
Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal,
dan parenteral serta yang lainnya harus ditentukan dan ditetapkan
sebagai petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan bagi pasien
dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik
penggunaannya atau petunjuk pemakaiannya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu
dalam memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya
sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan
absorpsidan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau
lambatnya obat mulai bekerja (onset of action) , l a m a n ya o b a t
b e k e r j a ( durationof action), intensitas kerja obat, respon farmakologik
yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respon tertentu.

19
TUJUAN PRAKTIKUM

Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :

1. Melakukan cara pemberian obat melalui beberapa rute pemberian obat


pada mencit
2. Mengamati pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul
3. Mengetahui respon sedasi pada mencit
4. Memahami awal mula kerja dan durasi efek sedasi

Teori Dasar

Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang


mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis, anatomi dan
biokimiawi yang berbeda pada daerah kontak mula obat dan tubuh. Karakteristik
ini berbeda karena jumlah suplay darah yang berbeda, struktur anatomi dari
lingkungan kontak antara obat tubuh yang berbeda, enzim-enzim dan getah-getah
fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal ini menyebabkan
jumlah obat yang dapat mencapai kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan
berbeda, tergantung dari rute pemberian obat. Meskipun rute pemberian obat
secara oral merupakan cara yang paling lazim, seringkali rute ini tidak digunakan
mengingat hal-hal yang dikemukakan, mengingat kondisi penerima obat dan
didasarkan juga pada oleh sifat-sifat itu sendiri.

Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk
kedalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan
timbulnya efek yang merugikan. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan
parenteral (Priyanto, 2008).

1. Jalur Enternal

Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI),


seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian
melalui oral merupakanjalur pemberianobat paling banyak digunakankarena paling
murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian dari pemberian melalui jalur

20
enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak
sadar atau tidak dapat menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain
alasan di atas juga alasan kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan
dianjurkan jika obat dapat diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan
emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.

2. Jalur Parenteral

Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah


transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea
menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini
dapat menimbulkan efek sistemik atau lokal. (Priyanto, 2008)

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya
serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah
seperti berikut:

a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik

b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya
lama

c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus

d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute

e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter

f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui


bermacam-macam

rute. (Priyanto, 2008)

Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi
diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau
menyebabkan tidur. Umumnya, obat ini diberikan pada malam hari (Tjay, 2002).
Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah
untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedatif (Tjay, 2002). Obat-obat
sedatif/sedativa pada dasarnya segolongan dengan hipnotik, yaitu obat-obat

21
yang bekerja menekan reaksi terhadap perangsangan terutama rangsangan emosi
tanpa menimbulkan kantuk yang berat. Bila obat-obat hinotik menyebabkan kantuk
dan tidur yang sulit di bangunkan disertai penurunan refleks hingga kadang -
kadang kehilangan tonus otot (Djamhuri,1995).
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat
(SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan ,
hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan
mati bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas,
menurunkan respons terhadap rangsangan dan menenangkan. Obat hipnotik
menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang
menyerupai tidur fisiologis (H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995).
Efek samping umum hipnotika mirip dengan efek samping morfin, yaitu:
 depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi. Sifat ini paling ringan pada
flurazepam dan zat-zat benzodiazepin lainnya, demikian pula pada kloralhidrat
dan paraldehida
 tekanan darah menurun, terutama oleh barbiturate
 sembelit pada penggunaan lama, terutama barbiturate
 "hang over”, yaitu efek sisa pada keesokan harinya berupa mual, perasaan
ringan di kepala dan termangu.
Hal ini disebabkan karena banyak hipnotika bekerja panjang (plasma-t½-
nya panjang), termasuk juga zat-zat penobarbitl dan barbiturat yang disebut short-
acting. Kebanyakan obat tidur bersifat lipofil, mudah melarut dan berkumulasi di
jaringan lemak (Tjay, 2002).
Pada penilaian kualitatif dari obat tidur, perlu diperhatikan faktor-faktor
kinetik berikut:
 lama kerjanya obat dan berapa lama tinggal di dalam tubuh
 pengaruhnya pada kegiatan esok hari
 kecepatan mulai bekerjanya
 bahaya timbulnya ketergantungan,
 efek "rebound” insomnia
 pengaruhnya terhadap kualitas tidur
 interaksi dengan otot-otot lain

22
 toksisitas, terutama pada dosis berlebihan
(Tjay, 2002).
Pada umumnya, semua senyawa penobarbital memiliki daya kerja yaitu
khasiat anksiolitis, sedatif hipnotis, antikonvulsif dan daya relaksasi otot.
Keuntungan obat ini dibandingkan dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah
tidak atau hampir tidak merintangi tidur. Dulu, obat ini diduga tidak menimbulkan
toleransi, tetapi ternyata bahwa efek hipnotisnya semakin berkurang setelah
pemakaian 1-2 minggu, seperti cepatnya menidurkan, serta memperpanjang dan
memperdalam tidur (Tjay, 2002).
Efek utama barbiturat adalah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat
dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anestesia, koma sampai
dengan kematian. Efek hipnotiknya dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan
dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang
mengganggu. Fase tidur REM dipersingkat. Barbiturat sedikit menyebabkan sikap
masa bodoh terhadap rangsangan luar (Ganiswarna dkk, 1995).
Barbiturat tidak dapat mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Pemberian obat barbiturat yang hampir menyebabkan tidur, dapat meningkatkan
20% ambang nyeri, sedangkan ambang rasa lainnya (raba, vibrasi dan sebagainya)
tidak dipengaruhi. Pada beberapa individu dan dalam keadaan tertentu, misalnya
adanya rasa nyeri, barbiturat tidak menyebabkan sedasi melainkan malah
menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). Hal ini mungkin disebabkan
adanya depresi pusat penghambatan (Ganiswarna dkk, 1995).

Alat, Bahan dan Prosedur

Hewan coba : Mencit putih, jantan (jumlah 5 ekor) bobot tubuh 20-30 g
Obat : Fenobarbital 100 mg/ 70 kg BB manusia
Alat : Spuit injeksi 1 ml, jarum sonde oral, bejana untuk
pengamatan, timbangan hewan, stop watch, kandang restriksi
Prosedur :

23
1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing
masing mencit selama 10 menit
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing
masing mencit
3. Berikan fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara PO, IV, IP, IM dan
SC; catat waktu pemberiannya
4. Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan
5. Catat dan tabelkan pengamatanmasing masing kelompok. Bandingkan
hasilnya

Hewan Obat dosis Rute Waktu Waktu Waktu Onset Durasi


pemberian hilang kembali kerja kerja
obat righting righting obat obat
(menit) reflex reflex (mencit) (mencit)
(menit) (menit)
mencit Fenobarbital 100 PO
mg/70 11:45 11:35 11:50 50 15
kgBB Menit Menit
manusia
mencit Fenobarbital 100 SC
mg/70 11:40 11:25 12:15 45 50
kgBB Menit Menit
manusia
mencit Fenobarbital 100 IV
mg/70 11:38 11:53 12:03 15 10
kgBB Menit Menit
manusia
mencit Fenobarbital 100 IP
mg/70 11:00 11:25 11:40 25 15
kgBB Menit Menit
manusia

24
mencit Fenobarbital 100 IM
mg/70 11:59 12:19 12:44 20 25
kgBB Menit Menit
manusia
Mencit yang mengantuk akan tampak diam (umumnya di sudut ruang) dan tampak
lunglai. Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi, apabila tubuhnya
dibalik dan berada posisi terlentang maka tidak akan kembali tertelungkup. Jadi,
untuk melihat kapan tepatnya terjadi respon awal sedasi maka harus sering
membalikan badan mencit pada posisi terlentang.

Righting reflex adalah refleks mencit yang apabila tubuhnya dibalik dan berada
pada posisi terlentang maka akan kembali tertelungkap.

Onset kerja adalah mula kerja obat ( diamati waktu antara pemberian obat
sampai hilangnya righting reflex hingga tidur)

Durasi kerja adalah lama kerja obat (diamati waktu antara hilangnya rughting
reflex hingga tidur, sampai kembalinya efek tersebut).

HASIL DAN PEMBAHASAN

 Hasil Perhitungan
1. Dik : dosis fenobarbital manusia 70 kg = 100 mg
Sediaan fenobarbital 200 mg/ 2 ml PO
Dit : dosis fenobarbital pada mencit = 32 g
Jawab :
0,0026 × 100 𝑚𝑔 = 0,26 𝑚𝑔

32 0,416
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 0,004 × 10 = 0,04 𝑚𝑙
20 200

2. Dik : dosis fenobarbital manusia 70 kg = 100 mg

25
Sediaan fenobarbital 200 mg/ 2 ml IV

Dit : dosis fenobarbital pada mencit = 31 g

Jawab :

0,0026× 100 𝑚𝑔 = 0,26 𝑚𝑔

31 0,403
× 0,26 = × 2𝑚𝑙 = 0,004 × 10 = 0,04𝑚𝑙
20 200𝑚𝑔

3. Dik : dosis fenobarbital manusia 70 kg = 100 mg


Sediaan fenobarbital 200 mg/ 2 ml IM
Dit : dosis fenobarbital pada mencit = 23 g
Jawab :
0,0026 × 100 𝑚𝑔 = 0,26 𝑚𝑔

23 0,229
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 0,002 × 10 = 0,02 𝑚𝑙
20 200𝑚𝑔

4. Dik : dosis fenobarbital manusia 70 kg = 100 mg


Sediaan fenobarbital 200 mg/ 2 ml IP
Dit : dosis fenobarbital pada mencit = 31 g
Jawab :
0,0026 × 100 𝑚𝑔 = 0,26 𝑚𝑔

31 0,416
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 0,004 × 10 = 0,04 𝑚𝑙 Dik
20 200

5. diket : dosis fenobarbital manusia 70 kg = 100 mg

Sediaan fenobarbital 200 mg/ 2 ml SC

Dit : dosis fenobarbital pada mencit = 34 g

26
Jawab :
0,0026 × 100 𝑚𝑔 = 0,26 𝑚𝑔

34 0,442
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 0,004 × 10 = 0,04 𝑚𝑙
20 200

Pembahasan

Pada praktikum kali ini yaitu tentang pengaruh cara pemberian terhadap
absorbsi obat dan pengujian efek sedative pada tikus dengan menggunakan obat
diazepam dan fenobarbital. Dari percobaan kali ini diharapkan dapat diketahui
pengaruh cara pemberian obat terhadap daya absorbsi yang selanjutnya akan
berpengaruh pada efek farmakologi obat. Salah satu cara untuk mengetahui
pengaruh antara kedua variable tersebut, dengan membandingkan waktu durasi dan
onsetnya. Onset adalah waktu dari obat untuk menimbulkan efek terapi. Sangat
tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak,setelah tubuh
menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin
meningkat,namun konsentrasi puncak puncak respon. Durasi kerja adalah lama obat
menghasilkan suatu efek terapi dalam tubuh (Gunawan, 2009).

Dalam percobaan ini, hewan uji yang digunakan adalah 5 ekor tikus. Alasan
digunakannya tikus sebagai hewan uji percobaan ini yaitu tikus memiliki sistem
fisiologis yang mirip dengan manusia, Pengamatan tikus lebih mudah, lebih
ekonomis (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).

Sebelum melakukan praktikum terlebih dahulu menyiapkan alat-alat dan


bahan yang akan di gunakan. Obat yang digunakan adalah diazepam dan
fenobarbital. Dimana diazepam ini termasuk golongan benzodiazepine dan
fenobarbital termasuk golongan barbiturate. ( Ganiswarna, 2008 ).

Ada beberapa cara pemberian obat yaitu sublingual, peroral, per rectal,
pemakaian pada permukaan epitel( kulit, kornea, vagina, mukosahidung ),inhalasi,
dansuntikan ( subkutan, intramuskuler, danintratekal ) (Depkes RI,1995). Namun
dalam percobaan kali ini, kami hanya menggunakan rute pemberian intravena
,peroral, intramuscular, subkutan, dan intraperitonial.

27
Berdasarkan pengamatan, onset yang paling cepat ialah intramuscular dan
subcutan. Hal ini tidak sesuai dengan literature,dijelaskan bahwa rute intramuscular
mengandung lapisan lemak kecil sehingga obat akan terhalang oleh lemak sebelum
terabsorbsi dan rute subkutan mengandung lemak yang cukup banyak (Katzung,
1986).

Pada literatur, onset yang paling cepat adalah pada rute pemberian obat
intravena dan paling lambat pada pemberian obat per oral. Pada rute intravena, obat
tidak melalui proses absorbsi melainkan langsung masuk ke pembuluh darah.
Karena pemberian obat melalui rute intravena tidak mengalami absorpsi, kadar
diperoleh dengan cepat, tepat, dan dapat disesuaikan respon serta dapat digunakan
untuk larutan iritatif. Namun, cara pemberian intravena biasanya menyebabkan efek
toksik mudah terjadi dan tidak dapat ditarik jika terjadi kesalahan perhitungan
dosis, juga bagi obat yang larut dalam larutan minyak tidak boleh diberikan karena
mengendapkan konstituen darah (Priyanto, 2008).

Rute intraperitonial memiliki waktu onset paling cepat kedua karena rongga
perut mengandung banyak pembuluh darah sehingga obat langsung masuk ke
dalam pembuluh darah (Anief, 1990). Rute per oral memiliki waktu onset paling
lama karena obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor
karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor penghambat (Gunawan,
2009). Meskipun pemberian obat secara oral merupakan cara pemberian obat yang
umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah
banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya sehingga waktu onset
yang didapat cukup lama.

Sedangkan menurut pengamatan durasi yang paling cepat ialah intravena.


Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang mengatakan pada per oral didapatkan
durasi terpendek, disebabkan karena per oral melewati banyak fase seperti
perombakan dihati menjadi aktif dan tidak aktif. Semakin banyak fase yang dilalui
maka kadar obat akan turun sehingga obat yang berikatan dengan reseptor akan
turun dan durasinya pendek. Sedangkan pada pemberian secara intraperitonial, obat
dengan kadar tinggi akan berikatan dengan reseptor sehingga akan langsung
berefek tetapi efek yang dihasilkan durasinya cepat karena setelah itu tidak ada obat

28
yang berikatan lagi dengan reseptor. Pada sub cutan memiliki durasi yang lama, hal
ini disebabkan karena obat akan tertimbun di depot lemak/ jaringan di bawah kulit
sehingga secara perlahan - lahan baru akan dilepaskan sehingga durasinya lama.
Pada rute intramuskular terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat
akan konstan dan lebih tahan lama (Anief, 1990).

Pada praktikum kali ini , onset kerja paling cepat yaitu intravena , padahal
dalam teori onset kerja tercepat yaitu IP karena langsung masukke pembuluh darah
, hal ini mungkin di karenakan adanya kekurangan pada pemberian nya dan
kemungkinan ada obat ygkeluar atau tidak semuanya masuk kedalam rute yg akan
di berikan obat .

Kemudian onset kerja terlama adalah Pomhal ini sesuai teori dikarenakan
rute yg panjang untuk mencapai respetor . akan tetapi PO ini termasuk cepat dalam
durasi nya obat kemungkina sudah terabsorbi terlebih dahulu selama proses
berjalan nya obat , sehingga efek nya yg sangat cepat .dan rute obat terlama setelah
PO yaitu SC hal ini dikarenakan lemak yg cukup banyak sehingga terhalang oleh
lemak , akan tetapi efek obat durasi nya sangat lama hal ini di karenakan adanya
faktor lain nya seperti biologik yaitu hormon atau keadaan dalam tubuh mencit.

Cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi dimana


hubungannya dengan kecepatan dan kelengkapan absorbsi obat. Kecepatan
absorbsi obat di sini berpengaruh terhadap onsetnya sedangkan kelengkapan
absorbsi obat berpengaruh terhadap durasinya misalnya lengkap atau tidaknya obat
yang berikatan dengan reseptor dan apakah ada faktor penghambatnya. Cara
pemberian obat yang ideal adalah obat dengan onset cepat dan durasi panjang.
(Ansel, 1986).

KESIMPULAN

Cara pemberian obat yang berbeda-beda dapat mempengaruhi kecepatan


absorbsi obat sehingga berpengaruh pada onset dan durasi. Rute pemberian
yang dilakukan pada praktikum kali ini meliputi per oral, subkutan,
intramuskular, intraperitoneal dan intravena. Dari hasil percobaan yang telah
dilakukan didapatkan hasil rute pemberian paling cepat menurut onsetnya yaitu

29
intramuskular dan intravena, sedangkan menurut durasinya yang paling cepat
ialah intravena. Obat yang ideal adalah obat yang memiliki onset cepat dan
durasi yang lama.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 1990, Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan.Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. Hal 1.
Ansel, Howard.C., 1986, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta :
Universitas Indonesia Press.
Depkes RI., 1995, Farmakope indonesia edisi IV. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
Djamhuri, A., 1995, Sinopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di klinik
dan Perawatan. Jakarta: Hipokrates. Hal. 95.
Ganiswarna, S., et al,1995, Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia.

Ganiswara, Sulistia G (Ed)., 2008, Farmakologi dan Terapi Edisi Revisi V.


Jakarta : Balai

Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia

30
EKSPERIMEN DASAR

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK FARMAKOLOGI

(VARIASI BIOLOGI DAN VARIASI KELAMIN)

tujuan praktikum

Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat


mengenal dan mengamati berbagai faktor yang memodifikasi obat serta
mengajukan hal-hal yang melandasi pengaruh faktor- faktor tersebut secara
teoritis dan praktis

Teori dasar

Banyak faktor yang berpengaruh pada efek obat yang


diberikan. Dalam eksperimen rute pemberian obat, telah ditelaah faktor ini pada
efek obat. Kalau dikatakan bahwa berbagai faktor mempengaruhi dosis obat,
maka hal ini hendaknya dilihat dalam kaitan pengaruh faktor ini terhadap efek
obat, sehingga dengan demikian dosis obat perlu disesuaikan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi efek obat dapat


dikelompokan dalam dua kelompok besar yaitu (1) faktor-faktor lingkungan luar
tubuh penerima obat dan (2) fakor-faktor internalpda penerimaan obat. Kedua
faktor ini pada dasarnya saling berkaitan. Faktor-faktor lingkungan luar tubuh
penerima obat dapat membawa perubahan fundamentaldalam diri penerima obat,
yang kemudian memiliki perubahan yang permanen sebagai ciri khasnya, atau
memperoleh perubahan sementara yang reversibel.

Faktor-faktor pada penerima obat yang dapat mempengaruhi


efek obat antara lain usia,satatus fungsional dan struktural (kondisi patologis dari
penerima obat yang dapat memodifikasi fungsi dan/atau struktur sel, jaringan,
organ, maupun sistem tubuhnya dan faktor genetiknya), jenis kelamin, bobot
tubuh dan luas permukaan suasana kejiwaan penerima obat dan kondisi
mikroflora saluran pencernaan.

31
Pada umumnya faktor-faktor yang sama antara penerima obat
(misalnya usia, jenis kelamin, bobot tubuh, luas permukaan tubuh dan ras)pada
pemberian obat yang sama , dengan dosis sama dan rute pemberian sama masih
dapat diamati efek farmakologi secara kuantitatif berbeda, meskipun status
fungsional dan struktural penerima obat adalah sama . oleh karena itu diambil
kesimpulan bahwa yang menyebabkan perbedaan ini adalah variasi biologik
antara penerima obat. Sebagai makhluk hidup yang dinamis, selalu ada perbedaan
sesaatatau tetap antara sesamanya, karena pengalaman yang berbeda maupun yang
ditanggapi secara berbeda.

Jenis kelamin dapat mengakibatkan perbedaan yang kualitatif dalam efek


farmakologi obat. Perbedaan yang kadang kala fundamental dalam pola fisiologi
dan biokimia antara jenis jantan dan betina menyebabkan hal ini.

Alat, bahan, dan prosedur

Hewan coba : Mencit putih, jantan dan betina (jumlah masing- masing 3
ekor). Usia 2 bulan, bobot tubuh 20-30 g
Obat : Fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IP
alat : Spuit injeksi 1 ml, jarum suntik no.27 (3/4-1 inch), timbangan
hewan, bejana untuk pengamatan, stop watch

Prosedur :

1. Siapkan mencit, sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-


masing mencit selama 10 menit
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing
masing mencit
3. Berikan larutan fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IP dan catat
waktu pemberiannya
4. Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan
5. Amati selama 45 menit
6. Catat dan tabelkan pengamatan masing masing kelompok. Bandingkan
hasilnya

32
Waktu Waktu Waktu Onset Durasi
Pemberian Hilang Kembali Kerja Kerja
Hewan Obat Dosis Rute Obat Righting Righting Obat Obat
(menit) Reflex Reflex (menit) (menit)
(menit) (menit)
mencit Fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:15 11:40 25
manusia Menit
Mencit Fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:08 11:35 27
manusia Menit
Mencit Fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:14 11:40 26
manusia Menit
Mencit Fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:13 11:53 40
manusia Menit
Mencit Fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:09 11:54 45
manusia Menit
Mencit fenobarbital 100 mg/
70 kgBB IP 11:11 11:46 35
manusia Menit
Mencit yang mengantuk akan tetap diam (umumnya di sudur ruang) dan tampak
lunglai. Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi, apabila tubuhnya
dibalik dan berada pada posisi terlentang maka tidak akan kembali tertelungkup.
Jadi, untuk melihat kapan tepatnya terjadi respon awal sedasi maka harus sering
membalikkan badan mencit pada posisi terlentang.

Righting reflex adalah refleks mencit yang apabila tubuhnya dibalik dan berada
pada posisi terlentang, maka akan kembali tertelungkup.

33
Onset kerja adalah mula kerja obat (diamati waktu antara pemberian obat sampai
timbulnya efek hilangnya refleks balik badan jika ditelentangkan selama 30 detik
hingga tidur)

Durasi kerja adalah lama kerja obat (diamati waktu antara timbulnya efek
hilangnya reflex balik badan jika dilentengkan selama 30 detik hingga tidur,
sampai hilangnya efek tersebut)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perhitungan

1. Mencit jantan (37 g)


Konversi : 0,0026 x 100 = 0,26

37 0,481
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 4,81 × 10−3 . 10 = 0,0481 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔

2. Mencit jantan 2 (34 g)

34 0,442
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 4,29.10−3 × 10 = 0,042𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔

3. Mencit jantan 3 (33 g)

33 0,429
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 4,29.10−3 × 10 = 0,049𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔

4. Mencit betina 1 (26 g)

26 0,338
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 3,38.10−3 × 10 = 0,039 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔

34
5. Mencit betina 2 (28 g)
28 0,364
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 3,64.10−3 × 10 = 0,0364 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔

6. Mencit betina 3 (24 g)

24 0,312
× 0,26 = × 2 𝑚𝑙 = 3,12.10−3 × 10 = 0,0312𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔

Pembahasan

Pada praktikum kali ini kita dapat mengetahui faktor faktor yg


memodifikasi aksi obat yaitu :

1. Berat badan
2. Jenis kelamin
3. Kondisi patologik

Dari percobaan mencit 1 (37 g) memberikan respon leih


cepat di banding mencit lain nya . padahal mencit 1 berat nya lenih besar di
banding mencit yg lain nya hasil ini tidak sesuai dengan teori karena dalam
teori dimana mencit yg lebih ringan akan memberikan efek lebih cepat di
banding mencit lain nya yg lebih berat .

Dalam kegagalan hasil ini di karenakan kemungkinan mencit


(no.1)Hal ini karena mungkin tidak di berikan asupan makanan leih banyak di
banding mencit lain nya , sama hal nya dengan berpuasa ,karena lambung yg
kosong akan mempermudah obat untuk diadsorbsi . hasil kerja obat dalam
tubuh memang sangat mungkin dipengaruhi oleh makanan atau minuman yg
di konsumsi, ini dikenal sebagai peristiwa interaksi obat-makanan, selain
dengan makanan berbagai obat yg dikonsumsi pada saat bersamaan juga dapat
saling berinteraksi satu sama lain interaksi obat ini dapat mengurangi khasiat
obat , bahkan dapat menimbulkan efek yg membahayakan .

35
Dalam variasi biologi mencit yg lebih berat akan
memberikan efek yg sangat lama dibanding mencit yg berukuran kecil hl ini
dikarenakan mencit dengan bobot badan berat meemiliki lemak dalam tubuh
yg sangat banyak sehingga obat sulit di adsorbi dan di sekresikan di banding
mencit yg memiliki bobot badan yg kecil sangat mudah berefek karena cepat
di adsorbsi.

Berdasarkan Jenis Kelamin

Percobaaan ini ingin membandingkan kecepatan munculnya


efek obat antara tikus jantan dan tikus betina, serta mencit jantan dan betina.
Berdasarkan data yang didapatkan, tikus betina lebih peka dibanding tikus
jantan karena efek obat terlihat dan lebih cepat muncul,

Berdasarkan jenis kelamin , mencit 1, 2 dan 3 adalah jantan


pada mencit jantan respon obat lebih cepat dibanding betina , hal ini sesuai
dengan teori , karena sistem imun pada mencit jantan cenderung lebih baik ,
tidak di pengaruhi oleh hormon reproduksi , hal ini di karenakan sistem
hormon estrogen pada jantan lebih rendah dibanding mencit betina , dan
adanya stress akut yg dapat menyebabkan penurunan kadar.

Selanjutnya praktikan membandingkan efek obat pada mencit jantan dan


mencit betina. Mayoritas mencit jantan memberikan efek sesuai dengan yang
diduga, sedangkan mayoritas mencit betina memberikan efek resisten. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa mencit jantan lebih peka terhapad pemberian obat
dibanding mencit betina.

Dari hasil tersebut, jenis kelamin betina dan jantan memberikan respon peka
terhadap obat yang sama. Terlihat bahwa pada tikus, jenis kelamin betina lebih peka
dibanding jantan, namun pada mencit jenis kelamin jantan lebih peka dibanding
betina. Namun berdasarkan teori, jenis kelamin betina seharusnya lebih peka
dibanding jenis kelamin jantan karena wanita lebih sensitif terhadap obat
dibandingkan pria.

36
Dari data yang didapatkan, percobaan memberikan hasil yang
sangat bervariasi sehingga sulit untuk disimpulkan secara keseluruhan rute
pemberian obat mana yang memberikan onset paling cepat dan durasi paling
lama. Namun, jika dilihat secara keseluruhan data yang ada maka praktikan
menyimpulkan bahwa rute pemberian intraperitonial memberikan onset yang
paling cepat baik terhadap tikus mauun mencit yang berjenis kelamin jantan
ataupun wanita. Hal tersebut dikarenakan penyuntikan dilakukan pada rongga
perut sebelah kanan bawah, yaitu di antara kandung kemih dan hati, yang
mana pada daerah terbut terdapat banya pembuluh darah sehingga
kemungkinan efek akan timbul dengan cepat.

Kesimpulan

1. Variasi biologi mempengaruhi pemberian dosis obat


2. Berat badan mempengaruhi respon farmakologi
3. Jenis kelamin mempengaruhi respon farmakologi

Daftar pustaka

1. Anief . M (2000) prinsip umum dan dasar farmakologi , yogyakarta gajah


mada .
2. Anonim (2008) patient factors that affect . drug reponse
3. Mae sri hartah wahyuningsih (2009) obat dosis dan jadwal pembeian obat
dalam preskripsi dokter .

37
EKSPERIMEN DASAR

(HUBUNGAN DOSIS OBAT VS RESPON)

Tujuan praktikum

1. Memperoleh kurva hubungan dosis obat vs respon.


2. Memperoleh DE50 dan DL50 suatu obat.
3. Memahami konsep indeks terapi dan implikasi nya

Prinsip

1. Dosis respon obat Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya
meningkat jika dosis obat yang diberikan juga ditingkatkan

2. Indeks terapi

a. Yaitu perbandingan antara DE50 dan DL50 yaitu dosis yang


menghasilkan efek pada 50% dari jumlah binatang dan dosis yang
mematikan 50% dari jumlah binatang

b. Indeks terapi merupakan ukuran keamanan untuk menentukan dosis obat

c. Rumus
Indeks Terapi = DL50/DE50

Teori dasar

Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase


yaitu fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat
yang masuk dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya
mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai ke tempat kerja (
reseptor ) dan menimbulkan efek , kemudian dengan atau tanpa biotransformasi
( metabolisme ) lalu di ekskresi kan dari tubuh. proses tersebut dinyatakan
sebagai proses farmakokinetik. Farmakodinamik, menguraikan mengenai

38
interaksi obat dengan reseptor obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat
pada tubuh (Adnan,2011).

Dosis dan respon pasien berhubungan erat dengan potensi relative


farmakologis dan efikasi maksimal obat dalam kaitannya dengan efak terapefik
yang di harapkan. Adapun respon dosis sangat dipengaruhi oleh :
1. Dosis yang di berikan.
2. Penurunan / kenaikkan tekanan darah.
3. Kondisi jantung.
4. Tingkat metabolisme dan ekskresi ( Katzung Bertram , 2001 ).
Respon obat masing – masing individu berbeda – beda. Respon
idiosinkratik biasanya disebabakan oleh perbedaana genetic pada metabolism
obat / mekanisme -mekanisme munologik, termasuk rasa alergi.
Empat mekanisme umum yang mempengaruhi kemampuan merespon suatu
obat :
1. Perubahan konsentrasi obat yang mencapai reseptor.
2. Variasi dalam konsentrasi suatu ligan reseptor endogen.
3. Perubahan dalam jumlah / fungsi reseptor – reseptor.
4. Perubahan – perubahan dalam komponen respondastal dari seseptor
( Katzung Bertram , 2001 ).

 Hubungan dosis obat – persen responsif :


Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada
populasi dipelukan satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari
individu yang responsif (dalam 10%) pada kisaran dosis tersebut (dalam log
dosis) maka akan diperoleh kurba distribusi normal (Sulistina, ed IV, 1994).

 Hubungan antara dosis obat dengan respon penderita


- Potensi obat : Potensi suatu obat dipengaruhi oleh absorbsi,
distribusi, biontransformasi, metabolisme, ekskresi. Kemampuan bergabung
dengan reseptor dan sistem efektor. Atau ukuran dosis obat yang diperlukan
untuk menghasilkan respons.

39
- Efikasi maksimal : Efek maks obat dinyatakan sebagai efikasi
(kemanjuran) maksimal / disebut saja dengan efikasi (Sulistina, ed IV, 1994).
Efikasi tergantung pada kemampuan obat tersebut untuk
menimbulkan efeknya setelah berinteraksi dengan reseptor. Efikasi dapat
dibatasi timbulnya efek yang tidak diinginkan, sehingga dosis harus dibatasi.
Yang berarti bahwa efek maksimal tidak tercapai. Tiap obat mempunyai efikasi
yang berbeda (Sulistina, ed IV, 1994).
Untuk menyatakan toksisitas akut sesuatu obat, umumnya dipakai
ukuran LD50 (medium lethal dose 50) yaitu suatu dosis yang dapat membunuh
50% dari sekelompok binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis
efektif (dosis terapi) yang umum digunakan sebagai ukuran ialah ED 50
(median effective dose), yaitu dosis yang memberikan efek tertentu pada 50%
dari sekelompok binatang percobaan. LD50 ditentukan dengan memberikan
obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok
binatang pecobaan.LD50 ditentukan dengan memberikan obat dalam dosis
yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang percobaan. Setiap
binatang diberikan dosis tunggal. Setelah jangka waktu tertentu (misalnya 24
jam) sebagian biantang percobaan ada yang mati, dan persentase ini diterakan
dalam grafik yang menyatakan hubungan dosis (pada absis) dan persentase
binatang yang mati (pada ordinat) (James Olson,2000).
Indeks terapeutik
Indeks terapeutik adalah suatu ukuran keamanan obat karena nilai yamg
besar menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas / lebar di antara dosis
– dosis yang efektif dan dosis yang foksik. Indeks terapeutik ditentinova
dengan mengukur frekuensi respon yang diinginkan dan respon toksik pada
berbagai dosis obat.
Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan
tolensitas dengan dosis yang menghasilkan suatu respon yang efektif ( Mary
J.Myceh, 2001).
Indeks terapi adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif atau
menggambarkan keamanan relatif sebuah obat pada penggunaan biasa.
Diperkirakan sebagai rasio LD50 (Dosis Lethal pada 50% kosis) terhadap

40
ED50 (Dosis efektif pada 50% kasus). Karena efek berbeda mungkin perlu
dosis berbeda. Istilah LD50 sering dalam toksikologi yaitu dosis yang akan
membunuh 50% dari populasi experimental (dr. Jan Tambayong.2003).
Indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam pernyataan berikut :
Indeks terapi = TD50 atau CD50
ED50 ED50
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa
menimbulkan efek toksik pada seorang pun pasien, oleh karena itu TD1 1.
Suatu ukuran obat, obat yang memiliki indeks terapi tinggi lebih aman dari
pada obat yang memiliki indek terapi lebih rendah . TD50 : Dosis yang toksik
pada toksik 50% hewan yang menerima dosis tersebut, kematiaan merupakan
toksisitas terakhir (Jonet.L. Stringer MD.Ph).
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya.
Jika dosis yang diberi dibawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak
akan didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang diukur.
Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut.
Seperti obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya,
dalam arti bahwa luas (range) temperature badan dan tekanan darah dapat
diukur. Hubungan dosis efek mungkin berbeda-beda tergantung pada
sensitivitas indivdu yang sedang menggunakan obat tersebut. Hubungan
frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitifitas pada individu sebagai
suatu rumusan yang ditunjukan pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi
kumulatif (total jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis
pemberian) diplotkan dalam logaritma maka akan menjadi bentuk kurva
sigmoid. Pembengkokan titik pada kurva berada pada keadaan dosis satu-
separuh kelompok dosis yang sudah memberikan respon. Range dosis meliputi
hubungan dosis-frekuensi memcerminkan variasi sensitivitas pada individi
terhadap suatu obat.
Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subyek manusia
dapat ditemukan karena terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu
yang berbeda. Untuk menentukan variasi biologis, pengukauran telah
membawa pada suatu sampel yang representative dan didapatkan rata-ratanya.

41
Ini akan memungkinkan dosis terapi akan menjadi sesuai pada kebanyakan
pasien (Lullmann, 2000)
Indeks teraupetik merupakan suatu ukuran keamanan obat
karena nilai yang besar menunjukkan bahwa terdapa suatu batas yang luas /
lebar diantara dosis-dosis yang toksik.
- Penentuan indeks teraupetik
Indeks teraupetik ditentukan dengan mengukur frekuensi respon
yang diinginkan dan respon toksik pada berbagai dosis obat.
- Aspek kuantitatif eliminasi obat melalui ginjal
- Rasio efektif : Penurunan konsentrasi obat dalam plasma
dari darah arteri ke vena ginjal
- Kecepatan ekskresi : Eliminasi dari suatu obat biasanya mengikuti
kinetik firstorder dan konsentrasi obat dalam plasma turun secara exponensia
menurut waktu. Ini biasa digunakan untuk menentukan waktu paruh obat.
- Volume distribusi dan waktu paruh obat
Waktu paruh suatu obat berbanding terbalik dengan bersihan dan
secara langsung proporsional terhadap volume distribusi.
- Keadaan klinis yang meningkatkan waktu paruh obat penting
untuk dapat menduga para penderita yang mana memungkinkan waktu paruh
obat akan memanjang (Mary J. Mycek, dkk. 2001).

Alat dan bahan :

 Hewan coba : mencit putih , jantan ( jumlah 18 ekor) bobit tubuh 220-30 g
 Obat : fenobarbital secara IP
 Alat : squit injeks 1 ml , jarum suntik NO.26 (1/2 inch) timbangan hewan ,
bejana , untuk pengamatan , stop watch

Cara kerja :

1. siapkan mencit , sebelum pemberian obat , amati kelakuan normal masing-


masing mencit selama 10 menit.
2. Mencit di bagi menjadi 6 kelompok dimana masing-masing terdiri dari 3
mencit dengan perbedaan dosisi obat yg diberikan (faktor perkalian dua).

42
- Kel 1: fenobarbital 100 mg /70 kg BB manusia secara IP
- Kel 2: fenobarbital 200 mg /70 kg BB manusia secara IP
- Kel 3: fenobarbital 400 mg /70 kg BB manusia secara IP
- Kel 4: fenobarbital 800 mg /70 kg BB manusia secara IP
- Kel 5: fenobarbital 1600 mg /70 kg BB manusia secara IP
- Kel 6: fenobarbital 3200 mg /70 kg BB manusia secara IP
3. Hitung dosis dan volume pemberian obat dan tepat untuk masing-masing
mencit.
4. Berikan larutan fenobarbital sesuai kelompok masing-masing dan catat
waktu pemberian nya.
5. Tempatkan mencit ke dala bejana untuk unutk pengamatan.
6. Amati selama 45 menit dan catat waktu pemberian >> waktu berefek.
7. Efek yg diamati :
 Sangat resisten : tidak ada efek
 Resisten : tikus tidak tidurtetapi mengalami ataksia
 Efek sesuai : tikus tidur, tetapi tegak jika di beri rangsangan nyeri
 Peka : tikus tidur , tetapi tidak tegak jika di bari rangsanga nyeri
 Sangat peka : mati
8. Buat gambar hubungan dosis obat vs respon pada kertas grafik
 Sumbu absis : dosis obat yg digunakan
 Sumbu ordinat : presentasi hewan yg memberikan efek (righting
reflex hilang/kemetian pada dosis yg digunakan.
9. Tentukan DE50 dan DL50 fenobarbital dengan menggunakan persamaan
regresi y = a + bx pada percoban di atas .

Hasil dan pembahasan

Perhitungan :

1. Dik : dosis fenobarbital 400 mg / 70 kg BB manusia


Volume 200 mg/ 2 ml
Dit : dosis mencit 33 g ?

43
33 1,716 𝑚𝑔
× 1,04 𝑚𝑔 = × 2 𝑚𝑙 = 0,02 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔

2. Dik : dosis fenobarbital 400 mg / 70 kg BB manusia


Volume 200 mg/ 2 ml
Dit : dosis mencit 33 g?

33 1,716 𝑚𝑔
× 1,04 𝑚𝑔 = × 2 𝑚𝑙 = 0,02 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔

3. Dik : dosis fenobarbital 400 mg / 70 kg BB manusia


Volume 200 mg/ 2 ml
Dit : dosis mencit 36 g?

36 1,872
× 1,04 𝑚𝑔 = × 2 𝑚𝑙 = 0,02 𝑚𝑙
20 200 𝑚𝑔

Hasil :

a. Tabel untuk menentukan DE50

Mencit yg mengalami hilangnya ◦/ₒ indikasi


Dosis fenobarbital
righting reflex yang berespon

1 2 3
100 mg / 70 kg BB
+ - + 66,6 ◦/ₒ
manusia
400 mg / 70 kg BB
+ + + 100 ◦/ₒ
manusia
800 mg / 70 kg BB
+ + + 100 ◦/ₒ
manusia

44
1600 mg / 70 kg BB
+ + + 100 ◦/ₒ
manusia
3200 mg / 70 kg BB
+ + + 100 ◦/ₒ
manusia

b. Tabel untuk menentukan DL50

c. Dosis Mencit yg mengalami hilangnya ◦/ₒ indikasi


fenobarbital righting reflex yang berespon

1 2 3
100 mg / 70 kg BB
- - - 0 ◦/ₒ
manusia
400 mg / 70 kg BB
- - - 0 ◦/ₒ
manusia
800 mg / 70 kg BB
- - - 0 ◦/ₒ
manusia
1600 mg / 70 kg BB
- - - 0 ◦/ₒ
manusia
3200 mg / 70 kg BB
- - - 0 ◦/ₒ
manusia

Waktu Waktu saat


Efek yg
Hewan Obat dosis Rute pemberi timbul efek
diamati
an obat obat

11:18 11:52 Resisten


mencit penobarbital IP 11:20 12:18 Sangat resisten 100 mg
11:23 11:50 resisten

45
11:22 11:37 Efek sesuai
mencit penobarbital IP 11:17 11:26 Resisten 200 mg
11:11 11:23 Resisten
11:39 11:55 Efek sesuai
400 mg
mencit penobarbital IP 11:28 11:41 efek sesuai
11:30 11:45 efek sesuai
11;52 12:03 Efek sesuai
mencit penobarbital IP 11:54 12:06 Peka 800 mg
11:55 12:06 Peka
11:36 12:05 Peka
mencit penobarbital IP 11:27 12:10 Peka 1600 mg
11:32 12:03 Peka
11:25 11:27 Peka
mencit penobarbital IP 11:30 11:32 Peka 3200 mg
11:36 11:38 peka

Pembahasan

Praktikum kali ini bertujuan untuk memperoleh gambaran cara


menguji efektivitas dan toksisitas suatu obat berkaitan dengan LD50 dan
ED50 sehingga dihasilkan grafik log-probit, mengetahui indeks terapi suatu
obat serta agar dapat memahami konsep indeks terapi dan hubungannya
terhadap tingkat keamanan suatu obat.

Dalam praktikum kali ini, digunakan hewan uji mencit. Penggunaan


mencit ini dikarenakan relatif mudah dalam penggunaanya, ukurannya yang
relatif kecil, harganya relatif murah, jumlahnya peranakannya banyak yaitu
sekali melahirkan bisa mencapai 16-18 ekor, hewan itu memiliki sistem
sirkulasi darah yang hampir sama dengan manusia serta tidak memiliki
kemampuan untuk muntah karena memiliki katup dilambung. Selain itu
mencit merupakan hewan yang jinak, mudah diatur, dan pemberian pakan
dan minumnya sangat mudah.

46
Obat yang akan diujikan kepada mencit dalam praktikum kali ini
adalah obat golongan barbiturate, yaitu fenobarbital. Fenobarbital adalah
obat penenang golongan barbiturat yang dapat digunakan untuk mengobati
kejang parsial dan kejang menyeluruh. obat ini juga dapat menyebabkan
ketidaksadaran (pingsan) dan penyimpangan memori.

Fenobarbital bekerja dengan meningkatkan efek GABA (gamma


aminobutyric acid) di otak. GABA adalah neurotransmitter (suatu senyawa
yang digunakan oleh sel saraf untuk saling berkomunikasi) yang
menghambat aktifitas di otak. Diyakini bahwa aktifitas otak yang berlebihan
dapat menyebabkan kecemasan dan gangguan jiwa lainnya.

Dengan adanya interaksi barbiturat-reseptor, afinitas GABA


terhadap reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan
bertambah. Dengan diaktifkannya reseptor GABA, saluran ion klorida akan
terbuka dan dengan demikian ion klorida akan lebih banyak yang mengalir
masuk ke dalam sel. Obat golongann barbiturat seperti fenobarbital pada
dosis yang lebih tinggi meningkatkan konduktansi secara langsung dan
menurunkan sensitivitas membran pasca sinaps nouron terhadap tansmitter
eksitasi. Hal ini akan menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan dan
sebagai akibatnya kemampuan sel untuk dirangsang akan berkurang.

Pada saat percobaan digunakan fenobarbital basa. Fenobarbital basa


memiliki kelarutan yang rendah dalam air. Namun di dalam Farmakope
Indonesia injeksi fenobarbital (Luminal) dapat dibuat dalam bentuk larutan
dengan menggunakan Solutio Petit, yaitu campuran propilenglikol dan air.
Air yang biasanya digunakan dalam sediaan injeksi adalah aqua bidestilata
atau air yang di destilasi atau air yang telah mengalami dua kali
penyulingan. Karena bentuk sediaannya larutan, maka obat lebih cepat
diserap dibandingkan dengan sediaan injeksi dan suspensi dan respon obat
akan lebih cepat terlihat.

Adapun pemberian fenobarbital ini kepada mencit melalui rute


intraperitonial, yaitu dengan disuntikan langsung kedalam rongga perut.
Pemberian secara intraperitoneal memiliki keuntungan yaitu efek obat yang

47
ditimbulkan lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara
oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah
diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
hewan uji. Namun suntikan intraperitonial tidak dilakukan pada manusia
karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar.

Mencit yang akan diuji harus ditimbang terlebih dahulu, karena berat
badan merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya dosis yang diberikan
karena berat badan berhubungan dengan luas permukaan tubuh yang
mempengaruhi tingkat absorbsi obat dalam tubuh. Penimbangan ini
dilakukan untuk dapat menentukan dosis yang akan diberikan pada mencit,
karena mencit memiliki batas pemberian dosis obat. Hal ini mencegah
matinya mencit karena kelebihan dosis obat sehingga mencit dapat
memperlihatkan efek obat dengan baik. Dosisnya sendiri diberikan pada
setiap mencit dengan variasi ukuran yang meningkat. Pemberian dosis
dengan variasi ukuran yang meningkat diperlukan untuk mengetahui pada
dosis manakah efektivitas yang diinginkan terjadi, sehingga nanti dapat
diketahui LD50 dan ED50. Keduanya tersebut akan menunjukan indeks
terapi obat. Indeks terapi merupakan perbandingan LD50 dan ED50. LD50
adalah dosis yang menyebabkan 50% hewan percobaan mati sedangkan
ED50 adalah dosis yang memberikan efek pada 50% hewan percobaan.
Perhitungan indeks terapi dimaksudkan untuk memperkirakan keamanan
obat. Semakin besar indeks terapi, semakin aman penggunaan obat tersebut
karena rentang antara LD50 dan ED50 cukup jauh. Jika indeks terapi kecil,
maka rentang antara LD50 dan ED50 dekat sehingga dosis yang diberikan
harus tepat, bila berlebih dapat menyebabkan toksisitas bahkan kematian.

Dalam percobaan ini praktikan menggunakan 18 mencit yang akan


dibagi menjadi 6 kelompok dosis, jadi untuk satu dosis yang sama diberikan
pada 3 mencit setiap kelompok. Dari 6 kelompok dosis tersebut, 5 dosis
merupakan dosis uji, dan 1 dosis digunakan sebagai kontrol negatif. 5 dosis
uji yang diberikan adalah dosis 100mg/kg BB, 200mg/kg BB, 400mg/kg
BB, 800mg/kg BB, 1600mg/kg BB, 3200mg/kg BB.

48
Pemberian secara intraperitonial dimaksudkan agar absorbsi pada
lambung, usus dan proses bioinaktivasi dapat dihindarkan, sehingga
didapatkan kadar obat yang utuh dalam darah karena sifatnya yang sistemik.
Hal ini harus benar-benar diperhatikan karena apabila salah posisi maka
suntikan akan mengenai organ bagian dalam mencit, apabila terlalu ke
tengah akan mengenai kandung kemih, dan apabila terlalu tinggi akan
mengenai hati mencit. Apabila salah dan mengenai organ dalam mencit, bias
saja obat akan terhambat kerjanya atau bila mengenai organ vital mencit
dapat mengalami kematian secara langsung setelah pemberian.

Pengamatan dilakukan di menit ke 5, 10, 15, 30, 45, dan 60. Untuk
mengamati Righting reflex-nya mencit dipegang di ekor kemudian
dibalikkan badannya, dilihat kehilangan righting reflexnya. Apabila mencit
dapat melawan atau mengembalikan posisi tubuhnya seperti semula, maka
righting reflexnya masih bekerja (positif).

Namun, apabila mencit tidak bias mengembalikan posisi tubuhnya


seperti semula dan sudah kelihatan lemas bahkan tertidur maka mencit telah
kehinlangan Righting reflex atau Righting reflex negatif. Hal itu berarti efek
obat fenobarbital sudah berespon pada tubuh mencit tersebut. Waktu
dihitung sejak semua obat yang diberikan secara intraperitonial masuk ke
dalam tubuh.

Pada kelompok 1 menggunakan dosis 100 mg/ 70 kg BB manusia


dengan hasil sangat resisten pada mencit yg ke 2 artinya tidak berefek sama
sekali , hal ini mungkin dikarenakan dosis yg terlalu kecil dan hanya
mengalami efek ngantuk / sedatif .

Pada kelompok 2&3 menggunakan dosis 200-400 mg/70 kg BB


manusia , pada dosis ini masih dalam efek yg sesuai dikarenakan mencit
mengalami ngantuk dan tertidur , pada percobaan ini berhasil dilakukan
karena sesuai hasil dengan teori dan efek obat meningkat seiring dengan
peningkatan pemberian dosis.

49
Pada kelompok 4menggunakan dosis 800 mg/ 70 kg BB manusia
didapatkan hasil dengan berat badan 35 yaitu efek sesuai , berbeda dengan
BB 30 g didapatkan hasil peka perbedaan hasil ini mungkin dikarenakan
berat badan yg 35 g lebih sesuai dengan dosis yg diberikan sehingga efek
sesuai mengalami efek sedatif karena obat terhalang dengan lemak
dibanding dengan BB 30 yg diberi dosis besar 800 mg sehingga respon
obatnya lebih cepat karena luas permukaan tubuhnya lebih kecil ,karena
ketika di beri rangsangan nyeri mencit tidak tegak.

Pada kelompok 5&6 menggunakan dosis yg lebih tinggi dari


kelompok lain yaitu 1600-3200 mg/ 70 kg BB manusia dengan mencit yg
BB nya hampir sama dengan kelompok lain , sehingga menghasilkan respon
efek yaitu peka . mencit mengalami pingsan karena semakin di tinggikan
dosis obat maka semakin cepat efek obat yg didapatkan sehingga dosis obat
yg sesuai mengalami efek sedatif sedangkan dosis , sedangkan dosis obat yg
tinggi hampir memiliki efek anastesi ( pingsan) bahkan bisa sampai mati ,
tetapi pada percobaan kali ini tidak ada mencit yg mengalami efek sangat
peka (mati) , hal ini dikarenakan keberhasilan dalam pemberian rute ataupun
pemberian dosis.

Kemudian setelah data mengenai jumlah mencit yang memberikan


efek didapat, data yang dinyatakan dengan angka tersebut dinyatakan dalam
persentase dan dimasukkan kedalam grafik dosis respon. Grafik dosis-
respon digambarkan, dengan cara pada kertas grafik log pada ordinat
persentase hewan yang memberikan efek (hilang righting reflex atau
kematian) pada dosis yang digunakan. Hubungan terapi suatu obat dengan
kurva dosis respon terdiri dari dua:

1. Kurva dosis yang terjal


Dengan dosis kecil menyebabkan respon obat yang cepat ( efektifitas
obat besar) tetapi toksissitasnya besar. Rentang efek teurapeutiknya besar
atau luas.

2. Kurva dosis respon datar atau landai.

50
Dosis yang diperlukan relative lebih besar untuk mendapatkan
respon yang lebih cepat (efektifitas berkurang) tetapi toksissitasnya kecil.
Rentang efek teurapeutiknya kecil atau sempit.

Data kurva log probit


Dari grafik hasil pengamatan dapat dilihat bahwa seiring dengan
penambahan dosis, maka rentang keefektifan obat semakin tinggi. Selain
itu, rentang antara persen kematian setiap penambahan dosis rentangnya
semakin tinggi yaitu dari dosis 1 rentang nya 66,6% dan 2-6 rentangnya
100% dari serta hasil pengamatan menunjukkan bahwa rentang keefektifan
obat semakin panjang, dengan kata lain keamanan obat cukup baik. arena,
dilihat dari hasil pengamatan, dapat dianggap bahwa dosis antara 200 –
400mg/kg BB merupakan efektivitas obat (ED50) sehingga dapat dituliskan
ED50nya

200mg/kg BB < ED50 <400 mg/kg BB

Namun hasil ini belum dapat dipastikan dengan benar nilai pasti
ED50 nya karena belum sempat diuji spesifikkan terhadap dosis spesifik.
Untuk LD50 hasil nya 100% di karenakan dalam praktikum ini tidak ada
mencit yg mati . hal ini karena dosis masih dalam batas kewajaran antara
respon obat.

Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil percobaan pemberian dosis obat terhadap hewan


percobaan yaitu mencit ED50 yaitu 66,6% pada kelompok 1 dan 100% pada
kelompok ain nya dan LD50 yaitu 0% .
2. Semakin besar dosis yg diberikan semakin rentang ke efektikan obat dan
mendekati efek toksik.

51
DAFTAR PUSTAKA

Adnan.2011.Farmakologi.Tersedia di http://kesmasunsoed.blogspot.com/2011/02/
pengantar-farmakologi.html [diakses tanggal 20 Maret 2014].

Anonym. 2006. Obat Sedatif dan Hipnotik. Tersedia di http://medicastore.com


/apotikonline/obat_saraf_otot/obat_bius.htm [diakses tanggal 20 Maret 2014]

Katzug, R-Bertram G., 1989, Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 3, Jakarta;
EGC.
Lullmann, Heinz, dkk., 2000, Color Atlas of Pharmacology 2nd edition, New
York; Thieme Stuttgart.
Maycek, Mary J.,2001, Farmakologi Ulasan Bergambar edisi 2 , Jakarta : Widya
Medika.
Olson, James, 2000, Belajar Mudah Farmakologi, Jakarta : ECG.
Stringer L, Jonet. 2008. Konsep Dasar Farmakologi Untuk Mahasiswa, Jakarta :
ECG

52
BAB III
EFEK OBAT SISTEM SARAF PUSAT

53
LATAR BELAKANG

Analgesik adalah obat yang dapat menghilangkan rasa sakitatau nyeri.


Rasa nyeri atau pain adalah suatu fenomena kompleks yang melibatkan aktifitas
neuron dan respon penderita terhadap syaraf tersebut. Stimulasi nyeri antara lain
terdiri dari:

1. Stimulasi Termis

2. Stimulasi fisis

3. Stimulasi Mekanis

4. Stimulasi Kimiawi

5. Senyawa kimia endogen .Senyawa kimia endogen dapat menyebabkan


antara lain senyawa dengan aktifitas alogenik:

 5-HT(5-Hidroksi Triptamin atau serotonin).


 Badikinin, keduanya dapat menyebabkan nyeri pada kadar<1 hg/ml.
 K+ pada dosis ≥0.5 mg/ml

Tujuan percobaan :

1. Mengamati respon geliat atau writhing reflex pada mencit akibat induksi
kimia.
2. Mengetahui mula kerja obat (onset of action) , lama kerja obat (duration of
action) dan saat obat mencapai efek yg maksimum.

Teori dasar

54
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk
mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran
akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan
sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap
perangsang ini. Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses
pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit,
sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh
rangsangan sakit (Anief, 2000).
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapetik meringankan
atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan
potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam
2 kelompok yaitu analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat
(hipoanalgetik, kelompok Opiat) dan analgetika yang bersifat lemah (sampai
sedang) bekerja terutama pada perifer (Mutschler, 1991).
Analgetik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf
secara selektif. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi
kesadaran. Analgetik bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi
rasa sakit. Berdasarkan mekanisme kerja pada tingkat molekul, analgetik
dibagi menjadi dua golongan yaitu analgetik narkotik dan analgetik non-
narkotik (Sabby, 2010).
Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi
penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya
kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya
kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu gejalanya karena
dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk
mengendalikannya. Untuk setiap orang ambang nyerinya konstan. Batas
nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay & Rahardja,
2007).
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan
menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan ras nyeri
yang diinduksi pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi
induksi secara maknik, termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian

55
dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk
mengevaluasi obat-obat analgetik kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika
dinilai pada hewan dengan mengukut besarnya peningkatan stimulus nyeri
yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan
hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri
(Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).
Pengujian aktifitas analgetik ada 4 cara:
1. Metode Induksi Nyeri Secara Kimia (Metode Siegmund)
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau
menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi secara kimia pada hewan uji
mencit. Rasa nyeri pada mencit diperlihatkan dalam bentuk respon geliat.
Geliat dapat berupa lompatan, kontraksi otot perut hingga perut menekan
lantai, tarikan kaki ke belakang dan ke depan. Frekuensi gerakan ini dalam
waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya, yang dapat
dinyatakan sebagai % proteksi yang dirumuskan dalam persamaan:

𝑃
% proteksi = 100 – ( 𝐾 𝑋 100% )

p = jumlah kumulatif geliat perlakuan

k = jumlah kumulatif geliat kontrol negative

2. Metode Induksi Nyeri Secara Elektrik


Prinsip kerja metode ini adalah ekor hewan uji diletakkan pada
tempat yang dapat dialiri listrik, kemudian dialiri arus listrik. Rangsang
nyeri didasarkan pada gerakan tersentak dan melompat. Efek analgetik
dinyatakan sebagai selisih tegangan yang didapat antara hewan uji setelah
diberi obat dengan sebelum diberi obat. Cara ini cocok untuk obatgolongan
analgetik non-narkotik.

3. Metode Induksi Nyeri Secara Panas (Thermal Test)


Hewan uji ditempatkan diatas plat panas dan suhu tetap sebagai
stimulus nyeri hewan uji akan memberikan respon nyeri dalam bentuk
mengangkat atau menjilat kaki depan atau meloncat. Selang waktu antara
pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon, yang disebut dengan

56
waktu reaksi dapat diperpanjang dengan pemberian obat-obat analgetik.
Perpanjangan waktu reaksi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran
dalam mengevaluasi aktivitas analgetik. Cara ini untuk obat golongan
analgetik narkotik.

4. Metode Induksi Nyeri Secara Mekanik


Prinsip kerja metode ini adalah ekor hewan uji diletakkan pada
tempat tertentu kemudian diberi tekanan tertentu. Rangsang nyeri
didasarkan pada gerakan meronta dan suara hewan uji. Efek analgetik
dinyatakan sebagai selisih waktu respon nyeri pada hewan uji setelah
diberi obat dengan sebelum diberi obat. Cara ini digunakan untuk obat
golongan analgetik non-narkotik.

Asam asetat glasial merupakan penginduksi nyeri kimia yg


digunakan untuk menstimulasi rasa sakit pada peritoneum mencit , dengan
reespon nya berupa geliat atau writhing reflex . selain asam asetat glasial ,
untuk menginduksi nyeri/rasa sakit pada mencit dapat digunkan
fenilkinon. Bahan penginduksi tersebut diberikan secara intraperitoneum.
Parietal peritonium sangat sensitif terhadap stimulasi fisik dan kimiawi
walaupun tidak terjadi inflamasi . keberadaan cairan dalam peritonium
dapat menstimulasi rasa sakit.

Aspirin, antalgin, asam mefenamat ,indometasin , dapat


menghilangkan rasa sakit karena dapat menghambat sintesi protaglandin
dengan cara hambatan enszim siklooksigenase, efek anakgesik yg
ditimbulkan oleh golongan obat ini bersifat mekanik., fisika , atau kimiai.

Refles geliat atau writhing reflex merupakan reflek nyeri pada


mecit akibat substansi penginduksi nyeri . dalam waktu kurang lebih 5
menit setelah diberi penginduksi nyeri , umumnya mencit mulai
merasakan nyeri . hewan akan berdiam di suatu sudut , badan nya di tekuk
, bulu nya acapkali berdiri dan ekor nya di angkat ke atas setelah beberapa
saat , hewan akan bergerak perlahan , menarik satu atau kedua kaki
belakangnya , badan nya direntangkan dan perutnya ditekan hingga
menyentuh dasar . gerakan ini seringkali disertai dengan gerakan kepala

57
yg menoleh ke belakang sehingga tampak seolah olah mencit tersebut
menggeliat . refleks ini dapat terjadi selama durasi kerja penginduksi .
refleks geliat ini selanjut nya di gunakan sebagai parameter uji metode ini.

Pada metode geliat, mekanisme aksi stimulus nyeri berdasarkan pada


produksi nyeri yang disebabkan oleh cairan tubuh.

 Pelepasan cairan tubuh kedalam peritoneum, dapat menyebabkan


rasa nyeri yang parah.Hal ini disebabkan bahwa bagian parietal
dari rongga peritoneum sangat sensitif terhadap stimulus fisik dan
kimiawi, walaupun tanpa efek inflamasi.
 Pelepasan cairan gastik ke dalam pefarasi gastrik atau
duodedunum atau kebocoran dari kantong empedu, cairan pankreas
atau urin kedalam rongga peritoneum dapat berakibat rasa nyeri
yang parah.
 Cairan gastrik dapat menyebabkan rasa nyeri yang parah apabila
ekspose dengan ujung syaraf sensoris lida pada kulit, rasa nyeri ini
akibat sifat keasaman dengan ph ≤3.Rasa nyeri pada ulser peptik
terutama disebabkan oleh asam HCl.
 Urin dapat menyebabkan rasa nyeri, sebagai akibat dari sifat
hipertoniknya atau disebabkan oleh kandungan campuran buffer
natrium fosfat serta ion kalium.
 Nyeri akibat cairan pankreas disebabkan oleh kandungan tripsin
dan kalikerin.

Asam Asetat Glacial

· Golongan Asam karboksilat, alifatik.

· Sinonim / Nama Dagang

Acetic acid; Glacial acetic acid; Ethanoic acid; Vinegar acid; Ethylic acid;
Pyroligneus acid; Methanecarboxylic acid; Acetic acid; Glacial;

· Keracunan akut :

Ø Terhirup

58
Asam asetat : menyebabkan iritasi yang berat pada saluran pernafasan,
pada kebanyakan orang 50 bpj atau lebih banyak yang tidak tahan dan
dapat menyebabkan edema pharingeal dan bronchitis kronik.. Gejala
gejala lain termasuk batuk, dyspnea, nafas pendek, laryngitis, edema
pulmonal, bronkhopneumonia dan hipotensi.

Ø Kontak dengan kulit

Asam Asetat : Kontak langsung dapat menyebabkan iritasi yang berat


disertai rasa sakit , eritema, melepuh, kerusakan permukaan kulit dan
terbakar dengan penyembuhan yang lambat. Kulit menjadi berwarna
hitam, hiperkeratotis dan pecah-pecah.Diserap dengan cepat melalui kulit.

Ø Kontak dengan mata

Asam Asetat : Kontak langsung dapat menyebabkan iritasi yang berat,


lakrimasi, erosi kornea, kekeruhan, iritis dan hilangnya penglihatan
manusia. Pertumbuhan epitelium terjadi setelah beberapa bulan tetapi
anestesia kornea dan kekeruhan biasanya permanen.Pada kasus yang tidak
berat terjadi conjunctivitis, fotofobia dan hiperemia konjunctiva.Uap dan
cairan pelarut dapat menyebabkan hiperemia konjunctiva dan kadang
kadang kerusakan epitelium kornea.

Ø Tertelan

Asam asetat : dalam kasus tertelan ( kecelakaan ) lesi ulseronekrotik yang


berat dari saluran pencernaan atas, striktur esofagus, observasi perforasi
esofagus dan pilorus disertai hematemesis, diare, syok, hemoglobinuria,
diikuti anuria dan uremia. Gejala-gejala yang lain termasuk muntah, perut
kejang, haus, susah menelan, hipotermi, denyut nadi lemah dan cepat,
nafas dangkal dan lambat, laringitis, bronkhitis , edema pulmonal,
pneumonia, hemolisis, albuminuria, hematuria, kedutan, konvulsi, kolap
kardiovaskular , syok dan kematian, juga dilaporkan mempengaruhi
kesuburan pada binatang.

59
Alat dan Bahan
A. Alat
a. Sarung tangan
b. Masker
e. Stopwatch
c. Sonde oral
f. Wadah penyimpanan
d. Alat suntik 1 ml
mencit

B. Bahan
a. Mencit putih(20-30gram) sebanyak 0,5 ml secara IP
b. Asam asetat glasial 3%
c. Parasetamil 500 mg/70 kg BB manusia secara PO
d. CMC NA 1%secara PO
e. Asam mefenamat 500 mg/70 kg BB manusia

Prosedur

hewan percobaan diberi penandaan serta hewan percobaan dibagi


ditimbang dicatat menjadi lima kelompok

semua hewan dari setiap


kelompok 3 dan 4 kelompok 1 dan 2
kelompok diberi
(pembanding diberi dosis (kontrol negatif diberi
perlakuan sesuai
500 mg asam mefenamat) suspensi CMC NA 1%)
kelompoknya secara oral

setelah 30 menit hewan


kelompok 5 dan 6 ( dosis gerakan geliat hewan
diberi asam asetat glasial
500 mg parasetamol) diamati
3% secara intraperitonial

daya proteksi obat uji


jumlah geliat
terhadap rasa nyeri dan
dmeniticatat setiap 15-
efektivitas analgesiknya
30 menit
dihitung

60
Hasil dan pembahasan

Hasil :

Percobaan Bahan Obat Efek Geliat

Respon Awal Jumlah Geliat


dalam Periode
15–60 menit
Uji Analgesik Mencit CMC Na 1% secara 1. 11.18 160
akibat induksi PO 2. 11.27 157
kimia dengan 1. 11.15 114
metode Geliat 2. 11.29 203
Asam Mefenamat 1. 11.04 13
500mg/ 70 kg BB 2. 11.16 8
manusia secara PO 1. 11.20 55
2. 11.09 80
Paracetamol 500mg/ 1. 11.05 105
70 kg BB manusia 2. 11.10 92
secara PO 1. 11.15 43
2. 11.18 13

61
Awal Geliat Akhir Geliat Durasi efek Geliat
(Mencit) (Mencit)
11.45 12.24 39
11.50 12.25 35
11.39 12.24 45
11.52 12.27 35
11.58 12.10 12
11.24 12.30 6
11.39 12.02 27
11.40 12.06 26
11.32 12.05 33
11.40 12.25 45
11.31 12.20 49
11.37 12.18 41

Perhitungan :

- Kelompok 3
# mencit BB 30 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
30
Dosis = × 1,3 𝑚𝑔 = 1,95 𝑚𝑔
20
1,95 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,19 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔

# mencit BB 20 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
20
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,3 𝑚𝑔
1,3 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,13
1000 𝑚𝑔

- Kelompok 4

62
# mencit BB 25 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
25
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,625 𝑚𝑔
1,625 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,1625 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔

# mencit BB 28 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
28
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,82 𝑚𝑔
1,82 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,182 𝑚𝑙 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔

- Kelompok 5
# mencit BB 27 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
27
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,75𝑚𝑔
1,75 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,175 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔

# mencit BB 31 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
31
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 2,01 𝑚𝑔
2,01 𝑚𝑔
Volume = 1000 𝑚𝑔
× 100 𝑚𝑙 = 0,20 ~ 0,2 𝑚𝑙

- Kelompok 6
# mencit BB 27 gram
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
27
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,75𝑚𝑔
1,75 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,175 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔

# mencit BB 26 gram

63
Faktor konversi manusia 70kg = mencit 20 gram = 0,0026
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg
26
Dosis = 20 × 1,3 𝑚𝑔 = 1,69 𝑚𝑔
1,69 𝑚𝑔
Volume = × 100 𝑚𝑙 = 0,16 ~ 0,2 𝑚𝑙
1000 𝑚𝑔

Pembahasan :

Pada percobaan kali ini akan dilakukan pengujian terhadap efek analgetika
dari beberapa obat anelgetika dengan metode induksi nyeri oleh senyawa kimia.
Digunakan metode induksi secara kimia karena analgetik yang digunakan
termasuk dalam golongan antalgetika non narkotik. Metode induksi merupakan
cara-cara menginduksi nyeri atau inflamasi ke dalam hewan percobaan. Adapun
hewan percobaan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus)betina. Mencit
digunakan karena mudah ditanganani dan memiliki sistem biokimia yang mirip
dengan tubuh manusia.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain: asam asetat glasial 3%; asam mefenamat
500 mg;parasetamol 500 mg, dan CMC NA 1%. Asam asetat digunakan sebagai
penginduksi nyeri secara kimia dengan sifatnya yang merupakan asam lemah.
Parasetamol dan asam mefenamat menjadi obat analgesik yang akan diuji
potensinya. CMC NA digunakan sebagai kontrol negatif, atau untuk mengetahui
pengaruh dari pembawa obat.

Asam asetat merupakan asam lemah yang tidak terkonjugasi dalam


tubuh. Pemberian sediaan asam asetat terhadap hewan percobaan akan
merangsang sekresi prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat adanya
kerusakan jaringan atau inflamasi karena efek iritatif yang diberikan oleh asam
asetat. Prostaglandin meyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi
mekanik dan kimiawi sehingga prostaglandin dapat menimbulkan keadaan
hiperalgesia (perasaan berlebihan terhadap nyeri), kemudian mediator kimiawi
seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang
nyata.

64
Dapat dilihat juga jumlah geliat yang paling sedikit dari data
pengamatan adalah pada kelompok mencit yang diberikan asam mefenamat.
Pada mencit kelompok obat standar ini, jumlah geliat lebih sedikit
dibandingkan kelompok mencit kontrol. Ini dikarenakan terdapat anti
analgesik yang diberikan pada mencit meskipun dalam kadar yang standar.
Disebabkan karena pada kelompok ini telah diberi obat analgesik yaitu asam
mefenamat. Akibatnya rasa nyeri dihambat dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase pada biosintesis prostaglandin sebagai mediator nyeri
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu.
Hasil pengujian jumlah geliat rata-rata mencit menujukkan bahwa
terdapat penurunan jumlah geliat rata-rata mencit pada kelompok kontrol
positif maupun pada kelompok parasetamol bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
parasetamol dan asam mefenamat dapat mengurangi terjadinya geliat pada
mencit yang merupakan suatu respon nyeri yang ditimbulkan oleh adanya
pemberian asam asetat secara intraperitoneal. Semakin sedikit jumlah geliat
rata-rata yang diberikan oleh kelompok mencit menunjukkan semakin baik
efek analgesik pada suatu bahan uji.
Kemudian dihitung persentase proteksi bahan uji, yaitu kemampuan
bahan uji dalam mengurangi respon geliat mencit yang disebabkan oleh
induksi asam asetat. Persentase ini menggambarkan daya analgesik bahan uji.
Ini diperoleh dengan membandingkan rata-rata jumlah geliat kelompok bahan
uji terhadap kelompok kontrol negative. Dapat dilihat bahwa persentase
proteksi terbesar ditunjukkan kelompok kontrol positif. Pada kelompok dosis,
kelompok dosis yang menunjukkan persentase proteksi terbesar terdapat pada
kelompok dosis II, artinya dosis II merupakan dosis yang efektif memberikan
efek analgesik.

KESIMPULAN

1. Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan
dengan (ancaman) kerusakan jaringan.

2. Analgetik adalah obat penghilang rasa nyeri

65
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. (1995). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Pharmaceutical Care
untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Dirktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik. Jakarta.
Gunawan, G dan Sulistia. (1995). Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta:
FK-UI
Katzung, B.G.(1998). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. dJakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EG.

66
67

Anda mungkin juga menyukai